"Semua ini harus jelas, Mbak. Kapan Mas Zidan datang? Aku yakin ini tak ada sangkut pautnya dengan kesalahan dia. Jadi kita harus selidiki dan menemukan kebenaran." Hanna mengucap mantap. Jangan sampai Yusuf salah target balas dendam pada Zidan, dengan melampiaskan padanya sebagai adik. Namun, kenyataannya tidak demikian. "Ya, Na. Aku setuju. Aku akan kerahkan kemapuan untuk menyelidikinya." Indah menyahut mantap. "Oya, kapan Mas Zidan datang?" "Besok, insyaAllah." "Wah, cepat juga." "Huum. Katanya dia hanya akan tidur di pesawat. Dan lagi karena perjalanan ke Turkey dibatalkan. Katanya dia kan ke sana karena sebelumnya Alex yang ngajak. Deu, aneh banget tuh orang. Aku yakin, diam-diam Mas Zidan juga cemas, setelah kuprovokasi, Na." Indah merasa bangga sekaligus lega. Sang suami mau mendengarkannya. "Ouh, gitu. Yaudah, aku mau pulang dulu, Mbak. Ga enak kalau Mas Yusuf yang datang duluan dan menunggu. "Ciee, iye, iye. Pengantin baru," goda Indah, dan Hanna hanya tersenyum meliha
"Siapa yang menelepon?" tanya Hanna. "Sepertinya itu tak penting." Zaki menyahut cepat. Hanna hanya curiga saja, kalau ada orang yang selalu mengawasi papanya dan Yusuf sekaligus, mamata-matai untuk suatu kepentingan. Ia menyerah dan segera pergi, tampaknya Zaki memang tak mau terbuka padanya. Ketika Hanna pergi dua orang berpakaian rapi, dan kacamata melekat di mata kedua orang itu, datang pada Zaki. Saat Hanna melirik pada mereka, dan Zaki sempat menatap pada Hanna disela perbincangan mereka, wanita itu tak peduli dan memilih meneruskan tujuannya. Lalu masuk ke dalam lift. 'Paling keluarga pasien,' pikirnya. Pikiran Hanna terpecah. Di satu sisi penasaran mengenai apa yang terjadi dengan Yusuf dan Adelia, di satu sisi dia juga memikirkan nasib suaminya yang menyerang Alex di lapangan golf, hingga ia memutuskan menemui Yusuf dan Alex di lapangan golf. Meski begitu, ucapan Zaki terus terngiang di kepala seiring langkahnya. "Tolong jangan sakiti dan salah paham pada Yusuf. Dia ta
Zidan bergerak cepat kala, panggilan untuk para penumpang pesawat terdengar. Pria itu memutuskan pulang lebih cepat ke Indonesia, karena terus kepikiran apa yang Indah ceritakan. Namun, saat akan masuk antrian seseorang menyapa dengan mencolek punggungnya. Begitu menoleh seorang perempuan tengah tersenyum ke arahnya. "Zidan?" Wanita berkacamata hitam dengan syal terkalung di leher tersebut meletakkan telunjuk mengarah ke atas, sebagai ekspresi mengingat wajah pria di depannya. Zidan mengerutkan kening, sembari membalik tubuh agar posisinya tampak lebih serius menanggapi orang yang mengenalinya itu. "Siapa, ya?" tanyanya kemudian. "Arista, ketemu waktu di Bali. Inget?" tanya wanita itu lagi. "Hem? Bali?" Zidan menggumam sambil meneleng kepala. Mengingat-ingat. Namun, rupanya tak kunjung ingat juga siapa pemilik wajah di depannya. Terlalu banyak wajah manusia yang ia temui. Apalagi wanita, meski ia menjaga jarak dengan mereka. "Pacarnya Alex." Wanita itu meletakkan satu tangan di
Adelia menatap Hanna dan Yusuf berdiri di depannya dengan tersenyum. Namun, ketika matanya bergerak semakin ke bawah dan melihat Yusuf dan Hanna bergandengan tangan, senyum itu seketika pudar. Tak suka melihat pria itu terlalu dekat dengan orang yang baru ditemukannya. Yusuf yang menyadari itu lebih dulu, segera melepaskan tangan Hanna. "Kamu udah baikan?" Ia bergerak mendekat ke dipan. Hanna seketika menoleh. Menatap wajah Yusuf yang tampaknya merasa tak nyaman pada Adelia. Seketika cemburu kembali hadir, dan membuat nyeri segumpal daging dalam dadanya. Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu tampak miris, sambil menautkan dua tanganya yang terasa kosong. Pertanyaan-pertanyaan pun kembali hadir di hati Hanna. Apakah akan terus seperti ini selama mereka bertiga bersama? Sebenarnya, Yusuf mencintainya atau tidak? Adelia melengos, tak suka akan kehadiran pria itu. Ia lalu memanggil Hanna agar mendekat. "Mama," rengeknya bak anak kecil. "Ah, ya." Mata Hanna melebar, tak menyangka j
"Sudahlah. Turuti kemauanku. Ini adalah jalan terbaik. Jalan satu-satunya adalah merawatnya di sebuah rumah sakit terpencil. Dia akan aman di sana." Suara Zaki terdengar memaksa. Jarang sekali ia bicara keras pada Yusuf, tapi kali ini situasinya berbeda."Kenapa begitu?" Yusuf terheran-heran. Tidak ada tanda apa pun tapi pria itu memaksa Adelia untuk menjalani perawatan."Karena keberadaannya sempat terlacak di rumah sakit. Jika mereka tahu kamu menyembunyikan Adelia selama ini, akan bahaya bukan hanya buat Adelia, tapi kamu, juga istri barumu!" tekan Zaki yang tak mau lagi usulnya dibantah.Yusuf sekarang tahu apa yang Zaki rasa hingga tampak frustrasi begitu. Kini ia pun merasakan hal sama. Mungkin tak masalah jika hanya melibatkannya, tapi bagaimana dengan Adelia dan Hanna dua-duanya wanita yang berarti baginya."Ada apa ini?" tanya Hanna yang tiba-tiba hadir di antara mereka.Tadinya ia ingin sabar menunggu di meja makan sampai Yu
Yusuf bangkit dan menjauh dari Hanna dengan melakukan aktivitas lain. Hatinya perih. Kala menatap ke bawah sana, melihat kekosongan pada diri wanita itu.Entah, bertahan berapa lama suasana ini?Wanita itu hanya menoleh kelu. Menatap punggung sang suami yang menjauh, karena sengaja menghindar darinya. "Kenapa kamu begitu, Mas? Kenapa kita tak bisa seperti sepasang pengantin lain yang menikmati hari-hari kebersamaan mereka."Hanna kembali menoleh menatap lurus ke arah televisi. Di waktu yang sama, ponsel di atas meja miliknya menyala. Tangan lentiknya meraih benda pipih itu perlahan, mencari tahu siapa gerangan yang mengirim pesan teks, alih-alih menelepon secara langsung.Dua alis Hanna tertaut kala mendapati pesan tertera[Kalau pesan ini telah masuk ke ponselmu, berarti aku sudah di Indonesia. Kutulis ini begitu aku mendapat pesan darimu, Na.][Itu memang arlojiku, tapi setelah hilang sekali saat pesta, lalu seorang keamanan
Hanna terhenyak di sela tidurnya kala sebuah bayangan melewati jendela di balkon."Apa itu tadi? Aku yakin ini bukan mimpi," gumamnya bangkit sambil menyibak selimut.Rasa penasaran, membuatnya meraih pakaian luar piama dan meninggalkan ranjang suaminya. Hanna berdiri di depan jendela dengan sedikit membuka gorden untuk mengintip tak ada siapa-siapa.Kala akan berjalan ke arah balkon, dan membuka pintu, suara handle dari pintu tersebut membuat Yusuf terbangun.Pria itu mengerjap dan mendapati istrinya tengah membuka pintu."Kamu mau ke mana?" tanya Yusuf yang merasakan kepalanya masih berat karena kantuk."Mas aku melihat bayangan seseorang di jendela." Hanna menjawab."Sudahlah, Sayang. Tidur saja. Ada yang berjaga di luar, jadi kamu jangan khawatir," pinta Yusuf pada istrinya.Hanna menghela. Benar juga. Ada keamanan yang menjaga rumah mereka di luar. Kalaupun benar ada orang di luar, pasti pihak keamanan yang t
"Kenapa kamu mempercayaiku?" tanya Yusuf menatap kosong lurus ke langit-langit. Ada perasaan bersalah dalam hatinya, bersenang-senang dengan Hanna sementara Adelia sendiri di rumah jiwa tanpanya. "Karena kamu suamiku." "Itu saja?" "Ya, karena sejak awal aku ingin menikah dengan pria sholeh. Selama sebulan penuh ta’aruf, aku meminta seseorang mengamati aktivitas Mas di kantor, dan dia bilang Mas Yusuf selalu mengerjakan sholat lima waktu bahkan tambahan waktu sunnah." "Wah, ternyata aku dimata-matai." "Itu bukan memata-matai. Itu mencari tahu seperti apa pria yang akan kita nikahi. Ck. Sayang aja, informanku ga sampe kasih tahu kalo status Mas Yusuf adalah suami orang." Hanna menggeser kepalanya menjauh dari kepala Yusuf, agar bisa melihat wajah sang suami. Lalu mendecak sebal. "Haha." Tentu saja Hanna tak tahu, pernikahannya dengan Adelia hanya sehari di mata semua orang dan menganggap gadis itu meninggal setelah kabur ke luar negeri. "Tapi ... kenapa harus sholat yang kamu soro