Share

Bab 2 Salah kirim

Penulis: Penulis Hoki
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-28 00:10:23

Keheningan yang ditinggalkan oleh Dr. Adrian Mahesa terasa lebih bising daripada teriakan apa pun. Dara dan Riana duduk membeku di bangku taman, tawa mereka yang tadinya renyah kini terasa seperti pecahan kaca di tenggorokan. Wajah Riana pucat, sementara Dara merasa seluruh darah di tubuhnya telah mengalir ke kaki, membuatnya berat dan dingin.

"Dia... dia denger nggak ya, Dar?" bisik Riana, suaranya gemetar.

Dara tidak bisa menjawab. Ia tahu jawabannya. Tentu saja dia dengar. Cara Adrian berjalan melewatinya tanpa sedikit pun melirik, dengan aura yang seribu kali lebih dingin dari biasanya, adalah konfirmasi yang lebih dari cukup. Ia terlihat tidak marah dan tidak tersinggung. Ia jauh di atas itu semua. Ia hanya menghapus eksistensi Dara dari radarnya. Bagi seorang mahasiswa yang kelangsungan hidup akademisnya bergantung pada satu orang, itu adalah hukuman mati.

"Mampus gue, Ri. Mampus," desis Dara, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Selesai sudah riwayat skripsi gue. Bisa-bisa gue nggak lulus tahun ini."

"Jangan gitu, ah! Lebay, deh. Masa cuma gara-gara itu?" Riana mencoba menghibur, meskipun ia sendiri tidak yakin. "Palingan dia cuek aja. Dia kan emang gitu, nggak pedulian."

"Cuek sama benci itu beda tipis, Ri," balas Dara getir. "Dan barusan, gue udah ngasih dia alasan buat benci sama gue seumur hidup."

Malam itu, kamar kos Dara yang biasanya terasa nyaman dan aman berubah menjadi ruang penyiksaan. Tumpukan jurnal dan buku teori di mejanya seolah mengejeknya. Draf skripsi yang penuh coretan merah tergeletak seperti mayat di atas meja, dan setiap kali Dara mencoba membacanya, kalimat-kalimat di sana seolah menari-nari, membentuk wajah dingin Adrian Mahesa.

Pikirannya buntu. Setiap ide yang coba ia rangkai untuk memperbaiki Bab 2 terasa dangkal dan bodoh. Bayangan tatapan tajam Adrian dan gema kata-katanya sendiri—"Ganteng tapi gay, percuma!"—terus berputar di kepalanya seperti memori dengan mantan. Ia sendirian, terisolasi dalam kepanikan akademisnya.

Ponselnya bergetar hebat di atas meja. Nama Riana muncul di layar.

"Nggak usah ngomong," sembur Riana begitu Dara mengangkat telepon. "Gue tahu lu lagi meratapi nasib sambil melototin laptop. Nggak akan ada gunanya, Dar. Otak lu udah buntu. Sekarang, dengerin gue. Mandi, pakai baju paling bagus yang lu punya, dandan. Setengah jam lagi gue jemput. Kita perlu happy!"

"Happy? Ri, lu gila ya? Deadline gue tiga hari!" pekik Dara, suaranya meninggi karena stres.

"Justru itu! Lu nggak akan bisa ngerjain apa-apa dengan kondisi kayak gini. Kita keluar sebentar. Sebentar aja. Kita lupain dosen gay itu buat beberapa jam. Besok pagi, bisa mulai lagi dengan kepala lebih jernih. Percaya sama gue. Gue merasa bersalah udah mancing lu ngomong tadi. Ini cara gue nebus dosa," kata Riana dengan nada memaksa yang tidak bisa dibantah.

Dara ingin menolak. Sungguh. Bagian otaknya yang masih waras berteriak bahwa ini adalah ide terburuk di dunia. Tapi bagian lainnya, bagian yang lelah, putus asa, dan haus akan pelarian sekecil apa pun, berbisik bahwa Riana ada benarnya. Ia butuh jeda, dan ia butuh melarikan diri dari pikirannya sendiri.

"Oke," desah Dara akhirnya, menyerah. "Tapi cuma sebentar."

"Janji!" seru Riana riang di seberang telepon. "Siap-siap, ya, cantik!"

***

Satu jam kemudian, sebentar versi Riana ternyata adalah sebuah klub malam di pusat kota yang berdentum dengan musik house yang memekakkan telinga. Lampu strobo yang menyilaukan menari liar, membelah kerumunan orang yang bergerak seperti satu organisme besar di lantai dansa. Udara terasa tebal oleh campuran asap rokok elektrik, parfum, dan aroma alkohol yang tajam.

Bagi Dara, ini adalah dunia lain. Dunia yang begitu jauh dari perpustakaan yang hening dan koridor fakultas yang steril. Awalnya ia merasa canggung, hanya menyesap cocktail berwarna biru yang dipesankan Riana sambil mengamati hiruk pikuk di sekitarnya. Tapi dentuman bass yang ritmis itu perlahan merayap masuk ke dalam aliran darahnya. Gelas pertama membuatnya sedikit rileks. Gelas kedua membuatnya mulai menggerakkan kepalanya mengikuti irama. Setelah gelas ketiga, Riana berhasil menyeretnya ke tengah lautan manusia di lantai dansa.

Dan di sanalah Dara menemukan kebebasannya.

Ia menari. Bukan tarian yang anggun, melainkan gerakan lepas yang didorong oleh frustrasi dan alkohol. Ia melompat, mengayunkan tangannya, memutar tubuhnya, membiarkan setiap dentuman musik menghapus satu per satu kecemasannya. Wajah dingin Adrian, coretan merah di skripsinya, rasa malu yang membakar membuat semuanya larut dalam keringat dan kesenangan sesaat. Untuk pertama kalinya sepanjang hari, ia tidak memikirkan tentang skripsinya.

Beberapa jam terasa seperti beberapa menit. Mereka kembali ke meja mereka yang sedikit terpencil, tertawa terbahak-bahak dengan napas terengah-engah. Wajah Dara memerah, bukan lagi karena malu, tapi karena alkohol dan gerakan dance-nya. Dunia terasa miring dengan cara yang menyenangkan.

"Gila, Dar! Lu... lu jago banget jogetnya!" seru Riana, suaranya sedikit cadel. Ia menenggak sisa minumannya sebelum menatap Dara dengan tatapan yang tiba-tiba serius.

"Dar... hei, dengerin gue," katanya sambil mengguncang lengan Dara pelan. "Gue seneng lu seneng, tapi... jangan lupa, ya. Lu... lu masih punya tugas."

Dara mengerutkan keningnya yang terasa berat. "Tugas? Tugas apaan?"

"Itu... email... revisi buat Pak Adrian," ujar Riana, berusaha terdengar bertanggung jawab di tengah pengaruh alkohol. "Batasnya... Selasa, kan? Jangan sampai lupa kirim email. Malem ini kita pulang jam 1, oke! Berhenti minumnya!"

"Email?"

Kata itu seperti kunci yang membuka sebuah pintu yang salah di dalam kepala Dara yang sudah kacau. Alih-alih memicu kembali kepanikan, nama itu justru menyulut bara api pemberontakan yang aneh, yang telah diberi bahan bakar oleh tiga gelas Blue Lagoon. Rasa takutnya telah menguap, digantikan oleh semacam keberanian cair yang berbahaya.

Ia meraih ponselnya dari atas meja. Jemarinya terasa sedikit kebas dan tidak sinkron saat ia membuka kunci layar. Tapi mantannya kini mengirim pesan kepada, Dar. Seolah mengingatkan Dar akan tugas yang lainnya.

["Dar-dar sayang..."]

Dara dan mantannya punya hubungan yang rumit. Saat masih menjalin hubungan, ponsel Dara pernah rusak dan Dara minta tolong ke mantannya, Arkan. Untuk memperbaiki ponselnya. Alih - alih di perbaiki, justru Arkan meng-copy isi memory ponsel Dara dan menemukan foto - foto serta video pribadi Dara.

Sejak saat itu, hubungan mereka tidak benar - benar putus. Dara dipaksa mengirimkan foto terbaru setiap minggunya oleh Arkan, kalau tidak mau. Arkan mengancam akan menyebarkan isi memory yang sudah ia copy di laptopnya.

***

"Oh, iya. Email," gumam Dara. Matanya menyipit, berusaha fokus pada layar yang berpendar terang. Riana, mengira temannya akan membuat pengingat di kalender, kembali sibuk memesan minum lewat aplikasi di ponselnya.

Dara membuka aplikasi email berniat mengirim foto pribadinya ke Arkan seperti biasanya. Dengan gerakan yang terlalu mantap untuk orang mabuk, ia mengetik alamat email. Tapi karna pengaruh alkohol, Dar salah kirim, justru ia mengirim foto tersebut ke Adrian.

Kepada: adrian.mahesa@univ-ekonomi.ac.id.

Jarinya bergerak lincah, keluar dari aplikasi email dan masuk ke galeri foto. Ia melewati folder Camera Roll yang berisi foto-foto kuliah dan liburan yang membosankan. Ia menuju sebuah folder tersembunyi, yang dilindungi oleh kata sandi yang rumit. Folder bernama Arsip.

Ini adalah rahasia tergelapnya. Bahkan Riana pun tidak tahu. Dara suka memotret dirinya sendiri. Bukan swafoto biasa. Ini adalah potret-potret artistik dirinya tanpa busana. Dilakukan bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri. Ia menyukai caranya mengontrol cahaya dan bayangan, menonjolkan lekuk tubuhnya, menangkap ekspresi yang tidak pernah ia tunjukkan kepada dunia—sesuatu yang sensual, menantang, rentan, dan kuat. Itu adalah caranya merayakan tubuhnya dan sisi lain dari dirinya yang tersembunyi di balik citra mahasiswi teladan yang pendiam.

Dengan napas yang sedikit tertahan oleh campuran alkohol dan adrenalin, ia mulai memilih.

Foto pertama, sebuah foto hitam-putih. Ia duduk di tepi ranjang, punggungnya menghadap kamera, menoleh sedikit ke belakang dengan tatapan mata yang tajam dan menantang. Cahaya dari jendela hanya menerangi separuh wajah dan bahunya, menciptakan misteri.

Foto kedua lebih eksplisit. Ia berbaring di atas seprai satin, rambutnya yang panjang tergerai menutupi sebagian payudaranya, satu tangannya diletakkan di atas perutnya. Ekspresinya sensual, bibirnya sedikit terbuka.

Foto ketiga favoritnya. Ia berdiri di depan cermin besar, hanya mengenakan kemeja putih longgar yang tidak dikancingkan, memperlihatkan lebih banyak daripada yang disembunyikan. Wajahnya di foto itu tersenyum tipis, sebuah senyum penuh rahasia dan percaya diri.

Tiga file bagai bom waktu digital.

Ia kembali ke draf email-nya. Dengan jari gemetar, ia menekan ikon lampiran dan memilih ketiga foto itu. Proses unggah hanya butuh beberapa detik.

Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia bisa merasakannya di tenggorokannya, berdentum selaras dengan musik di klub. Ini gila!

Tapi rasanya begitu menjijikan.

Ibu jarinya melayang di atas tombol Kirim. Segala kewarasan yang tersisa dalam dirinya berteriak, memohonnya untuk berhenti. Tapi suara itu tenggelam oleh desis alkohol dan bisikan pemberontakan. Kirim. Kirim. Kirim.

Ia menekannya.

Sebuah notifikasi kecil muncul di bagian bawah layar: Email Terkirim.

Selesai.

Dara meletakkan ponselnya di atas meja, layarnya menghadap ke bawah. Ia menatap Riana, yang masih sibuk dengan ponselnya. Sebuah senyum aneh, gemetar, dan sedikit gila tersungging di bibirnya.

"Kenapa muka lu jadi kesel gitu?" tanya Riana, akhirnya mengangkat kepala.

Dara mengambil gelasnya yang baru datang, mengangkatnya sedikit ke arah Riana.

Ia menenggak habis isi gelasnya dalam sekali teguk, membiarkan cairan dingin itu membakar tenggorokannya, mencoba memadamkan api yang baru saja ia nyalakan. Api yang ia tahu, cepat atau lambat, akan membakar dunianya hingga menjadi abu. Setidaknya ia akan terus mencari cara agar bisa lepas dari jeratan sang mantan.

---TBC---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 49 Pertemuan kedua

    Adrian mendengus, sudut bibirnya terangkat sedikit. Senyum miring yang biasa ia tunjukkan sebelum menerkam mangsanya. Ia melangkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka hingga Dara bisa mencium aroma yang kini begitu akrab di indra penciumannya. Aroma yang sama yang melekat di bantalnya setiap pagi."Jangan konyol," kata Adrian. Tangannya terulur, jari-jarinya yang panjang menyentuh rahang Dara, mendongakkan wajah gadis itu. "Kamu terlihat terlalu rapi."Dara menahan napas saat ibu jari Adrian mengusap kulit lehernya yang sensitif. Ia tahu sentuhan ini. Ia tahu ke mana arahnya. "Jadi? Anda mau saya berantakin rambut?""Kurang," bisik Adrian. Tatapannya turun ke perpotongan leher dan bahu Dara. "Kita perlu memastikan ibuku tahu bahwa anaknya yang dingin ini berfungsi dengan sangat baik. Bahwa kita tidak hanya berpegangan tangan di taman."Dara mengerti seketika. Wajahnya memanas."Kenapa? Keberatan?" tantang Adrian, alisnya terangkat. "Kita suda

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 48 Tanda yang asli

    Adrian menepati janjinya, meski dengan wajah yang seakan-akan baru saja menelan lemon utuh.Satu jam kemudian, sebuah taksi berhenti di depan gerbang besi raksasa kediaman Mahesa. Dari jendela lantai dua, Dara melihat Riana turun dengan mulut menganga. Temannya itu berputar-putar, menatap pilar-pilar marmer dan taman yang luasnya seperti alun-alun kota, sebelum akhirnya terlihat ragu untuk menekan bel."Dia terlihat seperti turis yang tersesat," komentar Adrian yang berdiri di samping Dara. Tangannya bersedekap, tatapannya menilai. "Temanmu itu berisik?""Dia ceria," koreksi Dara. "Sesuatu yang rumah ini sangat butuhkan.""Hmph. Ingat aturannya. Ponsel disita. Tidak ada foto. Tidak ada update status 'Sedang di rumah Dosen Killer'. Dan dia tidur di kamar tamu sayap barat. Jauh dari kamar kita.""Kamar kita?" Dara menaikkan alis.Adrian mendengus. "Kamar utama. Jangan besar kepala."Ketika Riana akhirnya masuk, dikawal oleh seorang pelayan yang terlihat lebih rapi daripada Riana saat wi

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 47 Sepakat

    Klik.Adrian menutup teleponnya. Di seberang meja, Dara menatapnya. Ia bisa melihat dengan jelas urat di leher Adrian yang menegang. Pria yang baru saja memenangkan negosiasi dan mempromosikannya menjadi Nyonya Muda, kini terlihat... panik."Nyonya Muda," ulang Adrian pelan, suaranya terdengar hampa. Ia menoleh ke Dara, dan Dara tidak melihat sang Dosen Es, sang predator, atau sang kekasih yang menuntut. Ia melihat seorang pria yang baru saja didorong ke tepi jurang."Anda terlihat... tidak senang," kata Dara hati-hati.Adrian tertawa. Tawa yang kering, pendek, dan sama sekali tidak lucu. "Tidak senang?" ulangnya. "Aku baru saja menyetujui sesuatu yang mustahil."Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya yang luas. Gerakannya tidak lagi terkendali dan anggun. Gerakannya kaku dan penuh amarah."Kamu pikir pertunjukan di meja makan keluarga itu sulit?" tanyanya, lebih pada dirinya sendiri. "Itu hanya... hidangan pembuka. Itu mudah. Aku ada di sana. Aku bisa meng

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 46 Adrian curang

    Dara terbangun dengan perasaan paling aneh yang pernah ia rasakan.Tubuhnya sakit, lemas, dan terasa berat, tapi ia tidak kedinginan. Ia membuka matanya dan mendapati dirinya masih terjerat dalam pelukan Adrian. Pria itu tidur dengan lelap, tapi bahkan dalam tidurnya, lengannya melingkari pinggang Dara seperti sabuk pengaman, posesif dan tak terbantahkan.Semalam.Semua ingatan itu kembali menerjangnya. Sesuatu yang kacau, penuh gairah, dan dilakukan atas dasar... kesetaraan yang aneh?Ia menatap wajah pria yang tertidur di sampingnya. Garis rahangnya yang tegas tampak lebih rileks, bibirnya yang biasanya sinis kini terlihat lebih penuh.Dia menepati janjinya.Ia teringat Adrian berbisik, "Hanya kita." Dan untuk sisa malam itu, memang hanya mereka. Ia tidak menuntut atau menghukum. Mereka hanya... bercinta. Berkali kali. Hingga Dara kelelahan dan tertidur dalam pelukannya.Perlahan, sangat perlahan, Dara mencoba menggeser lengan Adrian. Ia harus bangun. Ia harus... memproses ini semua

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 45 Malam yang berbeda

    Garasi itu terasa sunyi dan dingin, tapi udara di antara Adrian dan Dara terasa panas membara. Ciuman itu bukan lagi sebuah serangan. Itu adalah sebuah ledakan.Adrian tidak sedang memainkan peran Dosen Es, Tuan yang Posesif, atau Peneliti yang Kejam. Ia hanyalah... Adrian. Dan ia baru saja melihat seorang wanita muda membungkam ibunya yang tiran dan menghancurkan rivalnya (Dr. Rina) hanya dengan beberapa kalimat cerdas.Dan itu, bagi seorang pria yang menghargai kecerdasan di atas segalanya, adalah afrodisiak terkuat di dunia.Bibirnya melumat bibir Dara, tidak lagi menghukum, tapi... mempelajari. Menuntut, ya, tapi juga bertanya. Tangannya yang satu masih di pintu mobil, sementara tangan yang lain menangkup rahang Dara, ibu jarinya mengelus pipinya dengan gerakan yang nyaris lembut.Dara seharusnya mendorongnya. Ia seharusnya menamparnya. Ia seharusnya menagih janjinya soal kebebasan.Tapi tidak.Ia terhanyut. Ia baru saja selamat dari sarang naga. Adrenalin masih membanjiri tubuhn

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 44 Serangan kedua

    Kedipan mata Dara yang cepat dan penuh makna itu adalah sebuah bom kecil yang meledak di tengah keheningan meja makan.Adrian membeku. Ia menatap Dara. Gadis ini, yang beberapa minggu lalu meringkuk ketakutan di bawah kungkungannya, baru saja menyelamatkannya dari ibunya sendiri. Ia tidak hanya memainkan perannya tapi ia baru saja mengambil alih seluruh naskah, menulis ulang dialognya, dan mengarahkan adegan itu dengan sempurna.Ibu Mahesa, yang jelas-jelas kalah telak, berdeham. "Anak muda jaman sekarang," katanya, suaranya kaku. "Selalu penuh... kejutan." Ia memberi isyarat pada pelayan. "Hidangan utama."Suasana kembali cair, tapi semuanya telah berubah. Para paman dan bibi mulai berbisik di antara mereka, tatapan mereka pada Dara kini bukan lagi sekadar ingin tahu, tapi dipenuhi rasa hormat yang enggan. Dr. Rina tampak seperti akan sakit, ia meletakkan serbetnya dan menolak hidangan utama. Reza, yang terlalu mabuk untuk mengerti nuansa yang baru saja terjadi, hanya bersulang sendi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status