Koridor Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) jam tiga sore itu ramai banget. Aroma kertas dari ruang fotokopi berpadu dengan wangi parfum mahasiswa yang lalu-lalang, ditambah desing samar pendingin ruangan yang bekerja keras. Tapi, di ujung lorong lantai tiga, di depan pintu kayu solid dengan papan nama dari kuningan bertuliskan Dr. Adrian Mahesa, S.E., M.B.A., udaranya terasa dingin dan tipis. Kayak ada aura menekan, membuat bahu terasa berat dan napas jadi sesak.
Dara Prameswari merasakan tekanan itu di setiap tarikan napasnya. Sambil memeluk map berisi draf Bab 1 dan 2 skripsinya, ia bersandar di dinding, menunggu pintu itu terbuka. Sudah lima belas menit ia di sana. Bukan karena Dr. Adrian telat, tapi karena Dara sengaja datang duluan biar mentalnya siap. Menghadapi Dr. Adrian Mahesa dalam sesi bimbingan itu ujian yang lebih berat daripada semua ujian akhir semester digabung jadi satu.
Dosen muda itu sudah jadi legenda kampus. Bukan cuma karena prestasi internasionalnya yang sering dipamerkan di situs web fakultas, melainkan karena auranya yang nyaris beku. Cerdas? Jelas. Tampan? Enggak perlu ditanya. Tapi dinginnya minta ampun, kayak Kutub Utara. Tatapannya setajam pisau bedah, sanggup membedah argumen terlemah dalam skripsi mahasiswa dari jarak sepuluh meter. Dia enggak pernah senyum, setidaknya enggak ada yang pernah mengakuinya secara resmi. Dan yang paling penting, dia membangun tembok setinggi Himalaya antara dirinya dan mahasiswa. Enggak ada basa-basi, enggak ada toleransi buat malas, dan sama sekali enggak ada celah buat digoda.
Pintu di depannya berderit terbuka, menampilkan seorang mahasiswa lain yang keluar dengan wajah pucat pasi, kayak baru ketemu hantu. Mahasiswa itu mengangguk singkat pada Dara, sinyal solidaritas sesama pejuang skripsi, lalu buru-buru pergi.
Sebuah suara bariton yang dalam dan tanpa emosi sama sekali terdengar dari dalam. "Dara Prameswari."
Dara menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Ruangan itu persis kayak pemiliknya. Rapi, minimalis, dan dingin. Hanya ada rak buku yang tersusun sempurna, meja kayu besar yang kosong kecuali laptop, cangkir kopi hitam, dan tumpukan kertas yang tersusun presisi. Adrian sendiri duduk di kursi kulitnya yang tinggi, duduknya tegap banget, menatap layar laptop seolah Dara belum ada di sana.
Ia mengenakan kemeja biru tua yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan jam tangan perak yang elegan dan lengan yang kokoh. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, dan garis rahangnya yang tegas kayak pahatan patung. Dara harus mengakui, rumor tentang ketampanannya sama sekali enggak dilebih-lebihkan.
"Duduk," katanya, masih tanpa menoleh.
Dara duduk di kursi di seberang meja, merasa dirinya menciut. Ia meletakkan mapnya di atas meja dengan hati-hati. Keheningan setelahnya bikin telinga pengang, cuma dipecah sama suara ketikan jari Adrian di keyboard. Cepat, ritmis, dan efisien.
Setelah terasa seperti seumur hidup, ia berhenti mengetik. Jarinya berhenti di udara sejenak sebelum ia akhirnya mengangkat kepala dan menatap Dara. Mata hitamnya yang tajam kayak menguliti Dara, bukan fisik, tapi otaknya. Seolah dia bisa melihat setiap kebodohan dan ketidaktahuan yang tersembunyi di dalam kepala Dara.
"Bab satu dan dua," kata Adrian, lagi-lagi sebagai pernyataan. Tangannya terulur.
Dara mendorong map itu ke arahnya.
Adrian membukanya, mengambil pulpen bertinta merah dari tempatnya, dan mulai membaca. Dara menahan napas. Suara goresan pulpen di atas kertas terdengar kayak cicitan tikus di tengah malam, setiap goresan terasa seperti sayatan di kulitnya. Wajah Adrian tetap tanpa ekspresi, tapi pulpen merahnya menari-nari brutal di atas hasil kerja keras Dara selama sebulan terakhir.
Lingkaran merah. Garis bawah yang tebal. Tanda tanya besar di margin.
Lima menit berlalu dalam keheningan yang menyiksa.
"Kerangka berpikirmu melompat-lompat," Adrian memulai 'pembantaian' itu. Suaranya datar. "Dari paragraf tiga di latar belakang, kamu tiba-tiba menyimpulkan hipotesis tanpa ada jembatan logis yang memadai. Ini bukan opini, Dara, ini karya ilmiah."
Dara menelan ludah. "Baik, Pak. Saya pikir--"
"Jangan berpikir. Gunakan data dan teori yang sudah ada untuk membangun argumenmu," potongnya dingin. Ia membalik halaman. "Dan metodologi ini. Kamu bilang akan menggunakan analisis regresi berganda, tapi variabel independen yang kamu ajukan di sini, salah satunya tidak memiliki proksi yang bisa diukur secara kuantitatif. Bagaimana caramu mengukurnya? Pakai perasaan?"
Pipi Dara langsung panas. "Ada beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan kuesioner untuk--"
"Kalau begitu, kutip penelitiannya. Di sini tidak ada," ujarnya sambil mengetuk-ngetuk daftar pustaka dengan ujung pulpennya. "Kamu mengutip Ardian & Mahesa (2023), tapi di daftar pustaka tidak ada. Yang ada hanya Mahesa (2022). Kamu bahkan salah menulis nama saya di badan tulisan."
Mati. Dara pengen mati aja. Gimana bisa dia bikin kesalahan sebodoh itu?
Pembantaian berlanjut selama dua puluh menit. Adrian membedah setiap paragraf, setiap kalimat, setiap titik dan koma. Dia enggak meninggikan suaranya, enggak nunjukin emosi apa pun. Justru kedatarannya itulah yang membuatnya terasa lebih menusuk. Itu bukan kritik yang membangun, itu adalah eksekusi.
Akhirnya, ia menutup map itu dan mendorongnya kembali ke seberang meja. Kertas-kertas di dalamnya kini tampak kayak medan perang yang penuh dengan 'darah' merah.
"Perbaiki," katanya singkat. Matanya sudah kembali menatap layar laptop, menandakan bahwa sesi bimbingan telah usai. "Saya tidak mau melihat kesalahan mendasar seperti ini lagi. Revisinya saya tunggu tiga hari lagi. Hari Selasa, kirim lewat email. Sebab saya tidak masuk kampus hari itu."
Tiga hari? Buat perbaiki semua ini? Itu enggak mungkin.
"Pak, tapi tiga hari--"
"Saya tidak bertanya apakah kamu bisa atau tidak," sahutnya, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Saya memberi perintah. Kamu boleh pergi sekarang."
Dara ngerasa matanya mulai panas. Ia gigit bibir bawahnya kuat-kuat biar air mata enggak jatuh. Dengan tangan gemetar, ia memasukkan kembali lembaran-lembaran skripsinya yang hancur lebur ke dalam map.
"Baik, Pak. Terima kasih," bisiknya lirih, lebih ke udara daripada ke dosen di depannya.
Ia bangkit dan berjalan keluar ruangan, merasa kayak baru selamat dari terkaman singa lapar. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia bersandar sejenak di dinding koridor, berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Rasa malu, marah, dan putus asa bergejolak di dalam dadanya.
"Woy, Dar!"
Sebuah suara ceria memanggilnya. Riana, sahabatnya sejak semester pertama, berlari kecil menghampirinya. Wajahnya yang bulat dan penuh senyum beda banget sama mood Dara yang lagi kelabu.
"Gimana? Selamat dari kandang macan?" tanya Riana sambil merangkul bahu Dara.
Dara enggak jawab, cuma nunjukin wajah memelas.
"Waduh, separah itu ya? Muka lo kayak kertas skripsi yang habis dicoret-coret," canda Riana. Mereka mulai berjalan menyusuri koridor, menjauhi area kekuasaan Dr. Adrian.
"Lebih parah lagi, Ri," keluh Dara akhirnya. Suaranya serak. "Gue ngerasa jadi orang paling bodoh di dunia. Semuanya salah. Semuanya. Dia bahkan nggak ngasih gue kesempatan buat jelasin. Tiga hari, Ri! Dia kasih gue waktu tiga hari buat revisi total!"
"Gila! Itu sih bukan bimbingan, itu kerja rodi," timpal Riana, ikut prihatin. Mereka menuruni tangga menuju taman tengah kampus yang lebih ramai. Udara sore yang hangat terasa sedikit menenangkan.
"Gue nggak ngerti kenapa dia harus sedingin itu. Kayak nggak punya hati. Apa salahnya sih ngomong baik-baik? Ngasih semangat dikit gitu? Ini malah kayak sengaja mau bikin mental mahasiswanya hancur," Dara terus ngomel, ngeluarin semua unek-unek yang ditahannya di dalam ruangan tadi.
"Ya namanya juga Adrian si Dosen Es," kata Riana. "Tapi…," Riana nyengir jahil, "…nggak apa-apalah kalau skripsi lu banyak salah. Positifnya, lu jadi bakalan lebih rajin ketemu sama dosen ganteng itu, kan?"
Dara mendengus, memutar bola matanya kesal. Ia berhenti di dekat bangku taman yang kosong, menatap Riana dengan kesal.
"Ganteng tapi gay, percuma!" sembur Dara dengan volume suara yang cukup keras, melampiaskan seluruh frustrasinya dalam satu kalimat sarkastik itu.
Riana terbahak. "Hus! Jangan kenceng-kenceng, ntar ada yang denger!"
"Biarin aja! Emang bener, kan? Semua cewek di kampus ini udah nyerah. Dr. Rina yang cantiknya kayak bidadari aja dicuekin. Dia itu pasti belok!" tambah Dara lagi, kini ikut tertawa bersama Riana. Tawa mereka pecah, sebuah tawa mengejek yang berfungsi sebagai katarsis untuk meredakan ketegangan. Meledek dosen pembimbing mereka yang mustahil adalah satu-satunya hiburan yang mereka punya.
Tawa mereka renyah, memenuhi udara di sekitar bangku taman. Mereka begitu asyik dengan lelucon mereka hingga tidak menyadari sesosok tubuh tinggi tegap berjalan di jalur setapak di belakang mereka.
Langkah sepatu pantofel mahalnya nggak bersuara di atas paving block. Sosok itu berjalan dengan ritme yang sama tenangnya seperti biasa, kepalanya tegak, dan wajahnya tanpa ekspresi.
Dr. Adrian Mahesa baru saja akan menuju parkiran saat ia mendengar suara yang familiar. Suara mahasiswi yang baru saja keluar dari ruangannya. Dia enggak berniat nguping, tapi kalimat terakhir yang diucapkan dengan begitu jelas dan lantang itu sampai ke telinganya tanpa bisa dicegah.
"Ganteng tapi gay, percuma!"
Diikuti oleh ledakan tawa yang mengejek.
Langkah Adrian tidak berhenti. Namun, di dalam dirinya, sesuatu berhenti. Sesuatu yang dingin dan terkunci rapat di dalam dirinya bergeser sepersekian milimeter. Rumor itu. Stigma yang selalu ia abaikan dengan cemoohan dalam hati, kini diucapkan seenteng itu oleh mahasiswi bimbingannya sendiri. Mahasiswi yang baru aja ngirimin dia email berisi laporan dan lampiran lainnya.
Saat ia melewati mereka, tawa Dara dan Riana langsung mati. Mereka langsung diam membeku, mata mereka melotot ngeri saat menyadari siapa yang baru saja lewat. Udara di sekitar mereka terasa seperti tersedot habis.
Dara ngerasa darahnya langsung surut dari wajahnya. Jantungnya serasa jatuh ke perut.
---TBC---
Mobil Adrian memasuki gerbang rumahnya yang tinggi dan otomatis. Gerbang itu menutup di belakangnya dengan bunyi mekanis yang sunyi. Ia mematikan mesin di carport yang luas. Keheningan total kini menggantikan deru mesin. Lampu sensor menyala, memandikan mobil hitam itu dalam cahaya putih yang dingin.Adrian tetap duduk di kursi pengemudi selama satu menit penuh, hanya mendengarkan napas Dara di belakang. Jantungnya berdebar, bukan karena ketakutan, melainkan karena antisipasi sebuah sensasi yang tidak ia rasakan sejak ia memenangkan beasiswa pertamanya ke London.Ia membuka pintu mobilnya. Bau dingin dan bersih udara malam menyambutnya, segera melawan bau parfum dan alkohol yang menyebar dari interior mobil. Ia berjalan mengitari mobil, membuka pintu kursi belakang, dan menatap Dara yang terlelap.Wajah Dara, tanpa riasan klub malam yang tebal, terlihat jauh lebih muda, nyaris seperti anak kecil. Kepalanya bersandar canggung di jendela, bibirnya sedikit terbuka. Adrian bisa saja meras
Malam baru saja melewati puncaknya. Adrian Mahesa melangkah keluar dari lobi hotel bintang lima dengan langkah yang sama presisi dan terukurnya seperti biasa. Udara malam yang lembap menyambutnya, membawa gema samar dari dentuman bass yang berasal dari sayap gedung yang lain dari sebuah klub malam yang bising dan, menurutnya, tidak berkelas.Ia melonggarkan dasinya sepersekian inci, satu-satunya tanda kelegaan setelah tiga jam rapat makan malam dengan seorang profesor tamu dari Universitas Heidelberg. Diskusi mereka tentang ekonomi makro Eropa sangat merangsang secara intelektual, tetapi interaksi sosial yang panjang selalu menguras energinya.Ia menuruni eskalator menuju parkiran basement yang lengang. Aroma beton lembap dan ban karet terasa menenangkan setelah aroma makanan mahal dan parfum di lantai atas. Baginya, ini adalah transisi kembali ke dunianya yang sunyi, teratur, dan dapat diprediksi. Klub malam dengan musiknya yang menghentak itu adalah anomali, polusi suara di dalam du
Keheningan yang ditinggalkan oleh Dr. Adrian Mahesa terasa lebih bising daripada teriakan apa pun. Dara dan Riana duduk membeku di bangku taman, tawa mereka yang tadinya renyah kini terasa seperti pecahan kaca di tenggorokan. Wajah Riana pucat, sementara Dara merasa seluruh darah di tubuhnya telah mengalir ke kaki, membuatnya berat dan dingin."Dia... dia denger nggak ya, Dar?" bisik Riana, suaranya gemetar.Dara tidak bisa menjawab. Ia tahu jawabannya. Tentu saja dia dengar. Cara Adrian berjalan melewatinya tanpa sedikit pun melirik, dengan aura yang seribu kali lebih dingin dari biasanya, adalah konfirmasi yang lebih dari cukup. Ia terlihat tidak marah dan tidak tersinggung. Ia jauh di atas itu semua. Ia hanya menghapus eksistensi Dara dari radarnya. Bagi seorang mahasiswa yang kelangsungan hidup akademisnya bergantung pada satu orang, itu adalah hukuman mati."Mampus gue, Ri. Mampus," desis Dara, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Selesai sudah riwayat skripsi gue. Bisa-bisa g
Koridor Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) jam tiga sore itu ramai banget. Aroma kertas dari ruang fotokopi berpadu dengan wangi parfum mahasiswa yang lalu-lalang, ditambah desing samar pendingin ruangan yang bekerja keras. Tapi, di ujung lorong lantai tiga, di depan pintu kayu solid dengan papan nama dari kuningan bertuliskan Dr. Adrian Mahesa, S.E., M.B.A., udaranya terasa dingin dan tipis. Kayak ada aura menekan, membuat bahu terasa berat dan napas jadi sesak.Dara Prameswari merasakan tekanan itu di setiap tarikan napasnya. Sambil memeluk map berisi draf Bab 1 dan 2 skripsinya, ia bersandar di dinding, menunggu pintu itu terbuka. Sudah lima belas menit ia di sana. Bukan karena Dr. Adrian telat, tapi karena Dara sengaja datang duluan biar mentalnya siap. Menghadapi Dr. Adrian Mahesa dalam sesi bimbingan itu ujian yang lebih berat daripada semua ujian akhir semester digabung jadi satu.Dosen muda itu sudah jadi legenda kampus. Bukan cuma karena prestasi internasionalnya yang sering d