Share

Bimbingan Terlarang Dosen Gay
Bimbingan Terlarang Dosen Gay
Author: Penulis Hoki

Bab 1 Dosen gay

Author: Penulis Hoki
last update Last Updated: 2025-09-27 23:47:54

Koridor Fakultas Ekonomi dan Bisnis di jam tiga sore adalah sebuah ekosistem yang sibuk. 

Aroma kertas dari ruang fotokopi berpadu dengan wangi parfum mahasiswa yang lalu-lalang dan desing samar pendingin ruangan yang bekerja keras. 

Namun, di ujung lorong lantai tiga, di depan sebuah pintu kayu solid dengan plakat kuningan bertuliskan Dr. Adrian Mahesa, S.E., M.B.A., udara terasa lebih dingin dan tipis. Seolah-olah gravitasi di area itu bekerja dua kali lebih kuat, menekan bahu dan membuat nafas menjadi lebih berat.

Dara Prameswari merasakan tekanan itu di setiap tarikan napasnya. Sambil memeluk map berisi draf Bab 1 dan 2 skripsinya, ia bersandar di dinding, menunggu pintu itu terbuka. Sudah lima belas menit ia di sana. 

Bukan karena Dr. Adrian terlambat, tapi karena Dara sengaja datang lebih awal untuk mempersiapkan mentalnya. Menghadapi Dr. Adrian Mahesa dalam sesi bimbingan adalah ujian yang lebih berat daripada menghadapi ujian akhir semester itu sendiri.

Dosen muda itu adalah sebuah legenda kampus. Bukan karena prestasi internasionalnya yang sering terpampang di situs web fakultas, melainkan karena auranya yang nyaris beku. Cerdas, tentu. Tampan, tak perlu diperdebatkan. 

Tapi dinginnya melampaui kutub utara. Tatapannya setajam pisau bedah, mampu membedah argumen terlemah dalam skripsi mahasiswa dari jarak sepuluh meter. Ia tidak pernah tersenyum, setidaknya tidak ada yang pernah mengakuinya secara resmi. 

Dan yang paling penting, ia membangun tembok setinggi Himalaya antara dirinya dan mahasiswa. Tidak ada basa-basi juga tidak ada toleransi untuk kemalasan, dan sama sekali tidak ada celah untuk digoda.

Pintu di depannya berderit terbuka, menampilkan seorang mahasiswa lain yang keluar dengan wajah pucat pasi, seolah baru saja melihat hantu. Mahasiswa itu mengangguk singkat pada Dara, sebuah isyarat solidaritas antar pejuang, lalu bergegas pergi.

Sebuah suara bariton yang dalam dan tanpa emosi sama sekali terdengar dari dalam. "Dara Prameswari."

Dara menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Ruangan itu persis kayak pemiliknya. Rapi, minimalis, dan dingin. Hanya ada rak buku yang tersusun sempurna, meja kayu besar yang kosong kecuali laptop, cangkir kopi hitam, dan tumpukan kertas yang tersusun presisi. Adrian sendiri duduk di kursi kulitnya yang tinggi, duduknya tegap banget, menatap layar laptop seolah Dara belum ada di sana.

Ia mengenakan kemeja biru tua yang lengannya digulung hingga siku, memperlihatkan jam tangan perak yang elegan dan lengan yang kokoh. Rambut hitamnya disisir rapi ke belakang, dan garis rahangnya yang tegas kayak pahatan patung. Dara harus mengakui, rumor tentang ketampanannya sama sekali enggak dilebih-lebihkan.

"Duduk," katanya, masih tanpa menoleh.

Dara duduk di kursi di seberang meja, merasa dirinya menciut. Ia meletakkan mapnya di atas meja dengan hati-hati. Keheningan setelahnya bikin telinga pengang, cuma dipecah sama suara ketikan jari Adrian di keyboard. Cepat, ritmis, dan efisien.

Setelah terasa seperti seumur hidup, ia berhenti mengetik. Jarinya berhenti di udara sejenak sebelum ia akhirnya mengangkat kepala dan menatap Dara. Mata hitamnya yang tajam kayak menguliti Dara, bukan fisik, tapi otaknya. Seolah dia bisa melihat setiap kebodohan dan ketidaktahuan yang tersembunyi di dalam kepala Dara.

"Bab satu dan dua," kata Adrian, lagi-lagi sebagai pernyataan. Tangannya terulur.

Dara mendorong map itu ke arahnya.

Adrian membukanya, mengambil pulpen bertinta merah dari tempatnya, dan mulai membaca. Dara menahan napas. Suara goresan pulpen di atas kertas terdengar kayak cicitan tikus di tengah malam, setiap goresan terasa seperti sayatan di kulitnya. Wajah Adrian tetap tanpa ekspresi, tapi pulpen merahnya menari-nari brutal di atas hasil kerja keras Dara selama sebulan terakhir.

Lingkaran merah. Garis bawah yang tebal. Tanda tanya besar di margin.

Lima menit berlalu dalam keheningan yang menyiksa.

"Kerangka berpikirmu melompat-lompat," Adrian memulai 'pembantaian' itu. Suaranya datar. "Dari paragraf tiga di latar belakang, kamu tiba-tiba menyimpulkan hipotesis tanpa ada jembatan logis yang memadai. Ini bukan opini, Dara, ini karya ilmiah."

Dara menelan ludah. "Baik, Pak. Saya pikir--"

"Jangan berpikir. Gunakan data dan teori yang sudah ada untuk membangun argumenmu," potongnya dingin. Ia membalik halaman. "Dan metodologi ini. Kamu bilang akan menggunakan analisis regresi berganda, tapi variabel independen yang kamu ajukan di sini, salah satunya tidak memiliki proksi yang bisa diukur secara kuantitatif. Bagaimana caramu mengukurnya? Pakai perasaan?"

Pipi Dara langsung panas. "Ada beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan kuesioner untuk--"

"Kalau begitu, kutip penelitiannya. Di sini tidak ada," ujarnya sambil mengetuk-ngetuk daftar pustaka dengan ujung pulpennya. "Kamu mengutip Ardian & Mahesa (2023), tapi di daftar pustaka tidak ada. Yang ada hanya Mahesa (2022). Kamu bahkan salah menulis nama saya di badan tulisan."

Mati. Dara pengen mati aja. Gimana bisa dia bikin kesalahan sebodoh itu?

Pembantaian berlanjut selama dua puluh menit. Adrian membedah setiap paragraf, setiap kalimat, setiap titik dan koma. Dia enggak meninggikan suaranya, enggak nunjukin emosi apa pun. Justru kedatarannya itulah yang membuatnya terasa lebih menusuk. Itu bukan kritik yang membangun, itu adalah eksekusi.

Akhirnya, ia menutup map itu dan mendorongnya kembali ke seberang meja. Kertas-kertas di dalamnya kini tampak kayak medan perang yang penuh dengan 'darah' merah.

"Perbaiki," katanya singkat. Matanya sudah kembali menatap layar laptop, menandakan bahwa sesi bimbingan telah usai. "Saya tidak mau melihat kesalahan mendasar seperti ini lagi. Revisinya saya tunggu tiga hari lagi. Hari Selasa, kirim lewat email. Sebab saya tidak masuk kampus hari itu."

Tiga hari? Buat perbaiki semua ini? Itu enggak mungkin.

"Pak, tapi tiga hari--"

"Saya tidak bertanya apakah kamu bisa atau tidak," sahutnya, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Saya memberi perintah. Kamu boleh pergi sekarang."

Dara ngerasa matanya mulai panas. Ia gigit bibir bawahnya kuat-kuat biar air mata enggak jatuh. Dengan tangan gemetar, ia memasukkan kembali lembaran-lembaran skripsinya yang hancur lebur ke dalam map.

"Baik, Pak. Terima kasih," bisiknya lirih, lebih ke udara daripada ke dosen di depannya.

Ia bangkit dan berjalan keluar ruangan, merasa kayak baru selamat dari terkaman singa lapar. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia bersandar sejenak di dinding koridor, berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Rasa malu, marah, dan putus asa bergejolak di dalam dadanya.

"Woy, Dar!"

Sebuah suara ceria memanggilnya. Riana, sahabatnya sejak semester pertama, berlari kecil menghampirinya. Wajahnya yang bulat dan penuh senyum beda banget sama mood Dara yang lagi kelabu.

"Gimana? Selamat dari kandang macan?" tanya Riana sambil merangkul bahu Dara.

Dara enggak jawab, cuma nunjukin wajah memelas.

"Waduh, separah itu ya? Muka lo kayak kertas skripsi yang habis dicoret-coret," canda Riana. Mereka mulai berjalan menyusuri koridor, menjauhi area kekuasaan Dr. Adrian.

"Lebih parah lagi, Ri," keluh Dara akhirnya. Suaranya serak. "Gue ngerasa jadi orang paling bodoh di dunia. Semuanya salah. Semuanya. Dia bahkan nggak ngasih gue kesempatan buat jelasin. Tiga hari, Ri! Dia kasih gue waktu tiga hari buat revisi total!"

"Gila! Itu sih bukan bimbingan, itu kerja rodi," timpal Riana, ikut prihatin. Mereka menuruni tangga menuju taman tengah kampus yang lebih ramai. Udara sore yang hangat terasa sedikit menenangkan.

"Gue nggak ngerti kenapa dia harus sedingin itu. Kayak nggak punya hati. Apa salahnya sih ngomong baik-baik? Ngasih semangat dikit gitu? Ini malah kayak sengaja mau bikin mental mahasiswanya hancur," Dara terus ngomel, ngeluarin semua unek-unek yang ditahannya di dalam ruangan tadi.

"Ya namanya juga Adrian si Dosen Es," kata Riana. "Tapi…," Riana nyengir jahil, "…nggak apa-apalah kalau skripsi lu banyak salah. Positifnya, lu jadi bakalan lebih rajin ketemu sama dosen ganteng itu, kan?"

Dara mendengus, memutar bola matanya kesal. Ia berhenti di dekat bangku taman yang kosong, menatap Riana dengan kesal.

"Ganteng tapi gay, percuma!" sembur Dara dengan volume suara yang cukup keras, melampiaskan seluruh frustrasinya dalam satu kalimat sarkastik itu.

Riana terbahak. "Hus! Jangan kenceng-kenceng, ntar ada yang denger!"

"Biarin aja! Emang bener, kan? Semua cewek di kampus ini udah nyerah. Dr. Rina yang cantiknya kayak bidadari aja dicuekin. Dia itu pasti belok!" tambah Dara lagi, kini ikut tertawa bersama Riana. Tawa mereka pecah, sebuah tawa mengejek yang berfungsi sebagai katarsis untuk meredakan ketegangan. Meledek dosen pembimbing mereka yang mustahil adalah satu-satunya hiburan yang mereka punya.

Tawa mereka renyah, memenuhi udara di sekitar bangku taman. Mereka begitu asyik dengan lelucon mereka hingga tidak menyadari sesosok tubuh tinggi tegap berjalan di jalur setapak di belakang mereka.

Langkah sepatu pantofel mahalnya nggak bersuara di atas paving block. Sosok itu berjalan dengan ritme yang sama tenangnya seperti biasa, kepalanya tegak, dan wajahnya tanpa ekspresi.

Dr. Adrian Mahesa baru saja akan menuju parkiran saat ia mendengar suara yang familiar. Suara mahasiswi yang baru saja keluar dari ruangannya. Dia enggak berniat nguping, tapi kalimat terakhir yang diucapkan dengan begitu jelas dan lantang itu sampai ke telinganya tanpa bisa dicegah.

"Ganteng tapi gay, percuma!"

Diikuti oleh ledakan tawa yang mengejek.

Langkah Adrian tidak berhenti. Namun, di dalam dirinya, sesuatu berhenti. Sesuatu yang dingin dan terkunci rapat di dalam dirinya bergeser sepersekian milimeter. Rumor itu. Stigma yang selalu ia abaikan dengan cemoohan dalam hati, kini diucapkan seenteng itu oleh mahasiswi bimbingannya sendiri. Mahasiswi yang baru aja ngirimin dia email berisi laporan dan lampiran lainnya.

Saat ia melewati mereka, tawa Dara dan Riana langsung mati. Mereka langsung diam membeku, mata mereka melotot ngeri saat menyadari siapa yang baru saja lewat. Udara di sekitar mereka terasa seperti tersedot habis.

Dara ngerasa darahnya langsung surut dari wajahnya. Jantungnya serasa jatuh ke perut.

---TBC---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 49 Pertemuan kedua

    Adrian mendengus, sudut bibirnya terangkat sedikit. Senyum miring yang biasa ia tunjukkan sebelum menerkam mangsanya. Ia melangkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka hingga Dara bisa mencium aroma yang kini begitu akrab di indra penciumannya. Aroma yang sama yang melekat di bantalnya setiap pagi."Jangan konyol," kata Adrian. Tangannya terulur, jari-jarinya yang panjang menyentuh rahang Dara, mendongakkan wajah gadis itu. "Kamu terlihat terlalu rapi."Dara menahan napas saat ibu jari Adrian mengusap kulit lehernya yang sensitif. Ia tahu sentuhan ini. Ia tahu ke mana arahnya. "Jadi? Anda mau saya berantakin rambut?""Kurang," bisik Adrian. Tatapannya turun ke perpotongan leher dan bahu Dara. "Kita perlu memastikan ibuku tahu bahwa anaknya yang dingin ini berfungsi dengan sangat baik. Bahwa kita tidak hanya berpegangan tangan di taman."Dara mengerti seketika. Wajahnya memanas."Kenapa? Keberatan?" tantang Adrian, alisnya terangkat. "Kita suda

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 48 Tanda yang asli

    Adrian menepati janjinya, meski dengan wajah yang seakan-akan baru saja menelan lemon utuh.Satu jam kemudian, sebuah taksi berhenti di depan gerbang besi raksasa kediaman Mahesa. Dari jendela lantai dua, Dara melihat Riana turun dengan mulut menganga. Temannya itu berputar-putar, menatap pilar-pilar marmer dan taman yang luasnya seperti alun-alun kota, sebelum akhirnya terlihat ragu untuk menekan bel."Dia terlihat seperti turis yang tersesat," komentar Adrian yang berdiri di samping Dara. Tangannya bersedekap, tatapannya menilai. "Temanmu itu berisik?""Dia ceria," koreksi Dara. "Sesuatu yang rumah ini sangat butuhkan.""Hmph. Ingat aturannya. Ponsel disita. Tidak ada foto. Tidak ada update status 'Sedang di rumah Dosen Killer'. Dan dia tidur di kamar tamu sayap barat. Jauh dari kamar kita.""Kamar kita?" Dara menaikkan alis.Adrian mendengus. "Kamar utama. Jangan besar kepala."Ketika Riana akhirnya masuk, dikawal oleh seorang pelayan yang terlihat lebih rapi daripada Riana saat wi

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 47 Sepakat

    Klik.Adrian menutup teleponnya. Di seberang meja, Dara menatapnya. Ia bisa melihat dengan jelas urat di leher Adrian yang menegang. Pria yang baru saja memenangkan negosiasi dan mempromosikannya menjadi Nyonya Muda, kini terlihat... panik."Nyonya Muda," ulang Adrian pelan, suaranya terdengar hampa. Ia menoleh ke Dara, dan Dara tidak melihat sang Dosen Es, sang predator, atau sang kekasih yang menuntut. Ia melihat seorang pria yang baru saja didorong ke tepi jurang."Anda terlihat... tidak senang," kata Dara hati-hati.Adrian tertawa. Tawa yang kering, pendek, dan sama sekali tidak lucu. "Tidak senang?" ulangnya. "Aku baru saja menyetujui sesuatu yang mustahil."Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya yang luas. Gerakannya tidak lagi terkendali dan anggun. Gerakannya kaku dan penuh amarah."Kamu pikir pertunjukan di meja makan keluarga itu sulit?" tanyanya, lebih pada dirinya sendiri. "Itu hanya... hidangan pembuka. Itu mudah. Aku ada di sana. Aku bisa meng

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 46 Adrian curang

    Dara terbangun dengan perasaan paling aneh yang pernah ia rasakan.Tubuhnya sakit, lemas, dan terasa berat, tapi ia tidak kedinginan. Ia membuka matanya dan mendapati dirinya masih terjerat dalam pelukan Adrian. Pria itu tidur dengan lelap, tapi bahkan dalam tidurnya, lengannya melingkari pinggang Dara seperti sabuk pengaman, posesif dan tak terbantahkan.Semalam.Semua ingatan itu kembali menerjangnya. Sesuatu yang kacau, penuh gairah, dan dilakukan atas dasar... kesetaraan yang aneh?Ia menatap wajah pria yang tertidur di sampingnya. Garis rahangnya yang tegas tampak lebih rileks, bibirnya yang biasanya sinis kini terlihat lebih penuh.Dia menepati janjinya.Ia teringat Adrian berbisik, "Hanya kita." Dan untuk sisa malam itu, memang hanya mereka. Ia tidak menuntut atau menghukum. Mereka hanya... bercinta. Berkali kali. Hingga Dara kelelahan dan tertidur dalam pelukannya.Perlahan, sangat perlahan, Dara mencoba menggeser lengan Adrian. Ia harus bangun. Ia harus... memproses ini semua

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 45 Malam yang berbeda

    Garasi itu terasa sunyi dan dingin, tapi udara di antara Adrian dan Dara terasa panas membara. Ciuman itu bukan lagi sebuah serangan. Itu adalah sebuah ledakan.Adrian tidak sedang memainkan peran Dosen Es, Tuan yang Posesif, atau Peneliti yang Kejam. Ia hanyalah... Adrian. Dan ia baru saja melihat seorang wanita muda membungkam ibunya yang tiran dan menghancurkan rivalnya (Dr. Rina) hanya dengan beberapa kalimat cerdas.Dan itu, bagi seorang pria yang menghargai kecerdasan di atas segalanya, adalah afrodisiak terkuat di dunia.Bibirnya melumat bibir Dara, tidak lagi menghukum, tapi... mempelajari. Menuntut, ya, tapi juga bertanya. Tangannya yang satu masih di pintu mobil, sementara tangan yang lain menangkup rahang Dara, ibu jarinya mengelus pipinya dengan gerakan yang nyaris lembut.Dara seharusnya mendorongnya. Ia seharusnya menamparnya. Ia seharusnya menagih janjinya soal kebebasan.Tapi tidak.Ia terhanyut. Ia baru saja selamat dari sarang naga. Adrenalin masih membanjiri tubuhn

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 44 Serangan kedua

    Kedipan mata Dara yang cepat dan penuh makna itu adalah sebuah bom kecil yang meledak di tengah keheningan meja makan.Adrian membeku. Ia menatap Dara. Gadis ini, yang beberapa minggu lalu meringkuk ketakutan di bawah kungkungannya, baru saja menyelamatkannya dari ibunya sendiri. Ia tidak hanya memainkan perannya tapi ia baru saja mengambil alih seluruh naskah, menulis ulang dialognya, dan mengarahkan adegan itu dengan sempurna.Ibu Mahesa, yang jelas-jelas kalah telak, berdeham. "Anak muda jaman sekarang," katanya, suaranya kaku. "Selalu penuh... kejutan." Ia memberi isyarat pada pelayan. "Hidangan utama."Suasana kembali cair, tapi semuanya telah berubah. Para paman dan bibi mulai berbisik di antara mereka, tatapan mereka pada Dara kini bukan lagi sekadar ingin tahu, tapi dipenuhi rasa hormat yang enggan. Dr. Rina tampak seperti akan sakit, ia meletakkan serbetnya dan menolak hidangan utama. Reza, yang terlalu mabuk untuk mengerti nuansa yang baru saja terjadi, hanya bersulang sendi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status