Malam baru saja melewati puncaknya. Adrian Mahesa melangkah keluar dari lobi hotel bintang lima dengan langkah yang sama presisi dan terukurnya seperti biasa. Udara malam yang lembap menyambutnya, membawa gema samar dari dentuman bass yang berasal dari sayap gedung yang lain dari sebuah klub malam yang bising dan, menurutnya, tidak berkelas.
Ia melonggarkan dasinya sepersekian inci, satu-satunya tanda kelegaan setelah tiga jam rapat makan malam dengan seorang profesor tamu dari Universitas Heidelberg. Diskusi mereka tentang ekonomi makro Eropa sangat merangsang secara intelektual, tetapi interaksi sosial yang panjang selalu menguras energinya.
Ia menuruni eskalator menuju parkiran basement yang lengang. Aroma beton lembap dan ban karet terasa menenangkan setelah aroma makanan mahal dan parfum di lantai atas. Baginya, ini adalah transisi kembali ke dunianya yang sunyi, teratur, dan dapat diprediksi. Klub malam dengan musiknya yang menghentak itu adalah anomali, polusi suara di dalam dunianya yang hening. Ia mengabaikannya, sama seperti ia mengabaikan sebagian besar hal-hal tidak penting dalam hidup.
Mobilnya, sebuah sedan Mercedes hitam, terparkir rapi di sudut. Bersih, mengkilap, dan tanpa cacat. Interiornya beraroma kulit mahal dan pengharum mobil beraroma pinus yang samar. Ini adalah bentengnya, ruang pribadinya yang steril. Ia masuk, meletakkan jasnya di kursi penumpang depan dengan rapi, dan menyalakan mesin. Deruman halusnya adalah musik yang jauh lebih ia sukai.
Ia tidak langsung menjalankan mobilnya. Ia bersandar sejenak, memejamkan mata, membiarkan pendingin ruangan membasuh sisa-sisa kelelahannya. Sesuai kebiasaan, ia meraih ponselnya untuk memeriksa apakah ada email atau pesan penting yang masuk selama rapat tadi. Beberapa notifikasi dari jurnal akademik, satu pesan dari adiknya, dan... satu email yang membuatnya sedikit mengerutkan dahi.
Dari: Dara Prameswari dara.prameswari@student.univ-ekonomi.ac.id
Waktu: 00:12
Alis Adrian terangkat. Pukul dua belas malam lewat. Sebuah dedikasi yang mengagumkan, atau sebuah kepanikan yang luar biasa? Ia masih ingat dengan jelas wajah pucat gadis itu sore tadi. Ia juga masih ingat dengan sangat jelas kalimat yang didengarnya di taman. “Ganteng tapi gay, percuma!”
Sebuah dengusan nyaris tak terdengar keluar dari bibirnya. Ia tidak tersinggung. Rumor itu sudah mengikutinya sejak ia kembali ke Indonesia dan menolak semua perjodohan yang diatur keluarganya. Ia hanya merasa sedikit terganggu. Terganggu oleh simplifikasi yang begitu dangkal dari mahasiswa yang bimbingannya ia pegang.
Didorong oleh rasa penasaran akademis yang dingin, ia membuka email itu. Badan email kosong, hanya ada subjek dan lampiran. Tiga file JPEG. Bukan Word atau P*F. Lampu merah pertama menyala di otaknya yang analitis. Aneh. Mungkin hasil scan dari catatan tangan? Tidak, itu tidak efisien.
Jarinya mengetuk file pertama. IMG_7341.JPEG.
Butuh beberapa detik untuk gambar itu terunduh dan terbuka di layar ponselnya yang beresolusi tinggi. Dan selama beberapa detik itu, dunia Adrian Mahesa yang teratur, logis, dan terkendali berhenti berputar.
Itu bukan revisi, bukan grafik, bukan tabel juga bukan kutipan teori.
Itu Dara.
Dalam format hitam-putih yang artistik, punggungnya yang telanjang dan mulus mendominasi gambar. Ia menoleh sedikit, tatapannya tajam, langsung menembus layar dan menusuk Adrian. Itu bukan tatapan takut atau memohon seperti yang ia lihat di ruangannya tadi sore. Itu adalah tatapan seorang wanita yang memegang kendali penuh.
Napas Adrian tercekat di tenggorokannya. Otaknya yang biasa bekerja secepat superkomputer kini terasa macet. Ia segera menutup gambar itu, jantungnya berdebar dengan ritme yang asing. Ini pasti sebuah kesalahan. Ia salah lihat. Atau Dara salah kirim. Tentu saja, itu yang paling logis.
Tapi rasa penasaran yang morbid, yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, mengambil alih. Tangannya, seolah memiliki pikiran sendiri, mengetuk file kedua. IMG_7345.JPEG.
Kali ini gambar berwarna. Dara berbaring di atas seprai, rambutnya yang hitam legam kontras dengan kain putih, tubuhnya yang melengkung indah hanya tertutup sebagian oleh bayangan dan helaian rambut. Ekspresinya sensual dan mengundang.
Adrian merasa darahnya berdesir. Ia segera membuka file ketiga. IMG_7349.JPEG. Di sini, Dara berdiri di depan cermin, mengenakan kemejanya sendiri atau kemeja pria yang kebesaran yang tidak dikancingkan sama sekali. Dan ia tersenyum. Senyum penuh kemenangan dan rahasia.
Adrian membanting ponselnya ke kursi penumpang di sebelahnya seolah benda itu baru saja menyetrumnya. Ia mencengkeram kemudi dengan kedua tangan, buku-buku jarinya memutih. Napasnya berat. Pikirannya berpacu, mencoba memproses data yang tidak masuk akal ini.
Analisis. Ia harus menganalisis dengan cepat.
Satu, Waktu pengiriman pukul 00:12. Kemungkinan besar subjek sedang berada di bawah pengaruh alkohol. Logis, mengingat ini malam Sabtu.
Dua, Pengirimnya adalah mahasiswi yang sama yang sore tadi merasa terintimidasi olehnya, dan kemudian mengejeknya di belakang punggungnya.
Tiga, Konten email ini bisa dianggap sebagai pelecehan, atau sebuah undangan, atau sebuah kesalahan fatal yang akan menghancurkan karir mahasiswi itu sendiri.
Apa motifnya? Balas dendam karena bimbingan yang keras? Upaya nekat untuk merayunya? Atau murni sebuah kecelakaan mabuk yang memalukan?
Insting pertamanya, insting yang telah melindunginya selama bertahun-tahun, berteriak “Hapus!” Lupakan. Anggap tidak pernah terjadi. Ia akan menghadapi Dara di sesi bimbingan berikutnya seolah tidak ada apa-apa, mungkin dengan sikap yang lebih dingin, untuk mengirim pesan bahwa apa pun permainannya, Adrian tidak tertarik. Ini adalah sebuah masalah, sebuah komplikasi, sebuah noda dalam sistemnya yang sempurna. Dan cara terbaik menangani noda adalah dengan menghilangkannya secepat mungkin.
Ia meraih kembali ponselnya. Jarinya sudah melayang di atas ikon tempat sampah. Hanya satu tekanan, dan bukti digital ini akan lenyap. Masalah akan selesai.
KLIK.
Suara pintu mobil di belakangnya yang terbuka membuatnya tersentak kaget.
Adrian refleks menoleh ke belakang, matanya memicing. Dalam sepersekian detik, sebuah tubuh ramping terhuyung-huyung masuk ke kursi belakang mobilnya, membawa serta aroma tajam alkohol, parfum buah, dan sebuah masalah.
Itu Dara.
Rambutnya sedikit berantakan, riasan matanya sedikit luntur, dan gaun sexy yang ia kenakan sedikit kusut. Ia terkikik sendiri saat berhasil mendaratkan tubuhnya di atas jok kulit yang mahal.
"Masuk... hehe... akhirnya," gumamnya, suaranya cadel dan tidak jelas.
Adrian membeku, benar-benar tidak bisa berkata-kata. Ini adalah situasi yang tidak pernah ada dalam skenario terburuk sekalipun di dalam kepalanya.
Sebelum Adrian bisa memproses atau mengucapkan sepatah kata pun, pintu yang tadi terbuka diketuk dari luar. Wajah Riana muncul di jendela, sama merah dan sama mabuknya.
"Udah masuk, Dar? Bagusss!" seru Riana, menempelkan wajahnya ke kaca. Ia jelas tidak bisa melihat dengan benar siapa yang ada di kursi pengemudi dalam kegelapan parkiran. Ia hanya melihat siluet. "Pak Sopir, langsung jalan, ya! Anterin temen saya ke Kos-kosan Cempaka Indah! Yang di Jalan Merpati! Udah saya kasih bintang lima nanti, Pak!"
Riana menepuk atap mobil Adrian beberapa kali seolah itu adalah atap taksi, lalu berbalik dan berjalan terhuyung-huyung, menghilang di antara pilar-pilar beton parkiran.
Keheningan total menyelimuti mobil. Hanya ada suara napas Dara yang kini mulai teratur di kursi belakang, dan deru mesin mobil Adrian yang halus.
Adrian perlahan mengangkat matanya untuk melihat ke cermin spion tengah. Di sana, Dara Prameswari, mahasiswi bimbingannya, telah menyandarkan kepalanya ke jendela, matanya terpejam. Ia sudah tertidur, atau pingsan karena mabuk.
“Heh, keluar!” bentak Adrian.
Dara sempat membuka matanya lalu melihat ke depan, Adrian menoleh ke belakang dan mata mereka kini bertemu.
“Hah? Ada Pak Dosen gay... heheh...” Dar terkekeh seolah tak terjadi apa – apa.
“Keluar!” ucap Adrian sekali lagi.
“Keluar, Pak? Memang... kapan bapak masukin?”
Adrian menarik nafas dalam – dalam, berusaha menahan emosinya.
“Pak... kok Bapak ada disini? Pasti ngikutin aku ya? Ahh... tapi nggak mungkin, bapak kan lebih suka main pedang – pedangan dari pada makan aku.” Lanjut Dar terbata – bata, setelah itu ia pingsan dan tidak bergerak lagi.
Adrian kini menatap lurus ke depan, ke dinding beton parkiran yang dingin. Udara di dalam mobilnya yang tadinya bersih dan steril kini terasa terkontaminasi oleh aroma parfum Dara. Dunianya yang teratur telah dihancurkan. Dinding yang ia bangun begitu tinggi telah ditembus, bukan dengan paksa, tapi dengan sebuah kecerobohan mabuk yang absurd.
Tangannya yang tadi gemetar kini menjadi stabil dan juga dingin. Ia meletakkan ponselnya di konsol tengah, layarnya menghadap ke bawah. Ia tidak bisa menghapus masalah ini lagi. Masalah ini sekarang sedang tertidur di kursi belakangnya.
Dengan gerakan yang tenang dan terkendali, ia memasukkan persneling. Mobil itu meluncur tanpa suara dari tempat parkirnya, melewati pilar-pilar beton, menaiki tanjakan, dan keluar ke jalanan kota yang sepi.
Ia telah membuat keputusan. Keputusan yang ia tahu akan ia sesali, tetapi tidak punya pilihan lain selain mengambilnya. Ia tidak akan mengantar gadis itu pulang dan akan ia bawa ke rumahnya. Dan besok, ia akan memastikan Dara Prameswari mengerti bahwa permainan apa pun yang sedang ia mainkan, sudah dimulai malam ini.
---TBC---
Mobil Adrian memasuki gerbang rumahnya yang tinggi dan otomatis. Gerbang itu menutup di belakangnya dengan bunyi mekanis yang sunyi. Ia mematikan mesin di carport yang luas. Keheningan total kini menggantikan deru mesin. Lampu sensor menyala, memandikan mobil hitam itu dalam cahaya putih yang dingin.Adrian tetap duduk di kursi pengemudi selama satu menit penuh, hanya mendengarkan napas Dara di belakang. Jantungnya berdebar, bukan karena ketakutan, melainkan karena antisipasi sebuah sensasi yang tidak ia rasakan sejak ia memenangkan beasiswa pertamanya ke London.Ia membuka pintu mobilnya. Bau dingin dan bersih udara malam menyambutnya, segera melawan bau parfum dan alkohol yang menyebar dari interior mobil. Ia berjalan mengitari mobil, membuka pintu kursi belakang, dan menatap Dara yang terlelap.Wajah Dara, tanpa riasan klub malam yang tebal, terlihat jauh lebih muda, nyaris seperti anak kecil. Kepalanya bersandar canggung di jendela, bibirnya sedikit terbuka. Adrian bisa saja meras
Malam baru saja melewati puncaknya. Adrian Mahesa melangkah keluar dari lobi hotel bintang lima dengan langkah yang sama presisi dan terukurnya seperti biasa. Udara malam yang lembap menyambutnya, membawa gema samar dari dentuman bass yang berasal dari sayap gedung yang lain dari sebuah klub malam yang bising dan, menurutnya, tidak berkelas.Ia melonggarkan dasinya sepersekian inci, satu-satunya tanda kelegaan setelah tiga jam rapat makan malam dengan seorang profesor tamu dari Universitas Heidelberg. Diskusi mereka tentang ekonomi makro Eropa sangat merangsang secara intelektual, tetapi interaksi sosial yang panjang selalu menguras energinya.Ia menuruni eskalator menuju parkiran basement yang lengang. Aroma beton lembap dan ban karet terasa menenangkan setelah aroma makanan mahal dan parfum di lantai atas. Baginya, ini adalah transisi kembali ke dunianya yang sunyi, teratur, dan dapat diprediksi. Klub malam dengan musiknya yang menghentak itu adalah anomali, polusi suara di dalam du
Keheningan yang ditinggalkan oleh Dr. Adrian Mahesa terasa lebih bising daripada teriakan apa pun. Dara dan Riana duduk membeku di bangku taman, tawa mereka yang tadinya renyah kini terasa seperti pecahan kaca di tenggorokan. Wajah Riana pucat, sementara Dara merasa seluruh darah di tubuhnya telah mengalir ke kaki, membuatnya berat dan dingin."Dia... dia denger nggak ya, Dar?" bisik Riana, suaranya gemetar.Dara tidak bisa menjawab. Ia tahu jawabannya. Tentu saja dia dengar. Cara Adrian berjalan melewatinya tanpa sedikit pun melirik, dengan aura yang seribu kali lebih dingin dari biasanya, adalah konfirmasi yang lebih dari cukup. Ia terlihat tidak marah dan tidak tersinggung. Ia jauh di atas itu semua. Ia hanya menghapus eksistensi Dara dari radarnya. Bagi seorang mahasiswa yang kelangsungan hidup akademisnya bergantung pada satu orang, itu adalah hukuman mati."Mampus gue, Ri. Mampus," desis Dara, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Selesai sudah riwayat skripsi gue. Bisa-bisa g
Koridor Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) jam tiga sore itu ramai banget. Aroma kertas dari ruang fotokopi berpadu dengan wangi parfum mahasiswa yang lalu-lalang, ditambah desing samar pendingin ruangan yang bekerja keras. Tapi, di ujung lorong lantai tiga, di depan pintu kayu solid dengan papan nama dari kuningan bertuliskan Dr. Adrian Mahesa, S.E., M.B.A., udaranya terasa dingin dan tipis. Kayak ada aura menekan, membuat bahu terasa berat dan napas jadi sesak.Dara Prameswari merasakan tekanan itu di setiap tarikan napasnya. Sambil memeluk map berisi draf Bab 1 dan 2 skripsinya, ia bersandar di dinding, menunggu pintu itu terbuka. Sudah lima belas menit ia di sana. Bukan karena Dr. Adrian telat, tapi karena Dara sengaja datang duluan biar mentalnya siap. Menghadapi Dr. Adrian Mahesa dalam sesi bimbingan itu ujian yang lebih berat daripada semua ujian akhir semester digabung jadi satu.Dosen muda itu sudah jadi legenda kampus. Bukan cuma karena prestasi internasionalnya yang sering d