Share

Bab 3 Dibawa pulang

Penulis: Penulis Hoki
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-28 00:30:45

Malam baru saja melewati puncaknya. Adrian Mahesa melangkah keluar dari lobi hotel bintang lima dengan langkah yang sama presisi dan terukurnya seperti biasa. Udara malam yang lembap menyambutnya, membawa gema samar dari dentuman bass yang berasal dari sayap gedung yang lain dari sebuah klub malam yang bising dan, menurutnya, tidak berkelas.

Ia melonggarkan dasinya sepersekian inci, satu-satunya tanda kelegaan setelah tiga jam rapat makan malam dengan seorang profesor tamu dari Universitas Heidelberg. Diskusi mereka tentang ekonomi makro Eropa sangat merangsang secara intelektual, tetapi interaksi sosial yang panjang selalu menguras energinya.

Ia menuruni eskalator menuju parkiran basement yang lengang. Aroma beton lembap dan ban karet terasa menenangkan setelah aroma makanan mahal dan parfum di lantai atas. Baginya, ini adalah transisi kembali ke dunianya yang sunyi, teratur, dan dapat diprediksi. Klub malam dengan musiknya yang menghentak itu adalah anomali, polusi suara di dalam dunianya yang hening. Ia mengabaikannya, sama seperti ia mengabaikan sebagian besar hal-hal tidak penting dalam hidup.

Mobilnya, sebuah sedan Mercedes hitam, terparkir rapi di sudut. Bersih, mengkilap, dan tanpa cacat. Interiornya beraroma kulit mahal dan pengharum mobil beraroma pinus yang samar. Ini adalah bentengnya, ruang pribadinya yang steril. Ia masuk, meletakkan jasnya di kursi penumpang depan dengan rapi, dan menyalakan mesin. Deruman halusnya adalah musik yang jauh lebih ia sukai.

Ia tidak langsung menjalankan mobilnya. Ia bersandar sejenak, memejamkan mata, membiarkan pendingin ruangan membasuh sisa-sisa kelelahannya. Sesuai kebiasaan, ia meraih ponselnya untuk memeriksa apakah ada email atau pesan penting yang masuk selama rapat tadi. Beberapa notifikasi dari jurnal akademik, satu pesan dari adiknya, dan... satu email yang membuatnya sedikit mengerutkan dahi.

Dari: Dara Prameswari dara.prameswari@student.univ-ekonomi.ac.id

Waktu: 00:12

Alis Adrian terangkat. Pukul dua belas malam lewat. Sebuah dedikasi yang mengagumkan, atau sebuah kepanikan yang luar biasa? Ia masih ingat dengan jelas wajah pucat gadis itu sore tadi. Ia juga masih ingat dengan sangat jelas kalimat yang didengarnya di taman. “Ganteng tapi gay, percuma!”

Sebuah dengusan nyaris tak terdengar keluar dari bibirnya. Ia tidak tersinggung. Rumor itu sudah mengikutinya sejak ia kembali ke Indonesia dan menolak semua perjodohan yang diatur keluarganya. Ia hanya merasa sedikit terganggu. Terganggu oleh simplifikasi yang begitu dangkal dari mahasiswa yang bimbingannya ia pegang.

Didorong oleh rasa penasaran akademis yang dingin, ia membuka email itu. Badan email kosong, hanya ada subjek dan lampiran. Tiga file JPEG. Bukan Word atau P*F. Lampu merah pertama menyala di otaknya yang analitis. Aneh. Mungkin hasil scan dari catatan tangan? Tidak, itu tidak efisien.

Jarinya mengetuk file pertama. IMG_7341.JPEG.

Butuh beberapa detik untuk gambar itu terunduh dan terbuka di layar ponselnya yang beresolusi tinggi. Dan selama beberapa detik itu, dunia Adrian Mahesa yang teratur, logis, dan terkendali berhenti berputar.

Itu bukan revisi, bukan grafik, bukan tabel juga bukan kutipan teori.

Itu Dara.

Dalam format hitam-putih yang artistik, punggungnya yang telanjang dan mulus mendominasi gambar. Ia menoleh sedikit, tatapannya tajam, langsung menembus layar dan menusuk Adrian. Itu bukan tatapan takut atau memohon seperti yang ia lihat di ruangannya tadi sore. Itu adalah tatapan seorang wanita yang memegang kendali penuh.

Napas Adrian tercekat di tenggorokannya. Otaknya yang biasa bekerja secepat superkomputer kini terasa macet. Ia segera menutup gambar itu, jantungnya berdebar dengan ritme yang asing. Ini pasti sebuah kesalahan. Ia salah lihat. Atau Dara salah kirim. Tentu saja, itu yang paling logis.

Tapi rasa penasaran yang morbid, yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, mengambil alih. Tangannya, seolah memiliki pikiran sendiri, mengetuk file kedua. IMG_7345.JPEG.

Kali ini gambar berwarna. Dara berbaring di atas seprai, rambutnya yang hitam legam kontras dengan kain putih, tubuhnya yang melengkung indah hanya tertutup sebagian oleh bayangan dan helaian rambut. Ekspresinya sensual dan mengundang.

Adrian merasa darahnya berdesir. Ia segera membuka file ketiga. IMG_7349.JPEG. Di sini, Dara berdiri di depan cermin, mengenakan kemejanya sendiri atau kemeja pria yang kebesaran yang tidak dikancingkan sama sekali. Dan ia tersenyum. Senyum penuh kemenangan dan rahasia.

Adrian membanting ponselnya ke kursi penumpang di sebelahnya seolah benda itu baru saja menyetrumnya. Ia mencengkeram kemudi dengan kedua tangan, buku-buku jarinya memutih. Napasnya berat. Pikirannya berpacu, mencoba memproses data yang tidak masuk akal ini.

Analisis. Ia harus menganalisis dengan cepat.

Satu, Waktu pengiriman pukul 00:12. Kemungkinan besar subjek sedang berada di bawah pengaruh alkohol. Logis, mengingat ini malam Sabtu.

Dua, Pengirimnya adalah mahasiswi yang sama yang sore tadi merasa terintimidasi olehnya, dan kemudian mengejeknya di belakang punggungnya.

Tiga, Konten email ini bisa dianggap sebagai pelecehan, atau sebuah undangan, atau sebuah kesalahan fatal yang akan menghancurkan karir mahasiswi itu sendiri.

Apa motifnya? Balas dendam karena bimbingan yang keras? Upaya nekat untuk merayunya? Atau murni sebuah kecelakaan mabuk yang memalukan?

Insting pertamanya, insting yang telah melindunginya selama bertahun-tahun, berteriak “Hapus!” Lupakan. Anggap tidak pernah terjadi. Ia akan menghadapi Dara di sesi bimbingan berikutnya seolah tidak ada apa-apa, mungkin dengan sikap yang lebih dingin, untuk mengirim pesan bahwa apa pun permainannya, Adrian tidak tertarik. Ini adalah sebuah masalah, sebuah komplikasi, sebuah noda dalam sistemnya yang sempurna. Dan cara terbaik menangani noda adalah dengan menghilangkannya secepat mungkin.

Ia meraih kembali ponselnya. Jarinya sudah melayang di atas ikon tempat sampah. Hanya satu tekanan, dan bukti digital ini akan lenyap. Masalah akan selesai.

KLIK.

Suara pintu mobil di belakangnya yang terbuka membuatnya tersentak kaget.

Adrian refleks menoleh ke belakang, matanya memicing. Dalam sepersekian detik, sebuah tubuh ramping terhuyung-huyung masuk ke kursi belakang mobilnya, membawa serta aroma tajam alkohol, parfum buah, dan sebuah masalah.

Itu Dara.

Rambutnya sedikit berantakan, riasan matanya sedikit luntur, dan gaun sexy yang ia kenakan sedikit kusut. Ia terkikik sendiri saat berhasil mendaratkan tubuhnya di atas jok kulit yang mahal.

"Masuk... hehe... akhirnya," gumamnya, suaranya cadel dan tidak jelas.

Adrian membeku, benar-benar tidak bisa berkata-kata. Ini adalah situasi yang tidak pernah ada dalam skenario terburuk sekalipun di dalam kepalanya.

Sebelum Adrian bisa memproses atau mengucapkan sepatah kata pun, pintu yang tadi terbuka diketuk dari luar. Wajah Riana muncul di jendela, sama merah dan sama mabuknya.

"Udah masuk, Dar? Bagusss!" seru Riana, menempelkan wajahnya ke kaca. Ia jelas tidak bisa melihat dengan benar siapa yang ada di kursi pengemudi dalam kegelapan parkiran. Ia hanya melihat siluet. "Pak Sopir, langsung jalan, ya! Anterin temen saya ke Kos-kosan Cempaka Indah! Yang di Jalan Merpati! Udah saya kasih bintang lima nanti, Pak!"

Riana menepuk atap mobil Adrian beberapa kali seolah itu adalah atap taksi, lalu berbalik dan berjalan terhuyung-huyung, menghilang di antara pilar-pilar beton parkiran.

Keheningan total menyelimuti mobil. Hanya ada suara napas Dara yang kini mulai teratur di kursi belakang, dan deru mesin mobil Adrian yang halus.

Adrian perlahan mengangkat matanya untuk melihat ke cermin spion tengah. Di sana, Dara Prameswari, mahasiswi bimbingannya, telah menyandarkan kepalanya ke jendela, matanya terpejam. Ia sudah tertidur, atau pingsan karena mabuk.

“Heh, keluar!” bentak Adrian.

Dara sempat membuka matanya lalu melihat ke depan, Adrian menoleh ke belakang dan mata mereka kini bertemu.

“Hah? Ada Pak Dosen gay... heheh...” Dar terkekeh seolah tak terjadi apa – apa.

“Keluar!” ucap Adrian sekali lagi.

“Keluar, Pak? Memang... kapan bapak masukin?”

Adrian menarik nafas dalam – dalam, berusaha menahan emosinya.

“Pak... kok Bapak ada disini? Pasti ngikutin aku ya? Ahh... tapi nggak mungkin, bapak kan lebih suka main pedang – pedangan dari pada makan aku.” Lanjut Dar terbata – bata, setelah itu ia pingsan dan tidak bergerak lagi.

Adrian kini menatap lurus ke depan, ke dinding beton parkiran yang dingin. Udara di dalam mobilnya yang tadinya bersih dan steril kini terasa terkontaminasi oleh aroma parfum Dara. Dunianya yang teratur telah dihancurkan. Dinding yang ia bangun begitu tinggi telah ditembus, bukan dengan paksa, tapi dengan sebuah kecerobohan mabuk yang absurd.

Tangannya yang tadi gemetar kini menjadi stabil dan juga dingin. Ia meletakkan ponselnya di konsol tengah, layarnya menghadap ke bawah. Ia tidak bisa menghapus masalah ini lagi. Masalah ini sekarang sedang tertidur di kursi belakangnya.

Dengan gerakan yang tenang dan terkendali, ia memasukkan persneling. Mobil itu meluncur tanpa suara dari tempat parkirnya, melewati pilar-pilar beton, menaiki tanjakan, dan keluar ke jalanan kota yang sepi.

Ia telah membuat keputusan. Keputusan yang ia tahu akan ia sesali, tetapi tidak punya pilihan lain selain mengambilnya. Ia tidak akan mengantar gadis itu pulang dan akan ia bawa ke rumahnya. Dan besok, ia akan memastikan Dara Prameswari mengerti bahwa permainan apa pun yang sedang ia mainkan, sudah dimulai malam ini.

---TBC---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 49 Pertemuan kedua

    Adrian mendengus, sudut bibirnya terangkat sedikit. Senyum miring yang biasa ia tunjukkan sebelum menerkam mangsanya. Ia melangkah mendekat, mengikis jarak di antara mereka hingga Dara bisa mencium aroma yang kini begitu akrab di indra penciumannya. Aroma yang sama yang melekat di bantalnya setiap pagi."Jangan konyol," kata Adrian. Tangannya terulur, jari-jarinya yang panjang menyentuh rahang Dara, mendongakkan wajah gadis itu. "Kamu terlihat terlalu rapi."Dara menahan napas saat ibu jari Adrian mengusap kulit lehernya yang sensitif. Ia tahu sentuhan ini. Ia tahu ke mana arahnya. "Jadi? Anda mau saya berantakin rambut?""Kurang," bisik Adrian. Tatapannya turun ke perpotongan leher dan bahu Dara. "Kita perlu memastikan ibuku tahu bahwa anaknya yang dingin ini berfungsi dengan sangat baik. Bahwa kita tidak hanya berpegangan tangan di taman."Dara mengerti seketika. Wajahnya memanas."Kenapa? Keberatan?" tantang Adrian, alisnya terangkat. "Kita suda

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 48 Tanda yang asli

    Adrian menepati janjinya, meski dengan wajah yang seakan-akan baru saja menelan lemon utuh.Satu jam kemudian, sebuah taksi berhenti di depan gerbang besi raksasa kediaman Mahesa. Dari jendela lantai dua, Dara melihat Riana turun dengan mulut menganga. Temannya itu berputar-putar, menatap pilar-pilar marmer dan taman yang luasnya seperti alun-alun kota, sebelum akhirnya terlihat ragu untuk menekan bel."Dia terlihat seperti turis yang tersesat," komentar Adrian yang berdiri di samping Dara. Tangannya bersedekap, tatapannya menilai. "Temanmu itu berisik?""Dia ceria," koreksi Dara. "Sesuatu yang rumah ini sangat butuhkan.""Hmph. Ingat aturannya. Ponsel disita. Tidak ada foto. Tidak ada update status 'Sedang di rumah Dosen Killer'. Dan dia tidur di kamar tamu sayap barat. Jauh dari kamar kita.""Kamar kita?" Dara menaikkan alis.Adrian mendengus. "Kamar utama. Jangan besar kepala."Ketika Riana akhirnya masuk, dikawal oleh seorang pelayan yang terlihat lebih rapi daripada Riana saat wi

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 47 Sepakat

    Klik.Adrian menutup teleponnya. Di seberang meja, Dara menatapnya. Ia bisa melihat dengan jelas urat di leher Adrian yang menegang. Pria yang baru saja memenangkan negosiasi dan mempromosikannya menjadi Nyonya Muda, kini terlihat... panik."Nyonya Muda," ulang Adrian pelan, suaranya terdengar hampa. Ia menoleh ke Dara, dan Dara tidak melihat sang Dosen Es, sang predator, atau sang kekasih yang menuntut. Ia melihat seorang pria yang baru saja didorong ke tepi jurang."Anda terlihat... tidak senang," kata Dara hati-hati.Adrian tertawa. Tawa yang kering, pendek, dan sama sekali tidak lucu. "Tidak senang?" ulangnya. "Aku baru saja menyetujui sesuatu yang mustahil."Ia bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya yang luas. Gerakannya tidak lagi terkendali dan anggun. Gerakannya kaku dan penuh amarah."Kamu pikir pertunjukan di meja makan keluarga itu sulit?" tanyanya, lebih pada dirinya sendiri. "Itu hanya... hidangan pembuka. Itu mudah. Aku ada di sana. Aku bisa meng

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 46 Adrian curang

    Dara terbangun dengan perasaan paling aneh yang pernah ia rasakan.Tubuhnya sakit, lemas, dan terasa berat, tapi ia tidak kedinginan. Ia membuka matanya dan mendapati dirinya masih terjerat dalam pelukan Adrian. Pria itu tidur dengan lelap, tapi bahkan dalam tidurnya, lengannya melingkari pinggang Dara seperti sabuk pengaman, posesif dan tak terbantahkan.Semalam.Semua ingatan itu kembali menerjangnya. Sesuatu yang kacau, penuh gairah, dan dilakukan atas dasar... kesetaraan yang aneh?Ia menatap wajah pria yang tertidur di sampingnya. Garis rahangnya yang tegas tampak lebih rileks, bibirnya yang biasanya sinis kini terlihat lebih penuh.Dia menepati janjinya.Ia teringat Adrian berbisik, "Hanya kita." Dan untuk sisa malam itu, memang hanya mereka. Ia tidak menuntut atau menghukum. Mereka hanya... bercinta. Berkali kali. Hingga Dara kelelahan dan tertidur dalam pelukannya.Perlahan, sangat perlahan, Dara mencoba menggeser lengan Adrian. Ia harus bangun. Ia harus... memproses ini semua

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 45 Malam yang berbeda

    Garasi itu terasa sunyi dan dingin, tapi udara di antara Adrian dan Dara terasa panas membara. Ciuman itu bukan lagi sebuah serangan. Itu adalah sebuah ledakan.Adrian tidak sedang memainkan peran Dosen Es, Tuan yang Posesif, atau Peneliti yang Kejam. Ia hanyalah... Adrian. Dan ia baru saja melihat seorang wanita muda membungkam ibunya yang tiran dan menghancurkan rivalnya (Dr. Rina) hanya dengan beberapa kalimat cerdas.Dan itu, bagi seorang pria yang menghargai kecerdasan di atas segalanya, adalah afrodisiak terkuat di dunia.Bibirnya melumat bibir Dara, tidak lagi menghukum, tapi... mempelajari. Menuntut, ya, tapi juga bertanya. Tangannya yang satu masih di pintu mobil, sementara tangan yang lain menangkup rahang Dara, ibu jarinya mengelus pipinya dengan gerakan yang nyaris lembut.Dara seharusnya mendorongnya. Ia seharusnya menamparnya. Ia seharusnya menagih janjinya soal kebebasan.Tapi tidak.Ia terhanyut. Ia baru saja selamat dari sarang naga. Adrenalin masih membanjiri tubuhn

  • Bimbingan Terlarang Dosen Gay   Bab 44 Serangan kedua

    Kedipan mata Dara yang cepat dan penuh makna itu adalah sebuah bom kecil yang meledak di tengah keheningan meja makan.Adrian membeku. Ia menatap Dara. Gadis ini, yang beberapa minggu lalu meringkuk ketakutan di bawah kungkungannya, baru saja menyelamatkannya dari ibunya sendiri. Ia tidak hanya memainkan perannya tapi ia baru saja mengambil alih seluruh naskah, menulis ulang dialognya, dan mengarahkan adegan itu dengan sempurna.Ibu Mahesa, yang jelas-jelas kalah telak, berdeham. "Anak muda jaman sekarang," katanya, suaranya kaku. "Selalu penuh... kejutan." Ia memberi isyarat pada pelayan. "Hidangan utama."Suasana kembali cair, tapi semuanya telah berubah. Para paman dan bibi mulai berbisik di antara mereka, tatapan mereka pada Dara kini bukan lagi sekadar ingin tahu, tapi dipenuhi rasa hormat yang enggan. Dr. Rina tampak seperti akan sakit, ia meletakkan serbetnya dan menolak hidangan utama. Reza, yang terlalu mabuk untuk mengerti nuansa yang baru saja terjadi, hanya bersulang sendi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status