"Maaf, Tuan. Ini pakaian Anda yang sudah selesai di laundry," ucap seorang gadis muda sambil menyerahkan beberapa pakaian kepada Gallen. "Kenapa kamu yang antar? Ibu kamu mana?" tanya Gallen, heran. "Ibu sedang sibuk, jadi aku yang mengantarkannya," jawab gadis itu sopan. "Terima kasih," balas Gallen. Gadis bernama Starla itu, berbalik dan berjalan pergi. Namun, baru beberapa langkah, Gallen memanggilnya. "Ada apa, Tuan? Apa ada masalah dengan pakaiannya?" tanya Starla, khawatir jika laundry-nya kurang bersih. "Bukan. Ini..." Gallen mengulurkan selembar uang seratus ribu. "Tidak, Tuan. Aku tidak bisa menerimanya," Starla menolak sopan. "Ambil saja. Ini untuk jajan," paksa Gallen. Setelah ragu sejenak, Starla akhirnya menerimanya sambil mengucapkan terima kasih sebelum pergi. Sementara itu... Titan berdiri di depan unit apartemen yang salah. Seharusnya ia menuju unit 301, tapi malah berhenti di depan 311. Untungnya, penghuni unit itu tidak mengenalinya k
"Apa kamu yakin akan menjadikan Rigel Adrian cameo?" tanya Gallen lewat sambungan telepon. Suaranya terdengar ragu setelah Orion mengabarkan rencananya. "Yakin," jawab Orion mantap, tanpa sedikit pun keraguan dari suaranya. "Tapi kamu tahu sendiri, kan..." "Aku tahu," potong Orion cepat, tak memberi Gallen kesempatan menyelesaikan kalimat. "Bagaimanapun, sekarang Titan bukan pemeran utama di filmku. Dia harus menerima keputusan apapun yang kubuat," lanjut Orion dengan nada tegas. Gallen menghela napas panjang. "Yah, itu terserah padamu. Hanya saja..." "Kamu mengkhawatirkan Titan," tebak Orion, tajam seperti biasa. Gallen terdiam. Tebakan Orion membuatnya tak bisa mengelak. "Apa kamu menyukai Titan?" tanya Orion tiba-tiba, membuat Gallen terhenyak. "Hah? Ngaco kamu," kilah Gallen gugup. "Kamu memang menyukainya. Jujur saja pada dirimu sendiri." Gallen memutuskan sepihak sambungan teleponnya, membuat Orion kesal. "Suka, bukan suka... Aku hanya peduli. Aku tid
"Jadi ini, tugas yang kamu berikan?" Titan melirik Gallen. Keduanya duduk berseberangan. Gallen meminta Titan menemaninya makan. "Sepertinya, kamu berpikir lain." "Cih!. Aku hanya khawatir, karena kamu tidak bisa di tebak." Pria gagah itu menyeringai, "Masih ada lagi, kamu tunggu saja." Ponsel Gallen bergetar, diabaikan begitu saja olehnya. Pria itu merasa terganggu saat orang yang menghubunginya tak mau berhenti. Gallen mengangkat panggilan tersebut. "Halo," sapanya malas. "Gal, kamu di mana? Ayo kita ketemu," Suara diseberang sana terdengar manja. "Maaf, tidak bisa. Aku sibuk," Gallen langsung memutus panggilan tersebut. Menonaktifkan ponselnya. Titan melirik Gallen sekilas, wajah pria itu sangat masam. Suara wanita yang menghubunginya, apa itu kekasihnya? Tapi, kenapa dia kesal. Saat Titan tengah menikmati makanannya sambil sesekali melempar pandang pada Gallen, suara berat memanggil namanya dari belakang. "Titan!" Titan seketika kaku. "Suara ini?" Suara yang
Saat berjalan menuju apartemennya, Gallen merasa ada seseorang yang membuntutinya. Setiap langkah kakinya di lorong sempit itu terasa berat, seolah udara mendadak mengental. Ketika keluar dari lift dan menyusuri koridor, naluri tajamnya semakin menjerit. Dari sudut mata, Gallen menangkap bayangan. Siluet seorang wanita, tinggi, ramping, mengikutinya dengan gerakan senyap. Gallen memperlambat langkahnya. Beberapa meter lagi menuju unit apartemennya, ia berhenti mendadak. "Ada apa? Kenapa berhenti?" tanya Titan yang berjalan di belakangnya. "Aku punya tugas lain yang harus kamu lakukan. Kamu cukup diam dan menikmati," ujar Gallen, suaranya rendah dan penuh misteri. "Apa?" Titan mengerutkan dahi, wajah polosnya bingung. Tanpa memperingatkan, Gallen melepas masker yang dipakai Titan. Mata mereka bertaut. Titan belum sempat bereaksi, saat Gallen meraih dagunya, mendekatkan wajah, lalu — cup — bibir mereka bertemu dalam ciuman singkat namun menghentak. Titan terkejut. Matanya
Ayah, aku ingin pertunanganku dengan Gallen dipercepat," pinta Adhara, matanya berkilat penuh tekad. Dia adalah gadis yang sejak kecil sudah dijodohkan dengan Gallen. Keluarga mereka bersahabat erat, dan untuk mempererat hubungan itu, Kakek Gallen serta Kakek Adhara sepakat menjodohkan cucu-cucu mereka. Meskipun Kakek Adhara telah tiada, janji itu tetap dijaga. "Memangnya kenapa?" tanya Aries Bagaskara, sang ayah, mengangkat alis curiga. "Lebih cepat bukannya lebih baik? Aku takut Gallen digoda lalat-lalat kotor di luar sana," jawab Adhara sengit. Aries menghela napas, "Gallen bukan tipe pria yang mudah tergoda." Adhara mengepalkan tangannya erat. "Ayah tidak tahu apa yang baru saja kulihat!" batinnya geram. Bayangan Gallen bercumbu dengan wanita lain masih menghantui pikirannya. "Ayolah, Ayah," Adhara memohon. Selama ini apapun yang ia minta selalu dipenuhi. "Baiklah, Ayah akan bicara dengan Kakek Pratama." Adhara tersenyum, sebelum pergi ia memberikan kecupan singkat di
Titan kembali ke ruangannya, memperbaiki riasan. Gadis itu, menatap cermin di depannya. Senyumnya sempurna, lipstik merah merona menghiasi bibirnya, namun matanya... tetap saja menyiratkan kegelisahan. Jemarinya mengepal erat di pangkuan. Di luar, para kru mulai sibuk menyiapkan adegan. Titan tahu, sebentar lagi ia harus satu frame dengan Rigel. Tak ada tempat untuk lari. Giselle mendekat, menyerahkan naskah. "Ini," ucapnya lirih. Gadis berkacamata mata itu berdiri di sebelah Titan, menunggu reaksi Bos-nya setelah membaca naskah. Ada kekhawatiran. Titan membaca sekilas. Matanya terhenti di bagian naskah yang mempertemukan karakternya dengan karakter Rigel, sebuah adegan intens, penuh emosi. Titan menarik napas panjang. "Tidak apa-apa, Giselle. Ini cuma pekerjaan," katanya sambil memasang senyum paksa. Semua ini karena sutradara Orion. Sepertinya, pria itu sengaja mengundang Rigel menjadi cameo, tapi, entah apa tujuannya, hanya Orion yang tahu. Dalam hati, Titan tahu, ini be
Pagi itu, Titan duduk di ruang makeup, memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Trending topic di sosial media dipenuhi namanya, lagi. Kenapa hidupnya tak bisa tenang. #TitanRigelReuni #TitanComeback #CintaLamaBersemi Tangannya bergetar. Ini tidak seharusnya terjadi lagi. Bukan cinta. Bukan reuni. Ini luka. Giselle mendekat, meletakkan segelas kopi di meja tanpa banyak bicara. Ia tahu, apapun yang dikatakannya tak akan meredakan amarah Titan saat ini. "Aku harus bicara dengan Orion," gumam Titan lirih, suaranya menahan emosi. Titan beranjak. Galaksi yang baru saja datang menghalangi, "Tunggu, Dewi Titan!" Titan kembali duduk. "Kamu, sudah lihat beritanya, kan?" Galaksi mengangguk pelan sambil berjalan menghampiri. "Jangan terpengaruh dengan berita itu. Saatnya kamu membuktikan kepada mereka, siapa Dewi Titan," Tatapan Galaksi menguatkan artis berusia 25 tahun itu. Galaksi benar. Kalau ia terpengaruh dengan berita receh ini, tandanya ia belum siap bangk
"Gal, terima kasih," Titan memeluk Galaksi yang baru saja datang. "Terima kasih untuk apa?" tanya Galaksi bingung. Titan mengurai pelukannya. "Lihat, namaku sudah hilang di pencarian teratas, pasti kamu yang melakukannya," Gadis itu memperlihatkan ponselnya. Berita tentang dirinya dan Rigel, hilang begitu saja. Tanpa jejak. Tak lagi bisa di akses. "Tapi, Aku tidak-" "Sudahlah, aku akan bersiap-siap," Titan pergi dengan wajah ceria, senyumnya terus mengembang. Ia beruntung, Galaksi menjadi managernya. Sedangkan Galaksi, masih bingung, karena bukan dia yang melakukannya. Titan sibuk menghafal dialog. Hari ini syuting adegan penting bersama Rigel Adrian, satu ruangan, satu scene penuh, dan tidak ada jalan untuk menghindar. Saat Titan masuk ke studio, Rigel sudah menunggunya. Pria itu mengenakan kemeja putih kusut, seolah disengaja untuk memunculkan kesan 'bad boy' di depan kamera. "Selamat pagi, Dewi Titan," sapanya, nada suaranya sinis. Titan hanya mengangguk ding
Hashtag "#WeStandWithTitan" mulai ramai. Dukungan datang perlahan, netizen mulai melihat bahwa mungkin Titan hanya korban, Titan tak seburuk yang dibayangkan. Giselle menghampiri Bos-nya dengan mata berkaca-kaca. "Aku bangga, Lihat Mba..." Titan hanya tersenyum, lelah tapi hangat. "Kita belum selesai, Giselle. Tapi paling tidak, aku sudah bisa bernapas lega." Rasanya beban dipundaknya menghilang. Konferensi pers itu bukan hanya menghapus tuduhan, tapi juga membuka jalan baru. Dalam hitungan hari, nama Titan kembali muncul di berbagai media, bukan sebagai bahan gosip, tapi sebagai aktris yang bangkit dari keterpurukan. Produser film mulai menghubunginya lagi. Tawaran bermain di drama prime time datang silih berganti. Ada juga ajakan menjadi peserta reality show dan pemotretan untuk majalah fashion ternama. Titan kembali sibuk. Pagi, ia menghadiri meeting proyek film. Siang, fitting kostum untuk sesi pemotretan. Malamnya, gladi resik untuk reality show yang akan tayang pek
Hari konferensi pers pun tiba. Ruangan dipenuhi wartawan dari berbagai media, kamera-kamera sudah siaga mengarah ke satu kursi kosong di depan ruangan. Bisik-bisik memenuhi udara, sebagian mempertanyakan keberanian Titan, sebagian lain menunggu sensasi baru. Tak lama, Titan masuk. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana hitam, tanpa riasan berlebihan, penampilannya mencerminkan kesungguhan. Ia menunduk sopan sebelum duduk. Sesaat, ia mengatur napas, lalu memulai. "Terima kasih atas kedatangan teman-teman media hari ini," ucapnya tenang. "Saya tahu, mungkin tidak semua dari kalian percaya pada saya. Tapi hari ini, saya di sini bukan untuk mencari pembenaran, melainkan untuk menyampaikan kebenaran." Ruangan mendadak hening. "Selama ini saya diam. Ketika dikatakan menjalin hubungan settingan. Ketika dituduh menjadi selingkuhan, saya juga tetap diam. Tapi diam saya bukan berarti saya bersalah, saya hanya terlalu lelah untuk melawan." Napas Titan bergetar. Tapi, ia melanj
***** Rigel berdiri mematung di balkon. Tangannya menggenggam ponsel yang menampilkan artikel dengan headline yang tak asing. "Dewi Titan Kembali Tersandung Skandal Lama Bersama Rigel Adrian?" Matanya menyipit. Ia berbalik dan berjalan cepat ke dalam. "Mba Lyra!" Wanita itu muncul dari ruang kerja, seperti sudah tahu panggilan itu akan datang. Tenang. Seperti biasa. "Kamu yang melakukan ini?" "Kenapa nada bicaramu seolah terkejut? Sejak kapan kita pura-pura jadi orang baik?" "Kamu janji, Mba Lyra. Setelah Titan keluar dari manajemen, kamu bilang tidak akan ganggu dia lagi." "Kapan aku pernah menjanjikan itu," Lyra melangkah pergi. Rigel, menatap ponsel yang kini terasa lebih berat di tangannya. Titan... maaf. Sementara di tempat lain... Gallen dan Titan duduk bersimpuh di bawah, sedangkan Galaksi duduk di sofa. Mereka seperti tersangka yang sedang diinterogasi. "Ada apa ini Kak. Kenapa Dewi Titan ada di sini?" "Apa kalian punya hubungan?" "Apa kalian be
Nama Titan kembali jadi sorotan media, tapi bukan karena prestasi. Artikel demi artikel membongkar "skandal lama" yang dibumbui tuduhan baru. Di kolom komentar, netizen berdebat. Ada yang membela, tapi lebih banyak yang menghakimi. "Cara mudah mendongkrak popularitas, artis tak tahu diri!" "Lihat, artis gagal kembali membuat sensasi." "Boikot Dewi Titan." Giselle tak lepas dari layar ponselnya, memantau berita. Setiap melihat satu komentar pedas, ia ingin menjerit. Tapi Titan hanya diam. Tidak menangis. Tidak marah. Justru itu yang membuat Giselle takut. "Mba Titan, kita harus klarifikasi. Atau paling tidak, posting sesuatu..." Titan hanya menatap kosong layar ponselnya. Kata-kata cacian dan hinaan memenuhi pikirannya. "Kalau aku jelaskan pun... siapa yang akan percaya?" Titan duduk bersandar di jok mobil. Titan lelah, pikirannya bercabang, bukan masalah skandalnya, justru masalah pertunangan Gallen yang membuatnya resah. Titan tetap datang profesional. Tapi, suasana
Pengumuman resmi pertunangan Gallen dan Adhara menjadi headline di berbagai media. Foto elegan yang menampilkan keduanya dengan senyum bahagia tersebar luas, disertai pernyataan manis dari Gallen. "Aku percaya pada janji yang pernah diucapkan Kakekku, dan kini saatnya aku menepatinya." Di ruang rias sebuah studio syuting, Titan menatap layar ponselnya lama. Gambar pertunangan itu membuat dadanya terasa sesak. Ada bagian dalam dirinya yang mulai ia pahami, perasaan yang sejak lama diabaikannya. "Dia... bertunangan?" gumam Titan pelan, nyaris tak terdengar. Ada yang menusuk dihatinya, sakit, remuk perlahan kemudian hancur. Giselle masuk, membawa segelas kopi. Ia terdiam sejenak melihat ekspresi Titan. "Mba Titan... kamu kenapa?" Titan cepat-cepat menyimpan ponselnya dan berbalik menghadap cermin. "Tidak apa-apa," Titan mencoba tersenyum, meski tak sampai ke matanya. "Mba, ada berita heboh." Titan menunjukkan ponselnya pada Giselle, "Maksudmu, ini?" Giselle mengangguk
"Gal, terima kasih," Titan memeluk Galaksi yang baru saja datang. "Terima kasih untuk apa?" tanya Galaksi bingung. Titan mengurai pelukannya. "Lihat, namaku sudah hilang di pencarian teratas, pasti kamu yang melakukannya," Gadis itu memperlihatkan ponselnya. Berita tentang dirinya dan Rigel, hilang begitu saja. Tanpa jejak. Tak lagi bisa di akses. "Tapi, Aku tidak-" "Sudahlah, aku akan bersiap-siap," Titan pergi dengan wajah ceria, senyumnya terus mengembang. Ia beruntung, Galaksi menjadi managernya. Sedangkan Galaksi, masih bingung, karena bukan dia yang melakukannya. Titan sibuk menghafal dialog. Hari ini syuting adegan penting bersama Rigel Adrian, satu ruangan, satu scene penuh, dan tidak ada jalan untuk menghindar. Saat Titan masuk ke studio, Rigel sudah menunggunya. Pria itu mengenakan kemeja putih kusut, seolah disengaja untuk memunculkan kesan 'bad boy' di depan kamera. "Selamat pagi, Dewi Titan," sapanya, nada suaranya sinis. Titan hanya mengangguk ding
Pagi itu, Titan duduk di ruang makeup, memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong. Trending topic di sosial media dipenuhi namanya, lagi. Kenapa hidupnya tak bisa tenang. #TitanRigelReuni #TitanComeback #CintaLamaBersemi Tangannya bergetar. Ini tidak seharusnya terjadi lagi. Bukan cinta. Bukan reuni. Ini luka. Giselle mendekat, meletakkan segelas kopi di meja tanpa banyak bicara. Ia tahu, apapun yang dikatakannya tak akan meredakan amarah Titan saat ini. "Aku harus bicara dengan Orion," gumam Titan lirih, suaranya menahan emosi. Titan beranjak. Galaksi yang baru saja datang menghalangi, "Tunggu, Dewi Titan!" Titan kembali duduk. "Kamu, sudah lihat beritanya, kan?" Galaksi mengangguk pelan sambil berjalan menghampiri. "Jangan terpengaruh dengan berita itu. Saatnya kamu membuktikan kepada mereka, siapa Dewi Titan," Tatapan Galaksi menguatkan artis berusia 25 tahun itu. Galaksi benar. Kalau ia terpengaruh dengan berita receh ini, tandanya ia belum siap bangk
Titan kembali ke ruangannya, memperbaiki riasan. Gadis itu, menatap cermin di depannya. Senyumnya sempurna, lipstik merah merona menghiasi bibirnya, namun matanya... tetap saja menyiratkan kegelisahan. Jemarinya mengepal erat di pangkuan. Di luar, para kru mulai sibuk menyiapkan adegan. Titan tahu, sebentar lagi ia harus satu frame dengan Rigel. Tak ada tempat untuk lari. Giselle mendekat, menyerahkan naskah. "Ini," ucapnya lirih. Gadis berkacamata mata itu berdiri di sebelah Titan, menunggu reaksi Bos-nya setelah membaca naskah. Ada kekhawatiran. Titan membaca sekilas. Matanya terhenti di bagian naskah yang mempertemukan karakternya dengan karakter Rigel, sebuah adegan intens, penuh emosi. Titan menarik napas panjang. "Tidak apa-apa, Giselle. Ini cuma pekerjaan," katanya sambil memasang senyum paksa. Semua ini karena sutradara Orion. Sepertinya, pria itu sengaja mengundang Rigel menjadi cameo, tapi, entah apa tujuannya, hanya Orion yang tahu. Dalam hati, Titan tahu, ini be
Ayah, aku ingin pertunanganku dengan Gallen dipercepat," pinta Adhara, matanya berkilat penuh tekad. Dia adalah gadis yang sejak kecil sudah dijodohkan dengan Gallen. Keluarga mereka bersahabat erat, dan untuk mempererat hubungan itu, Kakek Gallen serta Kakek Adhara sepakat menjodohkan cucu-cucu mereka. Meskipun Kakek Adhara telah tiada, janji itu tetap dijaga. "Memangnya kenapa?" tanya Aries Bagaskara, sang ayah, mengangkat alis curiga. "Lebih cepat bukannya lebih baik? Aku takut Gallen digoda lalat-lalat kotor di luar sana," jawab Adhara sengit. Aries menghela napas, "Gallen bukan tipe pria yang mudah tergoda." Adhara mengepalkan tangannya erat. "Ayah tidak tahu apa yang baru saja kulihat!" batinnya geram. Bayangan Gallen bercumbu dengan wanita lain masih menghantui pikirannya. "Ayolah, Ayah," Adhara memohon. Selama ini apapun yang ia minta selalu dipenuhi. "Baiklah, Ayah akan bicara dengan Kakek Pratama." Adhara tersenyum, sebelum pergi ia memberikan kecupan singkat di