Share

10. Sorry

last update Last Updated: 2020-11-08 08:01:20
"Papa, Bi dapat peringkat dua di kelas." 

Gadis kecil berusia sembilan tahun berlari ke arah pria berusia tiga puluh delapan tahun yang tengah membaca koran di ruang tamu. Sang ayah yang dipanggilnya sama sekali tidak menghiraukan kehadiran gadis itu dan tetap pada kegiatannya membaca koran.

"Papa, lihat! Nilai Bi dapat sembilan semua." Gadis itu berseru lagi setelah dia berdiri tepat di depan sang ayah.

Lagi-lagi, sang ayah mengabaikan gadis kecil itu. Setitik air mata jatuh dari sudut mata gadis itu, namun segera diusapnya dan bibir mungilnya tetap menyunggingkan senyum lebar.

"Papa, Bi juga dapat hadiah dari Ibu guru. Papa mau lihat?" Gadis itu mengambil sebuah bingkisan dari tas biru muda nya. Tangan mungilnya sibuk membuka kertas yang membungkus bingkisan berbentuk kotak itu.

"Pa, Andro pulang."

Gadis itu menoleh, bersamaan dengan sang ayah yang bangkit dari duduknya dan menghampiri seorang anak laki-laki berusia tiga belas tahun yang baru masuk ke rumah itu dengan seragam putih biru.

"Kak Andro, Bi dapat peringkat dua. Bi juga dapat hadiah dari Bu Guru." Gadis kecil itu ikut menghampiri kakaknya. Sama seperti tanggapan sang ayah, anak laki-laki itu sama sekali tidak menghiraukan perkataan gadis itu.

"Gimana nilai kamu, Andro?" tanya sang ayah sambil mengusap kepala anak laki-laki itu.

Gadis kecil itu meremas pelan bingkisan yang dipegangnya. Ada rasa nyeri dan perih yang menyerang ulu hatinya, tapi gadis itu tidak tahu apa penyebabnya.

"Nilai Andro turun, Pa. Gara-gara sakit typus kemaren." Anak laki-laki itu menjawab dengan nada kecewa.

Sang ayah tersenyum hangat dan kembali mengusap kepala anak laki-laki itu. "Tidak apa-apa. Besok ke depannya kamu harus belajar lebih rajin lagi. Besok kamu sudah mulai libur kan? Ayo kita berdua liburan ke puncak. Kamu mau kan, Andro?"

Kertas pembungkus bingkisan itu telah basah oleh air mata gadis kecil yang bahkan sadar telah menangis. Hatinya mulai ragu bahwa sikap buruk ayah dan kakak laki-lakinya padanya bukan disebabkan oleh dia yang terlalu nakal. Tapi ada alasan lain.

#

Gadis kecil itu memeluk lutut di balik pintu, mendengarkan pembicaraan dua orang dewasa yang terhalang pintu dengannya.

"Mbak Bi minta ulang tahunnya dirayakan, Pak"

"Buat apa? Tidak ada gunanya!"

"Mbak Bi hanya ingin teman-temannya datang ke acara ulang tahunnya. Mbak Bi ingin seperti Mas Andro."

"Sudahlah, Bu Rini. Saya tidak mau membicarakan hal tentang anak itu. Saya sudah mencukupi semua kebutuhan dia, jadi tolong bilang sama dia untuk tidak meminta hal yang tidak-tidak." Hening sejenak. "Saya bisa saja membuang dia dari rumah ini, tapi saya tidak melakukannya karena saya masih punya rasa kemanusiaan. Kalau mau menuruti hati saya, sudah sejak lama saya ingin membawa dia ke panti asuhan saja. Bu Rini dan Pak Udin tahu sendiri kalau saya sangat membenci anak itu. Jadi tolong bilang sama dia untuk menjaga sikapnya."

"Tapi Mbak Bi adalah putri kandung Bapak."

"Tapi saya tidak pernah menginginkan anak itu. Dialah penyebab istri saya meninggal. Kalau istri saya menurut untuk menggugurkan anak itu, istri saya pasti masih hidup sekarang. Dia penyebab malapetaka dalam hidup saya. Dia juga yang telah membuat Andro tidak punya mama lagi. Hidup saya berubah karena dia. Karena anak itu!"

Hari itu aku baru memahami bahwa Papa dan Kak Andro membenciku. Bukan hanya membenci, tapi sangat sangat benci dan sangat tidak mengharapkan kehadiranku di dunia ini. Dulu kupikir mereka bersikap seperti itu karena aku terlalu nakal dan manja, sehingga aku berusaha bersikap baik, penurut dan tidak banyak meminta.

Lalu aku juga berpikir mereka seperti itu karena aku terlalu malas belajar dan tidak pernah jadi juara kelas, sehingga sejak kecil aku berusaha mati-matian untuk bisa berprestasi dan menjaga peringkat ku agar tetap berada di tiga besar. Tapi kenyataannya aku salah. Usahaku untuk menjadi anak baik dan berprestasi tidak berarti sama sekali bagi mereka. Itu hanya sia-sia karena bukan itu alasan mereka membenciku. 

Saat itu, aku memaksa Bu Rini menceritakan semuanya. Semuanya tentang Mama. Bu Rini bilang Mama terkena kanker rahim stadium lanjut dan baru mengetahuinya saat aku berumur dua bulan di kandungan Mama. Dokter menyarankan agar Mama menggugurkan kandungannya karena saat melahirkan nanti, nyawa mama taruhannya. Mama menolak, papa bersikeras membujuk mama menuruti saran dokter. Mama tidak mau mendengarkan siapapun dan tetap mempertahankan aku di rahimnya. Akhirnya saat kandungan Mama belum menginjak usia tujuh bulan, Mama melahirkan. Dan seperti dugaan dokter, Mama kalah dalam pertempuran antara hidup dan mati itu. Aku lahir prematur, Mama meninggalkan dunia untuk selamanya bahkan sebelum aku bisa melihat Mama.

Aku adalah penyebab malapetaka dalam hidup Papa. Aku adalah penyebab Kak Andro kehilangan Mama di usianya yang menginjak empat tahun. Aku adalah penyebab istri Papa meninggal. Kelahiranku adalah kesialan bagi mereka. Itu yang kutahu. Kenyataan itu kuketahui di malam ulang tahunku yang ke-tiga belas. Gadis berusia tiga belas tahun harus menelan mentah-mentah kenyataan pahit seperti itu. Gadis yang baru berusia tiga belas tahun yang belum mengerti apa arti kanker rahim, belum paham apa arti menggugurkan kandungan, belum tahu apa arti anak sial dan malapetaka, terpaksa harus memahami hal-hal seperti itu dalam hidupnya.

Bunyi getar singkat dari ponsel di saku rok membuyarkan lamunanku. Kuusap pipiku yang sudah basah oleh air mata yang mengalir tanpa mau dicegah. Kemudian tanganku merogoh saku rok untuk mengambil benda pipih persegi panjang berwarna silver itu. Aku menghela napas berat, masih pesan yang sama sejak pagi tadi. Sudah hampir sepuluh pesan dan tiga belas panggilan tak terjawab dari orang yang sama, yang ke semuanya sama sekali belum kubuka. Aku memejamkan mata sejenak, dan menekan tombol off pada layar ponsel. Aku sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk  berbalas pesan atau pun mengobrol lewat telepon sekarang. Jadi biarkan ponselku mati dulu.

Marah? Untuk apa aku marah pada Kak Viny? Kak Viny tidak salah apa-apa. Aku sama sekali tidak marah meskipun dia tidak sadar bahwa secara tidak sengaja semalam dia mengabaikanku. Secara tidak sengaja dia mengingkari janji untuk terus menganggap ku ada disaat Papa dan kKak Andro mengabaikanku. Kak Viny kehilangan ayah kandungnya saat berusia sepuluh tahun, dan aku paham betul kalau dia sangat merindukan sosok ayah. Karena itu aku bisa maklum saat semalam Kak Viny lupa akan kehadiranku saat bercengkrama manja dengan Papa. Aku sama sekali tidak marah padanya.

Hanya saja ... rasa sakit dan perih di ulu hatiku ini, aku tidak bisa menghilangkannya begitu saja. Rasa sakit itu terlalu besar untuk dihilangkan. Dadaku nyeri, hatiku teriris-iris, ulu hatiku perih, jantungku rasanya seperti tertusuk ribuan jarum. Semua rasa sakit itu yang membuat aku tidak bisa bersikap seperti biasa. Tapi sungguh, aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tetap bersikap biasa-biasa saja. Dan hasilnya aku hanya menanggapi apapun yang diucapkan Kak Viny sepanjang perjalanan ke sekolah, dengan anggukan dan gelengan kepala saja. Maaf kalau kak Viny sakit hati karena sikapku. Tapi kalau saja Kak Viny melihat bagaimana kondisi hatiku saat ini ....

"Ternyata lo di sini."

Aku menghapus air mata dengan cepat saat kudengar suara datar itu di dekatku. Kepalaku sontak menoleh ke sumber suara, dan aku cukup tertegun melihat siapa yang tengah berdiri di depan tempat dudukku. Angkasa tengah berdiri menatapku tajam dengan ponsel di genggaman tangan kanannya. Mau apa dia? Aku sedang tidak ingin ada gangguan saat ini. Sungguh.

"Kenapa lo nggak angkat telepon dari Viny?"

Aku memandang sekilas ke arahnya, sebelum mengalihkan pandangan keluar jendela perpustakaan. "Bukan urusan lo." 

"Kalau punya masalah dan nggak mau kasih tau siapa pun, seenggaknya jangan buat orang lain kerepotan sama masalah lo."

Aku tetap tidak bergeming dan masih memandang ke arah langit yang mulai mendung. Semendung hatiku saat ini.

"Lo nggak bales SMS Viny, nggak angkat telepon Viny, bikin Viny khawatir. Sampe Viny berkali-kali telepon Bisma sama gue cuma buat minta tolong nyari adiknya yang manja dan egois. Lo bisa mikir nggak sih gimana perasaan Viny sekarang? Sampai kapan lo mau egois, manja, kekanak-kanakan terus, hah?!"

"STOP!" Nafasku terengah-engah sehingga bahuku naik-turun menatap tajam ke arah Angkasa yang masih berdiri di tempatnya. Dia yang kini terdiam setelah aku melempar buku novel ke arahnya. "Berhenti, gue bilang. Jangan pernah mencampuri urusan gue!"

"Gue sahabat Viny."

"Ya. Gue tau banget lo sahabat Kak Viny. Lo peduli sama perasaan Kak Viny, gue tau. Tapi bukan berarti lo bisa ngajarin dan ngatain gue seenaknya, seolah-olah lo punya hak buat itu." Aku mengusap dengan kasar pipi yang sudah basah oleh air mata, lagi.

Aku capek. Sangat capek dipandang sebagai satu-satunya orang yang paling bersalah dalam hal apapun.

"Lo nggak tahu apa-apa soal hidup gue, tolong. Kalau peduli sama sahabat lo itu, ya tenangin dia sana. Jangan malah mengusik gue gini."

"Karena lo yang bertanggung jawab atas ketidaktenangan dia."

"Kalau lo nyalahin gue, terus gue harus nyalahin siapa atas ketidaktenangan yang bikin gue mau mati ini? Elo? Elo mau gue salahin? Hah?!" Aku bisa melihat dia membelalakkan mata. Tapi aku tidak peduli.

"Lo nggak berhak menghakimi gue. Ini hidup gue. Ini sifat gue. Nggak akan ngaruh sama hidup lo yang sempurna itu. Jadi tolong, jangan ngomong sama gue lagi. Jangan natap gue. Karena itu bisa bikin gue tambah iri sama kesempurnaan dan limpahan kasih sayang yang diterima Kak Viny, berbanding terbalik dengan gue yang nggak punya siapa-siapa. Lo nggak akan tahu rasanya jadi gue. Cukup pergi, dan abaikan gue."

Setelah itu, kubenamkan wajah di atas lipatan tangan. Terjadi keheningan yang panjang. Aku kembali menangis. Kali ini, tidak peduli akan keberadaannya di dekatku. Orang seperti dia tidak akan tahu rasanya saat tidak diharapkan oleh siapa pun. Dia tidak tahu rasanya merasa sendiri, dan tercekik kesepian.

"Sorry."

Aku yang baru bisa menghentikan tangis setelah beberapa puluh menit, tersentak karena ternyata dia masih di sini. Tapi mengangkat kepala dan menatapnya, terlalu berat untukku. Jadi yang kulakukan hanya diam, berusaha tidak menghiraukannya.

"Tapi gue nggak bisa menjauh dari lo. Viny dan Tante Mona udah mempercayakan lo ke gue. Gue nggak peduli sebenci apa lo karena keberadaan gue. Sulit bagi gue buat jauhin lo, seperti beberapa hari ini. Karena itu mulai sekarang, suka nggak suka, gue tetep akan ada di dekat lo."

Setelah itu aku mendengar langkahnya bergema di lantai perpustakaan yang sepi. Aku mengangkat kepala, memandangi punggungnya yang menjauh, lalu menghilang di antara deretan rak buku. Kuremas rambutku yang berantakan. Benar-benar tidak mengerti seperti apa seorang Angkasa itu.

***
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sendy Zulkarnain
kasian bintang yah hidup nya gitu amat.. angkasa juga sok tau.. n ga je.. sikapnya... sebel gw ma c angkasa.. gw curiga jadi curiga c vinny asli nya jahat ama bintang kaya nya heheh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bintang untuk Angkasa    50. Married

    "Kamu gugup, Dek?"Aku menoleh dan tersenyum kaku pada Kak Salma yang sedari tadi menemaniku di kamar. Kak Salma tersenyum, kemudian mengusap punggung tanganku untuk memberiku ketenangan. Di luar, acara akad nikah akan segera dimulai. Ya, ini sudah seminggu sejak kejutan ulang tahun itu, dan artinya sekarang adalah hari pernikahan kami."Kamu tahu, Dek? Kakak juga ngerasain gugup yang sama seolah ini adalah acara nikahannya adek kandung Kakak sendiri." Kak Salma kembali berbicara.Aku menatap wajah Kak Salma yang berkaca-kaca, "Kak Salma kangen sama Kak Sania?"Kak Salma tersenyum dan mengusap pipiku, "Tentu saja kangen. Tapi Kakak selalu punya obat buat ngobatin kangen Kakak itu. Dengan liat kamu."Kak Salma terkekeh pelan, "Kakak bener-bener bisa nemuin Sania pada diri kamu, Dek. Kalian itu bener-bener punya sifat yang mirip, dan itu bikin Kakak bahagia karena bisa melihat Sania lagi lewat kamu."Aku mengerutkan kening menatap Kak Salma. Apa

  • Bintang untuk Angkasa    49. Proposed

    Aku mengerjap-ngerjapkan mata, saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Sambil menggeliatkan tubuh pelan dan masih berusaha mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi, aku mendesah. Suara ketukan itu terdengar lagi, dan kini makin keras. Aku mendecakkan lidah pelan, benar-benar merasa kesal karena tidurku terganggu. Aku makin berdecak kesal saat mataku melirik ke arah jam weker berbentuk kepala Pororo yang menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit. Ketukan itu kembali terdengar seperti gedoran."Iya, bentar!" ucapku setengah berteriak, dengan suara serak khas bangun tidur. Tidak ada jawaban. Aku mengerucutkan bibir, mengucek mata sambil beringsut turun dari ranjang."Siapa sih bangunin orang malem-malem gini?" gerutuku sambil mengikat rambutku yang berantakan dengan ikatan cepol asal-asalan.Sejenak kemudian aku sudah membuka pintu kamar, dan keningku sontak berkerut saat tak menemukan siapa-siapa di depan pintu kamar."Siapa?" tan

  • Bintang untuk Angkasa    48. Today, Tomorrow and Forever

    Takdir. Satu kata yang sangat rumit untuk dipecahkan. Satu kata yang sering dikutuk dan dipersalahkan atas apa yang dialami makhluk bernama manusia. Satu kata penuh misteri yang tidak dapat diprediksi oleh ilmuwan terpintar sekali pun. Satu kata yang hanya menjadi rahasia-Nya dan tidak akan pernah bisa diganggu gugat oleh manusia. Tentang sebuah takdir. Tak ada yang bisa manusia tebak dari jalannya sebuah takdir. Entah itu untuk dua tahun kemudian, setahun kemudian, sebulan kemudian atau bahkan sedetik kemudian. Manusia tidak akan mampu memprediksi takdir apa yang akan terjadi padanya. Bahkan sesuatu paling nyata dan bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya, bisa saja berubah keadaan menjadi sebuah hal yang di luar nalar, jika Dia sudah berkehendak. Hanya Dia Yang Maha membolak-balikkan takdir, dan manusia harus bisa menerima semua yang telah tertulis dalam lauhful mahfudz-Nya.Itu pula yang kini dijalani seorang Angkasa Yudhistira, menerima dan menjalani dengan tega

  • Bintang untuk Angkasa    47. Sad Song

    Without you, I feel brokeLike I'm half of a wholeWithout you, I've got no hand to holdWithout you, I feel tornLike a sail in a stormWithout you, I'm just a sad songI'm just a sad song(Sad Song – We The Kings)"Kak Angkasa!"Angkasa mengerjap-ngerjapkan mata saat suara lembut itu menyapu telinganya. Sangat dekat. Dan terdengar nyata. Laki-laki itu membuka mata sedetik kemudian, dan ia tertegun melihat tempatnya berada sekarang. Atap aula sekolah."Bintang?" Angkasa berkata lirih, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Di depan sana, tepatnya di pagar pembatas atap, seorang gadis yang berdiri memunggunginya. Gadis itu memakai dress selutut berwarna putih tulang, dengan flatshoes yang juga berwarna putih terpasang di kaki jenjangnya. Rambut sepunggungnya yang tergerai indah, bergoyang-goyang tertiup angin yang berembus lembut. Di pergelangan tangan kirinya, Angkasa dapat melihat gelang pasangan yang selalu gadis

  • Bintang untuk Angkasa    46. In The First Sigh

    Sama seperti hari-hari sebelumnya, Angkasa duduk di samping bangkar dengan tatapan terpaku pada seorang gadis remaja yang terbaring lemah di atas bangkar. Ini kedua kalinya ia menyaksikan tubuh itu dipasangi banyak belalai yang terhubung pada sebuah monitor yang terus berbunyi, untuk mendeteksi bahwa masih ada kehidupan pada tubuh itu. Hati Angkasa terasa sakit, perih ulu hatinya. Jika saat ini gadis yang amat dicintainya itu tengah mengalami keadaan koma, maka Angkasa juga sama. Ia juga sedang koma, tapi hatinya bukan tubuhnya. Kenangan-kenangan itu kembali berputar di benaknya, mengulang kembali awal-awal perkenalannya dengan gadis itu, Bintang Aurora. Perlahan, Angkasa mulai bercerita ...."Ini perpus sekolah kita." Romi menunjuk ruangan di sebelah mereka dan ditanggapi Angkasa dengan anggukan kepala dua kali. "Emang sepi, sih. Dimana-mana yang namanya perpus kan cuma buat tempat nongkrong murid-murid cupu." Romi tertawa kecil. "Sayangnya di sekolah ini yang cupu cuma dikit

  • Bintang untuk Angkasa    45. Akan Tetap Bersinar

    Kirana Candrawati. Bagi seorang Danu Wijaya, nama itu adalah nama paling indah sejagad raya. Nama yang memiliki arti terpenting dalam hidupnya, yang mengajarkannya betapa hidup itu harus disyukuri. Nama yang sampai saat ini tetap menjadi penghuni ruang penting dalam hatinya. Hingga saat nama itu benar-benar hanya tinggal nama, dan ia tak bisa melihat lagi pemilik nama itu sendiri, pria itu merasa hancur. Hidupnya seolah ikut dibawa pergi oleh perempuan pemilik nama indah itu. Danu tidak punya tujuan hidup lagi, bahkan untuk sekedar memandang bayi mungil yang kelahirannya sekaligus merupakan kehancuran hidupnya, karena ibu dari bayi itu meninggalkannya dari dunia.Bayi mungil itu, yang orang bilang saat lahir sama sekali tidak berdosa, suci dan polos, telah merenggut nyawa Kirana, istri tercintanya. Sejak kelahiran bayi itu, sekaligus kematian Kirana, Danu benar-benar tidak bisa menjalani hidup dengan baik. Satu-satunya wajah yang sangat tidak ingin dia lihat adalah wajah b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status