Dikhianati tunangan dan sahabatnya, Lyra Sasmita berakhir melampiaskan luka dengan seorang pria asing yang terlalu tampan untuk diabaikan. Dia mengira itu hanya permainan satu malam yang bisa dilupakan—sampai mereka bertemu lagi dan mendapati ... pria itu ternyata Dastan Adiwangsa, paman tunangannya sendiri! "Lyra, kalau sudah seperti ini, bukankah kau harus bertanggung jawab atas diriku?" ***
View More"Ahh... Sayang, lebih cepat...."
Lyra baru saja memasuki kantor tunangannya untuk memberi kejutan ulang tahun, tetapi dirinya justru dikejutkan oleh suara desahan seorang wanita dari dalam ruangan. “Mmh… kamu nikmat sekali….” Kening Lyra berkerut rapat. Jantungnya berdegup kencang. Dia ingin mengelak dan menganggap dirinya salah dengar. Akan tetapi, suara itu terlalu jelas. Terlalu nyata. Dengan napas tertahan, Lyra melangkah mendekati pintu yang sedikit terbuka. Di saat yang bersamaan, suara tawa menggoda terdengar. “Menghabiskan waktu denganku di hari ulang tahunmu, apa kamu tidak takut Lyra akan marah?” “Hanya seorang wanita dari keluarga pebisnis yang sudah bangkrut, untuk apa aku takut padanya?” Mata Lyra membesar. Tidak salah lagi, itu suara Darren, tunangannya! Tangannya yang memegang kotak kue jadi gemetar, Lyra pun memberanikan diri untuk mengintip ke dalam. Seketika, dunia Lyra seakan runtuh. Di atas sofa besar dengan suasana berantakan, tubuh Darren yang setengah telanjang tampak sedang menindih seorang wanita. Wanita yang sangat dia kenal. Livia. Lyra membekap mulutnya. Syok! Sahabat baik yang selama ini dia anggap sebagai saudara, ternyata pengkhianat! “Kau tidak berniat pergi bersamanya?” tanya Livia, jemarinya menelusuri dada Darren dengan gerakan menggoda. “Dan meninggalkanmu? Yang benar saja.” Darren terkekeh rendah. Suara pria itu terdengar dipenuhi dengan penghinaan. “Kalau bukan karena Kakek yang menjadikan pernikahan dengannya sebagai syarat agar aku bisa menjadi pewaris, sudah lama aku membuang wanita rendahan itu!” “Tapi setelah menikah, kamu tetap akan menyentuhnya, ‘kan?” Livia bertanya dengan nada berpura-pura sedih, tangannya bergelayut manja di leher pria itu. “Aku cemburu….” Darren mengangkat dagu Livia, menatapnya penuh nafsu. “Jangan khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah menyentuhnya. Aku tidak sudi.” “Bagaimana kalau keluargamu menuntut keturunan dari kalian?” Sebuah seringai jahat menghiasi wajah Darren. “Tenang saja. Aku sudah merencanakan semuanya. Setelah menikah, aku akan membuat dirinya tidak bisa mengandung. Dan saat dokter menyatakan dia mandul, aku akan meminta izin kepada Kakek untuk menceraikannya… lalu menikahimu!” Napas Lyra tercekat. Jadi... sejak awal, Darren tidak pernah mencintainya? Pria itu hanya melihatnya sebagai alat. Sebagai pengorbanan demi ambisinya? Bahkan dia berniat menghancurkan Lyra sampai ke titik terendah, hanya agar bisa menikahi Livia? “Kau kejam sekali, Sayang!” Livia tersenyum puas. “Untukmu, aku bisa melakukan segalanya. Terlebih karena kenikmatan tubuhmu ini, tidak ada lawannya!” Usai mengatakan itu, Darren dengan rakus mencumbu bibir Livia. Keduanya bersikap layaknya binatang yang dipenuhi nafsu. Tak sadar sedikitpun jika ada seseorang yang menyaksikan kebejatan mereka. Di luar sana, perut Lyra bergejolak. Terasa mual. ‘Menjijikkan!’ Dia tak sanggup melihat lebih lama lagi. Lyra pun berbalik dan pergi meninggalkan tempat hina itu setelah membuang kuenya di tempat sampah. ** Di sebuah bar mewah, Lyra meneguk whiskey ketiganya. Cairan keras itu membakar tenggorokan, tapi tetap tak bisa menghapus rasa perih di dadanya. Lima tahun. Lima tahun dia menghabiskan waktunya untuk Darren. Lima tahun dia mempercayai Livia lebih dari siapa pun. Namun dalam semalam, semua itu hancur. Tangan Lyra mengepal di atas meja. “Kenapa… kenapa mereka begitu tega…?” geramnya lirih. Livia adalah teman satu kampus Lyra. Dulu, saat semua orang mencemooh Livia karena berasal dari keluarga miskin, Lyra yang melindunginya dan menangkis semua hinaan. Di saat semua orang memperingatkan dia untuk tidak bergaul dengan seseorang yang tidak sepadan, Lyra mengabaikannya dan terus berteman dengan Livia. Lyra bahkan membawa wanita itu masuk ke lingkaran sosialnya, dan juga mengenalkannya kepada sang tunangan, Darren. Itulah sebabnya sekarang Livia mampu menjadi model ternama dan sukses! Tapi, siapa sangka setelah semua bantuan Lyra, Livia malah berkhianat dengan merebut tunangannya. Di saat ini, perintah sang ibu sebelum Lyra berangkat ke kediaman Darren, kembali terngiang. "Lyra, biarkan Darren menyentuhmu malam ini agar pernikahan kalian cepat terlaksana! Hanya dengan begitu, keluarga kita bisa selamat dan biaya rumah sakit ayahmu bisa terbayarkan!" Lyra tertawa sinis. Sungguh situasi yang ironis. Hari ini, saat Lyra bertekad menjalankan perintah sang ibu untuk menyerahkan diri pada Darren dan mempertanyakan pernikahan mereka, dia justru menemukan pengkhianatan sang tunangan dengan sahabatnya sendiri! Semakin Lyra memikirkannya, semakin dia merasa tidak terima. Jika dia tetap diam, mereka akan menang. Jika dia menuruti ibunya, Darren tetap akan memperlakukannya seperti sampah. Seketika, kalimat Darren terngiang di benak Lyra. ‘Aku tidak akan menyentuhnya. Aku tidak sudi.’ Gelas di tangan Lyra bergetar, jemarinya menggenggam kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Perasaan marah, sakit hati, dan penghinaan bercampur menjadi satu, menciptakan bara yang menyala-nyala dalam dirinya. Jika pria itu tidak mau menyentuhnya, maka Lyra akan menemukan pria lain yang mau! Matanya yang buram mulai menyapu kerumunan. Lalu, dia melihatnya. Di sudut VIP yang remang, seorang pria tampan duduk dengan tenang. Seolah dunia di sekelilingnya tak lebih dari latar belakang yang tidak penting. Auranya tajam seperti iblis, namun... sangat mempesona! Setelan hitam mahal membalut tubuh tinggi dan proporsional itu. Wajahnya dihiasi garis rahang tajam dan mata gelap yang membawa ketenangan sekaligus ancaman. Ada sesuatu tentang dirinya, kehadiran yang begitu kuat dan menuntut perhatian. Tanpa sadar, Lyra yang terpikat bangkit dari kursi. Langkahnya goyah, tetapi tekadnya bulat. Ketika hampir sampai, seorang pria lain—yang nampak seperti algojo—menahan langkahnya dengan tangan terentang. "Apa yang kau lakukan? Beraninya kau—" Ucapan pria itu terhenti begitu sang pria misterius mengangkat tangan, memberi isyarat agar tidak menghalangi Lyra. Tatapan tajam pria itu kini tertuju padanya. Lyra menahan napas. Ada sesuatu dalam sorot matanya, sesuatu yang membuat jantung Lyra berdebar. Tetapi bukan karena ketakutan. Sejenak, mereka saling menatap. "Apa tujuanmu, Nona?" Suaranya dalam, rendah, dan berbahaya. Bulu kuduk Lyra meremang. Sikapnya begitu dingin, tetapi juga menghipnotis. Lyra menelan ludah dan mengangkat dagu. Berusaha menunjukkan keberanian yang sebetulnya tidak dia miliki. Dengan suara sedikit bergetar, dia berkata, "Satu malam." Pria itu tidak langsung bereaksi. Sorot matanya tetap dingin, menguliti Lyra dengan tatapan yang seolah bisa melihat hingga ke dalam jiwanya. Alisnya sedikit terangkat. "Hm?" Lyra mengepalkan tangan lebih erat, mencoba mengendalikan getaran di tubuhnya. "Untuk satu malam… tidurlah denganku." Hening. Udara di sekitar mereka terasa lebih berat. Lalu, sudut bibir pria itu perlahan terangkat, membentuk senyum samar yang entah mengapa membuat jantung Lyra berdegup lebih cepat. Tanpa peringatan, dia menarik tangan Lyra yang sontak berseru kaget, "Ah!" Dalam sekejap, Lyra kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk di pangkuannya. Lyra ingin berdiri. Mulai menyesali tindakannya. Tetapi, sebelum dia bisa bergerak, pria itu sudah melingkarkan lengan di pinggangnya, menahannya tetap dekat. Napas hangat menyapu leher Lyra, sementara jemari dingin pria itu mengangkat dagunya, memaksa Lyra menatapnya lebih dalam. Mata gelap itu meneliti setiap inci wajahnya, lalu suara baritonnya berbisik tepat di telinga Lyra, "Satu malam?" Nadanya terdengar menggoda sekaligus mengancam. "Kau yakin bisa menanggung akibatnya?" **Pagi itu, Lyra terbangun karena suara muntah dari kamar mandi. Matanya mengerjap pelan, lalu menoleh ke samping tempat tidur. Dastan tidak ada di sana. “Dastan?” panggilnya setengah sadar. Tak lama, pria itu keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat dan mata berair. “Aku... mual,” gumamnya. Lyra mendesah. “Mual bagaimana? Bukan kau yang hamil di sini.” “Aku tahu, tapi aku merasa seperti... mau mati. Kepalaku pusing, banyak bau aneh. Perutku juga tak nyaman. Aroma sabun di kamar mandi menyengat sekali... semuanya bikin mual.” Lyra menahan tawa, tapi gagal. “Bagus, kau dapat bagian dari proses panjang ini. Andai saja kau bisa mengambil alih kehamilanku juga...” Dastan menggeleng serius. “Ini tidak lucu, aku benar-benar tidak enak badan. Seperti jet lag.” Pagi itu di kantor, Dastan tak sanggup menelan sarapan. Kopi favoritnya kini hanya membuat perutnya melilit. Claudia sampai menawarkan teh herbal, sementara Charlie diam-diam mengganti semua pengharum ruangan dengan ya
"Tuan Adiwangsa, kami butuh tanda tangan Anda sekarang." Suara perawat yang tadi membawa selembar kertas persetujuan tindakan medis, mendesak lebih keras. Sudah beberapa menit Dastan memandangi kertas itu tanpa bergerak. Kini tangannya bergerak gemetar saat meraih kertas. Mata Dastan menelusuri baris demi baris huruf kecil di halaman itu, tapi tak satu pun yang benar-benar dia pahami. Semuanya kabur. Seolah hanya ada satu kalimat yang terpatri jelas dalam benaknya, "Nyawa Lyra ada di ujung keputusan ini." “Tuan...” Suara Charlie terdengar pelan, penuh kehati-hatian. “Aku tahu ini berat. Tapi... hanya Anda yang bisa memutuskan ini sekarang.” Dastan mencengkeram kertas itu lebih kuat, matanya mulai berkaca-kaca. “Kalau aku tanda tangan... dan Lyra tidak selamat... apa aku bisa memaafkan diriku?” gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Charlie menunduk, menahan napasnya sendiri. “Waktu terus berjalan, Tuan,” perawat kembali mengingatkan, kali ini dengan suara lebih cepat. “De
Begitu tiba di depan bangunan tinggi yang dikelilingi tembok beton menjulang serta kawat berduri yang melingkar di atasnya, Talia menghentakkan langkah dengan geram. Pandangannya menyapu pagar besi yang menjulang, para penjaga berseragam berjalan mondar-mandir dengan ekspresi datar. Semua terasa mencekam.Jika bukan demi Lyra, demi nyawa putri angkatnya itu… seumur hidup, Talia tak akan pernah sudi menginjakkan kaki di tempat seburuk ini."Ayo, Talia! Cepat!" seru Leonard. Suaranya penuh urgensi, ciri khas orang yang tengah berpacu dengan waktu. Tubuh lemahnya nyaris berlari menembus terik matahari yang membakar halaman luas itu.Talia mendesah berat, lalu mengikutinya sambil mengumpat pelan. Hatinya belum bisa menerima bahwa pria tua itu memutuskan untuk menemui orang yang hampir saja membunuh anaknya sendiri.Lima belas menit kemudian, mereka dipersilakan masuk ke area kunjungan. Seorang sipir memanggil Leonard ke dalam ruang pertemuan tahanan. Talia duduk menunggu di luar dengan g
Tapi yang muncul di sana, bukan wajah yang dia harapkan. Masih bukan dokter, melainkan seorang perawat yang berjalan cepat, wajahnya tegang dan napasnya memburu. Ini sudah ketiga kalinya perempuan itu bolak-balik keluar masuk ruang operasi. Kali ini, Dastan tak membiarkannya lewat begitu saja.Dia melangkah cepat dan menahan lengan si perawat. “Bagaimana keadaan istriku? Ini sudah empat jam, operasinya berhasil kan?” tanyanya dengan suara yang tajam dan penuh desakan.Si perawat tampak gugup, menatap Dastan lalu sekilas melirik Charlie di belakang pria itu, seolah berharap ada yang membantunya keluar dari situasi ini. “Op-operasi luka tembaknya sudah selesai, Tuan. Tapi…”“Tapi apa?” Dastan menyela cepat, matanya menyorot curiga.“Itu… pasien kehilangan banyak darah sebelumnya, dan…” Perawat itu tampak ragu. Jemarinya meremas catatan medis di tangannya. “Saat ini… pasien masih dalam pengawasan intensif. Sebaiknya Anda tunggu saja. Dokter akan segera memberikan penjelasan langsung.”“
Letusan itu memecah udara pesta seperti petir menyambar dari langit cerah.Semua orang membeku. Musik yang tadi mengalun lembut terhenti mendadak. Suara tawa dan obrolan hangat lenyap berganti dengan jeritan dan kepanikan. Kursi yang terjungkal, gelas serta piring pecah, tak ada yang peduli.Ajudan yang terkena tembakan pertama terguling di tanah, menggeliat dengan darah mengalir deras dari pahanya. Napasnya memburu, matanya terbelalak tak percaya. Tapi sebelum siapa pun bisa bereaksi lebih jauh, sebuah sosok tua muncul dari balik tirai panjang tempat katering berada. Tangannya menggenggam pistol kecil yang berkilat."Nyonya Alida?" seru Lyra terkejut.Wanita tua itu memang masih buron, tapi siapa sangka dia masih bersembunyi di negara ini?Tak ada satu pun dari ajudan yang mencurigai wanita tua itu. Dia menyamar sebagai pelayan katering. Penyamaran sempurna, rambut disanggul sederhana, seragam putih berlumuran saus, juga gerak-geriknya dibuat lambat seperti layaknya pelayan lansia. T
Dastan menatap wajah Lyra yang tertidur lelap di ranjang. Napasnya tenang, semalaman dia benar-benar mengistirahatkan diri. Dastan pun tak ingin mengganggunya. "Sulit dipercaya kau senekat itu," gumamnya bergeleng pelan.Wanita yang dicintainya ini sempat menghilang begitu saja, lalu muncul kembali secara misterius, seolah semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk yang tak pernah benar-benar menyentuh mereka.Andai tak ada luka memar di sudut bibirnya, goresan-goresan halus di kulitnya, serta keputusan penyelidikan yang tiba-tiba berubah arah, Dastan mungkin tak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia nyaris gila mencari, bahkan tak bisa tidur, sementara Lyra diam-diam berjuang sendiri dalam bahaya.Saking paniknya, Dastan sempat menyeret Lyra untuk cek medis dadakan, sesaat setelah ‘interogasi ringan’ yang berakhir dengan tangisan dan pelukan panjang. Dia tak peduli betapa lelah mereka saat itu. Yang penting, ia harus memastikan kondisi istrinya dan calon bayinya baik-baik sa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments