Share

9. Feel Alone

last update Terakhir Diperbarui: 2020-11-08 08:00:27

Langit di luar tampak mendung. Sebentar lagi kurasa hujan akan turun. Aku menghela napas, mengalihkan pandangan dari langit di luar jendela ke novel yang kuletakkan di atas meja.

Ngomong-ngomong, ini sudah hampir seminggu sejak kejadian labrakan itu. Sehari dua hari setelah kejadian memalukan di kantin itu, telingaku harus panas setiap hari oleh kasak-kusuk yang membicarakan hal itu. Banyak yang memandangiku dengan sinis, terutama geng Anggi. Bintang yang tidak terlalu dikenal di sekolah ini mendadak jadi bahan pembicaraan karena dilabrak oleh geng Anggi yang terkenal itu. Tapi aku hanya menanggapinya dengan tidak terlalu ambil pusing dan bersikap biasa saja, yah meskipun dalam hati aku merasa tidak tahan juga mendengar gosip itu. Namun setelah dipikir-pikir kembali disini aku tidak bersalah apa-apa, jadi kuputuskan untuk tidak memikirkannya. Dan lama-kelamaan setelah aku mendiamkannya, semua kembali normal seperti biasa, kasak-kusuk itu sudah jarang terdengar kembali. 

Aku mengalihkan pandangan keluar jendela yang ada di sampingku, lagi. Gerimis sudah datang, bersama hawa dingin yang membelai kulit dengan lembut. Aku menghela napas, memeriksa jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan. Ini sudah hampir satu jam sejak bel pulang berbunyi, itu artinya sekolah sudah cukup sepi. Belakangan ini setelah kejadian itu, aku semakin sering nongkrong di perpustakaan sekolah, baik saat jam istirahat, jam pelajaran kosong, maupun setelah bel pulang sekolah berbunyi sambil menunggu keadaan sekolah cukup sepi. Bukan berniat untuk mengubah kepribadianku menjadi introvert, tapi hanya sedang malas saja di tempat ramai.

Sekolah sudah cukup sepi saat aku memutuskan keluar dari perpustakaan. Hanya ada beberapa siswa laki-laki yang tengah berlatih futsal di lapangan belakang dan berlatih basket di lapangan tengah sekolah. Sesampainya di koridor dekat lapangan basket, aku mempercepat langkah. Hanya berusaha menghindar kalau-kalau kebetulan aku bertemu seseorang yang sangat tidak ingin kulihat saat ini.

"Bintang?"

Aku menoleh. Dari suaranya saja aku sudah tahu siapa yang baru saja memanggil itu. Dan benar saja, cowok itu langsung berlari mendekat saat aku tersenyum padanya. Dia tersenyum ramah, dan sangat manis. Pantas saja Kak Viny jatuh cinta pada cowok ini.

"Kok belum pulang?" tanyanya.

"Abis dari perpus."Dia mengangguk sebanyak dua kali.

"Lo kayaknya sering banget ke perpus ya sekarang? Nggak takut ketemu hantu? Denger-denger di perpus ada penunggunya loh." 

"Beneran? Ganteng nggak penunggunya? Kalo ganteng kan lumayan buat dijadiin gebetan," candaku, dan Kak Bisma tertawa renyah.

"Ada-ada aja, lo. Emang mau pacaran sama penunggu perpus?" tanyanya.

"Kenapa enggak? Kalo ganteng sama pinter, bolehlah." Aku mengangkat bahu. "Kali aja, makhluk astral lebih nyenengin daripada manusia."

Kak Bisma menatapku lama, lalu menghela napas. "Masih marahan sama Angkasa?"

Nama itu lagi. Aku berusaha tetap tersenyum. "Siapa yang marahan?"

"Kalian, kan? Angkasa jadi buas tahu, gara-gara kamu. Bawaannya uring-uringan mulu."

"Kasih aja daging!" balasku, sekenanya. Lagipula, kenapa Angkasa yang uring-uringan dikaitkan denganku?

"Dia maunya Bintang, bukan daging."

"Dagingnya Bintang nggak enak!"

Kak Bisma terkekeh. Mengangkat tangan, seolah menyerah. Aku menyeringai. Setelah berbasa-basi tentang Kak Viny, aku pamit pulang. Tapi saat melewati parkiran motor, napasku tercekat di tenggorokan melihat sosok yang tengah bersandar pada jok motor sport berwarna putih itu. Lagi-lagi, takdir kembali membuat pandangan kami bertubrukan. Sama seperti kebetulan-kebetulan sebelumnya. Langkahku memelan sementara dia menegakkan tubuhnya dan berjalan santai ke arahku dengan pandangan masih tertuju padaku.

Aku memalingkan pandangan ke sisi lain, namun meski begitu aku masih dapat merasakan dia masih memandangku dan semakin mempertipis jarak kami. Seminggu tidak saling berpapasan begini, aku cukup merasa tenang. Meskipun entah kenapa ada yang kosong juga. Tapi aku merasa ini yang terbaik, demi kehidupan normalku di sekolah ini.

Tanganku semakin menggenggam erat tali tas, saat jarak kami tinggal setengah meter lagi. Tanpa sadar langkahku tetap pelan, sementara langkahnya tetap santai seperti biasa. Dan seperti ada sesuatu yang mencelos keluar saat jarak kami semakin dekat dan dia melewatiku begitu saja. Begitu saja. Aku tersenyum miring. Sepertinya dia menuruti kata-kataku waktu itu. Baguslah. Bagus!

"Bi!"

Panggilan itu membuatku tersentak. Aku mematung, mengerjap-ngerjapkan mata. Memastikan bahwa penglihatanku tidak salah. Di depan pintu gerbang sana, seorang laki-laki memakai jeans panjang berwarna putih dan jaket hitam yang resletingnya dibiarkan terbuka, dengan dalaman kaos polos warna abu-abu.  Dia, sosok yang sangat kukenal selama lebih dari enam belas tahun, tengah menyandarkan tubuhnya pada badan mobil dengan senyum merekah tertuju padaku. Dia, yang selama lima belas tahun tidak pernah sekalipun mengulum senyum padaku kini tersenyum manis dan melambaikan tangannya padaku.

"Bintang Aurora!" Panggilnya sekali lagi, dan aku langsung berlari ke arahnya.

Niat hatiku ingin memeluknya saat itu juga, namun langkahku terhenti tepat tiga langkah di depannya. Dia mengerutkan keningnya, perlahan merentangkan tangannya seolah memintaku untuk segera menghambur ke pelukannya. Namun aku tetap bergeming, hatiku merasa ragu dan takut untuk memeluknya. 

Dia mengangkat sebelah alisnya. "Enggak mau peluk?" 

Lagi-lagi aku mengerjap-ngerjapkan mata. Sebenarnya ini mimpi atau bukan, sih? "Boleh?" 

Raut wajahnya berubah sendu dan sedetik kemudian dia melangkah maju kemudian menarik tubuh mungilku yang langsung berada dalam dekapannya. Perlahan aku memejamkan mata, melingkarkan kedua tangan ke pinggangnya. Gerimis yang semakin deras menjadi saksi bisu pelukan pertama yang diberikan seorang kakak kepada adiknya yang terpaut usia empat tahun.

Rasa seperti ini, rasa bahagia dan tenteram saat berada di pelukannya, aku benar-benar tidak menyangka akan merasakannya. Kupikir seumur hidup aku tidak bisa mendapatkan ini darinya. Mengingat betapa acuh dan dinginnya dia padaku sejak aku lahir di dunia ini, aku tidak pernah menyangka dia akan bersikap berubah seratus delapan puluh derajat menjadi sebaik dan sehangat ini padaku.

"I miss you."

Aku tersenyum. Sungguh, jika sekarang ini hanyalah mimpi maka untuk selamanya aku ingin tetap hidup dalam mimpi ini. Tolong jangan bangunkan aku.

***

"Assalamu'alaikum."

Aku, Kak Viny dan Bunda menjawab salam itu secara serentak seraya menoleh pada sosok laki-laki yang berdiri di ambang pintu dengan senyum merekah. Malam ini Papa pulang, setelah menangani kantor cabang miliknya di kota Denpasar selama enam bulan. Itulah alasan Kak Andro tiba-tiba pulang meskipun ini bukan waktunya libur kuliah. Karena Sore tadi, setelah menjemput aku dan Kak Viny, Kak Andro langsung pergi.

Di ambang pintu sana, saat ini, berdiri laki-laki yang akan selalu jadi laki-laki nomor satu yang kucintai dalam hidupku. Rambutnya yang sudah memutih sebagian, kerutan di keningnya yang menunjukkan bahwa usianya sudah tidak muda lagi, bola mata berwarna hitam kecoklatan, bibir tipis yang selalu membentuk lengkungan ke atas, bentuk rahang keras yang menunjukkan sifatnya yang tegas dan lembut secara bersamaan dan tubuh tegaknya yang masih tetap tegak meski usianya sudah tak muda lagi.

Aku sangat mengenali bentuk tubuhnya, meskipun aku tidak bisa mengamatinya dari dekat. Tapi sungguh aku sangat mengenalinya. Otakku sudah merekam dan menyimpannya baik-baik semua hal yang berhubungan dengan laki-laki yang kupanggil 'Papa' itu. Senyumnya yang menenangkan, tatapannya yang teduh, suaranya yang lembut, usapan tangannya yang hangat, otakku merekam semuanya. 

"Gimana kabar kalian selama Papa nggak ada di rumah, Sayang?" Benar kan yang kubilang? Suara Papa sangat lembut.

Pelukan Papa juga sangat hangat dan menenangkan. Aku tidak bohong kalau Papa adalah papa terlembut dan penuh kasih sayang di dunia ini.

Tapi... hanya untuk Kak Andro dan Kak Viny. Sedangkan aku? Hanya berperan sebagai penonton dalam pertunjukan pertemuan antara seorang ayah yang sudah lama tidak pulang dengan kedua putra-putrinya yang sangat disayangi. Aku hanyalah penonton, tak terlihat, tak diharapkan, terabaikan, dan tugasnya hanya menonton. MENONTON.

Sejak kedatangan Papa, kemudian saling bercengkrama di ruang tamu diselingi acara pemberian oleh-oleh, hingga tiba waktunya untuk makan malam, aku melakukan tugasku dengan baik. Menonton keluarga bahagia beranggotakan empat orang itu dengan menyunggingkan fake smile.

Menggigit bibir bawah menahan rasa sakit yang bergejolak dalam dada. Menahan tanggul di pelupuk mata agar tidak jebol sebelum pertunjukan selesai. Menahan ekspresi agar tampak sebahagia mungkin menyaksikan acara pertunjukan keluarga bahagia itu. Menahan bahuku yang naik-turun menahan hantaman keras dan sangat kuat pada dadaku. Menautkan jemari kuat-kuat hingga buku-buku tanganku memutih hanya agar tubuh tak bergetar semakin hebat. Aku hanya penonton. Bintang Aurora hanyalah seorang penonton. Tidak bisa berharap lebih.

"Bi ke kamar dulu. Lupa ada PR yang belum Bi kerjain."

Semuanya, ke empat orang itu, menoleh padaku. Tatapan mereka lurus tertuju ke arahku, seperti empat anak panah tajam yang menancap tepat pada keempat bilik jantungku.

Mama, Bi nggak kuat menonton lagi. Biarkan Bi keluar dari arena pertunjukan ini. Bi sakit, Ma. 

"Selamat malam, semuanya." Dan kalimat terakhir ini, yang keluar dari mulut dan aku yakin terdengar lebih mirip seperti bisikan, menjadi bukti bahwa aku sudah tak sanggup lagi menjadi penonton.

Dengan tubuh bergetar hebat dan tanggul yang jebol di pelupuk mata menyebabkan dua anak sungai mengalir deras dari sana, aku berlari menaiki anak tangga dengan cepat. Tidak peduli bagaimana reaksi mereka setelah ini, tidak peduli tatapan seperti apa yang mereka berikan mengiringi kepergianku meninggalkan mereka, aku langsung masuk ke dalam kamar.

Mengunci pintu rapat-rapat dan bersandar di tepi ranjang sambil memeluk lutut dengan wajah kutenggelamkan di atasnya. Isakan keras keluar dari mulutku. Dadaku sakit, nyeri sekali seperti ada batu besar menyumpal di sana hingga oksigen rasanya gagal untuk masuk. 

Semua hal tentang Papa yang terekam dalam otakku, tentang senyumnya yang menenangkan, tentang belaian tangannya yang penuh kasih sayang, tentang suaranya yang selembut kain beludru, tentang pelukannya yang menghangatkan, semuanya yang terbaik yang ada pada diri papa. Aku harus terpaksa menyadarinya, bahwa itu bukan untukku. Bukan untuk Bintang Aurora. Tapi hanyalah untuk Andromeda Wijaya dan untuk Viny Aulia. Hanya untuk mereka berdua. Tidak ada tempat tersisa untuk Bintang Aurora. Sama sekali tidak ada!

"Ma...ma Bi ... Bi ... s-sa...kit, Ma." Kupukul-pukul kuat dadaku dengan tangan terkepal kuat.

Kupikir kepulangan Kak Andro tadi sore, akan membawa kabar gembira untukku. Akan berdampak baik bagiku. Rasa bahagia saat Kak Andro memelukku, kupikir adalah awal dari hubungan baik antara aku dengan Kak Andro maupun Papa. Ternyata aku salah. Semuanya masih sama, bahkan tadi baik Papa, Bunda, Kak Andro, bahkan Kak Viny mengabaikanku saat bercengkrama dengan Papa. Mereka mengabaikanku. Aku tidak ada di depan mereka. Aku tak terlihat di antara mereka. Kak Andro yang sudah berubah sikap menjadi baik padaku, dia mengabaikanku. Bahkan Kak Viny, yang sejak sehari setelah pernikahan Papa dan Bunda berjanji akan selalu menggenggam tanganku dan menganggap keberadaanku, ikut mengabaikan.

Aku tidak tahu apakah Kak Andro dan Kak Viny sengaja melakukannya atau tidak, tapi yang aku tahu hatiku teriris dan perih. Aku merasa terkhianati, entah oleh siapa tapi rasanya memang begitu. Tiba-tiba aku merasa asing berada di dalam rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir di dunia ini. Rasa sakit ini, kenapa aku harus mengalaminya, ya Allah?

"Sa...kit. Bi ngg-gak k-ku...at, Ma." Isakanku semakin keras diatas lutut yang kupeluk. Bahuku naik-turun dan tubuhku bergetar hebat. Tapi nyeri dada kiriku ini lebih kuat, rasanya sesak sekali. Bahkan tak kupedulikan ketukan di pintu kamar

"Mbak Bi...."  Itu suara Bu Rini. Tapi aku belum siap bertemu siapa pun saat ini, sungguh. "Mbak, Bi. Ibu boleh masuk?"

Aku bisa mendengar nada khawatir dari pertanyaan Bu Rini. Aku sangat tahu itu, Bu Rini selalu mengkhawatirkan keadaan hatiku setiap kali Papa dan Kak Andro di rumah. Bu Rini dan Pak Udin, suami Bu Rini yang juga bekerja di rumah ini sebagai tukang kebun, adalah saksi bagaimana aku tumbuh besar tanpa kasih sayang. Hanya mereka berdua yang mengerti dan memahami keadaanku. Hanya mereka, sepasang suami istri yang sama sekali tidak ada hubungan darah denganku.

Pintu diketuk kembali. "Mbak Bi baik-baik saja, kan?"

Kuusap kedua pipi yang sudah basah oleh air mata, dan aku berdehem beberapa kali agar suara terdengar baik-baik saja. "Bi, gak papa, Bu."

Aku tidak berniat membuka pintu karena Bu Rini akan melihat keadaan wajahku yang mungkin sudah sangat kacau. Aku tidak mau terlihat lemah di depan siapapun.

"Ibu boleh masuk?"

 "Besok ... besok aja ya, Bu?" Aku menggigit bibir bawah. Kuhirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Bibirku terasa asin karena air mata yang mengalir sampai di bibir juga. "Bi, mau ... mau tidur. Ngantuk banget soalnya."

"Ya udah, Mbak Bi tidur aja. Selamat malam."

"Selamat malam, Bu."

Air mataku mengalir lagi. Kubenamkan wajah di kedua lutut. Malam ini, untuk ke sekian kalinya aku merasa sendiri.

***
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bintang untuk Angkasa    50. Married

    "Kamu gugup, Dek?"Aku menoleh dan tersenyum kaku pada Kak Salma yang sedari tadi menemaniku di kamar. Kak Salma tersenyum, kemudian mengusap punggung tanganku untuk memberiku ketenangan. Di luar, acara akad nikah akan segera dimulai. Ya, ini sudah seminggu sejak kejutan ulang tahun itu, dan artinya sekarang adalah hari pernikahan kami."Kamu tahu, Dek? Kakak juga ngerasain gugup yang sama seolah ini adalah acara nikahannya adek kandung Kakak sendiri." Kak Salma kembali berbicara.Aku menatap wajah Kak Salma yang berkaca-kaca, "Kak Salma kangen sama Kak Sania?"Kak Salma tersenyum dan mengusap pipiku, "Tentu saja kangen. Tapi Kakak selalu punya obat buat ngobatin kangen Kakak itu. Dengan liat kamu."Kak Salma terkekeh pelan, "Kakak bener-bener bisa nemuin Sania pada diri kamu, Dek. Kalian itu bener-bener punya sifat yang mirip, dan itu bikin Kakak bahagia karena bisa melihat Sania lagi lewat kamu."Aku mengerutkan kening menatap Kak Salma. Apa

  • Bintang untuk Angkasa    49. Proposed

    Aku mengerjap-ngerjapkan mata, saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Sambil menggeliatkan tubuh pelan dan masih berusaha mengumpulkan nyawa yang masih tertinggal di alam mimpi, aku mendesah. Suara ketukan itu terdengar lagi, dan kini makin keras. Aku mendecakkan lidah pelan, benar-benar merasa kesal karena tidurku terganggu. Aku makin berdecak kesal saat mataku melirik ke arah jam weker berbentuk kepala Pororo yang menunjukkan pukul dua belas kurang lima belas menit. Ketukan itu kembali terdengar seperti gedoran."Iya, bentar!" ucapku setengah berteriak, dengan suara serak khas bangun tidur. Tidak ada jawaban. Aku mengerucutkan bibir, mengucek mata sambil beringsut turun dari ranjang."Siapa sih bangunin orang malem-malem gini?" gerutuku sambil mengikat rambutku yang berantakan dengan ikatan cepol asal-asalan.Sejenak kemudian aku sudah membuka pintu kamar, dan keningku sontak berkerut saat tak menemukan siapa-siapa di depan pintu kamar."Siapa?" tan

  • Bintang untuk Angkasa    48. Today, Tomorrow and Forever

    Takdir. Satu kata yang sangat rumit untuk dipecahkan. Satu kata yang sering dikutuk dan dipersalahkan atas apa yang dialami makhluk bernama manusia. Satu kata penuh misteri yang tidak dapat diprediksi oleh ilmuwan terpintar sekali pun. Satu kata yang hanya menjadi rahasia-Nya dan tidak akan pernah bisa diganggu gugat oleh manusia. Tentang sebuah takdir. Tak ada yang bisa manusia tebak dari jalannya sebuah takdir. Entah itu untuk dua tahun kemudian, setahun kemudian, sebulan kemudian atau bahkan sedetik kemudian. Manusia tidak akan mampu memprediksi takdir apa yang akan terjadi padanya. Bahkan sesuatu paling nyata dan bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya, bisa saja berubah keadaan menjadi sebuah hal yang di luar nalar, jika Dia sudah berkehendak. Hanya Dia Yang Maha membolak-balikkan takdir, dan manusia harus bisa menerima semua yang telah tertulis dalam lauhful mahfudz-Nya.Itu pula yang kini dijalani seorang Angkasa Yudhistira, menerima dan menjalani dengan tega

  • Bintang untuk Angkasa    47. Sad Song

    Without you, I feel brokeLike I'm half of a wholeWithout you, I've got no hand to holdWithout you, I feel tornLike a sail in a stormWithout you, I'm just a sad songI'm just a sad song(Sad Song – We The Kings)"Kak Angkasa!"Angkasa mengerjap-ngerjapkan mata saat suara lembut itu menyapu telinganya. Sangat dekat. Dan terdengar nyata. Laki-laki itu membuka mata sedetik kemudian, dan ia tertegun melihat tempatnya berada sekarang. Atap aula sekolah."Bintang?" Angkasa berkata lirih, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Di depan sana, tepatnya di pagar pembatas atap, seorang gadis yang berdiri memunggunginya. Gadis itu memakai dress selutut berwarna putih tulang, dengan flatshoes yang juga berwarna putih terpasang di kaki jenjangnya. Rambut sepunggungnya yang tergerai indah, bergoyang-goyang tertiup angin yang berembus lembut. Di pergelangan tangan kirinya, Angkasa dapat melihat gelang pasangan yang selalu gadis

  • Bintang untuk Angkasa    46. In The First Sigh

    Sama seperti hari-hari sebelumnya, Angkasa duduk di samping bangkar dengan tatapan terpaku pada seorang gadis remaja yang terbaring lemah di atas bangkar. Ini kedua kalinya ia menyaksikan tubuh itu dipasangi banyak belalai yang terhubung pada sebuah monitor yang terus berbunyi, untuk mendeteksi bahwa masih ada kehidupan pada tubuh itu. Hati Angkasa terasa sakit, perih ulu hatinya. Jika saat ini gadis yang amat dicintainya itu tengah mengalami keadaan koma, maka Angkasa juga sama. Ia juga sedang koma, tapi hatinya bukan tubuhnya. Kenangan-kenangan itu kembali berputar di benaknya, mengulang kembali awal-awal perkenalannya dengan gadis itu, Bintang Aurora. Perlahan, Angkasa mulai bercerita ...."Ini perpus sekolah kita." Romi menunjuk ruangan di sebelah mereka dan ditanggapi Angkasa dengan anggukan kepala dua kali. "Emang sepi, sih. Dimana-mana yang namanya perpus kan cuma buat tempat nongkrong murid-murid cupu." Romi tertawa kecil. "Sayangnya di sekolah ini yang cupu cuma dikit

  • Bintang untuk Angkasa    45. Akan Tetap Bersinar

    Kirana Candrawati. Bagi seorang Danu Wijaya, nama itu adalah nama paling indah sejagad raya. Nama yang memiliki arti terpenting dalam hidupnya, yang mengajarkannya betapa hidup itu harus disyukuri. Nama yang sampai saat ini tetap menjadi penghuni ruang penting dalam hatinya. Hingga saat nama itu benar-benar hanya tinggal nama, dan ia tak bisa melihat lagi pemilik nama itu sendiri, pria itu merasa hancur. Hidupnya seolah ikut dibawa pergi oleh perempuan pemilik nama indah itu. Danu tidak punya tujuan hidup lagi, bahkan untuk sekedar memandang bayi mungil yang kelahirannya sekaligus merupakan kehancuran hidupnya, karena ibu dari bayi itu meninggalkannya dari dunia.Bayi mungil itu, yang orang bilang saat lahir sama sekali tidak berdosa, suci dan polos, telah merenggut nyawa Kirana, istri tercintanya. Sejak kelahiran bayi itu, sekaligus kematian Kirana, Danu benar-benar tidak bisa menjalani hidup dengan baik. Satu-satunya wajah yang sangat tidak ingin dia lihat adalah wajah b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status