Setelah mengetahui kekasihnya berkhianat, Rose memutuskan menghapus semua kenangan yang menyakitkan. Dalam kehancuran hatinya, ia menyerahkan diri pada malam panas penuh gairah bersama seorang pria asing. Pria itu adalah William Hawthorne—Ceo yang terkenal dingin dan tegas. Pria yang tak pernah melepaskan mangsa dengan mudah. Apa yang seharusnya menjadi pelampiasan sesaat berubah menjadi jerat yang sulit dihindari. Akankah Rose mampu bertahan di bawah bayang-bayang William?
View MoreSuara benda terjatuh berhasil mengacaukan semuanya. Di depan pintu kamar, seorang gadis dengan gaun putih berdiri dengan tubuh terlihat bergetar. Di bawahnya, terlihat paper bag dengan sesuatu yang terlihat seperti kue tumpah mengotori lantai marmer.
“Nic-nicholas, apa yang kau lakukan dan siapa dia?" Rose berjalan mendekat dengan langkah lemah, air matanya sudah berada di ujung mata. “Siapa dia? Apa yang kamu lakukan dengannya, Nich?” Rose kembali bertanya dengan tatapan nanar kecewa. Dengan napas yang terengah, Rose mencoba menelisik suasana kamar, pakaian sudah tercecer di mana-mana. Bahkan ia berhasil melihat sesuatu di atas nakas. Benda yang seharusnya tidak Nicholas sentuh. “Katakan? Apa yang kau lakukan dengannya, Nicholas?” pekiknya dengan napas terengah, “tidak ingatkah kau jika hari ini adalah anniversary hubungan kita?” Nicholas mencoba turun dari ranjang, meraih baju kaos yang tergeletak di bawah kaki mereka. Sementara itu, wanita yang berada bersamanya hanya menghela napas kesal. “Nicholas, selesaikan segera urusanmu dengannya dan kita lanjutkan–” “Tunggu aku, jangan tidur.” Nicholas menoleh dan tersenyum lembut dan itu berhasil menghancurkan hati Rose berkali-kali. Sudut bibir Rose kembali berkedut, selama enam bulan terakhir sikap manis Nicholas padanya memang terlihat berbeda. “Siapa dia, Nich dan apa yang kalian berdua lakukan?” tanya Rose dengan napas terengah, ia bukan wanita bodoh, tahu apa yang telah terjadi, tetapi ia masih berharap Nicholas memberikan alasan yang manis. Nicholas menarik tangan Rose keluar dari kamarnya, membawa wanita yang selama ini memberinya cinta dan kesetiaan. “Kau bisa lihat sendiri,” katanya malas menjelaskan, “kau seharusnya memberikan apa yang aku inginkan Rose.” “Nich–” “Aku sudah lelah, Rose. Kau lihat saja dirimu, pakaian ini bahkan sudah pernah kau pakai sebelumnya,” katanya dengan tatapan mengejek. “Nich, apa yang kau katakan, bukankah kau bilang–” “Sudahlah. Tidak perlu membahas ini, lagi. Aku tidak ingin melanjutkan hubungan kita. Aku sudah memiliki Diana yang mau memberikan apa yang aku inginkan,” jelas Nicholas panjang lebar. “Aku tahu kau hanya bercanda, kan? Bukankah kita sudah memikirkan semuanya, pernikahan dan–” “Hentikan Rose!” bentak Nicholas, “tidak bisakah kau memikirkan ini? Aku tidak ingin meneruskan hubungan kita.” Belum hilang rasa sesak melihat kekasihnya bermesraan di atas ranjang, kini dengan teganya Nicholas meninggikan suara dan memutuskan hubungan mereka. “Aku lelah menahan semua ini, Rose,” ujarnya, “di kantor mereka menertawakanku karena memiliki kekasih sepertimu, kau yang tidak pandai berdandan dan tak terurus,” cemoohnya lagi. “Nich, apa yang kau katakan aku–” “Pergilah! Hubungan kita sudah berakhir. Aku tidak ingin memiliki pasangan sepertimu, kau bahkan tidak pandai merawat diri, Rose.” Rose menggeleng dengan air mata mengalir, ia mencintai Nicholas, pria itu adalah cinta sejatinya. “Tidak, Nich, tolong,” katanya, “aku sangat mencintaimu, jangan lakukan ini.” Mendengus kasar, Nicholas melepas pegangan tangan Rose dengan paksa. “Kau kira pantas bersanding denganku? Lihatlah, sebentar lagi aku akan menjadi manager dan kau tetap saja seperti wanita pengangguran.” “Nich, aku juga akan bekerja, Minggu depan aku sudah menjadi wanita kantoran,” jelasnya memberikan fakta, tetapi Nicholas berdecak tak puas. “Wanita sepertimu siapa yang menerima? Perusahaan akan menerima wanita cerdas dan seksi, Rose. Sedangkan kau, lihat penampilanmu, tak ada pantas-pantasnya.” Tak lama, wanita dengan penampilan seksi keluar dari kamar, ia melangkah dengan anggun ke arah Rose dan Nicholas. “Sayang, kenapa lama sekali?” tanyanya dengan suara yang mendayu. Ia menatap ke arah Rose yang terlihat kacau dengan air mata. “Harusnya kau sadar diri, lihat saja penampilanmu sangat tidak pantas,” katanya dengan tatapan remeh. “Sayang, minta dia pergi, aku sudah tidak bisa menunggu lama,” ujar Diana dengan senyum yang menggoda. “Nich, tolong jangan seperti ini, aku–” Rose meringis tatkala tubuhnya terdorong hingga lututnya terbentur keramik dengan keras. Ia menatap Nicholas dan wanita yang mendorongnya tengah tertawa bahagia. “Pergilah! Kau mengganggu kesenangan kami!” usir Nicholas dengan tangan menunjuk ke arah pintu. ________ Dengan air mata yang berderai deras, Rose membawa langkahnya ke tempat yang tak pernah sama sekali disinggahinya. Di sini, ia tertawa sambil menangis, meneguk sesuatu yang tak pernah dicoba sebelumnya. “Dia memutuskanku karena tak bisa tidur dengannya,” umpatnya dengan air mata mengalir. “Dia memutuskan hubungan kami yang sudah berjalan lama karena aku tak bisa tidur dengannya,” imbuhnya lagi dengan lirihnya. “Nicholas, aku membencimu!” ujarnya dengan tawa semakin mengerikan. Rose berdiri, ia keluar dari klub malam dengan langkah sempoyongan. Namun, di depan pintu, ia menabrak punggung seseorang. Si pria berbalik dan mengeryit ketika menatap Rose yang terlihat sangat kacau. Rose berdecak dan mendongak, menatap dengan mata setengah terpejam. “Tidak bisakah kau berjalan lebih cepat? Aku ingin lewat!” “Nona, siapa–” Si pria mencegah asistennya dengan gerakan tangan. Ia menatap Rose dengan tatapan rumit. “Ini bukan jalan milik orang tuamu, lagipula, tidak bisakah kau lihat jika di depan ada orang lain?” “Aku tidak peduli. Aku tidak peduli dengan siapa pun,” katanya dengan bibir terlihat ingin menangis. Namun, kemudian ia terkekeh ketika mengingat bagaimana Nicholas menghina penampilannya. “Pak, dia mengatakan aku tak pantas dengannya,” adunya pada si pria, “apakah aku benar-benar tidak cantik?” “Nona, tolong jaga sikap Anda,” kata pria lain yang sedari tadi sudah khawatir akan ada masalah. Rose menoleh ke arahnya dengan mencebik. “Diamlah, bukankah dia sudah mengatakan untuk jangan bicara?” “Nona–” “Lebih baik kita kembali, biarkan saja kucing kecil ini dengan kegilaannya,” katanya hendak berbalik. Namun dengan cepat, Rose menarik kemeja mewah miliknya dan semakin mendekat. “Pak, tidak bisakah kau katakan jika aku cantik?” “Cantik dari mana? Kau bahkan terlihat seperti wanita tak berbentuk,” timpalnya, “coba belajar berdandan,” sambungnya lagi dengan tatapan dingin. Rose kembali histeris, ia meneguk minuman yang masih tersisa, lalu merapatkan tubuhnya pada di pria. “Tidak bisakah kau berbohong? Tidak bisakah kau katakan saja jika aku cantik?” katanya dengan suara semakin serak, terdengar begitu menyedihkan dan menyakitkan. “Bawa aku bersamamu, Pak. Aku tidak tahu harus kemana lagi,” katanya di sela-sela tangisnya. “Kau tahu apa yang kau katakan? Kau tidak jika aku menjualmu?” kata si pria dengan senyum kecil di bibirnya. “Tidak, bawa saja aku denganmu Pak.” Si pria menatap serius wanita di hadapannya, gaun putih yang lusuh, tatapan ramah yang sudah tak berbentuk, tetapi kecantikan alami masih terlihat dengan jelas. “Jangan menyesal jika aku– "Tidak akan, aku membutuhkan pria tampan sepertimu," ucap Rose mulai kehilangan kesadaran. "Nicholas, lihatlah aku sudah menemukan pria yang mencintaiku dengan tulus," tukasnya terengah.“Ide apa?” William mulai curiga, ia meraih perlahan gelas kopinya dan menyesapnya kembali.Udara malam terlalu dingin, tetapi Rose masih setia duduk di sana dengan pikirannya sendiri.“Kanaya dan Ronald,” ujar Rose, “bagaimana jika kita menjodohkannya?”Beberapa menit yang lalu, Rose sudah membayangkan kehidupan Kanaya jika bersama Ronald.Terkekeh kecil, William mengangguk setuju. “Ide yang bagus, tapi aku tidak akan melakukan itu.”Baru saja senyumnya lebar, kini Rose kembali memasang wajah datar, “Kenapa?” “Ronald baru saja kehilangan anak dan istrinya,” jelasnya dengan intonasi mulai berubah, “menjodohkan dengan Kanaya memang tidaklah salah, tapi aku khawatir mereka berdua salah paham dan menganggap kita ikut campur.”Terbelalak dengan mulut mengangkat, Rose menatap William dalam, “Benarkah? Ronald?”“Hum, jadi simpan rencanamu itu,” kata William, “lebih baik sekarang peluk aku dan tetaplah di sisiku.”Mendesah kecewa, Rose mengangguk. “Aku merasa bersalah, aku pikir Ronald masih
Kanaya mendesah pelan, ia sudah melebarkan senyuman menyambut tamu yang diharapkan, tetapi setelah mengetahui bukan Ronald yang datang, senyum itu memudar.“Kenapa kau datang?” ketusnya dengan raut wajah malas.“Kau tidak senang?” Rose memasuki kamar mewah yang dekorasinya begitu mirip dengan kamar pengantinnya bersama William.“Sekarang aku tahu bagaimana besarnya cintamu pada suamiku,” katanya dengan suara teramat pelan.Kanaya memutar mata malas, ia menatap Anantha yang berdiri dengan tatapan berbinar di dekat box bayi.“Jika sudah tahu, seharusnya kau tahu apa yang harus kau lakukan,” balasnya, “kenapa kembali, bukankah hidup dengan dua pria asing cukup menyenangkan bagimu?”Sudut bibir Rose terangkat, dibandingkan William, ternyata Kanaya jauh lebih hebat. Ia bahkan tahu di mana dirinya selama ini dan bersama siapa.“Tentu saja, sebelum kau datang menemuiku dan kemudian mengatakan padaku tentang rencana burukmu,” tukasnya.Lagi-lagi, Kanaya mendengus kecil, ia menyilangkan tangan
“Ada apa denganmu?” William mendekat dengan dua buah gelas di tangannya. Setelah makan malam bersama, juga sudah menidurkan putri mereka bersama-sama, Rose kembali ke kamar dengan wajah sedih.Wanita cantik itu, menoleh seraya tersenyum lembut. “Aku tidak apa.”“Ambil susu untukmu,” katanya, kemudian mengambil tempat dan duduk di sebelah sang istri.William tersenyum kecil, merasa senang karena Rose kembali ditaklukkan dengan mudahnya.“Kenapa tidak mengatakan jika Ethan sudah–”“Aku tidak bisa mengatakannya. Kepergiannya meninggalkan banyak luka bagi kamu,” potong William.Terdengar helaan napas panjang dari Rose, “Nenek sudah mengatakan padaku, tentang Kanaya dan putrinya, tapi tidak mengatakan keseluruhan.”William menyesap pelan kopi panas miliknya, menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang jauh.“Sekarang kau sudah tahu, kan. Kanaya dan putrinya membutuhkan kita. Aku berharap kau tidak lagi salah paham pada kami,” ujar William pada akhirnya.“Tetap saja, kalian berdua s
“Kau tidak rindu pada ibu, dia merindukanmu sampai kondisinya semakin buruk,” terang Nicholas memulai percakapan mereka.“Aku akan temui ibu setelah meminta izin pada William,” balas Rose dengan wajah tenang, tetapi hatinya benar-benar khawatir dengan kondisi Margaret.Mengangguk pelan meski ada rasa kecewa di dalam hatinya. Nicholas mencoba untuk tidak menampakkan itu. “Hum, katakan padanya. Bagaimanapun, ibu sudah menganggapmu seperti putrinya.”“Hum,” balas Rose singkat.“Rose.” Nicholas mendekat, mencoba meraih tangan mantan kekasihnya, tetapi segera disadari oleh Rose.“Aku minta maaf padamu,” katanya dengan lirih dan kecewa karena tidak berhasil memegang Rose. Menarik napas panjang, Rose mengangguk pelan. “Aku sudah memaafkanmu, jauh sebelum kau menikah dengan Diana.”Nicholas merasakan hatinya tercubit. Bahkan Rose sudah memaafkan dirinya sudah lama. Wanita ini, telah keluar dengan masa lalunya dan bahagia dengan pria lain.“Apakah kau kembali bersamanya?” tanya Nicholas meng
Rose meninggalkan rumah Matilda setelah makan siang dan menidurkan Anantha, tetapi sebelum itu, ia sudah mengatakan pada putrinya, jika dia ingin menjenguk kerabat mereka yang lain. Awalnya, Anantha bersikeras ingin ikut karena tidak terbiasa ditinggalkan oleh ibunya.Namun, Matilda selalu punya cara untuk membuat siapa pun tetap tinggal atau pergi darinya. Di jalan, Rose meremas jari-jarinya sebab khawatir. Entah sejak kapan, tetapi setiap kali melihat Satia ia menjadi kasihan.“Kita singgah di toko untuk hadiah,” pintanya pada supir.“Baik Bu.”Ia merogoh tas kecil miliknya, mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.“Kenapa tidak bisa dihubungi,” ujarnya dengan wajah bingung.Beberapa menit kemudian, mereka sampai di toko yang Rose inginkan. Ia keluar dan meminta supir menunggunya._____Sementara di tempat lain, Kanaya dan Ronald sudah tiba di kediaman Kanaya. Wanita cantik itu, tak henti memuji kehebatan Ronald yang begitu lihai memindahkan putrinya dari ranjang ke box ba
“Kenapa kau yang datang?” Kanaya melotot tak suka pada Ronald yang sudah berdiri di depan pintu ruangannya. Hari ini, ia dan bayinya sudah diizinkan kembali, tetapi wanita cantik itu tidak mengizinkan Matilda menjemput karena kesehatannya.“Pak William ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan,” jawab Ronald, “saya bisa mengantar Anda sampai depan pintu rumah,” katanya.“Aku tidak mau orang lain. Aku hanya ingin William yang menjemputku.” Kanaya meraih ponselnya dan kembali menghubungi William, tetapi lagi-lagi panggilannya tidak tersambung.“Ada apa dengannya,” gumamnya bingung.“Ponsel pak William rusak. Lebih baik kembali dengan saya saja.”Bayi cantik itu menangis, Kanaya mendesah sebab belum terbiasa membawa bayi sekecil itu, Andai ada William maka dia tidak akan sekhawatir ini.Ronald mendekat, ia bisa melihat kekhawatiran, di depan box bayi merah jambu dengan banyak hiasan, Ia berdiri dengan tatapan takjub. “Nona, bayi Anda sangat cantik.”“Tentu saja cantik. Aku ibunya juga b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments