"Beneran lo nggak kenapa-napa, Bi?"
Aku menoleh pada Intan sebelum terbatuk pelan. Ini sudah yang ketiga kalinya Intan menanyakan hal yang sama sejak kami keluar dari kelas setelah bel pulang berbunyi. Hari ini perpustakaan tutup, karena itu aku langsung turun ke lantai satu bersama Intan.
"Kan gue udah bilang kalo gue nggak kenapa-napa, Tan. Cuma batuk doang."
Tentu saja aku bohong, karena yang sebenarnya bukan hanya batuk saja yang menyerang ku sekarang tapi juga pernapasanku yang agak sesak dan kepala pusing. Sejak jam pelajaran terakhir dimulai, entah kenapa tiba-tiba aku merasa pusing dan sesak napas. Untungnya aku bisa menahannya tanpa ketahuan Intan dan tepat saat bel pulang sekolah berbunyi, tiba-tiba aku tidak bisa menahan untuk tidak terbatuk-batuk dan mengundang kecurigaan Intan.
"Obat lo masih ada kan?"
"Iya."
Aku terbatuk-batuk lagi membuat Intan kembali menatapku. Juga beberapa siswa yang berpapasan dengan kami memandangku aneh
Dalam hidup, yang namanya perubahan itu pasti akan selalu ada. Entah itu kecil atau besar, entah itu terlihat samar-samar atau justru sangat nyata, entah membawa pengaruh baik atau buruk, perubahan tidak akan pernah bisa kita tampik. Seperti yang kurasakan sekarang pada Kak Viny. Belakangan sejak Papa pulang dan tinggal kembali bersama kami, sikap Kak Viny perlahan berubah. Seiring dengan perhatian penuh yang Papa berikan pada Kak Viny, entah kenapa perhatian Kak Viny semakin berkurang padaku. Aku tahu mungkin aku kelihatan egois dan selalu menuntut perhatian kak Viny padaku, tapi apakah aku salah? Untuk seorang remaja sepertiku, yang sejak dilahirkan hingga umurnya yang menginjak enam belas tahun sama sekali tidak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang dari seorang ayah kandungnya sendiri, apakah aku salah jika mengharapkan perhatian?"Bi, Kakak janji mulai sekarang kakak akan selalu ada buat kamu. Enggak peduli apa Papa ada di sini bersama kita atau enggak, Kakak akan se
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba menyesuaikan cahaya yang ada di sekitarku. Gradasi yang awalnya buram perlahan tampak semakin jelas, bersamaan dengan pening tak terhingga di kepalaku. Ruangan serba putih dengan bau khas obat-obatan membuatku mengerutkan kening. Di mana aku?"Kamu sudah sadar, Bintang?"Aku menoleh, menatap seseorang yang sangat kukenal berdiri di samping ranjang tempatku berbaring. Pria seumuran Papa itu tersenyum ramah Melihat pria itu ada di dekatku, membuatku menyadari di mana aku berada sekarang."Om, kenapa aku di sini?" tanyaku dengan suara serak. Entah sudah berapa lama aku tertidur."Menurut lo kenapa?" Aku langsung menoleh ke arah suara yang menginterupsi pertanyaanku barusan."Intan, jangan ketus gitu dong ngomongnya. Bintang baru aja sadar ini," tegur pria itu, Om Herman."Abisnya aku kesel, Pa. Bi tuh nggak pernah mau dengerin aku. Udah berkali-kali aku ngomong sama cewek batu ini agar dia nggak masuk sekolah du
"Bintang, gimana? Angkasa jagain kamu kan di sekolah?" tanya Tante Jenni, membuat semua orang yang ada di meja itu menoleh padaku, kecuali Papa tentunya. Dan Angkasa yang tampak acuh dan lebih memilih fokus ke makan siangnya."Iya, Tante. Angkasa jagain Bintang banget, kok. Sampai Bintang pulang sama sahabat Bintang aja nggak dibolehin sama Angkasa." Aku langsung mendapat lirikan tajam oleh Angkasa, tentu saja karena sudah menyindirnya masalah kemarin saat dia melarangku pulang bersama Galang dan Nina.Tante Jenni terkekeh, lalu menoleh pada anaknya. "Jangan terlalu posesif gitu dong, Sa."Mendengar kata 'posesif', jadi berasa aku ini adalah pacar Angkasa. Tiba-tiba pipiku memanas hanya memikirkan hal konyol itu. Aku pasti sudah gila!"Kalo nggak diposesifin, dia bisa keluyuran kemana-mana, Ma."Aku mendelik, mendengar jawaban enteng Angkasa. "Emang gue cewek apaan? Jangan ngomong yang enggak-enggak deh lo.""Loh, Bi? Kok panggil Angkasa pak
Bersamaan dengan teriakan, tangannya yang kuat menggenggam pergelangan tanganku lebih erat dan membalikkan tubuhku dengan mudahnya sehingga kami berdiri berhadapan."APA?" bentakku sambil berusaha melepaskan tanganku namun genggamannya lebih kuat."Nggak usah childish bisa nggak?""Bukannya lo yang childish? Marah-marah nggak jelas, bahkan di saat gue nggak tahu bikin salah apa. Kalau lo nggak suka sama keberadaan gue, ngomong! Nggak perlu cari-cari alasan sampai bawa nama orang lain. Gue juga udah terbiasa sama penolakan, jadi nggak usah sungkan buat ngusir gue!" Aku menghempaskan tangannya yang mengendur. Menatapnya marah. Dia kira hanya dia saja yang bisa marah? Dia kira aku perempuan lemah?"Bukan gitu." Ekspresinya melunak. Dia meremas rambut sambil berkata lagi, "Gue bukannya nggak suka sama lo.""Terus apa? Lo lagi ada masalah dan melampiaskannya ke gue? Gitu? Muka gue emang cocok banget ya buat tempat pelampiasan?""Ya Allah, enggak
Aku menoleh pada Intan setelah membalas pesan dari Galang. "Pulang sekolah, kita diajak hang out sama Galang-Nina.""Boleh. Gue juga lagi bosen di rumah terus." Aku hanya membalasnya dengan gumaman dan anggukan kepala. "Elo juga ikut, kan?""Iyalah. Ini kan juga buat gantiin yang kemaren nggak jadi gara-gara Angkasa nggak bolehin.""Emang lo yakin ntar Kak Angkasa bolehin?"Aku menoleh sekilas ke Intan, sebelum kembali fokus ke tulisan di papan tulis. "Emang kenapa kalo ntar dia nggak bolehin? Bukan siapa-siapa gue, ini.""Siapa bilang bukan siapa-siapa? Hampir jadi siapa-siapanya, Bi.""Emang lo peramal?""Ini fakta.""Fakta apaan?""Nih ya lo denger. Fakta pertama, lo sama Kak Angkasa tuh emang nggak bisa dibilang temen atau sahabat, karena kalian nggak pernah bisa akur. Tapi pada kenyataannya tiap hari kalian tuh pulang sekolah sama-sama melulu dan itu ngebuktiin kalau ada kemungkinan kalian bisa jadi pasangan yang menjalin te
"Sakit?" tanyanya. Aku hanya bergumam tanpa membuka mata. "Ayo ke UKS."Dia sudah bangkit dengan posisi tangan menggenggam lenganku. Kulepaskan genggaman tangannya perlahan. "Enggak perlu ke UKS. Gu-aku cuma butuh istirahat bentar di sini."Dia menatapku, mungkin mengamati keadaanku sebelum akhirnya menghela napas berat kemudian duduk kembali. Padahal aku berharap dia membiarkanku sendiri di sini. Kupejamkan mata kembali dan menyandarkan kepala ke dinding namun lagi-lagi aku tersentak saat tangannya terulur menggerakkan kepalaku bersandar di bahunya. Tentu saja itu membuatku menatapnya lama dan mengangkat kepala dari bahunya."Tidur aja!" ucapnya seraya menyandarkan kepalaku lagi ke bahunya.Rasanya memang lebih nyaman daripada bersandar di dinding. Karena itu untuk kali ini aku mengalahkan ego dan menurutinya. Dengan mata terpejam kugerakkan kepalaku lagi, mencari posisi yang lebih nyaman. Dan tangannya yang tiba-tiba memeluk bahuku dari belakang membu
"Bi, Sayangku!"Aku memejamkan mata saat Intan berlari—yang jujur tak ada anggun-anggunnya sama sekali—ke arahku dan langsung memeluk erat. Aku langsung melepaskan paksa pelukannya sebelum persediaan oksigen di paru-paruku habis."Apa sih, Tan? Gue kehabisan napas tau!"Intan memberengut. "Kan gue kangen, Bi. Tiga hari nggak ketemu lo tuh berasa kayak sup tanpa garam, hambar.""Dih. Lo ketularan lebaynya Kak Romi kayaknya deh."Intan mencebikkan bibir mendengar cibiranku. Sebenarnya aku juga cukup merindukan sahabat perempuanku satu-satunya ini. Selama tiga hari dia pergi ke kota Padang untuk menjenguk neneknya yang sakit. "Jangan ingetin gue soal cowok maho itu."Aku terkekeh geli. "Tanpa gue ingetin pun lo bakal terus inget dia. Karena sampe pesta ini kelar, lo bakal liat muka dia.""Emang dia juga dateng ke sini?""Tuh." Aku menunjuk ke arah belakang Intan, yang langsung diikuti olehnya.Tampak di sana si kembar—Angkasa
Aku melirik tajam ke arah Intan yang cengengesan. Iqbal ini punya kadar protektif yang sangat over terhadapku dan itu benar-benar membuatku jengah. Dan meskipun dia termasuk cowok humoris, tapi tetap tampak sangat menakutkan saat sedang serius."Enggak usah bersikap kayak Abang beneran, deh." Aku menghindari tatapannya."Lo punya pacar?""Enggak.""Lo masih kecil, Bi." Tuh kan? Kalau dia memanggilku dengan sebutan 'Bi' berarti dia sedang benar-benar serius."Gue nggak pacaran, Ibal." Dia menyipitkan matanya menatapku namun aku langsung menggandeng lengannya. "Udah deh mending sekarang lo makan dulu karena acara tiup lilinnya udah mau mulai. Oke, Abang Ibal?"Dan berani jamin kalau aku sudah memanggilnya 'Abang Ibal' maka dia pasti akan menurut. "Ya udah tapi abis acara ini selesai lo harus jelasin siapa Angkasa Angkasa itu. Ngerti?"Setelah Iqbal pergi, aku langsung mendelik pada Intan. "Elo sih!""Loh, emang apa salahnya sih?" t