"Kenapa muka kalian bonyok gitu?" tanyaku.
Suaraku perlahan mulai pulih dan tenggorokan sudah tidak perih lagi. Untungnya lagi, Om Herman mengijinkan alat bantu pernapasanku dilepas karena kondisinya mulai membaik. Ini sudah sehari setelah aku bangun dari tidur yang kuanggap hanya delapan jam, namun ternyata delapan hari. Dan sejak aku bangun, aku sama sekali belum bertemu Angkasa lagi. Sehari kemarin hanya dihabiskan untuk acara pelukan penuh syukur dari Intan, Galang, Iqbal, juga Bu Rini dan pak Udin. Ah, ya, Bunda juga. Sementara Kak Viny dan Papa? Aku belum melihatnya sama sekali. Galang bilang bahwa semua orang sudah mengetahui penyakitku, tanpa terkecuali. Tapi aku juga tidak bisa berharap banyak kalau Papa akan datang.
"Ulah sahabat lo, tuh. Maen tonjok gitu aja. Ya udah gue tonjok baliklah." Iqbal menjawab pertanyaanku barusan.
Aku menatap Galang yang berdiri bersisian dengan Iqbal tepat di samping bangkar tempatku terbaring. Hanya mereka berdua yang menema
"Kak Bintan kapan pulangnya?"Aku tersenyum, menatap Ken yang sedang duduk di bangkar yang sama denganku. Tangan kananku terulur mencubit pelan pipi tembem adik Galang satu-satunya ini. Ya, siang tadi Ken diantar Mami ke sini sepulang sekolah dan nanti pulangnya akan dijemput oleh Galang."Ken udah lamaaa banget nggak ketemu Kak Bintang. Kan Ken kangen."Ah, melihat wajah cemberut Ken membuatku tidak bisa untuk tidak memeluknya erat. Ken juga langsung membalas pelukanku tak kalah erat."Ken tenang aja. Kak Bintang nanti malam udah pulang ke rumah."Aku dan Ken menoleh ke arah pintu ada Bunda dan Kak Viny yang sudah berdiri di sana."Benelan, Tante?" tanya Ken dengan aksen cedalnya."Iya. Kak Bintang nanti malam udah boleh pulang sama Pak dokter dan Ken bisa main ke rumah Kak Bintang sepuasnya." Bunda berjalan mendekat kemudian duduk di salah satu kursi di samping bangkar."Holee!" seru Ken yang langsung berjingkrak-jing
Aku tertawa kecil membaca pesan chat dari Galang dan Iqbal yang barusan masuk. Kedua laki-laki yang mengklaim diri mereka sebagai kakak angkatku itu, entah kenapa sangat sulit untuk menerima dan membiarkan aku dekat dengan Angkasa. Setiap bertemu selalu terlibat perang dingin dengan Angkasa. Mereka selalu bersikap seolah-olah Angkasa adalah bakteri yang harus dijauhkan dariku. Tapi sekeras apapun usaha mereka menjauhkan aku dan Angkasa dengan tingkah-tingkah konyol mereka, tidak akan pernah bisa menghalangi Angkasa untuk tetap dekat denganku. Karena seperti selalu, Angkasa tidak pernah menggubris keberadaan mereka dan hanya menganggap mereka sebagai lalat pengganggu."Kantin yuk, Bi!"Aku mendongakkan kepala, Intan sudah berdiri menyilangkan kedua tangan di depan dada, dan menatapku. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dimana hanya tersisa bangku-bangku kosong karena sudah ditinggalkan pemiliknya."Ayo dong, Bi. Lama banget elah. Cacing-cacing gue udah pad
Aku mengerjap-ngerjapkan mata saat cahaya menyilaukan berasal dari jendela menerpa mataku. "Bu Rini, bentar dong jangan buka dulu gordennya. Bi masih ngantuk." Suara tirai dibuka makin lebar, membuatku menggeliat pelan. "Bu, lima menit.Sejak kemarin, aku datang bulan dan tentunya kalian tahu kan bagaimana rasanya saat datang bulan? Malas, lemas, belum lagi semalam saat perutku nyeri bersamaan dengan dadaku yang juga ikut nyeri. Itu benar-benar membuatku tak bisa tidur semalaman, dan aku baru bisa terlelap saat pukul tiga pagi. Dan sekarang aku benar-benar masih mengantuk, lagipula hari ini hari Sabtu, jadi tidak apa-apa kan kalau aku tidur sampai siang? Tapi Bu Rini tidak menghiraukan permintaanku dan malah menarik selimut yang menutupi tubuhku hingga ke pinggang."Bu?" pintaku, menarik kembali selimut itu hingga ke dagu.Bu Rini menarik kembali selimut itu dan akhirnya terjadilah adegan tarik menarik selimut. Dan dengan sedikit sentakan, selimut itu berhasil dita
"Saya pinjam buku ini, Mas. Tolong dicatat ya." Aku meletakkan sebuah novel di atas meja Mas Afdhal.Mas Afdhal tersenyum, membuka arsip peminjaman kemudian mencatat judul novel serta memeriksa kartu identitas perpustakaanku. "Belakangan ini kamu sering nongkrong di sini sampai sore, ya? Nunggu pacar kamu itu ya?""Pacar? Siapa?" tanyaku."Murid kelas tiga itu, kalau nggak salah namanya," Mas Afdhal tampak mengingat-ingat. "Angkasa. Iya, Angkasa. Iya kan?"Aku tersenyum malu. "Mas Afdhal ternyata doyan gosip juga ya?"Mas Afdhal tertawa. "Nih, sudah selesai.""Makasih, Mas." Aku menerima novel itu, dan memasukkannya ke dalam tas punggungku. "Saya duluan ya."Mas Afdhal mengacungkan jempol. Aku langsung keluar dari perpustakaan dan melangkah agak terburu-buru, karena sejak lima menit yang lalu, aku sudah mengirimkan pesan pada Angkasa untuk tidak perlu menjemputku di perpustakaan dan cukup menunggu di koridor saja. Koridor sekolah sudah
Sejak bertahun-tahun lalu, aku harus berdamai dengan penyakit yang ada dalam tubuhku ini, aku mulai terbiasa mengatasi semuanya sendiri. Jarang sekali aku mengeluh, meminta bantuan pada Bu Rini atau Pak Udin saat serangan tiba-tiba menghampiri jantungku. Aku tidak ingin orang lain mengalami kesulitan yang disebabkan olehku, karena aku selalu berprinsip bahwa selama aku bisa melakukan sesuatu sendiri, maka aku tidak akan meminta bantuan orang lain. Dan itu juga berlaku saat rasa sakit tiba-tiba menyerangku tanpa kenal waktu, termasuk saat aku sedang pulas-pulasnya tidur, namun tiba-tiba terbangun karena rasa sakit itu. Di saat seperti itu, tidak mungkin bukan kalau aku harus membangunkan seluruh penghuni rumah hanya untuk menemaniku, atau membantuku membawakan apa yang kubutuhkan? Karena itu aku terbiasa mandiri.Seperti malam ini, saat jarum jam pendek menunjuk angka dua belas, sementara jarum panjang menunjuk angka empat, aku terpaksa terjaga karena nyeri hebat pada dada kiri
"Bi!"Aku mendongak, mengalihkan pandangan dari buku catatan ke arah Intan yang baru saja masuk kelas. Dia tampak terengah-engah, tentu saja karena dia berlari, entah dikejar apa atau siapa."Kenapa lo lari-lari kayak gitu? Dikejar hantu?" tanyaku.Intan mendelik, namun sedetik kemudian langsung menarik lenganku. "Ikut gue sekarang!""Ke mana?"Intan berdecak, "Ikut aja sekarang. Entar gue kasih tau sambil jalan."Akhirnya aku menuruti ajakan Intan, dan kami langsung keluar dari kelas. "Emang mau kemana sih, Tan?""Ke ruang kepsek."Aku menghentikan langkahku, "Ngapain?!"Intan menatapku, tampak sedang berpikir sebelum menyahut pertanyaanku. "Bokap lo ke sini.""Hah? Maksud lo ... bokap gue?!" tanyaku terkejut."Ya masa bokapnya Deni!" Intan menghela napas. "Gue nggak tau kenapa bokap lo ke sini dan ketemu Pak kepsek, tapi gue rasa ada hubungannya sama kejadian lo kekunci di toilet kemaren, deh."Kini aku
Helaan napas panjang keluar dari mulutku saat mobil Kak Bisma meninggalkan halaman rumah, bersama Viny Kak dan barang bawaan mereka. Pagi ini, sesuai rencana mereka berangkat ke puncak untuk rekreasi, menyegarkan pikiran sebelum menghadapi Ujian Nasional. Kenapa aku mengatakan mereka, bukan kami? Karena memang aku batal ikut."Kamu sudah bangun?" Seseorang bertanya pelan begitu aku membuka mata, dan langsung kubalas dengan anggukan lemah.Namun sesaat, aku mendengus kesal karena lagi-lagi harus terbangun dengan kondisi berbaring lemah di atas ranjang ruang rawat inap rumah sakit. Lengkap dengan jarum infus terpasang di pergelangan tangan kanan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, karena yang kuingat terakhir kali sebelum terbangun di atas ranjang ini adalah aku masih berada di sekolah.Aku ingat sekali tadi siang aku baru keluar dari ruangan kepala sekolah bersama Papa setelah menyelesaikan masalahku dengan Anggi. Orang tua Anggi datang ke sekolah pagi itu, dan
Aku tertawa mendengar Intan yang menceritakan tentang kejadian di mana dia ke puncak tempo hari. Dia merasa kesal karena tiba-tiba Kak Romi mengungkapkan perasaannya pada Intan di malam pertama mereka di puncak, tepatnya saat barbequean di halaman villa milik Tante Jenni. Disaksikan oleh semua orang yang ikut ke puncak, termasuk Tante Jenni yang —menurut Intan—sangat mendukung hubungan Intan dan Kak Romi."Terus lo terima nggak?" tanyaku, setelah puas tertawa.Intan memberengut, "Ya enggaklah! Gue cuma pelototin dia terus kabur ke kamar."Aku tertawa lagi. Intan mencebikkan bibirnya sambil mengayun-ayunkan kakinya di kolam renang, sementara aku duduk di ayunan. Pagi ini rumah sepi. Bu Rini dan Pak Udin sedang pergi ke Bogor mengunjungi orang tua Bu Rini. Bunda dan Papa kerja seperti biasa, sementara Kak Viny di sekolah, sedang menghadapi hari pertamanya Ujian Nasional, bersama seluruh siswa kelas dua belas di seluruh Indonesia. Dan karena itu pula aku dan Intan