Share

Dilamar Kakek-Kakek

Nun benar-benar heran dengan lelaki bernama Alif Sya’bani Abyansyah Khalifi alias Park Seo Joon kw itu. Sampai kembali ke rumah pun, Nun tetap tidak habis pikir. Dia bahkan jadi tidak bisa tidur karena memikirkan si Alif ini.

Nun kira dia akan dibawa ke rumah atau ke sebuah tempat semacam caffe untuk bertemu sang Kakek. Ternyata, dia dibawa ke sebuah rumah sakit.

Kakeknya Alif ternyata sedang menjalani perawatan intensif karena komplikasi penyakit yang dideritanya. Nun berkenalan dengan kakeknya Alif di ruang rawat VVIP.

“Saya Yasin Khalifi, kakeknya Alif,” kata lansia yang terbaring lemah di atas ranjang pasien itu. Suaranya tidak jelas karena sesak napas. Selang nasal canula terpasang di hidungnya.

Meski terbaring di electrical hospital bed yang canggih di ruang rawat VVIP dengan fasilitas setara hotel berbintang, kakek Alif tampak tidak berdaya. Gerakannya dibatasi oleh selang infus dan penyakitnya yang tidak kunjung sembuh.

Dua orang ajudan yang bagai malaikat Rokib-Atid berdiri di sisi kanan dan kiri ranjang pasien. Mereka jadi perpanjangan tangan sang Kakek jika membutuhkan sesuatu. Mereka juga yang saat itu menyambut Alif dan Nun ketika tiba di ruangan.

Perasaan Nun benar-benar tidak karuan. Namun, sebagai Mak Comblang berpengalaman dia bisa mengendalikan diri dan bersikap sewajarnya. Dia memperkenalkan diri dengan sopan.

“Nama saya Ainun Mardiyya. Saya consul ....” Nun segera membekap mulutnya yang terlanjur terlatih mengucap kalimat perkenalan sebagai Mak Comblang. Dia pun mengoreksi dialognya, “Maksud saya ....”

“Maksudnya, calon istri, Kek,” sela lelaki bertampang lugu di sebelah Nun. “Iya, kan?” Dia menunjukkan senyum sok imut ke hadapan Nun.

Nun menganggkat alis. Alif menyiku lengannya dari belakang. Sudut matanya jelas tampak mendelik. Namun, senyumnya tetap terpasang sebagai kamuflase di depan kakek.

“Namanya Nun, Kek.” kata Alif seraya memberi kode agar Nun mendekat kepada kakeknya untuk sekedar cium tangan.

Nun menyalami sebelah tangan kakek yang bebas dari selang infus.

“Baik sekali,” puji sang Kakek. “Cocok. Sesuai request.”

Nun mengernyitkan dahi. Ada sesuatu yang sepertinya dia tidak mengerti. Namun, dia tetap memasang tampang sewajar mungkin meski jiwanya sudah meronta-ronta ingin semua ini segera berakhir.

“Nun, ya ...,” gumam Pak Yasin, kakeknya Alif. “Namanya sudah pas dengan keluarga kita. Alif, Nun, Yasin, hijaiyah semua.” Tidak disangka kakek lemah tidak berdaya yang sedang terbaring sakit itu tertawa bahkan sampai sesak napas.

Alif segera menghampiri kakeknya. Namun, Pak Yasin malah menepuk-nepuk punggung cucunya. “Tidak apa-apa, Alif. Kakek senang sekali.”

Setelah napasnya kembali stabil, lelaki itu lalu menatap Nun dengan rasa haru.

“Kamu mirip dengan neneknya Alif waktu masih muda dulu,” gumamnya tampak gemas. “Jilbabnya, duh ... sama persis kayak gaya neneknya Alif.”

Nun merasa bulu kuduknya berdiri. Dia jadi dilema. Perasaannya bercampur antara tidak tega, was-was, dan ngeri. Jangan-jangan ....

“Kakek suka sama dia?” tanya Alif.

Nun menyimak pembicaraan dua manusia yang baru-baru ini muncul di hidupnya itu.

“Suka ... Kakek cocok sama yang ini.” Mata Pak Yasin berbinar ceria.

‘Deg,’ jantung Nun serasa merosot. Jangan-jangan ....

“Langsung Kakek lamar aja, boleh?”

Muka Nun berubah pucat pasi. Tubuhnya terpaku kaku di tempat dia berdiri.

“Tidaaak ...” jeritnya dalam hati. “Masa Nun dilamar kakek-kakek?”

Senyum kecut terpasang di wajah Alif. Tidak ada manis-manisnya sedikit pun di mata Nun.

Dengan gaya ‘shombhong amat’, Alif mengangkat dagu runcingnya dan melempar tanya bagai sebuah tembakan eksekusi mati kepada Nun yang terdiam sejak tadi. “Mau enggak?”

Nun mengerjapkan mata, mengumpulkan kesadarannya yang terserak.

“Mau apa?”

“Mau enggak saya lamar kamu sekarang juga ....” sela Pak Yasin. Langsung disambar Nun dengan gelengan kepala. Kemudian, gelengan kepala itu disambar Alif dengan sebuah sentakan.

“Kamu enggak suka dilamar sama kakek-kakek?”

Nun terkesiap. Sorot matanya menyiratkan pernyataan, “Masa Nun dilamar kakek-kakek sih?”

“Terus maunya dilamar siapa? Dilamar bapak-bapak?” sentak Alif lagi. “Aku udah enggak punya bapak. Adanya tinggal Kakek.”

Nun terkesima. Sebagian hatinya terasa diguyur iba. Dia tidak menyangka lelaki keras kepala dan ‘kurang ajar’ itu ternyata bernasib sama dengan dirinya. Nun juga sudah tidak punya Ibu, hanya tinggal bapak seorang yang paling sabar sedunia, yakni Pak Sabar.

Melihat Nun tercenung cukup lama, kakek Alif melanjutkan kalimatnya, “Saya lamar kamu buat Alif, bukan buat saya.”

Muka Nun yang pucat jadi merona merah muda.

“Mau, ya?” kata Pak Yasin.

Nun terdiam lagi. Kecamuk pikiran Nun berkata, “Nih cucu dan kakek sama anehnya, ya?”

Hingga menjelang tidurnya, Nun tidak bisa memejamkan mata. Dia terbayang konsekuensi yang mungkin diterimanya di kemudian hari setelah menjanjikan sesuatu kepada kakeknya Alif di rumah sakit.

“Mohon beri saya waktu untuk memikirkan jawabannya dahulu, ya, Kek,” pinta Nun.

Sekedar ta’aruf dia bisa mengiyakan, tetapi jika ‘pemerasan’ ini dilanjutkan ke jenjang khitbah, Nun tidak siap. Apalagi, jika diupgrade ke pelaminan. Nun tidak bisa membayangkan masa depannya jadi seperti apa.

“Kenapa?” tanya orang tua itu lemah.

“Ini kan bukan soal matematika yang harus dikalkulasi. Jawab ‘iya’ atau ‘tidak’ aja susah amat, sih,” cecar cucu sang Kakek.

“Alif, tidak boleh begitu sama calon istri!” tegur Pak Yasin. Kalimat yang ia lontarkan kemudian persis mewakili isi hati yang disimpan Nun sebagai balasan perkataan Alif tadi. “Melangkah ke jenjang hubungan yang serius itu peru dipikirkan baik-baik ... uhuk-uhuk ... itu memang bukan soal matematika, tetapi itu bakal sejarah hidup kita. Bahkan penentu surga dan neraka kita di dunia dan akhirat ... uhuk-uhuk ... bukan hanya kalkulasi, tetapi butuh rencana dan pertimbangan yang matang untuk menjawab ‘iya’ atau ‘tidak’ itu, Alif.”

Nun membatin, “Ternyata kakek ini bijaksana sekali. Uhuk-uhuk-nya aja jadi terdengar uwu-uwu.”

“Ehm ...” Alif jadi keki. “Alif gimana Kakek aja deh.”

Diam-diam Nun melirik ke sebelah, meneliti gurat wajah Park Seo Joon kw yang mendadak diserbu rona merah. Entah, karena malu atau memendam marah, Alif tiba-tiba mendelik tepat saat dia dilirik. Nun jadi bergidik.

“Kakek tunggu jawaban Nun secepatnya. Jangan sampai kamu kalah cepat sama malaikat Izroil, ya ...!” Kakek Alif tertawa satir.

Nun jadi ingat almarhum ibunya ketika sakit dan pesannya sebelum menghembuskan napas terakhir, “Jaga diri baik-baik, Nun! Jangan salah pilih pasangan hidup ....”

“Iya. Insya Allah,” ucap Nun tanpa sadar di depan Alif dan kakeknya.

Tidak terkira gembiranya Pak Yasin mendengar ucapan Nun tadi. Tidak tahu dia bahwa ucapan itu pula yang membuat Nun gusar semalam suntuk. Terutama setelah pembicaraannya dengan Alif sepulang dari rumah sakit.

“Kamu teh serius soal lamaran tadi?” tanya Nun setelah mengumpulkan keberanian. Dia memilih untuk angkat bicara daripada membiarkan masa depannya jadi taruhan.

“Lu pikir gue bisa becandain Kakek?” sentak Alif. Rupanya dia hanya ber-aku-kamu di depan kakeknya saja. Nun sampai tidak habis pikir, selain omongannya yang asbun, lelaki satu ini juga selalu ngegas saat bicara, tidak sekalem wajahnya yang lugu tanpa dosa.

“Bukan bercandain Kakek, tetapi bercandain saya,” sahut Nun.

“Dih, kurang kerjaan amat gue becandain lu!” sungut Alif.

Setelah merengut sesaat, Nun kembali bersuara dengan pelan, “Jadi, serius?”

Alif yang duduk di kursi depan sebelah sopir akhirnya menoleh ke belakang. Nun duduk di jok belakang tanpa bersandar saking takutnya ketiduran dan diculik, tidak diantar pulang oleh klien anehnya.

“Emang gue ada tampang lagi bercanda?” tembak dia.

“Tapi, kenapa saya? Kita kan enggak kenal.”

“Lah, baru nanya sekarang? Lu sehat?” Alif memamerkan senyum kecutnya lagi. “Kan lu yang gagalin ta’aruf terakhir gue, ya lu yang harus tanggung jawab ta’aruf sama gue.”

“Iya ... iya ...,” sahut Nun. “Soal ta’aruf itu saya paham. Saya akan tanggung jawab. tetapi kenapa sampai ada lamaran segala? Saya tidak mau.”

“Kenapa enggak mau?”

Intonasi suara Alif entah kenapa selalu membuat Nun kena serangan jantung, padahal dia tidak punya penyakit itu.

“Saya tidak bisa menikah.”

“Kenapa?”

Nun tidak memberi jawaban. Dia hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Tidak bisa.”

“Iya, kenapa?” cecar Alif, “Gue jelek? Kurang ganteng? Enggak tampan? Hah?”

Nun kembali menggelengkan kepala sebelum lelaki itu salah paham. Bisa berabe jika dia naik pitam dan Nun diturunkan di tengah jalan, apalagi hari sudah malam.

“Terus kenapa?”

“Sa ... saya ....” Nun ciut melihat mata sipit yang tiba-tiba melotot lebar di wajah baby face itu. “Saya punya syarat dan ketentuan berlaku.”

Alif yang tadinya melotot sontak menyipitkan mata dan mengerutkan kening.

“Gue kira lu Mak Comblang, ternyata operator seluler.” Dia mendengus kesal sambil buang muka, kembali mengamati jalan raya dari balik kaca film kendaraan yang ditumpanginya.

Kerlap-kerlip lampu di sepanjang pusat kota yang dilalui mobilnya seakan membuka mata Alif bahwa kenyataan memang tidak seindah harapan.

“Jadi apa SnK-nya?” tanya dia tanpa menoleh ke belakang. Intonasi suarannya sama sekali beda dari sebelumnya. Kali ini lebih kalem, tetapi tetap cuek.

“Hm ... saya harus lapor Pak Kafka dulu!”

“Kafka lagi ....” Alif menghela napas berat. “Memang dia bapak lu?”

“Bukan, tetapi ....” Nun menggigit bibirnya. Dia teringat sesuatu saat melihat mulut gang menuju rumahnya tinggal beberapa meter lagi. “Tolong jangan bilang apa-apa sama bapak saya, ya!” pintanya.

Alif melongo. Bisa-bisanya semua dilaporkan Kafka, tetapi kepada bapak sendiri tidak boleh bilang apa-apa. Alif jadi menyimpan tanya, “Sebenarnya si The Nun ini wanita macam apa?”

“Tolong berhenti depan gang!” pinta Nun sebelum mobil Alif kebablasan.

“Tunggu!” cegah pemilik mobil itu sebelum Nun turun. “Gimana kalau gue bisa penuhi SnK itu?”

“Kamu tidak akan bisa,” jawab Nun mantap.

“Memang apa sih SnK-nya?”

“Saya tidak bisa memberitahukannya kepada seseorang yang belum sepenuhnya saya percayai.”

“Begini-begini gue bukan pembohong. Kenapa lu enggak percaya sama gue?” Alif nyolot lagi.

“Kita tidak saling kenal.” Nun tetap tenang walaupun jantungnya kebat-kebit dan kakinya kesemutan ingin cepat turun dari kendaraan.

“Lho, CV sama data personal gue, bukannya udah ada semua di sistem kantor lu? Emang lu enggak baca?”

“Ya, saya tahu ... tetapi kan kamu tidak kenal saya.” Nun berusaha tetap kalem, meski hatinya sudah menyebut nama bapaknya berkali-kali, “Sabar ... sabar ... sabar ...!”

“Kan sekarang kita lagi ta’aruf. Saling mengenal.” Alif memberi penekanan pada kata ‘saling-mengenal’ yang diucapkannya itu. “Terus, masalahnya apa?”

“Kan masalahnya itu Anda!” sahut gadis berhijab itu dalam hati. Sorot mata Nun sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Dia melotot lebar-lebar antara melawan kantuk campur kesal. “Masalahnya, saya mau pulang sekarang juga!” sentak dia.

“Gue antar sampai rumah!”

“Tidak usah!”

“Lu tuh, ya!” Alif melotot. Nun juga.

“Rumah saya masuk gang. Tidak bisa dilalui kendaraan.”

“Gue bakal jalan kaki anterin lu sampai rumah!”

“Enggak!”

“Gue mau ketemu bapak lu!”

“Jangan!”

“Gue mau laporin semua kelakuan aneh lu!”

“Dih, bukannya kamu yang aneh?”

“Lu yang aneh.”

“Kamu ....”

“Maaf Bos, Mbak Bos ... telinga saya sakit ini!” protes sopir Alif yang duduk di belakang kemudi. Sedari tadi dia sudah menepi, tetapi penumpangnya malah saling meneriaki satu sama lain tepat di samping daun telinganya. Tidak pelak dia menyarankan, “Kalau bisa, berantemnya dilanjut nanti aja, setelah saya berobat ke THT.”

Mereka langsung diam.

“Saya mau turun sekarang!” pungkas Nun mengakhiri perdebatan. Dia lantas, berkata kepada sang Sopir, “Makasih, ya, Pak. Maaf kalau sudah mengganggu dan merepotkan Bapak.”

Kaki Nun yang beralaskan sepatu kats itu akhirnya bisa menginjak mulut gang. Kesemutannya hilang.

“Hei, lu enggak ada niat bilang terima kasih ke gue gitu?” teriak Alif. Jiwa jumawanya meronta-ronta. Masa iya, sopirnya diberi ucapan terima kasih, tetapi Bos-nya tidak.

Nun menoleh dengan tatapan sengit, tetapi dia kemudian bergidik ngeri melihat tatapan Alif. Gadis mungil itu memacu langkah kakinya makin kencang hingga berlari tunggang-langgang, takut lelaki ‘sableng’ itu menjadikannya buruan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status