Share

Pengagum Rahasia

“Tidaaak ....” kata itu yang ingin Nun teriakan, namun yang keluar malah sebuah anggukan pelan. Dia memang tipe orang yang tidak bisa menolak permintaan, apalagi yang disertai ancaman pemecatan.

“Nun ...?” Kafka ternganga. Namun, kemudian dia bernapas lega, meski agak kecewa.

Nun juga sama. Dia terpaksa mengangguk demi menyelamatkan reputasinya di depan Kafka. Dia juga cukup tahu diri untuk tidak membebani bosnya dengan masalah. Lewat anggukan kecilnya, Biro Jodoh Pangkalan Hati setidaknya bisa selamat dari musibah yang dapat ditimbulkan oleh klien menyebalkan bernama Alif itu.

Lelaki berpenampilan necis itu benar-benar merasa jumawa. Dia bersedekap sambil mengamati ekspresi ‘calon istrinya’ yang ketakutan.

“Kondisiin tuh muka! Jangan nakut-nakutin gitu! Serem amat kayak The Nun,” celotehnya.

Nun mendelik sambil membatin, “Udah tahu serem, kenapa juga diajak ta’aruf? Dasar kelainan!”

Alif melengkungkan senyum sinis. Di otaknya sudah tergambar rencana-rencana ‘indah’ bersama ‘calon istri’ dadakan tersebut.

***

Malam harinya Nun bermimpi, seorang pangeran menyodorkan sebuah sepatu yang terbuat dari kaca.

“Pakailah sepatu ini, wahai Tuan Putri!” pinta sang Pangeran.

Di mimpi kali ini, Nun meningkatkan kewaspadaan, khawatir sepatu kacanya pecah lagi seperti di mimpi sebelumnya. Dia juga penasaran dengan wajah sang pangeran. Kali ini dia memberanikan diri melirik.

“Semoga Pak Kafka ... semoga Pak Kafka ...,” bisiknya dalam hati.

Namun, yang tercetak di wajah pangeran itu malah rupa si Park Seo Joon kw. Sontak Nun bangun dari tidur dengan keringat dingin. “Mimpi buruk macam apa itu tadi?” keluhnya.

Akhirnya, Nun hanya bisa beristighfar. Bersamaan dengan itu gawainya menyala. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal. Dia sentuh layar gawai itu hingga terbuka isi pesan tersebut.

[Besok sore gue jemput! Awas lu, jangan kabur!]

Nun sampai tidak habis pikir. Siapa orang aneh yang mengiriminya pesan di sepertiga malam begini? Mending kalau ngajak tahajud. Ini malah memberi ancaman yang eksekusinya masih sekitar 12 jam dari sekarang. Dia pun memberanikan diri membalas pesan tersebut.

[Siapa ini?]

[Gue]

[Gue siapa?]

[Pangeran lu!]

Mata Nun melotot sempurna, hampir keluar dari bingkainya malah. Menyesal dia membalas pesan tidak jelas dari klien tidak jelas macam dia. Langsung saja Nun matikan daya gawainya. Lantas dia ambil air wudhu untuk meredam emosinya. Setelah melaksanakan dua rakaat salat sunat, barulah dia tidur kembali hingga azan subuh membangunkannya.

***

Pak Sabar sudah mangkal di depan gang saat Nun berangkat kerja dan melewatinya begitu saja.

“Nun!” panggil dia seraya bergumam, “Ngelamun apa nih anak?”

Nun menoleh seakan terkesima. “Bapak?”

“Iya, ini bapak ... masa iya Aldebaran.”

“Kenapa, Pak?”

Bapaknya mengernyitkan dahi. Dilihatnya sorot mata Nun tidak secerah biasanya. Wajahnya juga agak pucat. Kerudungnya juga agak miring sebelah. Sepertinya dia kurang konsentrasi, mungkin butuh ketoprak.

“Ini ketoprak mau di DO enggak?” Pak sabar mengingatkan dengan sabar.

“Jangan, Pak. Kasian kan ... cukup Nun aja yang merasakan di DO dari kampus.” Nun kemudian sadar dia meracau. “Eh, iya ... Nun lupa. Delivery order, ya, Pak?” Dia pun nyengir kuda.

“Nun, kamu enggak apa-apa?” tanya bapaknya, khawatir.

“Enggak ko, Pak. Nun baik-baik saja.”

“Ya, sudah ... hati-hati di jalan, ya!” Pak Sabar menyodorkan sekantong ketoprak. Nun menerima kemudian menyalami bapaknya. Lantas, dia melangkah gontai ke halte di seberang gang.

Hari itu pekerjaan Nun menumpuk. Dia ada agenda nadzor klien yang sempat gagal tempo hari. Bukan Alif, melainkan Mbak Selebgram dan Mas Hafiz Quran. Jadwalnya siang ini setelah Nun selesai menginput data klien-klien baru yang masuk ke web pangkalanhati.com.

“Assalamualaikum, selamat siang, Mas ... Mbak!” sapa Nun menyambut kedatangan dua orang klien yang akan nadzor untuk berta’aruf pada hari itu.

Sebagai Mak Comblang yang berdedikasi, Nun memperkenalkan diri terlebih dahulu, “Saya Ainun Mardiyya, consultan relationship Biro Jodoh Pangkalan Hati.”

Setelah mempersilakan kedua kliennya duduk dengan nyaman, Nun melanjutkan mukadimahnya, “Hari ini agenda kita adalah ta’aruf sekaligus nadzor. Untuk itu, saya persilakan Mas dan Mbak untuk saling memperkenalkan diri secara langsung.”

Berbeda dengan pertemuan sebelumnya, di mana percakapan didominasi oleh pihak pria, kali ini pihak wanita lebih leluasa untuk berbicara. Perkenalan berjalan lancar. Nun hanya menengahi beberapa hal, terutama ketika terjadi kebisuan atau kebuntuan dalam pembicaraan mereka.

Sebelumnya, mereka sudah bertukar CV dan membacanya. Jadi, obrolan pun tidak jauh seputar hal-hal yang ingin diketahui masing-masing terkait keterangan di CV tersebut. Ketika interaksi berlangsung dengan baik sesuai prosedur, Nun biasanya hanya sekedar jadi ‘nyamuk’. Namun, jika pembicaraan sudah melenceng, dia akan sigap meluruskan arah. Begitu pula jika salah satu pihak merasa tidak nyaman atau keberatan terhadap sesuatu hal, Nun akan segera menengahi dan menawarkan beberapa solusi.

Pertemuan ta’aruf dan nadzor untuk sesi pertama biasanya hanya berlangsung singkat, tidak lebih dari satu jam. Sebab, dalam satu hari, seorang Mak Comblang bisa melayani beberapa sesi untuk klien lain.

Nun pun bernapas lega karena ta’aruf antara Mbak Selebgram dengan Mas Hafiz Quran ini sukses. Dia bahkan ikut terbawa perasaan alias baper ketika dengan mantap Mbak Selebgram menyatakan siap berhijab.

“Cinta memang bisa mengubah segalanya. Tidak hanya membutakan mata, cinta yang sesungguhnya justru dapat menjadi cahaya yang menyinari jalan seseorang untuk melangkah kepada kebaikan.” Entah di film apa Nun pernah mendengar kutipan so sweet tersebut.

Setiap sesi ta’aruf yang berhasil memang kerap membuat Nun sebagai Mak Comblang yang masih jomblo, terbawa perasaan. Sebagai manusia biasa, hati kecilnya juga mendambakan pendamping hidup yang bisa menjadi imam baginya. Bosan kan, diimami Pak Sabar melulu. Sekali-kali Nun juga mau diimami Pak Kafka. Aih ...

Pipi tirus Nun yang pucat jadi merah merona. Eh, begitu bayang Park Seo Joon kw berkelebat, dia kembali pucat.

Nun masih harus menjadwalkan sesi ta’aruf Mbak Selebgram dan Mas Hafiz Quran selanjutnya. Agenda berikutnya adalah perkenalan dengan masing-masing pihak keluarga klien. Setelahnya, mereka dapat memutuskan apakah hubungan akan berlanjut ke jenjang khitbah atau putus.

“Baiklah, jika dirasa cukup, pertemuan hari ini saya tutup. Insya Allah, saya akan segera kabarkan jadwal ta’aruf selanjutnya sesuai dengan keluangan waktu Mas dan Mbak,” pungkas Nun pada pertemuan kali itu.

Dia bergegas kembali ke kantor. Dede sudah berkali-kali menghubunginya.

Ada beberapa klien baru yang dijadwalkan wawancara dengan Mami Dedeh hari itu. Sebelumnya, mereka sudah mendaftar di laman pangkalanhati.com dan mengisi data diri.

Memang hanya member yang mengupgrade keanggotaan menjadi premium atau VIP lah yang berhak mendapatkan layanan pencocokan data lewat serangkaian proses. Biasanya Dede yang bertugas memberikan pengarahan tentang apa saja yang harus mereka lakukan setelah mengupgrade keanggotaan.

“Mas dan Mbak, silakan mengisi formulir pendaftaran terlebih dahulu. Jika sudah, formulir dan resi pembayaran atau bukti transfer mohon diserahkan kembali untuk ditukar dengan format test yang harus diisi,” demikian pengarahan yang biasa Dede berikan.

Nun sendiri pernah berada di posisi itu ketika dia masih magang. Selain melayani member yang berdomisili dalam kota sehingga bisa datang langsung ke kantor, ketika masih magang, Nun juga melayani member yang berdomisili di luar kota bahkan luar negeri. Pengisian formulir dan wawancara dengan member yang tidak memungkinkan datang langsung ke kantor, dilakukan dengan memanfaatkan teknologi, baik email maupun zoom meeting.

Itu pula sebabnya, Mami Dedeh selaku konsultan psikologi pasangan di Biro Jodoh ini tidak masuk kantor setiap hari. Dia bisa melakukan pekerjaannya di rumah dengan zoom. Hanya saat-saat tertentu saja dia hadir.

“Teh Nun, Mami Dedeh udah stand by belum?” tanya Dede, mengagetkan Nun dari lamunan kelamnya soal pesan Alif dini hari tadi.

Nun segera mengontak Mami Dedeh.

“Otw, De,” jelas Nun.

“Ok. Teh Nun sibuk enggak hari ini?” tanya Dede lagi.

“Habis nadzor tadi, aku paling mau cek data klien baru.”

“Oh, ya udah, kalau gitu, sambil nunggu Mami Dedeh, Teh Nun perkenalan dulu aja! Kak Pawpaw juga udah ready tuh.”

“Ok, sip.” Nun mengacungkan jempolnya.

Acara perkenalan dengan klien baru dilakukan di aula lantai atas. Pak Kafka sudah selesai memberikan penjelasan tentang profil Biro Jodoh Pangkalan Hati. Giliran para Mak Comblang yang tampil untuk kemudian bergabung dengan para klien baru yang akan mereka tangani.

“Nama saya Ainun Mardiyya. Saya consultan relationship di Biro Jodoh Pangkalan Hati. Salam kenal!”

Nun tampil seprima mungkin dengan senyum mengembang meski tanpa baking soda. Tidak tahu dia, bahwa senyum itu membuat sepasang mata klien baru di deretan bangku sana, tidak berkedip menatapnya.

“Ainun ....” gumam klien tersebut. Binar matanya menyiratkan kalimat, “Bidadari surgaku.”

***

Pertemuan dengan klien baru telah usai. Nun dikejutkan dengan sebuah panggilan.

“The Nun!” Suara seorang lelaki yang kian tidak asing di telinga Nun terdengar memanggilnya di lobi. Gadis itu baru saja selesai beramah tamah dengan seorang klien baru di sana ketika panggilan tersebut menyapa telinganya.

“Gue udah tunggu dari tadi,” kata lelaki yang entah dari mana mengetahui tentang nama panggilan ‘The Nun’ tersebut.

Nun menoleh ke arah pria jangkung berkulit putih yang mengomelinya di ujung pintu. Benar, Nun tidak salah orang. Dia Alif, klien yang membuat hati Nun tercabik-cabik.

“Memangnya ada apa?” tanya Nun tidak habis pikir. Siapa juga yang menyuruh orang itu menunggunya pulang kerja?

“Menurut lu?”

“Ya, mana saya tahu.”

“Gue kan udah kirim pesan.”

“Pesan apa?”

“Pesan jemput,” sentak dia.

“Enggak usah jemput-jemput. Saya masih ada agenda kerja.”

“Hei, menurut lu ngapain jam setengah 3 pagi gue kirim pesan jemput?”

“Ya kali mau nikung jodoh orang,” sahut Nun asal, tentu dalam hati saja. Mana berani dia bilang begitu di depan sepasang mata yang seperti hendak menerkamnya itu.

“Itu supaya lu bisa mengagendakan pertemuan sore ini. Gimana sih?” Alif nyolot. “Kata Kafka kalau mau bikin jadwal enggak boleh ngedadak. Makanya gue kirim pesan malam-malam.”

Nun tercenung. Dia bersendika, lebih tepatnya menggerutu sendirian, “Ini klien satu, kelakuannya sungguh mencengangkan jiwa raga. Haduh, Bapak ... Nun harus sabar terus nih, kayaknya.”

“Hayu berangkat!” ajak klien aneh itu.

“ke mana?”

“Agenda hari ini, ta’aruf sama keluarga gue.”

“Idih ....” Nun berjingkat. “Kok jadi situ yang ngatur?”

“Kan calon suami.”

“Idih ....” Nun bergidik ngeri. Dia langsung lari ke dalam ruangan dan menelungkupkan kepalanya ke meja di kubikelnya. Migrain tiba-tiba menyerang. Dia butuh ketoprak level pedas.

***

Ketika waktunya pulang, Nun keluar kantor dengan penuh penderitaan. Jilbab dan wajah sama kusutnya. Namun, di balkon, dia kembali disambut ‘penderitaan’ baru.

“Udah siap?” Sebuah suara yang belakangan ini kerap menerornya terdengar di telinga.

Nun sudah tidak berdaya untuk membantah. Alif rupanya tidak mempan penolakan. Dia masih menunggu sampai Nun benar-benar pulang kerja.

“Sebentar, saya telepon Bapak sama Pak Kafka dulu,” sahut Nun lemah.

“Dih, ngapain telepon Kafka segala?”

Nun menajamkan tatapannya ke muka baby face yang menyebalkan di hadapannya itu. “Buat jaga-jaga. Siapa tahu diculik klien gila!” Demikian kalimat yang tidak tersampaikan lewat lisan itu terucap dari soror matanya.

“Hayu berangkat!” Alif membukakan pintu mobilnya.

“Berdua?” terlontar juga ganjalan di hati Nun sedari tadi.

“Bertiga sama setan. Eh ... bertiga sama sopir gue lah! Berenam sama bayangan. Berdelapan belas sama malaikat. Kurang rame gimana coba kencan kita?”

“Kencan?” Nun menggedikkan bahu. “Naudzubillah kencan sama makhluk beginian!” gumam Nun dalam benaknya.

“Udah, enggak usah dibahas. Buruan masuk mobil!”

Nun akhirnya merasakan duduk di atas jok mobil empuk. AC dan pengharum udara membuatnya terkantuk-kantuk. Maklum, naik angkot berangin ‘gelebug’ saja Nun bisa pulas dari sejak duduk hingga sampai tujuan, apalagi naik mobil mewah yang nyaman seperti punya Alif ini.

Sayangnya, belum sampai pulas, pemilik mobil itu tidak henti-hentinya mengganggu dia.

“Rapiin tuh jilbab sama muka! Jangan sampai malu-maluin depan kakek!”

“Memang mau kemana?”

“Ketemu kakek, ngenalin calon istri.”

“Idih ....” Nun meringis.

Dia kelimpungan deh. Jilbab sih bisa ditarik ulur supaya rapi. Nah, muka? Masa harus operasi plastik? Biarpun tas ranselnya bagai kantong Doraemon, tetapi Nun tidak pernah bawa alat make-up atau kosmetik. Boro-boro buat beli kosmetik, buat bayar listrik, sewa rumah, dan transportasi saja gajinya habis.

Itu baru soal muka, bagaimana dengan hati? Nun sudah ingin menjerit. Namun, dia berhasil menarik napas panjang dan memetakan kalimat yang menguatkannya untuk bertahan. “Ingat Pak Kafka ... ingat tagihan listrik ... ingat bayar sewa .... sabar ... sabar ... ingat Bapak.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status