Mendengar diri sendiri sedang menunggu kematian membuat pikiran menjadi tidak karuan. Antara zikir juga beban amanah beradu dalam sanubari. Tak ayal membuatku tertegun di antara kepanikan mereka.
"Ehem ... ehem, kalau kematiamu sudah tertulis maka kamu akan tetap menemui ajalmu bagaimanapun caranya." Suara Abah membuyarkan lamunanku.
"Bah, Umi sudah melamar Nita untuk Sopyan. Segera kita lakukan ijab qobul dulu, tak ada pesta tak mengapa." Umi menyela sebelum aku berucap.
"Kamu siap Sopyan?" tanya Abah pada Sopyan.
Anggukan tegas terlihat dari kepala pemuda itu dan aku mengernyitkan keningku, seolah aku sudah menerimanya. Abah diam sejenak dan melangkah pergi, dengan menahan sakit aku berbicara,
"Bah, aku belum menerimanya. Akupun enggak kenal dia, untuk apa aku menikah dengan orang asing!" ujarku meringis.
"Yakinlah, pernikahan ini akan membawa kebaikan untukmu, Nak." Umi pun berbicara.
"Kalau kamu tidak yakin pada
"Aku tahu, kakakmu bisa jadi walinya. Tidak apa, meski melalui video. Ini darurat," ujar Sopayan menguatkan. Bingung harus menjawab apa, aku hanya diam. Tidak lama, Umi mendekati kami dan berkata, "Baiklah kita adakan sekarang saja. Eka yang jadi walinya." Perkataan Umi membuatku tak percaya. Belum sempat aku protes suara anak-anak memekakkan telinga. Mereka meneriaki ular besar yang tiba-tiba berada di kamar mereka. Umi menenangkanku, dan meminta proses ijab dilakukan. Abah menelpon dua orang tetangganya agar menjadi saksi nikah. Ingin menolak tapi diseberang video terlihat Emak dengan matanya yang berbinar-binar. "Sial," umpatku dalam hati. Dengan lantang Sopyan mengucapkan janji pernikahan untukku. Aku hanya menatap tidak percaya apa yang sudah terjadi, pernikahan yang aneh. Sopyan mengulurkan tangannya berharaf aku menciumnya dengan takjim, namun aku enggan melakukannya. Terdengar suara Emak membentakku agar aku menghormati suamiku
"Kita masuk sekarang, Bismilahi." Sopyan mendorong pintu pagar dengan membaca doa. Aku mengikutinya sambil memeluk tas amanah ini. Begitu pintu di buka terlihat sosok gagah sudah berdiri tegap di tengah ruangan didampingi wanita bergaun merah darah. "Ternyata kamu bisa lolos ya." ejek lelaki itu. "Manusia memiliki Allah, maka dia bisa menyelamatkan diri!" balas Sopyan. Terasa genggaman tangannya semakin kuat, hingga aku merasa sedikit kesakitan. "Dia adalah miliku!" ujar sosok itu, padaku. "Tidak dia Istriku," tegas Sopyan, lalu merangkul pinggangku. Terlihat pancaran cahaya dari tubuh wanita bergaun itu, wajahnya berubah hancur. Hampir menyisakan tengkorang. Dan sosok pria itu mendekat dan terlihat wajahnya, "Pak Ibra!" pekikku, hingga aku mundur karena merasakan aura buruk yang sangat besar. "Kamu seharusnya menjadi pengantinku, Cah ayu." celotehnya sembari meraihku. Baru ini aku ta
Mendengar itu aku hanya melongok, dengan menahan nyeri di sekujur tubuh. Terdengar beberapa langkah kaki memasuki ruangan tempat kami berada dan duduk diantara kami. Abah dan para jamaahnya. Mereka melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran bersamaan. Terlihat abah memercikan air ke dekat kami. Serangan bola api mengarah pada kami dan mengenai kakiku yang terluka. Hingga mengeluarkan darah lagi. "Baca ini!" perintah Sopyan dan aku membacanya perlahan. Makhluk-makhluk ini sepertinya tidak takut dengan suara dari lantunan ayat-ayat suci al-Quran. Terbukti, mereka mendekat dan menarikku mendekat ke Pak Ibra. Yang sudah menggenggam belati di tangannya. Pegangan tanganku terlepas dari Sopyan. Tubuhku diangkat Pak Ibra dan meletakanku di meja, seperti sebuah santapan yang siap dinikmati. Mahluk-mahluk itu mengelilingiku dan mencoba meraih setiap tetes darah yang keluar, tetapi segera di usir Pak Ibra. Saat Pak Ibra siap menancapkan belatinya di dadaku, suara teria
Usiaku kini sudah mendekati 170 tahun, tapi tidak ada yang mengetahuinya kecuali keluarga terdekatku saja. Dulu, aku orang yang paling miskin di keluargaku dan paling tidak berdaya. Bullyan selalu aku terima dari keluarga-keluarga yang lebih mampu, terkadang di tendang, di lempari makanan basi oleh mereka dan banyak perlakuan mereka yang membuatku menyimpan dendam mendalam. Setiap acara keluarga, aku anak yang paling dekil dan jorok, menurut mereka. Karena baju yang aku kenakan di bawah standart mereka. Ibuku memilih menikahi Bapakku yang hanya petani biasa tanpa memiliki sawah. Dan Ibu diusir dari keluarganya tanpa membawa apa-apa. Ibu hidup pas-pasan bersama Bapak, tapi tidak menyurutkan cintanya. Aku di didik dengan baik oleh Bapak dan Ibu, bullyan dari saudara-saudara selalu terngiang di telingaku. Pelan tapi menusuk hingga ke jantung. Hingga saat itu datang, Ibuku sakit keras dan membutuhkan biaya untuk penyembuhannya. Jangankan membantu mengobati, datang untuk
"Hentikan, Kak. Sudah cukup! Apa yang kamu dapatkan setelah memuja iblis?" teriak Sopyan di ujung sana. Azizah melihat dengan bengisnya ke arah Sopyan, dibarengi dengan dengkusan yang keras. "Hei, Santri! Tidak usah kamu ajari aku. Kamu pun akan mati, kemudian aku akan abadi," pongahnya "Kak, dunia sementara Kak. Pulanglah ke pemilikmu, cukup sudah dosa yang Kakak tebarkan," ucap Sopyan lirih. "Persetan dengan ucapanmu!" bentak Azizah. Lalu tubuhnya melayang mendekati Sopyan dan, "Bangsat kau anak kemarin sore, aku kakakmu juga istrimu!" geram Azizah "Aku mencintaimu, Kak. Bertahun-tahun aku merindukanmu. Disaat yang lain mencemoohmu, aku yang selalu melawan mereka. Aku tidak rela mereka menghinamu meskipun kenyataannya seperti itu. "Terlihat tubuh Sopyan gemetar saat menancapkan belati itu tepat di dada Azizah. Perlahan Azizah berubah menjadi tulang berbalut kulit yang mengering. Dari tubuhnya keluar asap hitam menggum
"Enggak apa-apa Bu, saya sudah terbiasa." Jawabnya santai. Aku bingung mengutarakan padanya perihal apa yang terlihat, lalu dia pergi. Hampir saja jam sembilan malam, kembali terlintas kejadian yang akan menimpa Suster tadi. Aku semakin gemetar, saat Sopyan masuk aku langsung memintanya memanggil Suster yang mengurus diriku tadi. Meski ingin bertanya Sopyan pun berlalu pergi mencari Suster. Kegelisahan makin membuatku tak tenang. Sopyan kembali dan mengatakan jika Suster tersebut sudah pulang. Sedikit kecewa tapi apalah daya. Lalu aku mencoba memejamkan mataku, terdengar Sopyan berbicara. Ku abaikan Sopyan dan memilih memejamkan mataku. "Ampuun ... ampuun, jangan sakiti saya," teriak seorang wanita. "Kamu harus mati, kamu yang menyebabkan ini semua," bentak seorang lelaki. Lalu, pemandangan itu semakin samar, membuat tubuhku menggigil. Terasa sesuatu di dahiku, ternyata Sopyan sedang mengkompresku. Mataku terbuka dan melihat sekita
[01.31, 30/3/2022] Dwi: "Sudah sembuhkan dirimu dulu, baru aku ceritakan. Apa yang kamu lihat hingga seperti ini?" Tanyanya. "Entahlah, samar." Jawabku, lalu aku merebahkan diriku kembali. Dan Sopyan menggengam tanganku erat. Lalu aku mencoba tertidur kembali. Tiada henti mulut ini berzikir mengharap tidur lelap kembali. Namun penghuni di kamar ini sepertinya ketakutan akan hal yang aneh, bukan karena diriku atau pun Sopyan. Entahlah, terdengar auman keras yang bersahutan.Lalu terlihat dua harimau yang pernah aku lihat dikamar Sopyan. "Eh, bangun," Kugoncangkan tubuh Sopyan. "Ada apa, baru juga tidur!" jawabnya. "Tu pengikutmu." Aku menunjuk ke sampingnya. "Biarin, mereka menjaga kita," ucapnya ngawur. Belum sempat aku berbicara lagi, harimau itu mendekatiku dan duduk tepat dibawah ranjangku. Terdengar jeritan saling bersahutan, membuatku tak tenang. Setiap kali jeritan terdengar auman harimua
[01.33, 30/3/2022] Dwi: "Maaf Sus," ucapku lirih. Setelah pemeriksaan, para suster keluar ruangan untuk memeriksa pasien yang lain. Rasa sedih menjalar keseluruh badanku, mengingat senyum sang Suster yang sangat manis. Begitu melihat Sopyan datang, rasa kesal memuncak. Menahan amarah yang tertunda semalam, "Ngapain datang ke sini, menolong manusia lain saja kamu keberatan!" omelanku menyambutnya. "Maaf, banyak pertimbangan kenapa aku tidak bisa keluar semalam. Semua sudah takdir ilahi, bersabarlah," ujarnya lembut. "Mudah sekali menukar nyawa orang. Sudah pergi sana!" teriakku kesal. "Kamu jangan lupa, aku suamimu meski hanya secara agama!" ucapnya penuh penekanan. Aku hanya diam mendengar kata-katanya. Rasanya tak kuasa menahan amarah yang bergejolak, tapi harus dipendam. "Pergilah ke ruang dokter, tanyakan apakah aku sudah diperbolehkan pulang. Rasanya sudah tidak betah," pintaku dingin. Tidak lama dia p