Bagi sebagian orang apa yang kulihat tidaklah nyata, tapi bagi sebagian orang yang pernah merasakan akan mengetahuinya. Tidak ingin mengeluh, aku hanya mampu menjalani kehidupanku sesuai yang diberikan Rabb-ku.
Banyak yang bertanya kenapa tidak ditutup mata bathinmu? Kenapa tidak pergi ke tempat Ustadz dan tempat ruqyah?
Tidak tahukah kalian, usahaku sudah semaksimal dan semua tidak bisa membuat penglihatan ini hilang.
Aku bisa melihat kematian dari dekat dengan mata terbuka atau tertutup. Bahagia ataupun sedih. Bahkan hanya dengan berpapasan atau mendengar suaranya.
Menderitakah diriku? Jangan ditanya lagi, itu sudah pasti.
***
Tubuhku mulai menggigil didekat pria ini. Pria berdarah dinginkah dia atau ... entahlah.
Dia begitu menikmati kematian gadis-gadis bergaun putih itu. Apakah aku dapat menolong mereka? Tapi bagaimana? Takdir Rabb-ku tidak mampu kuubah.
Melihat tubuhku menggigil, pria disebelahku melirik kearahku dan bertanya,
"Kenapa Mbak, sakit ya?" Terlihat senyuman manis di wajahnya,
"Ah enggak, AC-nya kebesaran." Aku menunjuk ke atas. Lalu dia menurunkan volume AC tanpa diminta.
Dia bisa sedingin itu kepada para gadis yang dibunuhnya? Padahal sikapnya baik dan hangat. Makin dipikirkan makin tak mendapatkan jawaban. Saat ingin melihat kembali kejadian itu, pandanganku kosong tidak berwarna. Gemetar tubuhku tidak juga reda, membuat lelaki di sampingku menyodorkan sebotol minuman. Entah bagaimana, aku bisa melihat sesuatu yang aneh pada botol yang dia berika, dengan halus aku menolaknya dan menunjukan botol minum yang kumilikki.
Tidak ada keberanianku melihat ke arahnya. Saat bis berhenti mendadak, tangannya tidak sengaja menyentuh jari jemariku, terlihat kilasan dia terbakar bersama gadis-gadis bergaun putih yang sebelumnya tersiksa dengan mati secara perlahan.
"Ya Allah." Repleks aku berteriak.
"Pak supir berhenti mendadak, karena mobil di depan berhenti." Jelas pria di sampingku menjelaskan.
Padahal apa yang kupikirkan berbeda dengan yang dipikirkannya. Beberapa saat hening diantara kami, hingga dia bertanya,
"Mau ke mana Mbak?" Sambil melihat ke arahku.
"Mau ... mau ke terminal, Mas." Mendengar jawabanku dia terkikik.
"Baru kali ini ada yang memanggilku Mas." Lalu, pandangannya beralih.
"Maaf kalau saya salah," ujarku pelan.
"Mbak, apa yang mbak lihat dari seorang laki-laki." Dia bertanya dengan nada tinggi dan tatapan tajam namun, kosong.
"Yang penting dia bisa menerima kekuranganku, karena aku tidak memiliki kelebihan." Dengan nada sedikit bergetar aku menjawab.
"Tidak mungkin!" bantahnya, lalu memandangku dan menarik tanganku.
Terlihat sekali luka di mata indahnya, yang kini mulai berkaca-kaca. Bahkan, kurasakan tangannya bergetar. Ketika, aku menatapnya tangan yang digenggamnya dia lepaskan.
"Kenapa tidak mungkin, Mas?" tanyaku lembut, takut amarahnya memuncak.
"Karena wanita cantik sepertimu hanya memandang wajah dan harta saja. Setelah bangkrut akan pergi berpaling. Begitu juga jika wajah tampan seorang lelaki berubah, maka akan ditinggalkan!" ucapnya penuh penekanan.
Senyum smirk terukir di wajahnya yang tampan, tapi tidak bisa menutupi kepedihan hatinya. Bahkan, itu tergambar jelas olehku. Meskipun dia mencoba menyembunyikannya.
"Maaf Mas, manusia berbeda-beda. Jika ada wanita seperti itu berarti dia tidak tulus mencintai hanya ingin mendapatkan sesuatu saja dari orang yang menbersamainya." Sedikit aku mengeluarkan apa yang ada di hati.
"Berarti mereka memang pantas dibuat mampus, ya, kan Mbak!" ucapnya, yang membuat aku bergetar.
"Masih ingat aku ...." tanya lelaki itu, tiba-tiba. "Kamu ... kamu itu," tunjukku pada polisi yang tidak kukenal, mencoba mengingat-ingat. "Lama tidak jumpa," sapanya. Lalu, dia mendekati dan mengulurkan tangannya. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Sopyan. Sopyan merasa ada sesuatu yang aneh, dia pun bertanya, "Kalian saling kenal?" tanyanya pada polisi itu. "Cukup kenal, saya hanya meminta milik saya di kembalikan," ujarnya dengan memicingkan matanya. "Kamu, mengambil miliknya," tanya Sopyan padaku. Aku hanya diam dan makin mengeratkan pegangan tanganku. Polisi itu makin mendekat dan berdiri di hadapanku. "Itu bukan milikmu, jika milikmu maka akan aku serahkan dengan suka rela," bentakku. "Kamu tak akan bisa lari dariku," ujarnya. "Tunggu ... Tunggu. Kalian saling kenal atau tidak?" tanya Sopyan, sambil melihat ke arahku dan polisi itu.
Tangan lelaki itu, mulai menjamah kakiku, Kemudian, terus merangkak di atasku. Tubuhku masih terasa sakit, ketika didorong olehnya tadi. "Ayolah, aku tahu, ini juga hal yang diinginkan wanita kebanyakan, yaitu ranjang yang hot!" cibirnya. Auranya sangat membuatku takut, bukan karena ilmu hitam, tapi karena kekuatan tuuhnya yang tidak bisa dibandingakan dengan kekuatan seorang wanita sepertiku. Apakah aku akan berakhir seperti ini? Bruk! Tubuh lelaki pemangsa, jatuh terkulai di atas tubuhku. Kukira karena dia mulai ingin melakukan hal buruk padaku, tapi ternyata kepalanya dipukul kayu balok oleh Nadin. "Ayo, Kak!" ajaknya menahan rasa sakit. Aku mendorong tubuh lelaki yang mulai tidak berdaya, membuatnya terjatuh dari dipan kayu. Aku dan Nadin saling memapah, berharap isa selamat berdua. Teringat akan Sopyan yang tidka kunjung datang, apakah mungkin dia takut dan pergi? "Nita!" seru Sopyan, membuka pintu. Rasanya a
"Ayo kita keluar, sebelum penjahat itu datang lagi!" seruku. Aku mencoba memapah tubuh kecil itu, untuk keluar dari dalam gubuk. Namun, dikejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku yang setengah panik, mengangkat tubuh mungil di depanku. "Kak, pergilah dari sini! Nadin belum kuat untuk jalan," lirihnya "Kakak, kuat!" bantaku. Gadis kecil itu meringis, ketika lukanya tersenggol olehku. Ingin tidak memperdulikannya, tapi sepertinya dia benar-benar kesakitan. "Kak, pergila, jika dia kembali, kita berdua dalam bahaya!" pintanya. Baru saja aku ingin membuka pintu, sosok laki-laki menghadang langkahku. Matanya melotot dan napasnya memburu, tubuh yang tidak terbalut seelai benang pun membuatnya gaga, tapi sayangnya kelakuannya sungguh tidak manusiawi. "Siapa kamu? Mau apa? Kenapa mau bawa anak itu?" tanyanya beruntun. "Kamu sudah membunuh ibunya! Sekarang mau menyiksa anaknya?" tanyaku tanpa menjawab
"Apa kamu suka pria seperti itu?" tanyanya membuatku merasa aneh. Ingin rasanya kujawab, aku mulai menyukaimu meski menyebalkan. Namun, kutahan dalam diam. Suara azan berkumandang menandakan magrib sudah datang, dengan cekatan Sopyan mencari dimana tempat kami akan berhenti dan menunaikan kewajiban kami. Setelah menemukan Masjid Sopyan berhenti, lalu kami masuk dan melaksanakan kewajiban kami. Selesai sholat kami melanjutkan perjalanan kembali menuju rumah Umi, seperti pinta Sopyan sebelum mencari anak itu. "Ehem ... habis sholat koq diem aja," sindirnya. "Emang kalau habis sholat harus jungkir balik ya!" jawabku nyeleneh. "Harusnya salim dengan suami, itu baru afdhol. Cari pahala lagi," terangnya. "Ooo ... Kenapa nggak bilang aja langsung!" Tanyaku sengit. "Belajarkan pelan-pelan, masa mau ngegas nanti nabrak," ceramahnya. Dengan memaksakan diri, aku mengulurkan tangan dan disambut olehnya. "Barakallahu, semoga m
Aku menangis dalam pelukan Sopyan namun, teriakan juga isakan itu masih terdengar jelas di telingaku. Dieratkannya pelukan Sopyan, membuatku tenang sesaat. "Lepaskan! Jangan ... Jangan lakukan itu. Biarkan aku pergi," Suara anak itu kembali terdengar. Sopyan menarik tanganku menuju parkiran. Dirogoh saku celananya lalu mengambil ponsel, berulang kali melakukan panggilan akhirnya terhubung. Dilepaskan genggamannya dan sedikit menjauh dariku saat dia menerima panggilan itu. Aku terpaku menatap punggung lelaki setia itu, tapi sayang aku tidak mencintainya. Dikala aku asik memandanginya, dia berbalik dan menatapku dengan binar aneh dimatanya. "Ayo, kita pergi," ucapnya lirih. "Katanya ijin dokter dulu," bantahku. "Udah ada yang ngurus. Mau pergi apa nggak nih!" tantangnya. Tanpa menjawab aku mendekatinya, lalu dia menarikku mendekati sebuah mobil. Dari mobil itu turun seorang lelaki muda, bisa saja itu sepupu atau siapanya Sopyan. Akukan b
Tanpa mau mendengarnya lagi aku berjalan, namun dia mengekoriku seperti anak ayam kehilangan induknya. Menjengkelkan tapi tak bisa berbuat banyak. Pikiranku makin melayang mengingat amanah yang banyak aku pegang, namun belum juga aku selesaikan. "Tenang amanah dari James sudah hampir selesai, jangan jadi beban lagi!" ujar Sopyan, menghentikan langkahku. "Kamu buka tas milikku? Kenapa enggak ijin!" cecarku. "Kamu tau seberapa lama kamu di rumah sakit?" tanyanya, membuat aku sedikit merenung. Benar juga perkataannya, aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Luka didadaku cukup parah, hampir mematahkan tulangku dan menggores jantungku. Tak ingin berterimakasih aku melangkah lagi. Kesombonganku mengalahkan segalanya, hanya untuknya. Kami berjalan ke taman rumah sakit, di sana bisa melihat pemandangan sore. Menyejukan mata yang selama ini tertidur. Perlahan aku menceritakan niatku untuk menolong anak dari Suster Dian, pada Sopyan.