4 bulan berlalu.
"Hari ini pernikahan kamu dan Dika. Kamu harus bahagia setelah ini, Sera. Mama akan selalu dukung apapun yang menjadi pilihan Sera selagi itu membuat Sera bahagia," tulus Rani.
“Semua baik-baik saja, Nak, kamu harus tenang,” ucap Rani memberikan kata-kata yang membuat hati Sera menjadi terisi. Sera membalas perkataan Rani dengan senyum lembut. Perempuan itu cantik sekali mengenakan gaun pernikahan dibalut hijab auranya semakin memesona. Pipi Sera bersemu merah. Dia malu di depan ibu kandungnya sendiri. "Kamu cantik dengan gaun ini, semoga pernikahanmu diberkahi Allah," doa Rani.
"Amiin," sahut Sera. "Sera minta doa Mama," ucap Sera mencium punggung tangan Rani.
"Sejujurnya Sera sedikit takut, Ma," jujur Sera, karena perasaan trauma itu masih ada. "Kenapa? Dika anak yang baik, Nak," tutur Rani.
"Itu hanya perasaan kamu saja." Sambung Rani. "Jangan berpikir aneh-aneh," kata Rani.
"Iya, Ma," ujar Sera. Mungkin yang dikatakan Mamanya ada benarnya kalau itu hanya perasaan Sera saja. Tidak ada yang perlu ditakutkan. “Perihal anak kamu serahkan semuanya sama Allah,” titah Rani. “Iya, Ma, Sera sayang Mama, terima kasih selalu ada di samping Sera,” tulus Sera.
Kedua orang tua Dika juga baik. Ya, semua akan baik-baik saja. "Ayok keluar," ajak Rani. Rani dan Sera dibantu beberapa orang terdekat menuju meja akad. Sebentar lagi akad akan dimulai. Sementara itu, Sidik sudah berada di tempat.
Semua tamu yang hadir terkesima melihat betapa cantiknya seorang janda seperti Sera. Meski sedikit terdengar desas-desus tak mengenakan di telinga tentangnya, Sera mencoba mengabaikan hal itu. Mata Sera tertuju kepada seseorang yang duduk mengenakan jas putih, memakai kopiah senada dengan warna setelan jas itu. Itu calon suaminya yang bernama Dika Purnama.
Sera gugup, dia pun dibantu oleh Rani duduk di sebelah Dika. Wajah pria itu terlihat tegas, dia bergeming saat Sera duduk di sebelahnya. Tak memberikan respons apa-apa. Tatapan matanya begitu lurus, tidak memandang Sera sedikit pun. Entah kenapa itu membuat dada Sera sesak. Dika seolah mengabaikan kehadirannya.
"Pengantin wanita sudah tiba di sini. Apa kalian siap?"
Keduanya mengangguk sebagai jawaban. Senyum orang tua kedua belah pihak pun terbit. Menyaksikan bagaimana serasinya kedua pengantin itu membuat mereka bahagia. Tak lama, akad pun dimulai. Dika mulai menjabat tangan penghulu.
"Saya terima nikah dan kawinnya Sera Indira binti Sidik dengan maskawin dan seperangkat alat sholat tersebut, tunai."
Dika mengucapkan kalimat sakral itu dengan lantang dan tegas dengan sekali ucap. Semua pasang mata pun kompak seraya berseru berkata 'sah'.
***
Tak menyangka bahwa malam ini adalah hari pernikahannya untuk yang kedua kali. Sera tak pernah berpikir dalam hidupnya bahwa akan terjadi hal itu. "Kenapa aku harus menikahi perempuan itu? Bukankah dia mandul?" ucap Dika seraya menuangkan air dingin ke dalam gelas. Lelaki itu berada di dapur. Tenggorokannya terasa kering. Dia mau tak mau menerima perjodohan yang ada demi menjadi CEO dan tidak bisa menolak perintah kedua orang tuanya."Menyebalkan," kesal Dika usai meneguk air putih itu. Dika terkejut, Sera tiba-tiba berada di dapur juga. "Kenapa kau ke sini?" ucap Dika. Nadanya terdengar sensi.
"A-aku mau nanya sesuatu," kata Sera sedikit takut. Pandangannya tertunduk. "Mas harus mandi. Aku harus siapkan air. Apa Mas bu-"
"Jangan pedulikan aku!" potong Dika. "A-apa?" Sera menatap wajah lelaki itu. "Mas bilang apa barusan?" katanya bertanya lagi. "Dengar baik-baik Sera, aku menerima perjodohan ini bukan karena mau menikah dengan kamu! Tapi, karena kedua orang tuaku!"
"Aku tidak akan dan tidak ingin menganggap pernikahan ini dengan serius," ucap Dika. Tanpa sedikitpun dia memikirkan hati Sera. "Tapi, Mas-" belum usai Sera menyudahi kalimatnya, Dika lebih dahulu menyela.
"Sudahlah, urus saja dirimu, dan aku akan mengurus diriku sendiri. Jangan berharap lebih, Sera!" tutur Dika. Ya Tuhan...
Dika pergi usai mengatakan kata-kata yang membuat Sera menjadi down. Lelaki itu tidak peduli jika Sera sakit hati. Pasalnya, dia tidak menyayangi wanita mandul itu. Dika lebih memilih mengabaikan. Tidak masalah juga baginya sudah mengatakan hal keji itu. Dia tidak rugi apapun.
Malam pertama? Dika tak tertarik sama sekali dengan perempuan itu. Ya, memang dia tidak menyayangi Sera. Sera merasakan hatinya teriris-iris. Apa dia begitu buruk di mata Dika? Apakah yang Sera takutkan akan terjadi? Sera mengalami sedikit trauma atas pernikahan yang lalu. Dia sudah pernah gagal. Apa ini juga akan berakhir sama?
Kalau malam pertama pernikahannya saja seperti ini? Lantas, bagaimana dengan hari-hari berikutnya? Apa Sera bisa menjaga rumah tangganya tetap utuh?
"Mas Dika, kenapa kamu tega sekali kepadaku...?"
“Ya Allah, kenapa nasibku seperti ini?”
Sera pikir memulai hidup baru juga akan mendapatkan kebahagiaan baru. Nyatanya, ini tidak seperti yang ia pikirkan. Dika yang Sera anggap pria baik-baik justru mampu menyakitinya dengan kata-kata.
“Aku harus apa, Ya Allah… aku sadar aku ini hanya wanita mandul, tapi apa dia pantas perlakukan aku dengan ketus seperti itu,” kaki Sera terasa lemas. Ini seharusnya menjadi hari atau momen bahagia. Tapi, Sera malah mendapatkan hal buruk lagi dan lagi. Lantas kapan dirinya bahagia?
“Tidak, aku tidak boleh seperti ini,” ucap Sera. Mata Sera yang sedikit merah karena menahan diri untuk menangis itu pun mencoba untuk menepis segala hal yang menyakitinya barusan. Sera dengan langkah yang dipaksa kuat itu berjalan menuju kamar.
Ia tidak ingin momen yang seharusnya bahagia malah justru semakin berantakan. "Ini belum seberapa Sera, kamu harus sabar menghadapi pria itu," lanjut Sera.
***
Tidak peduli dengan ucapannya pada Sera menyakiti atau tidak, lelaki itu justru menenggelamkan diri di atas ranjangnya. Dia tidak peduli dengan statusnya yang telah berubah menjadi suami orang. Seolah menganggap pernikahan itu adalah mainan.
Sementara itu, Sera merasakan batinnya hancur lagi dan lagi. Pernikahan kedua yang dia jalani seharusnya lebih baik, namun kenyataannya sama saja. Dahulu, ia memiliki mertua yang judes, melontarkan kata-kata hinaan tanpa berpikir akan sakit hatinya atau tidak. Kini, justru suaminya yang ia pikir akan membuatnya hidup bahagia malah berani mengabaikannya.
Biarpun ujian pernikahannya berat, Sera tetap akan tegar. Terlebih kedua orang tua Dika sejak awal menyukai keberadaannya. Tinggal bagaimana dirinya dapat meraih hati Dika. Sera harap Dika cepat atau lambat akan menghargai keberadaannya.
Dan kali ini Sera kembali ke kamar untuk melihat suaminya. Setelah berdebat pulang telat pagi tadi, Sera kira Dika tidak akan marah dibangunkan karena sudah waktunya makan malam, ternyata sama saja. Sera ingin marah karena Dika tak menghargai masakannya. Tapi, lelaki itu sama sekali tidak terlihat peduli. Perempuan itu kembali merasakan sesak.
'Tuhan, ini sakit sekali, kenapa suamiku selalu mengabaikanku?'
Sera terbangun seorang diri. Tidak ada sang suami di sampingnya. Atau bahkan sedari semalam Dika memang tak tidur satu ranjang dengannya. Sekarang sudah subuh, Sera bangkit dari kasur seraya menyibak dan merapikan selimut tebal itu. Sebelum mengambil wudhu, Sera mencari keberadaan Dika terlebih dahulu. Sera bermaksud meminta Dika juga untuk ikut sholat. Usai selesai merapikan selimut dan kasurnya itu, Sera segera bergegas meninggalkan kamar. Sayang, tidak ada tanda-tanda keberadaan Dika di apartemen. Dika juga tidak meninggalkan surat atau pesan padanya. Dia sungguh tidak tahu ke mana Dika pergi. Kenapa Sera sama sekali tidak berguna sebagai istri? Untuk mengetahui keberadaan suaminya saja rasanya sulit. "Mas Dika pergi lagi tanpa sepengetahuanku...," ucap Sera. "Dia tega sekali bersikap kepadaku seperti ini," lirih Sera. "Di mana Mas Dika?" ucap Sera bingung. Menghela napas, Sera akan urus nanti setelah ia selesai sholat subuh. *** "Sayang, aku harus pulang, kita ketemu na
Seorang wanita membuka matanya perlahan-lahan lantaran mendengar bunyi alarm. Sudah pukul 6 pagi. Dia tidak menjalankan ibadah subuh karena tengah datang bulan, menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Sera meraih hijab yang tidak jauh dari posisinya. Ia segera memakai hijab tersebut. Sejak memutuskan menikah lagi dan di hari di mana ijab kabul itu berlangsung, Sera begitu menghargai pernikahannya, tidak menjadikan pernikahannya hanya sekedar pelampiasan karena kesepian atas gagalnya pernikahan yang dahulu. Keluarga Dika, khusus orang tuanya sudah sangat baik terhadapnya. Begitu mencintai kehadirannya. Lantas, Sera tetap harus melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri, mengabaikan sikap kasar Dika yang setiap hari ia dapatkan. Berjalan keluar dari kamar, Sera sudah tak heran saat menemukan Dika tertidur di sofa tanpa selimut. Hanya dengan pakaian tidur, tangannya dalam keadaan posisi menyilang di atas dada. Langkah kaki Sera mendekat kepada pria itu. “Mas…” panggil Sera lembut.
Seorang pria dengan pakaian santai ala rumahan itu memandang lapar sajian makanan di atas meja. Dia menoleh ke kanan dan kiri, sepi. Tidak peduli dengan sekitar, perutnya kini sedang lapar. Ia duduk, tersenyum senang. Meraih nasi dan lauk-pauk. Tanpa berpikir panjang, tak menunda waktu dia melahap dengan perasaan gembira. “Enak juga!” tuturnya tanpa dia sadar. Kunyahan demi kunyahan, dia menikmati makanan tersebut. Hingga saat seseorang tiba, matanya dengan mata orang itu bertemu, garpu dan sendok yang dia pegang pun dijatuhkan olehnya begitu saja. Bukan hanya itu makanan yang sedang dikunyah itu pun dia keluarkan. “Uhuk! Uhuk!” “Sial, makanan apa ini?!” “MAS!” teriak Sera. “Kenapa kau muntahkan makanannya?” ucap Sera. Dia sengaja menyiapkan makanan itu untuk suaminya. Tapi, Dika tak menghargai itu. “Jadi kau yang masak ini? Pantas saja rasanya tidak enak,” ucapnya bangkit dari kursi. Padahal beberapa waktu lalu dia memuji makanan itu. Sayang, Sera tidak menyaksikan hal tersebu
“Siapa itu?” gumam Dika. Dika mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya. Otot lehernya kentara menonjol. Pertanda dia benar-benar menahan amarah. “Urusan kita belum selesai!” ancam Dika sembari menunjuk wajah Sera. Sera segera menuju pintu. Sebelum itu dia melihat terlebih dahulu dari kamera pengawas siapa yang tamu yang datang. Hingga kemudian, bukan hanya Sera yang terkejut melainkan Dika juga sama terkejutnya. “Minggir,” suruh Dika. “Apa?” ucap Dika, dia lantas menutup mulutnya dengan satu tangan. “Cepat rapikan kamar!” instruksi Dika. “Tapi-“ kata Sera terpotong. “Kubilang cepat!” perintah Dika. Sera mengangguk-anggukan kepala. Inilah risiko yang mesti keduanya terima. Sungguh, jantung Dika berdebar tidak karuan. Dia merapikan pakaian dan mencoba mengatur emosi juga wajahnya. Tak lama dia membuka pintu tersebut agar kedua orang tuanya tidak curiga karena terlalu lama pintu tidak dibuka. “Assalamualaikum, Ma, Pa,” salam Dika. Rupanya dia tidak lupa mengucapkan salam. Dan berl
‘Aku sadar kenapa Mas Dika begitu syok, dia pasti malu jika membawaku ke hotel,’ Sera menunduk. Rasa sedih itu mencoba hinggap. “Kau tidak mungkin malu kan membawa Sera?” tebak Karina. “Dika?” tegur Deri. “Bukan begitu. Di sana banyak pegawai laki-laki. Dika malas jika mereka akan melihat Sera nantinya,” bohong Dika. Itu hanya alasannya saja. Untung saja dia cepat berpikir dan merespons agar kedua orang tuanya tidak curiga terhadap perkataannya yang hampir menjerumuskannya dalam kesalahan besar. Mendengar perkataan Dika barusan, Sera tidak tahu harus merespons seperti apa. Dia tidak senang tidak juga sedih. Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rumah tangganya tidak benar-benar baik. Dan Dika hanya tengah berakting. Memang apa masalahnya jika ada para pegawai pria? “Hahaha, jadi kau cemburu, ya? Ya ampun, anak Mama…,” Karina tertawa, “Dika, Sera itu hanya sayang dengan kamu. Masa kamu tidak merasakan hal itu, iya kan Sera?” “Oh, i-iya,” jawab Sera sedikit gugup. ‘Ya Allah, mana m
Dalam pernikahan, tidak semuanya terisi bahagia, berjalan mulus seperti yang ada di pikiran. Dan kita juga tidak bisa benar-benar mendapatkan pasangan yang sempurna. Yang ada saling menyempurnakan untuk menutupi kekurangan satu sama lain. Saling bahu-membahu. Namun, berbeda dengan pernikahan Sera. Wanita yang pernah gagal dalam pernikahan itu sulit mendapatkan yang saling menyempurnakan. Di pernikahan kedua ini pun selalu saja yang ia dapatkan masalah dan masalah. Sera juga tidak mengerti akan jalan hidupnya. Dan dia merasa dirinya benar-benar payah. Tetapi, saat ini ia tidak boleh meratapi nasib pernikahannya. Karina sudah menyiapkan pakaian muslimah untuk datang ke hotel menghadari acara bersama Dika. Ya, suka tidak suka, terima atau tidak, Dika dan Sera akan dan tetap harus ada dalam acara penyerahan hotel nanti. “Lama sekali,” gumam pria yang duduk dengan setelan jas hitam, di tangan kanannya terdapat jam tangan bermerk. Dia melirik sekilas, meski ada 1 jam lagi, Dika malas menu
Ya. Dika terlalu banyak melamunkan seseorang sampai tak sadar sedari tadi ia dipanggil. “Kau tegang sekali, acara belum dimulai dan kau bisa katakan apapun yang kamu mau di atas panggung. Kau sudah dewasa, kau pasti bisa,” ucap Deri. “Jangan melamun seperti itu lagi, ya,” tegur Deri. “Hm,” deham Dika. Dia menarik minuman di atas meja. Menetralkan keadaan dirinya. Hanya sekedar beberapa tegukan. “Dika izin ke toilet,” ucap Dika. Saat mendengar itu, Sera mendapatkan feeling yang tidak baik. Hanya perasaannya saja, namun dia tidak boleh suudzon. “Jangan lama, Dika, kau sebentar lagi akan naik panggung,” suruh Deri. Dika mengangguk singkat. Setelahnya ia pergi. “Sera, bagaimana masakan di sini? Suka kan?” “Iya, Ma, Sera suka, masakan di hotel ini enak dan lezat,” jawab Sera. ‘Ya Allah, apa Mas Dika sungguh pergi ke toilet? Kenapa aku mengkhawatirkan sesuatu?’ tanya Sera dalam hati. “Sera, apa ada sesuatu?” tanya Rani. “Ah, tidak.” “Mama lihat kamu melamun barusan.” “Ck, pasti Sera
Sera mengaduh sakit karena tangannya ditarik paksa sedari keluar mobil sampai ke dalam rumah. Lagi-lagi saat tidak ada orang tua mereka, Dika selalu saja bertindak semaunya. Meski sudah berteriak meminta tolong untuk dilepaskan, Dika tak menggubris sama sekali ucapannya. Sera terisak. Dia bingung harus berbuat apa. “Aku sudah jujur padamu, Mas. Aku sama sekali tidak bermain dengan pria manapun. Bahkan, aku baru menemui lelaki itu saat tadi.” “Mas, per-caya pa-da—ku…,” Sera ingin meraih tangan Dika, tetapi Dika mengempaskan begitu. “Akh!” pekik Sera kesakitan. Selalu saja alurnya seperti ini. Sera sudah bahagia bisa datang ke hotel tadi. Namun, pulangnya malah mendapatkan masalah. Apa yang dia lakukan selalu saja salah. “Bukankah Mas sendiri yang bilang urus-urusan masing-masing? Kenapa Mas justru marah?” Dika terdiam. Sera menghapus air matanya. Bangkit dan menatap Dika dengan berani. “Aku sudah katakan jujur, tapi Mas tidak pernah mau percaya apa yang aku katakan.” Entah dorongan