Share

5. Pagi Hari yang Kacau

Sera terbangun seorang diri. Tidak ada sang suami di sampingnya. Atau bahkan sedari semalam Dika memang tak tidur satu ranjang dengannya. Sekarang sudah subuh, Sera bangkit dari kasur seraya menyibak dan merapikan selimut tebal itu.

Sebelum mengambil wudhu, Sera mencari keberadaan Dika terlebih dahulu. Sera bermaksud meminta Dika juga untuk ikut sholat. Usai selesai merapikan selimut dan kasurnya itu, Sera segera bergegas meninggalkan kamar. 

Sayang, tidak ada tanda-tanda keberadaan Dika di apartemen. Dika juga tidak meninggalkan surat atau pesan padanya. Dia sungguh tidak tahu ke mana Dika pergi. Kenapa Sera sama sekali tidak berguna sebagai istri? Untuk mengetahui keberadaan suaminya saja rasanya sulit. 

"Mas Dika pergi lagi tanpa sepengetahuanku...," ucap Sera. "Dia tega sekali bersikap kepadaku seperti ini," lirih Sera. 

"Di mana Mas Dika?" ucap Sera bingung. Menghela napas, Sera akan urus nanti setelah ia selesai sholat subuh.

 ***

 "Sayang, aku harus pulang, kita ketemu nanti lagi, ya?" ucap Dika mengusap-usap rambut seorang wanita bertubuh tinggi, berkulit putih, cantik dan juga bekerja di hotel Citra Queen. Ya, dia adalah salah satu pegawai yang bekerja di hotel milik Deri. 

Katakan saja Dika brengsek. Lelaki itu sudah menikah, tapi bermain dengan perempuan lain. "Lia masih ingin Mas di sini. Lia kesepian," rengek Lia dengan manja, menggandeng tangan Dika dengan posesif. "Sayang, Mas nanti akan temui Lia lagi kok," ujar Dika. 

Bahkan dengan istrinya saja dia tidak seromantis itu. Lia adalah kekasihnya. Sampai saat ini pun statusnya sama. Dan dia belum bicara soal pernikahannya kepada Lia. Karena Dika tidak ingin membuat Lia marah kepada dirinya. 

"Ya, Sayangku?" ucap Dika. Tangannya sibuk mengusap rambut Lia yang panjang juga halus. "Mas tega, tapi aku sayang sama Mas," ucap Lia, dia tertawa kecil. "Janji ya temui Lia?" ucap Lia menunjukkan jari kelingking. Dika mengangguk singkat, lelaki itu pun menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking kekasihnya. "Mas sayang Lia," ucap Dika memeluk mesra tubuh yang pas dipeluk itu. 

Lia memeluk balik lelaki itu. "Lia juga sayang dengan Mas."

Tanpa Dika tahu, seseorang tengah menangis menunggu kehadirannya di apartemen. Tapi, Dika justru menyalakan api tanpa memedulikan akibat dari apa yang sudah dia perbuat. Dika mengecup singkat kening kekasihnya, dia melepaskan pelukan tersebut. "Hati-hati di rumah sendirian," ia mencolek hidung mancung Lia, membuat wanita itu terkekeh geli. "Ih Mas..." kata Lia. 

"Dah Lia, Mas pergi."

"Mas hati-hati di jalan," ucap Lia melebarkan senyum seraya melambaikan tangan. Dika lantas mengedipkan mata sebagai balasan. 

***

"Mas dari mana saja?"

Lagi-lagi Sera diabaikan oleh Dika. "Mas jawab, Sera nanya Mas dari mana." Karena kesal, Sera pun kembali berkata. Dika yang hendak naik ke atas tangga pun berhenti. Dia menoleh, "aku sudah bilang dari awal, jangan menganggap pernikahan ini serius. Kau urus saja urusanmu. Jangan kepo dengan urusanku, Sera. Cukup kamu tinggal di sini saja, jangan melewati batas."

"Mas, tapi aku ini istri, Mas," sanggah Sera. "Siapa peduli?" ujar Dika. Ya Tuhan. 

"Orang tuaku yang menginginkan pernikahan ini ada, tapi aku tidak, Sera. Sama sekali aku tidak menganggap kamu itu istriku, aku tidak sudi," Dika terus-menerus melontarkan kata-kata jahat kepada Sera. 

Sementara itu, Sera menyahut, dia tidak boleh diam juga kan?

"Mas, kamu harusnya sadar, kamu sudah beristri. Tapi, kamu sama sekali-"

"Istri? Aku tidak menganggapmu, Sera, jangan berharap aku bisa menerima kehadiran kamu," lebih dahulu Dika memotong ucapan Sera. 

Lelaki itu tersenyum meremehkan, "kamu cuma wanita mandul, ingat itu," sarkas Dika. Dia pun melenggang pergi. Dada Sera terasa sesak. Dia memegangi dengan kedua tangannya. Nafasnya tidak beraturan. "Mas Di-ka," ucap Sera terbata. 

Ia berjalan mendekati sofa dengan berpegangan tembok agar tidak jatuh. "Hiks... Tuhan, aku berharap pernikahan keduaku baik-baik saja, bukan seperti ini..." mohon Sera. 

Sejak hari pertama menikah, tidak ada yang beres sama sekali. Sera tidak mendapatkan apa yang dia impikan dalam pernikahannya. Suaminya yang dia pikir dapat menerima keadaan dirinya dengan utuh, nyatanya jauh lebih menyakitkan. Sera bingung harus berbuat apa. 

Wanita itu masuk ke dalam kamar, tapi Dika melotot tajam. “Pergi kau! Aku ingin tidur tanpa diganggu!” usir Dika. Bukankah hal yang wajar berada di dalam satu kamar setelah menikah? Sah-sah saja jika Sera ada di kamar itu. “Mas, ini juga kamar Sera,” tukas Sera. 

“Tidak, ini apartemenku! Kau hanya menumpang!” teriak Dika. Tangannya hampir dilayangkan ke wajah Sera, namun Dika memundurkannya lagi entah kenapa. “Pergi!” teriak Dika. 

“Mas…,” kata Sera. 

Dika tak bersuara, hanya tatapan tajam dan ekspresi marah yang terlihat. Seharusnya pagi hari itu Sera menyambut suaminya pulang dengan hal yang romantis atau Dika pulang menyapa sang istri dengan lembut, namun yang terjadi adalah perang. 

Mau tak mau, Sera keluar dari kamar tersebut dengan wajahnya yang sendu. Tapi, dia juga tidak ingin menangis. Sarapan bersama? Jangan harap. Lebih baik Sera memikirkan perkara dirinya dahulu. 

Dika tidak pernah mencintai Sera, dia telah memiliki kekasih yang jauh lebih dia cinta. Dan itu tentu bukan Sera. Itu Lia. Di masa depan dia hanya ingin menikah dengan Lia. Tapi, keadaan justru memaksa Dika untuk menikahi perempuan mandul. 

Usai Sera keluar dari kamar, Dika benar-benar mengunci pintu kamar tersebut. Rasanya selalu muak saat melihat wanita itu. Dika merebahkan dirinya di atas ranjang dengan tersenyum lega. Menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan. 

***

Di luar kamar, Sera bermonolog dalam hati, “aku kira dia pria yang baik, pria yang aku dambakan, ternyata itu hanya halu.”

“Astagfirullah, Ya Allah, apa memang ini sudah menjadi jalan hidupku? Sejujurnya aku ingin bahagia atas pernikahanku.”

“Dari mana saja Mas Dika pergi? Kenapa pulang sampai pagi…”

“Aku tidak mengerti dengan perilakunya, dia pria yang kasar. Aku kecewa. Aku salah menilai,” gumam Sera. 

“Dahulu, ibu mertuaku yang selalu sinis terhadapku, tapi kini suamiku sendiri…”

“Apa aku memang tidak bisa bahagia saat menikah? Kenapa begitu banyak cobaan yang kuhadapi?”

Jika Dika tahu Sera masih ada di depan pintu, mungkin saja dia akan dibentak-bentak agar menyingkir jauh dari kamar. Tapi, sebelum itu terjadi Sera lebih dahulu pergi. Dia tidak ingin kemunculan Dika melihatnya di depan pintu kamar semakin menambah buruk keadaan. 

Sera berusaha mengabaikan ke mana Dika pergi. Tidak peduli ada urusan apa Dika di luar rumah. Meski itu hal yang sulit, meski dia sendiri ingin tahu, Sera harus berusaha tidak terlihat khawatir karena nalurinya sebagai seorang istri.

Wajar saja bila Sera ingin tahu. Dia adalah istri sah. Dan Sera tidak bermain-main atas pernikahan yang terjadi. Dia menganggap pernikahan itu suatu yang sakral dan berlangsung seumur hidup. Boleh saja kemarin dia gagal, tapi untuk kali ini Sera tidak ingin lagi hal seperti dahulu terulang dan ingin bertahan. Ini hanyalah ombak kecil.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status