Sera terbangun seorang diri. Tidak ada sang suami di sampingnya. Atau bahkan sedari semalam Dika memang tak tidur satu ranjang dengannya. Sekarang sudah subuh, Sera bangkit dari kasur seraya menyibak dan merapikan selimut tebal itu.
Sebelum mengambil wudhu, Sera mencari keberadaan Dika terlebih dahulu. Sera bermaksud meminta Dika juga untuk ikut sholat. Usai selesai merapikan selimut dan kasurnya itu, Sera segera bergegas meninggalkan kamar.
Sayang, tidak ada tanda-tanda keberadaan Dika di apartemen. Dika juga tidak meninggalkan surat atau pesan padanya. Dia sungguh tidak tahu ke mana Dika pergi. Kenapa Sera sama sekali tidak berguna sebagai istri? Untuk mengetahui keberadaan suaminya saja rasanya sulit.
"Mas Dika pergi lagi tanpa sepengetahuanku...," ucap Sera. "Dia tega sekali bersikap kepadaku seperti ini," lirih Sera.
"Di mana Mas Dika?" ucap Sera bingung. Menghela napas, Sera akan urus nanti setelah ia selesai sholat subuh.
***
"Sayang, aku harus pulang, kita ketemu nanti lagi, ya?" ucap Dika mengusap-usap rambut seorang wanita bertubuh tinggi, berkulit putih, cantik dan juga bekerja di hotel Citra Queen. Ya, dia adalah salah satu pegawai yang bekerja di hotel milik Deri.
Katakan saja Dika brengsek. Lelaki itu sudah menikah, tapi bermain dengan perempuan lain. "Lia masih ingin Mas di sini. Lia kesepian," rengek Lia dengan manja, menggandeng tangan Dika dengan posesif. "Sayang, Mas nanti akan temui Lia lagi kok," ujar Dika.
Bahkan dengan istrinya saja dia tidak seromantis itu. Lia adalah kekasihnya. Sampai saat ini pun statusnya sama. Dan dia belum bicara soal pernikahannya kepada Lia. Karena Dika tidak ingin membuat Lia marah kepada dirinya.
"Ya, Sayangku?" ucap Dika. Tangannya sibuk mengusap rambut Lia yang panjang juga halus. "Mas tega, tapi aku sayang sama Mas," ucap Lia, dia tertawa kecil. "Janji ya temui Lia?" ucap Lia menunjukkan jari kelingking. Dika mengangguk singkat, lelaki itu pun menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking kekasihnya. "Mas sayang Lia," ucap Dika memeluk mesra tubuh yang pas dipeluk itu.
Lia memeluk balik lelaki itu. "Lia juga sayang dengan Mas."
Tanpa Dika tahu, seseorang tengah menangis menunggu kehadirannya di apartemen. Tapi, Dika justru menyalakan api tanpa memedulikan akibat dari apa yang sudah dia perbuat. Dika mengecup singkat kening kekasihnya, dia melepaskan pelukan tersebut. "Hati-hati di rumah sendirian," ia mencolek hidung mancung Lia, membuat wanita itu terkekeh geli. "Ih Mas..." kata Lia.
"Dah Lia, Mas pergi."
"Mas hati-hati di jalan," ucap Lia melebarkan senyum seraya melambaikan tangan. Dika lantas mengedipkan mata sebagai balasan.
***
"Mas dari mana saja?"
Lagi-lagi Sera diabaikan oleh Dika. "Mas jawab, Sera nanya Mas dari mana." Karena kesal, Sera pun kembali berkata. Dika yang hendak naik ke atas tangga pun berhenti. Dia menoleh, "aku sudah bilang dari awal, jangan menganggap pernikahan ini serius. Kau urus saja urusanmu. Jangan kepo dengan urusanku, Sera. Cukup kamu tinggal di sini saja, jangan melewati batas."
"Mas, tapi aku ini istri, Mas," sanggah Sera. "Siapa peduli?" ujar Dika. Ya Tuhan.
"Orang tuaku yang menginginkan pernikahan ini ada, tapi aku tidak, Sera. Sama sekali aku tidak menganggap kamu itu istriku, aku tidak sudi," Dika terus-menerus melontarkan kata-kata jahat kepada Sera.
Sementara itu, Sera menyahut, dia tidak boleh diam juga kan?
"Mas, kamu harusnya sadar, kamu sudah beristri. Tapi, kamu sama sekali-"
"Istri? Aku tidak menganggapmu, Sera, jangan berharap aku bisa menerima kehadiran kamu," lebih dahulu Dika memotong ucapan Sera.
Lelaki itu tersenyum meremehkan, "kamu cuma wanita mandul, ingat itu," sarkas Dika. Dia pun melenggang pergi. Dada Sera terasa sesak. Dia memegangi dengan kedua tangannya. Nafasnya tidak beraturan. "Mas Di-ka," ucap Sera terbata.
Ia berjalan mendekati sofa dengan berpegangan tembok agar tidak jatuh. "Hiks... Tuhan, aku berharap pernikahan keduaku baik-baik saja, bukan seperti ini..." mohon Sera.
Sejak hari pertama menikah, tidak ada yang beres sama sekali. Sera tidak mendapatkan apa yang dia impikan dalam pernikahannya. Suaminya yang dia pikir dapat menerima keadaan dirinya dengan utuh, nyatanya jauh lebih menyakitkan. Sera bingung harus berbuat apa.
Wanita itu masuk ke dalam kamar, tapi Dika melotot tajam. “Pergi kau! Aku ingin tidur tanpa diganggu!” usir Dika. Bukankah hal yang wajar berada di dalam satu kamar setelah menikah? Sah-sah saja jika Sera ada di kamar itu. “Mas, ini juga kamar Sera,” tukas Sera.
“Tidak, ini apartemenku! Kau hanya menumpang!” teriak Dika. Tangannya hampir dilayangkan ke wajah Sera, namun Dika memundurkannya lagi entah kenapa. “Pergi!” teriak Dika.
“Mas…,” kata Sera.
Dika tak bersuara, hanya tatapan tajam dan ekspresi marah yang terlihat. Seharusnya pagi hari itu Sera menyambut suaminya pulang dengan hal yang romantis atau Dika pulang menyapa sang istri dengan lembut, namun yang terjadi adalah perang.
Mau tak mau, Sera keluar dari kamar tersebut dengan wajahnya yang sendu. Tapi, dia juga tidak ingin menangis. Sarapan bersama? Jangan harap. Lebih baik Sera memikirkan perkara dirinya dahulu.
Dika tidak pernah mencintai Sera, dia telah memiliki kekasih yang jauh lebih dia cinta. Dan itu tentu bukan Sera. Itu Lia. Di masa depan dia hanya ingin menikah dengan Lia. Tapi, keadaan justru memaksa Dika untuk menikahi perempuan mandul.
Usai Sera keluar dari kamar, Dika benar-benar mengunci pintu kamar tersebut. Rasanya selalu muak saat melihat wanita itu. Dika merebahkan dirinya di atas ranjang dengan tersenyum lega. Menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan.
***
Di luar kamar, Sera bermonolog dalam hati, “aku kira dia pria yang baik, pria yang aku dambakan, ternyata itu hanya halu.”
“Astagfirullah, Ya Allah, apa memang ini sudah menjadi jalan hidupku? Sejujurnya aku ingin bahagia atas pernikahanku.”
“Dari mana saja Mas Dika pergi? Kenapa pulang sampai pagi…”
“Aku tidak mengerti dengan perilakunya, dia pria yang kasar. Aku kecewa. Aku salah menilai,” gumam Sera.
“Dahulu, ibu mertuaku yang selalu sinis terhadapku, tapi kini suamiku sendiri…”
“Apa aku memang tidak bisa bahagia saat menikah? Kenapa begitu banyak cobaan yang kuhadapi?”
Jika Dika tahu Sera masih ada di depan pintu, mungkin saja dia akan dibentak-bentak agar menyingkir jauh dari kamar. Tapi, sebelum itu terjadi Sera lebih dahulu pergi. Dia tidak ingin kemunculan Dika melihatnya di depan pintu kamar semakin menambah buruk keadaan.
Sera berusaha mengabaikan ke mana Dika pergi. Tidak peduli ada urusan apa Dika di luar rumah. Meski itu hal yang sulit, meski dia sendiri ingin tahu, Sera harus berusaha tidak terlihat khawatir karena nalurinya sebagai seorang istri.
Wajar saja bila Sera ingin tahu. Dia adalah istri sah. Dan Sera tidak bermain-main atas pernikahan yang terjadi. Dia menganggap pernikahan itu suatu yang sakral dan berlangsung seumur hidup. Boleh saja kemarin dia gagal, tapi untuk kali ini Sera tidak ingin lagi hal seperti dahulu terulang dan ingin bertahan. Ini hanyalah ombak kecil.
Seorang wanita membuka matanya perlahan-lahan lantaran mendengar bunyi alarm. Sudah pukul 6 pagi. Dia tidak menjalankan ibadah subuh karena tengah datang bulan, menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Sera meraih hijab yang tidak jauh dari posisinya. Ia segera memakai hijab tersebut. Sejak memutuskan menikah lagi dan di hari di mana ijab kabul itu berlangsung, Sera begitu menghargai pernikahannya, tidak menjadikan pernikahannya hanya sekedar pelampiasan karena kesepian atas gagalnya pernikahan yang dahulu. Keluarga Dika, khusus orang tuanya sudah sangat baik terhadapnya. Begitu mencintai kehadirannya. Lantas, Sera tetap harus melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri, mengabaikan sikap kasar Dika yang setiap hari ia dapatkan. Berjalan keluar dari kamar, Sera sudah tak heran saat menemukan Dika tertidur di sofa tanpa selimut. Hanya dengan pakaian tidur, tangannya dalam keadaan posisi menyilang di atas dada. Langkah kaki Sera mendekat kepada pria itu. “Mas…” panggil Sera lembut.
Seorang pria dengan pakaian santai ala rumahan itu memandang lapar sajian makanan di atas meja. Dia menoleh ke kanan dan kiri, sepi. Tidak peduli dengan sekitar, perutnya kini sedang lapar. Ia duduk, tersenyum senang. Meraih nasi dan lauk-pauk. Tanpa berpikir panjang, tak menunda waktu dia melahap dengan perasaan gembira. “Enak juga!” tuturnya tanpa dia sadar. Kunyahan demi kunyahan, dia menikmati makanan tersebut. Hingga saat seseorang tiba, matanya dengan mata orang itu bertemu, garpu dan sendok yang dia pegang pun dijatuhkan olehnya begitu saja. Bukan hanya itu makanan yang sedang dikunyah itu pun dia keluarkan. “Uhuk! Uhuk!” “Sial, makanan apa ini?!” “MAS!” teriak Sera. “Kenapa kau muntahkan makanannya?” ucap Sera. Dia sengaja menyiapkan makanan itu untuk suaminya. Tapi, Dika tak menghargai itu. “Jadi kau yang masak ini? Pantas saja rasanya tidak enak,” ucapnya bangkit dari kursi. Padahal beberapa waktu lalu dia memuji makanan itu. Sayang, Sera tidak menyaksikan hal tersebu
“Siapa itu?” gumam Dika. Dika mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya. Otot lehernya kentara menonjol. Pertanda dia benar-benar menahan amarah. “Urusan kita belum selesai!” ancam Dika sembari menunjuk wajah Sera. Sera segera menuju pintu. Sebelum itu dia melihat terlebih dahulu dari kamera pengawas siapa yang tamu yang datang. Hingga kemudian, bukan hanya Sera yang terkejut melainkan Dika juga sama terkejutnya. “Minggir,” suruh Dika. “Apa?” ucap Dika, dia lantas menutup mulutnya dengan satu tangan. “Cepat rapikan kamar!” instruksi Dika. “Tapi-“ kata Sera terpotong. “Kubilang cepat!” perintah Dika. Sera mengangguk-anggukan kepala. Inilah risiko yang mesti keduanya terima. Sungguh, jantung Dika berdebar tidak karuan. Dia merapikan pakaian dan mencoba mengatur emosi juga wajahnya. Tak lama dia membuka pintu tersebut agar kedua orang tuanya tidak curiga karena terlalu lama pintu tidak dibuka. “Assalamualaikum, Ma, Pa,” salam Dika. Rupanya dia tidak lupa mengucapkan salam. Dan berl
‘Aku sadar kenapa Mas Dika begitu syok, dia pasti malu jika membawaku ke hotel,’ Sera menunduk. Rasa sedih itu mencoba hinggap. “Kau tidak mungkin malu kan membawa Sera?” tebak Karina. “Dika?” tegur Deri. “Bukan begitu. Di sana banyak pegawai laki-laki. Dika malas jika mereka akan melihat Sera nantinya,” bohong Dika. Itu hanya alasannya saja. Untung saja dia cepat berpikir dan merespons agar kedua orang tuanya tidak curiga terhadap perkataannya yang hampir menjerumuskannya dalam kesalahan besar. Mendengar perkataan Dika barusan, Sera tidak tahu harus merespons seperti apa. Dia tidak senang tidak juga sedih. Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rumah tangganya tidak benar-benar baik. Dan Dika hanya tengah berakting. Memang apa masalahnya jika ada para pegawai pria? “Hahaha, jadi kau cemburu, ya? Ya ampun, anak Mama…,” Karina tertawa, “Dika, Sera itu hanya sayang dengan kamu. Masa kamu tidak merasakan hal itu, iya kan Sera?” “Oh, i-iya,” jawab Sera sedikit gugup. ‘Ya Allah, mana m
Dalam pernikahan, tidak semuanya terisi bahagia, berjalan mulus seperti yang ada di pikiran. Dan kita juga tidak bisa benar-benar mendapatkan pasangan yang sempurna. Yang ada saling menyempurnakan untuk menutupi kekurangan satu sama lain. Saling bahu-membahu. Namun, berbeda dengan pernikahan Sera. Wanita yang pernah gagal dalam pernikahan itu sulit mendapatkan yang saling menyempurnakan. Di pernikahan kedua ini pun selalu saja yang ia dapatkan masalah dan masalah. Sera juga tidak mengerti akan jalan hidupnya. Dan dia merasa dirinya benar-benar payah. Tetapi, saat ini ia tidak boleh meratapi nasib pernikahannya. Karina sudah menyiapkan pakaian muslimah untuk datang ke hotel menghadari acara bersama Dika. Ya, suka tidak suka, terima atau tidak, Dika dan Sera akan dan tetap harus ada dalam acara penyerahan hotel nanti. “Lama sekali,” gumam pria yang duduk dengan setelan jas hitam, di tangan kanannya terdapat jam tangan bermerk. Dia melirik sekilas, meski ada 1 jam lagi, Dika malas menu
Ya. Dika terlalu banyak melamunkan seseorang sampai tak sadar sedari tadi ia dipanggil. “Kau tegang sekali, acara belum dimulai dan kau bisa katakan apapun yang kamu mau di atas panggung. Kau sudah dewasa, kau pasti bisa,” ucap Deri. “Jangan melamun seperti itu lagi, ya,” tegur Deri. “Hm,” deham Dika. Dia menarik minuman di atas meja. Menetralkan keadaan dirinya. Hanya sekedar beberapa tegukan. “Dika izin ke toilet,” ucap Dika. Saat mendengar itu, Sera mendapatkan feeling yang tidak baik. Hanya perasaannya saja, namun dia tidak boleh suudzon. “Jangan lama, Dika, kau sebentar lagi akan naik panggung,” suruh Deri. Dika mengangguk singkat. Setelahnya ia pergi. “Sera, bagaimana masakan di sini? Suka kan?” “Iya, Ma, Sera suka, masakan di hotel ini enak dan lezat,” jawab Sera. ‘Ya Allah, apa Mas Dika sungguh pergi ke toilet? Kenapa aku mengkhawatirkan sesuatu?’ tanya Sera dalam hati. “Sera, apa ada sesuatu?” tanya Rani. “Ah, tidak.” “Mama lihat kamu melamun barusan.” “Ck, pasti Sera
Sera mengaduh sakit karena tangannya ditarik paksa sedari keluar mobil sampai ke dalam rumah. Lagi-lagi saat tidak ada orang tua mereka, Dika selalu saja bertindak semaunya. Meski sudah berteriak meminta tolong untuk dilepaskan, Dika tak menggubris sama sekali ucapannya. Sera terisak. Dia bingung harus berbuat apa. “Aku sudah jujur padamu, Mas. Aku sama sekali tidak bermain dengan pria manapun. Bahkan, aku baru menemui lelaki itu saat tadi.” “Mas, per-caya pa-da—ku…,” Sera ingin meraih tangan Dika, tetapi Dika mengempaskan begitu. “Akh!” pekik Sera kesakitan. Selalu saja alurnya seperti ini. Sera sudah bahagia bisa datang ke hotel tadi. Namun, pulangnya malah mendapatkan masalah. Apa yang dia lakukan selalu saja salah. “Bukankah Mas sendiri yang bilang urus-urusan masing-masing? Kenapa Mas justru marah?” Dika terdiam. Sera menghapus air matanya. Bangkit dan menatap Dika dengan berani. “Aku sudah katakan jujur, tapi Mas tidak pernah mau percaya apa yang aku katakan.” Entah dorongan
“Ma, aku dan Sera baru saja menikah. Tapi, Mama sudah meminta cucu,” protes Dika. Pasalnya, Dika sama sekali tidak tertarik menyentuh wanita berhijab itu. “Kami ingin menikmati waktu dulu berdua lebih banyak, ya kan, Sera?” tanya Dika. Sera lantas mengangguk singkat. Sera menunduk. Ingin menangis rasanya lantaran pembahasan ini terlalu sensitif baginya. Sedari awal Dika tidak pernah mencintai dirinya. Apa lagi ingin memiliki anak. Sera merasa permintaan Karina terlalu berat. Bagaimana perihal kemandulannya? Sera semakin ingin mengutuk dan mengurung dirinya. Mungkinkah Karina tidak benar-benar tahu berita perceraiannya karena kemandulannya? Sera jadi terdiam. “Mama lihat kan, Sera jadi murung,” ujar Dika. “Sera, kamu belum siap, Nak?” “Mama salah bicara, ya?” tutur Karina dengan hati-hati. “Oh tidak, Ma,” sahut Sera. “Sera, jika kamu belum siap, Mama tidak akan memaksa. Itu terserah kalian. Karena yang menjalankan pernikahan itu kan kalian,” jawab Karina. “Sayang, Mama tidak bermak