"Ya Allah, aku akan dijodohkan oleh kedua orang tuaku? Bagaimana perihal kemandulanku?"
Baru saja Sera mengatakan hal itu, ketukan pintu kamar terdengar. Sera yang tengah duduk di tepian ranjang lantas bangkit seraya membuka pintu tersebut.
"Sera kamu sungguh mau menerima perjodohan ini? Ini demi kebaikan kamu, pikirkan baik-baik," kata Sidik. Sera mengangguk. Dia sudah pikirkan matang-matang. Perihal kemandulannya, Sera pasrah dengan kehendak-Nya.
Menerima perjodohan dan memulai pernikahan kedua adalah keputusannya. Sera harus bisa memilih jalan mana yang terbaik.
"Mas, kita tidak perlu memaksakan keinginan Sera," ujar Rani. "Mas tidak memaksakan. Mas hanya bertanya."
"Sayang, apa kamu benar-benar menerima perjodohan ini? Mama ingin Sera menerima perjodohan ini dengan keinginan Sera sendiri. Bukan karena keinginan kami," ujar Rani.
"Sera siap, Ma. Sera mau," tegas Sera.
Sedikit trauma dengan pernikahan, tapi Sera juga harus memikirkan kehidupan ke depannya. Bahwa pernikahan juga adalah kewajiban. Jadi, Sera ingin memulai hidup yang baru.
"Jika begitu, kami berdua berharap kamu hidup lebih baik, Nak, kamu berhak bahagia," Rani menarik Sera ke dalam pelukannya.
"Mama tidak ingin Sera sedih lagi," ujar Rani. "Setelah ini Sera pasti dapat keluarga yang harmonis," yakin Rani.
"Terima kasih, Ma," lirih Sera. Wanita itu menahan diri untuk tidak menangis. Karena ketulusan Rani dan Sidik membuat Sera begitu tersentuh.
Perjodohan ini ada karena kedua orang tua Sera tidak ingin melihat Sera merenung dan melamun dalam kondisi sendirian. Sera mungkin tidak sadar akan hal itu. Tapi, baik Rani maupun Sidik begitu peduli terhadap kondisi Sera. Sera bisa saja tertawa dan berusaha baik-baik saja. Dibalik itu, Sera juga perempuan yang butuh sosok laki-laki baik.
"Sera pasti punya anak kan, Pa, Ma?"
"Tentu, sayang, Allah hanya belum mengizikan, jadi Sera mesti banyak-banyak sabar."
“Jangan sedih, Sera,” pinta Sidik. Sera mengangguk kecil. "Kekecewaan kamu kemarin pasti ada hikmahnya, Nak," kata Sidik dengan tenang. "Iya, Pa," jawab Sera.
'Suatu saat aku pasti punya anak dan hidup bahagia bersama keluarga kecilku, Ya Allah,' ucap Sera. 'Bismillah, Ya Allah, izinkan pernikahan keduaku berjalan dengan sebaik-baiknya.'
Sera tidak mungkin selamanya hidup menjadi janda. Sidik dan Rani memutuskan menjodohkan Sera karena peduli dengan masa depan sang putri.
***
“Assalamualaikum Dika, sudah pulang kamu?” suara wanita itu terdengar lembut. “Bagaimana hotel kita?” tanyanya sebelum Dika menyahut.
“Waalaikumsalam, Dika baru sampai di apart,” kata Dika.
“Ya, hotel aman. Dan Dika sudah bicara sama papa juga soal Dika akan urus hotel sepenuhnya,” ucap Dika. Tak ada keraguan mengatakan hal tersebut.
“Ya, papamu meyakinkan sepenuhnya ke kamu,” ucap wanita yang duduk di sofa itu. “Apa kamu sudah makan, Nak?” dia bertanya hal yang sebetulnya pertanyaan klise. Namun, sebagai seorang ibu tetap saja dirinya perlu dan khawatir mengenai kesehatan sang putra.
“Dika akan makan setelah ini,” kata Dika. Lantas, setelah bertanya perihal makan, wanita yang mengkhawatirkan keadaan putranya tersebut mengganti ke arah topik lain yang membuat Dika merasa sensitif kalau dibahas.
“Dika, ada yang mau Mama bicarakan, ini sedikit serius, kamu sudah bukan remaja lagi, Nak. Apa kamu tidak berpikir untuk segera menikah?”
“Menikah?” beo Dika. “Dika, ini demi kebaikan kamu juga,” ucap Karin. “Carilah wanita yang tepat atau Mama yang akan turun tangan,” lanjut Karin serius juga menakutkan Dika yang tengah bersantai di dalam apartemennya.
Menurut Karin, usia 25 tahun putranya sudah harus menikah. Lagi pula, Karin telah memiliki calon menantu yang baik untuk Dika. Sengaja ia menyuruh anak satu-satunya itu untuk mencari seorang gadis dahulu. Padahal dia sendiri sudah menyiapkan. Karin memiliki feeling kuat dengan seorang perempuan dari anak temannya. Mungkin juga sudah dia anggap sahabat.
Karin memikirkan ini tidak hanya seorang diri. Dia juga sudah berkomunikasi dengan sang suami yaitu Deri. Mereka berdua sepakat untuk menjodohkan putranya dengan putri temannya itu. Ini adalah waktu yang menurutnya tepat. Belum lama dia dapat kabar kalau Sera sudah bercerai dengan suaminya.
Karin dan Deri kenal baik bagaimana Sera. Mereka mengenal Sera saat semasa sekolah. Karin tidak peduli dengan masa lalu yang terjadi pada Sera. Berita bahwa Sera sudah pernah menikah tidak menjadi halangan baginya. Yang terpenting adalah masa depan anaknya. Intinya, Karin memiliki sesuatu yang kuat kenapa dia memilih Sera menjadi pasangan hidup untuk anaknya.
“Kita bicarakan lagi nanti bersama papamu, Dika,” putus Karin. Dia mematikan sambungan telepon usai memberi salam. Dan mendengar salam baik dari putranya.
***
Dika tak habis pikir, dia baru saja menginjakkan usianya yang ke 25 tahun. Tapi, mamanya meminta dirinya untuk menikah? Perasaan Dika menjadi kalut. Dia berteriak seraya mengacak rambutnya frustrasi. Lantas pikirannya tertuju pada seorang gadis.
Dika merebahkan diri di atas sofa, menggunakan kedua tangannya menjadi bantalan kepala. Pandangannya tertuju pada langit-langit apartemen. “Ck, kenapa harus menikah? Aku baru saja diputuskan untuk bertanggung jawab masalah hotel, sekarang menikah? Tidak habis pikir. Kenapa jadi anak semata wayang seperti ini?” keluh Dika.
“Lia, aku harus bagaimana? Bagaimana dengan hubungan kita?” dia bermonolog. Memikirkan Lia. Lia adalah kekasihnya. Ya, berpacaran sudah hampir 7 bulan, Dika belum berani membawa ke orang tuanya. Hanya satu alasannya, dia tidak siap.
“Tidak, aku harus menolak pernikahan ini. Aku belum siap menikah!” serunya mantap. Dika masih ingin menghabiskan waktunya dengan sang kekasih tanpa harus memikirkan masalah pernikahan. Tidak mudah baginya menikah tanpa kesiapan. Dika harus berbicara pada orang tuanya nanti. Dia belum siap menikah. Ya, dia harus berani menolak permintaan yang satu itu.
***
Di dalam rumah yang besar dengan nuansa yang cerah, rumah didominasi cat berwarna putih dan keemasan itu terlihat megah, indah dan rapi. Rumah dua tingkat yang hanya diisi dengan 5 orang saja. Pemilik rumah tersebut sedang menunggu sang anak pulang. Mereka berdua tampak gelisah karena putranya tidak juga muncul.
“Mas, Sera itu perempuan baik-baik. Aku punya feeling kalau dia nantinya akan hidup bahagia dengan putra kita,” ucap Karin yang dianggukkan oleh sang suami.
Deri pun menyahut, “apapun keputusanmu aku akan ikut. Tapi, kita juga harus dengar apa yang dikatakan Dika nanti.”
“Iya, Mama paham Papa mencemaskan Dika. Tapi, aku tidak tega membiarkannya hidup seorang diri. Dika harus ada yang merawat.”
“Iya, Mama benar, Papa pun kasihan melihat Dika. Dia pasti terbebani.”
“Untuk itu, kita bisa menjodohkannya segera dengan anak teman kita, Mas.”
“Aku bahagia jika kita menjadi besan dengan keluarga Sidik,” aku Deri. “Ya, aku juga senang bila Sera menjadi menantu kita. Aku tahu Sera belum lama ini bercerai. Tapi, bukan berarti itu akan membuat hidup putra kita sengsara. Aku yakin pernikahan mereka baik-baik saja nantinya.”
“iya, Mas setuju apa katamu,” kata Deri.
“Bagaimana jika Dika nanti menolak?” tanya Deri. Sebagai seorang ayah, dia tetap mengkhawatirkan perasaan putranya.
“Kau harus tetap berpikir positif, perjodohan ini harus tetap berjalan.”
“Tidak!” teriak seseorang yang membuat Deri dan Karin terkejut bersama. Itu adalah suara lantang dari Dika. Ada banyak yang lelaki itu pikirkan untuk masa depannya dengan wanita yang ia miliki. Bagaimana mungkin dia menerima perjodohan itu begitu saja.
Tapi, apa penolakan Dika itu sungguh terwujud? Apa dia dan Sera, wanita yang dijodohkan dengan Dika itu tidak akan benar-benar menikah? Lantas bagaimana dengan jabatan Dika yang akan menjadi pewaris tunggal CEO dari Hotel Citra Queen?
Apa lelaki yang berusia 25 tahun itu rela menyia-nyiakan kesempatan tersebut hanya demi seorang kekasih yang belum ada niat untuk ia nikahi?
4 bulan berlalu. "Hari ini pernikahan kamu dan Dika. Kamu harus bahagia setelah ini, Sera. Mama akan selalu dukung apapun yang menjadi pilihan Sera selagi itu membuat Sera bahagia," tulus Rani. “Semua baik-baik saja, Nak, kamu harus tenang,” ucap Rani memberikan kata-kata yang membuat hati Sera menjadi terisi. Sera membalas perkataan Rani dengan senyum lembut. Perempuan itu cantik sekali mengenakan gaun pernikahan dibalut hijab auranya semakin memesona. Pipi Sera bersemu merah. Dia malu di depan ibu kandungnya sendiri. "Kamu cantik dengan gaun ini, semoga pernikahanmu diberkahi Allah," doa Rani. "Amiin," sahut Sera. "Sera minta doa Mama," ucap Sera mencium punggung tangan Rani."Sejujurnya Sera sedikit takut, Ma," jujur Sera, karena perasaan trauma itu masih ada. "Kenapa? Dika anak yang baik, Nak," tutur Rani. "Itu hanya perasaan kamu saja." Sambung Rani. "Jangan berpikir aneh-aneh," kata Rani."Iya, Ma," ujar Sera. Mungkin yang dikatakan Mamanya ada benarnya kalau itu hanya pera
Sera terbangun seorang diri. Tidak ada sang suami di sampingnya. Atau bahkan sedari semalam Dika memang tak tidur satu ranjang dengannya. Sekarang sudah subuh, Sera bangkit dari kasur seraya menyibak dan merapikan selimut tebal itu. Sebelum mengambil wudhu, Sera mencari keberadaan Dika terlebih dahulu. Sera bermaksud meminta Dika juga untuk ikut sholat. Usai selesai merapikan selimut dan kasurnya itu, Sera segera bergegas meninggalkan kamar. Sayang, tidak ada tanda-tanda keberadaan Dika di apartemen. Dika juga tidak meninggalkan surat atau pesan padanya. Dia sungguh tidak tahu ke mana Dika pergi. Kenapa Sera sama sekali tidak berguna sebagai istri? Untuk mengetahui keberadaan suaminya saja rasanya sulit. "Mas Dika pergi lagi tanpa sepengetahuanku...," ucap Sera. "Dia tega sekali bersikap kepadaku seperti ini," lirih Sera. "Di mana Mas Dika?" ucap Sera bingung. Menghela napas, Sera akan urus nanti setelah ia selesai sholat subuh. *** "Sayang, aku harus pulang, kita ketemu na
Seorang wanita membuka matanya perlahan-lahan lantaran mendengar bunyi alarm. Sudah pukul 6 pagi. Dia tidak menjalankan ibadah subuh karena tengah datang bulan, menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Sera meraih hijab yang tidak jauh dari posisinya. Ia segera memakai hijab tersebut. Sejak memutuskan menikah lagi dan di hari di mana ijab kabul itu berlangsung, Sera begitu menghargai pernikahannya, tidak menjadikan pernikahannya hanya sekedar pelampiasan karena kesepian atas gagalnya pernikahan yang dahulu. Keluarga Dika, khusus orang tuanya sudah sangat baik terhadapnya. Begitu mencintai kehadirannya. Lantas, Sera tetap harus melaksanakan kewajiban sebagai seorang istri, mengabaikan sikap kasar Dika yang setiap hari ia dapatkan. Berjalan keluar dari kamar, Sera sudah tak heran saat menemukan Dika tertidur di sofa tanpa selimut. Hanya dengan pakaian tidur, tangannya dalam keadaan posisi menyilang di atas dada. Langkah kaki Sera mendekat kepada pria itu. “Mas…” panggil Sera lembut.
Seorang pria dengan pakaian santai ala rumahan itu memandang lapar sajian makanan di atas meja. Dia menoleh ke kanan dan kiri, sepi. Tidak peduli dengan sekitar, perutnya kini sedang lapar. Ia duduk, tersenyum senang. Meraih nasi dan lauk-pauk. Tanpa berpikir panjang, tak menunda waktu dia melahap dengan perasaan gembira. “Enak juga!” tuturnya tanpa dia sadar. Kunyahan demi kunyahan, dia menikmati makanan tersebut. Hingga saat seseorang tiba, matanya dengan mata orang itu bertemu, garpu dan sendok yang dia pegang pun dijatuhkan olehnya begitu saja. Bukan hanya itu makanan yang sedang dikunyah itu pun dia keluarkan. “Uhuk! Uhuk!” “Sial, makanan apa ini?!” “MAS!” teriak Sera. “Kenapa kau muntahkan makanannya?” ucap Sera. Dia sengaja menyiapkan makanan itu untuk suaminya. Tapi, Dika tak menghargai itu. “Jadi kau yang masak ini? Pantas saja rasanya tidak enak,” ucapnya bangkit dari kursi. Padahal beberapa waktu lalu dia memuji makanan itu. Sayang, Sera tidak menyaksikan hal tersebu
“Siapa itu?” gumam Dika. Dika mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya. Otot lehernya kentara menonjol. Pertanda dia benar-benar menahan amarah. “Urusan kita belum selesai!” ancam Dika sembari menunjuk wajah Sera. Sera segera menuju pintu. Sebelum itu dia melihat terlebih dahulu dari kamera pengawas siapa yang tamu yang datang. Hingga kemudian, bukan hanya Sera yang terkejut melainkan Dika juga sama terkejutnya. “Minggir,” suruh Dika. “Apa?” ucap Dika, dia lantas menutup mulutnya dengan satu tangan. “Cepat rapikan kamar!” instruksi Dika. “Tapi-“ kata Sera terpotong. “Kubilang cepat!” perintah Dika. Sera mengangguk-anggukan kepala. Inilah risiko yang mesti keduanya terima. Sungguh, jantung Dika berdebar tidak karuan. Dia merapikan pakaian dan mencoba mengatur emosi juga wajahnya. Tak lama dia membuka pintu tersebut agar kedua orang tuanya tidak curiga karena terlalu lama pintu tidak dibuka. “Assalamualaikum, Ma, Pa,” salam Dika. Rupanya dia tidak lupa mengucapkan salam. Dan berl
‘Aku sadar kenapa Mas Dika begitu syok, dia pasti malu jika membawaku ke hotel,’ Sera menunduk. Rasa sedih itu mencoba hinggap. “Kau tidak mungkin malu kan membawa Sera?” tebak Karina. “Dika?” tegur Deri. “Bukan begitu. Di sana banyak pegawai laki-laki. Dika malas jika mereka akan melihat Sera nantinya,” bohong Dika. Itu hanya alasannya saja. Untung saja dia cepat berpikir dan merespons agar kedua orang tuanya tidak curiga terhadap perkataannya yang hampir menjerumuskannya dalam kesalahan besar. Mendengar perkataan Dika barusan, Sera tidak tahu harus merespons seperti apa. Dia tidak senang tidak juga sedih. Dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rumah tangganya tidak benar-benar baik. Dan Dika hanya tengah berakting. Memang apa masalahnya jika ada para pegawai pria? “Hahaha, jadi kau cemburu, ya? Ya ampun, anak Mama…,” Karina tertawa, “Dika, Sera itu hanya sayang dengan kamu. Masa kamu tidak merasakan hal itu, iya kan Sera?” “Oh, i-iya,” jawab Sera sedikit gugup. ‘Ya Allah, mana m
Dalam pernikahan, tidak semuanya terisi bahagia, berjalan mulus seperti yang ada di pikiran. Dan kita juga tidak bisa benar-benar mendapatkan pasangan yang sempurna. Yang ada saling menyempurnakan untuk menutupi kekurangan satu sama lain. Saling bahu-membahu. Namun, berbeda dengan pernikahan Sera. Wanita yang pernah gagal dalam pernikahan itu sulit mendapatkan yang saling menyempurnakan. Di pernikahan kedua ini pun selalu saja yang ia dapatkan masalah dan masalah. Sera juga tidak mengerti akan jalan hidupnya. Dan dia merasa dirinya benar-benar payah. Tetapi, saat ini ia tidak boleh meratapi nasib pernikahannya. Karina sudah menyiapkan pakaian muslimah untuk datang ke hotel menghadari acara bersama Dika. Ya, suka tidak suka, terima atau tidak, Dika dan Sera akan dan tetap harus ada dalam acara penyerahan hotel nanti. “Lama sekali,” gumam pria yang duduk dengan setelan jas hitam, di tangan kanannya terdapat jam tangan bermerk. Dia melirik sekilas, meski ada 1 jam lagi, Dika malas menu
Ya. Dika terlalu banyak melamunkan seseorang sampai tak sadar sedari tadi ia dipanggil. “Kau tegang sekali, acara belum dimulai dan kau bisa katakan apapun yang kamu mau di atas panggung. Kau sudah dewasa, kau pasti bisa,” ucap Deri. “Jangan melamun seperti itu lagi, ya,” tegur Deri. “Hm,” deham Dika. Dia menarik minuman di atas meja. Menetralkan keadaan dirinya. Hanya sekedar beberapa tegukan. “Dika izin ke toilet,” ucap Dika. Saat mendengar itu, Sera mendapatkan feeling yang tidak baik. Hanya perasaannya saja, namun dia tidak boleh suudzon. “Jangan lama, Dika, kau sebentar lagi akan naik panggung,” suruh Deri. Dika mengangguk singkat. Setelahnya ia pergi. “Sera, bagaimana masakan di sini? Suka kan?” “Iya, Ma, Sera suka, masakan di hotel ini enak dan lezat,” jawab Sera. ‘Ya Allah, apa Mas Dika sungguh pergi ke toilet? Kenapa aku mengkhawatirkan sesuatu?’ tanya Sera dalam hati. “Sera, apa ada sesuatu?” tanya Rani. “Ah, tidak.” “Mama lihat kamu melamun barusan.” “Ck, pasti Sera