Share

3. MENOLAK PERJODOHAN

"Ya Allah, aku akan dijodohkan oleh kedua orang tuaku? Bagaimana perihal kemandulanku?"

Baru saja Sera mengatakan hal itu, ketukan pintu kamar terdengar. Sera yang tengah duduk di tepian ranjang lantas bangkit seraya membuka pintu tersebut.

"Sera kamu sungguh mau menerima perjodohan ini? Ini demi kebaikan kamu, pikirkan baik-baik," kata Sidik. Sera mengangguk. Dia sudah pikirkan matang-matang. Perihal kemandulannya, Sera pasrah dengan kehendak-Nya.

Menerima perjodohan dan memulai pernikahan kedua adalah keputusannya. Sera harus bisa memilih jalan mana yang terbaik.

"Mas, kita tidak perlu memaksakan keinginan Sera," ujar Rani. "Mas tidak memaksakan. Mas hanya bertanya."

"Sayang, apa kamu benar-benar menerima perjodohan ini? Mama ingin Sera menerima perjodohan ini dengan keinginan Sera sendiri. Bukan karena keinginan kami," ujar Rani.

"Sera siap, Ma. Sera mau," tegas Sera.

Sedikit trauma dengan pernikahan, tapi Sera juga harus memikirkan kehidupan ke depannya. Bahwa pernikahan juga adalah kewajiban. Jadi, Sera ingin memulai hidup yang baru.

"Jika begitu, kami berdua berharap kamu hidup lebih baik, Nak, kamu berhak bahagia," Rani menarik Sera ke dalam pelukannya.

"Mama tidak ingin Sera sedih lagi," ujar Rani. "Setelah ini Sera pasti dapat keluarga yang harmonis," yakin Rani.

"Terima kasih, Ma," lirih Sera. Wanita itu menahan diri untuk tidak menangis. Karena ketulusan Rani dan Sidik membuat Sera begitu tersentuh.

Perjodohan ini ada karena kedua orang tua Sera tidak ingin melihat Sera merenung dan melamun dalam kondisi sendirian. Sera mungkin tidak sadar akan hal itu. Tapi, baik Rani maupun Sidik begitu peduli terhadap kondisi Sera. Sera bisa saja tertawa dan berusaha baik-baik saja. Dibalik itu, Sera juga perempuan yang butuh sosok laki-laki baik.

"Sera pasti punya anak kan, Pa, Ma?"

"Tentu, sayang, Allah hanya belum mengizikan, jadi Sera mesti banyak-banyak sabar."

“Jangan sedih, Sera,” pinta Sidik. Sera mengangguk kecil.  "Kekecewaan kamu kemarin pasti ada hikmahnya, Nak," kata Sidik dengan tenang. "Iya, Pa," jawab Sera.

'Suatu saat aku pasti punya anak dan hidup bahagia bersama keluarga kecilku, Ya Allah,' ucap Sera. 'Bismillah, Ya Allah, izinkan pernikahan keduaku berjalan dengan sebaik-baiknya.'

Sera tidak mungkin selamanya hidup menjadi janda. Sidik dan Rani memutuskan menjodohkan Sera karena peduli dengan masa depan sang putri.

***

“Assalamualaikum Dika, sudah pulang kamu?” suara wanita itu terdengar lembut. “Bagaimana hotel kita?” tanyanya sebelum Dika menyahut.

“Waalaikumsalam, Dika baru sampai di apart,” kata Dika.

“Ya, hotel aman. Dan Dika sudah bicara sama papa juga soal Dika akan urus hotel sepenuhnya,” ucap Dika. Tak ada keraguan mengatakan hal tersebut.

“Ya, papamu meyakinkan sepenuhnya ke kamu,” ucap wanita yang duduk di sofa itu. “Apa kamu sudah makan, Nak?” dia bertanya hal yang sebetulnya pertanyaan klise. Namun, sebagai seorang ibu tetap saja dirinya perlu dan khawatir mengenai kesehatan sang putra.

“Dika akan makan setelah ini,” kata Dika. Lantas, setelah bertanya perihal makan, wanita yang mengkhawatirkan keadaan putranya tersebut mengganti ke arah topik lain yang membuat Dika merasa sensitif kalau dibahas.

“Dika, ada yang mau Mama bicarakan, ini sedikit serius, kamu sudah bukan remaja lagi, Nak. Apa kamu tidak berpikir untuk segera menikah?”

“Menikah?” beo Dika. “Dika, ini demi kebaikan kamu juga,” ucap Karin. “Carilah wanita yang tepat atau Mama yang akan turun tangan,” lanjut Karin serius juga menakutkan Dika yang tengah bersantai di dalam apartemennya.

Menurut Karin, usia 25 tahun putranya sudah harus menikah. Lagi pula, Karin telah memiliki calon menantu yang baik untuk Dika. Sengaja ia menyuruh anak satu-satunya itu untuk mencari seorang gadis dahulu. Padahal dia sendiri sudah menyiapkan. Karin memiliki feeling kuat dengan seorang perempuan dari anak temannya. Mungkin juga sudah dia anggap sahabat.

Karin memikirkan ini tidak hanya seorang diri. Dia juga sudah berkomunikasi dengan sang suami yaitu Deri. Mereka berdua sepakat untuk menjodohkan putranya dengan putri temannya itu. Ini adalah waktu yang menurutnya tepat. Belum lama dia dapat kabar kalau Sera sudah bercerai dengan suaminya.

Karin dan Deri kenal baik bagaimana Sera. Mereka mengenal Sera saat semasa sekolah. Karin tidak peduli dengan masa lalu yang terjadi pada Sera. Berita bahwa Sera sudah pernah menikah tidak menjadi halangan baginya. Yang terpenting adalah masa depan anaknya. Intinya, Karin memiliki sesuatu yang kuat kenapa dia memilih Sera menjadi pasangan hidup untuk anaknya.

“Kita bicarakan lagi nanti bersama papamu, Dika,” putus Karin. Dia mematikan sambungan telepon usai memberi salam. Dan mendengar salam baik dari putranya.

***

 Dika tak habis pikir, dia baru saja menginjakkan usianya yang ke 25 tahun. Tapi, mamanya meminta  dirinya untuk menikah? Perasaan Dika menjadi kalut. Dia berteriak seraya mengacak rambutnya frustrasi. Lantas pikirannya tertuju pada seorang gadis.

Dika merebahkan diri di atas sofa, menggunakan kedua tangannya menjadi bantalan kepala. Pandangannya tertuju pada langit-langit apartemen. “Ck, kenapa harus menikah? Aku baru saja diputuskan untuk bertanggung jawab masalah hotel, sekarang menikah? Tidak habis pikir. Kenapa jadi anak semata wayang seperti ini?” keluh Dika.

“Lia, aku harus bagaimana? Bagaimana dengan hubungan kita?” dia bermonolog. Memikirkan Lia. Lia adalah kekasihnya. Ya, berpacaran sudah hampir 7 bulan, Dika belum berani membawa ke orang tuanya. Hanya satu alasannya, dia tidak siap.

“Tidak, aku harus menolak pernikahan ini. Aku belum siap menikah!” serunya mantap. Dika masih ingin menghabiskan waktunya dengan sang kekasih tanpa harus memikirkan masalah pernikahan. Tidak mudah baginya menikah tanpa kesiapan. Dika harus berbicara pada orang tuanya nanti. Dia belum siap menikah. Ya, dia harus berani menolak permintaan yang satu itu.

 ***

Di dalam rumah yang besar dengan nuansa yang cerah, rumah didominasi cat berwarna putih dan keemasan itu terlihat megah, indah dan rapi. Rumah dua tingkat yang hanya diisi dengan 5 orang saja. Pemilik rumah tersebut sedang menunggu sang anak pulang. Mereka berdua tampak gelisah karena putranya tidak juga muncul.

“Mas, Sera itu perempuan baik-baik. Aku punya feeling kalau dia nantinya akan hidup bahagia dengan putra kita,” ucap Karin yang dianggukkan oleh sang suami.

Deri pun menyahut, “apapun keputusanmu aku akan ikut. Tapi, kita juga harus dengar apa yang dikatakan Dika nanti.”

“Iya, Mama paham Papa mencemaskan Dika. Tapi, aku tidak tega membiarkannya hidup seorang diri. Dika harus ada yang merawat.”

“Iya, Mama benar, Papa pun kasihan melihat Dika. Dia pasti terbebani.”

“Untuk itu, kita bisa menjodohkannya segera dengan anak teman kita, Mas.”

“Aku bahagia jika kita menjadi besan dengan keluarga Sidik,” aku Deri. “Ya, aku juga senang bila Sera menjadi menantu kita. Aku tahu Sera belum lama ini bercerai. Tapi, bukan berarti itu akan membuat hidup putra kita sengsara. Aku yakin pernikahan mereka baik-baik saja nantinya.”

“iya, Mas setuju apa katamu,” kata Deri.

“Bagaimana jika Dika nanti menolak?” tanya Deri. Sebagai seorang ayah, dia tetap mengkhawatirkan perasaan putranya.

“Kau harus tetap berpikir positif, perjodohan ini harus tetap berjalan.”

“Tidak!” teriak seseorang yang membuat Deri dan Karin terkejut bersama. Itu adalah suara lantang dari Dika. Ada banyak yang lelaki itu pikirkan untuk masa depannya dengan wanita yang ia miliki. Bagaimana mungkin dia menerima perjodohan itu begitu saja.

Tapi, apa penolakan Dika itu sungguh terwujud? Apa dia dan Sera, wanita yang dijodohkan dengan Dika itu tidak akan benar-benar menikah? Lantas bagaimana dengan jabatan Dika yang akan menjadi pewaris tunggal CEO dari Hotel Citra Queen?

Apa lelaki yang berusia 25 tahun itu rela menyia-nyiakan kesempatan tersebut hanya demi seorang kekasih yang belum ada niat untuk ia nikahi?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status