Elliot berjalan di sepanjang pantai yang sepi, angin laut menyapu rambutnya, membawa harum garam dan kebebasan. kemarin sore, dia bertemu dengan Selene—perempuan yang tak bisa berbicara, namun memiliki cara yang aneh untuk berbicara langsung ke hati. Sekarang, setelah pertemuan itu, perasaannya bercampur aduk.
Di satu sisi, ada Isabella, tunangannya yang telah lama menjadi bagian dari hidupnya, wanita yang selalu mendampinginya sejak kecil. Mereka tumbuh bersama, merencanakan masa depan bersama, dan tak ada yang lebih ia inginkan selain kebahagiaan bersama Isabella. Dia mencintainya dengan cara yang begitu dalam, meskipun terkadang terasa seperti sebuah kewajiban, sebuah harapan yang telah ditetapkan oleh keluarga mereka.
Namun, Selene… Selene adalah sesuatu yang berbeda. Ketika Elliot memandangnya tadi, ada sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih cepat, sesuatu yang membuatnya merasa nyaman meskipun pertemuan mereka begitu singkat. Dia tidak tahu mengapa, tetapi saat mereka berbicara tanpa kata-kata, hanya dengan tatapan dan isyarat, ada ikatan yang terbentuk begitu kuat.
Elliot memejamkan mata dan mengingat saat mereka berdiri di tepi laut, di mana Selene menulis di pasir, dan dengan lembut meraih tangannya, menyentuh wajahnya dengan cara yang penuh perhatian, seakan menyampaikan lebih banyak daripada apa pun yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tak bisa disangkal, ada daya tarik yang luar biasa.
Namun, rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya. Dia tidak bisa begitu saja melupakan Isabella. Isabella adalah tunangannya, wanita yang telah berjanji dengannya. Mereka akan menikah bulan depan. Semua orang mengharapkannya untuk melangkah ke depan dengan Isabella, mengikuti jalur yang telah ditentukan bagi mereka.
Lalu, siapa Selene dalam hidupnya? Seorang perempuan yang tak bisa berbicara, dengan keheningan yang tak bisa dipecahkan dengan kata-kata. Perasaan yang tiba-tiba muncul untuk Selene mengusik ketenangannya. Apakah ini hanya rasa kasihan? Apakah ini hanya godaan sesaat, ataukah sesuatu yang lebih dalam, yang lebih nyata? Elliot merasa bingung, dan hatinya terbelah antara dua wanita yang begitu berbeda.
Pikirannya kembali kepada pertemuan tadi di pantai. Selene yang duduk diam, menangis tanpa suara, terasa begitu rapuh, tetapi juga begitu kuat. Dia tidak tahu bagaimana harus mendefinisikan perasaan yang datang begitu mendalam. Seolah ada sesuatu yang mengaitkan dirinya dengan Selene, yang meskipun tak bisa berbicara, memiliki kehadiran yang begitu kuat.
Namun, saat itu juga, bayangan Isabella muncul di benaknya. Isabella yang penuh dengan senyum cerah, yang selalu ada di sampingnya, yang sudah ada dalam hidupnya begitu lama. Ia mengenal Isabella lebih dalam dari siapa pun, dan meskipun kadang-kadang terasa seperti menjalani rutinitas hidup yang telah ditentukan, ia tahu satu hal pasti: Isabella adalah bagian dari masa depannya.
Elliot berhenti sejenak, menatap horizon di kejauhan. “Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya pada diri sendiri, suaranya hanya terdengar oleh angin yang bertiup. Hatiku terasa berat, ia berpikir. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun.
Ia meraba dadanya, seolah mencoba menenangkan kegelisahannya. Ada kekosongan di dalamnya, sebuah kehampaan yang hanya muncul setelah ia bertemu Selene. Elliot tahu ia mencintai Isabella, tetapi perasaan yang tumbuh untuk Selene terasa begitu mendalam, bahkan lebih rumit daripada yang pernah ia rasakan.
Keesokan harinya, Elliot memutuskan untuk menemui Selene lagi. Ia merasa perlu berbicara dengannya, meskipun tahu bahwa kata-kata mereka hanya bisa disampaikan dalam bentuk perasaan yang lebih dalam dari sekedar suara.
Ketika Elliot berjalan di sepanjang pantai menuju rumah Bibi Elina, tempat Selene tinggal, dia merasa cemas. Ia tak tahu apa yang harus dikatakan, atau bahkan apakah Selene merasa sama. Namun, saat ia melihatnya di kejauhan, sedang duduk di atas batu besar, Elliot merasa hatinya kembali berdetak kencang.
Selene memandang ke arahnya dengan tatapan yang lembut, senyum kecil terukir di wajahnya. Meskipun tak ada suara yang keluar, mata mereka berbicara banyak. Selene berdiri dan mendekatinya, namun Elliot bisa merasakan ada ketegangan di antara mereka. Sesuatu yang belum terungkapkan, sebuah perasaan yang belum diucapkan.
“Aku… aku hanya ingin mengatakan, aku merasa salah kemarin,” Elliot memulai, dengan suara yang penuh keraguan. “Isabella… dia seharusnya tidak berbicara seperti itu padamu. Aku benar-benar minta maaf.”
Selene menatapnya dalam-dalam, dan meskipun tak bisa berbicara, senyumnya berkata lebih banyak dari kata-kata. Dia menulis di pasir, "Tidak apa-apa."
Elliot merasakan kelegaan yang tak terungkapkan, namun juga sebuah rasa takut. Perasaan ini, perasaan yang terus tumbuh di hatinya untuk Selene, terasa begitu membingungkan. “Selene, aku—” Elliot terdiam, tidak tahu bagaimana melanjutkan. Kata-kata itu terasa berat, seperti ada sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. "Aku merasa… aku merasa bingung."
Selene menatapnya dengan mata yang penuh pengertian, dan meskipun dia tak bisa mendengar suara Elliot, dia bisa merasakan keputusasaannya, ketidakpastian yang ada di dalam diri pria itu. Dia meraih tangan Elliot, dengan lembut menggenggamnya, seolah memberi penghiburan tanpa perlu kata-kata.
Elliot menatap tangan mereka yang saling menggenggam, dan untuk sesaat, dunia terasa begitu tenang, begitu damai. Namun, dalam ketenangan itu, pikirannya kembali berputar. Isabella, tunangannya yang akan menikah dengannya bulan depan… dia tidak bisa begitu saja mengabaikannya.
Namun, Selene, yang penuh dengan keheningan dan keindahan yang tak bisa dijelaskan… Perasaannya yang semakin kuat, semakin mendalam, membuat Elliot terjepit antara dua dunia yang begitu berbeda.
“Selene,” bisiknya, hampir tidak bisa mendengar suaranya sendiri di atas deburan ombak. “Aku… aku tidak tahu harus memilih apa. Hatiku… hatiku terasa berat.”
Selene hanya bisa memandangnya dengan mata penuh pengertian, menggenggam tangan Elliot dengan lebih erat. Tanpa kata-kata, tanpa suara, ia tahu bahwa keputusan itu bukanlah sesuatu yang mudah.
Elliot melangkah lebih dekat, matanya menatap dalam mata biru Selene. Dia bisa merasakan jarak yang tak terjangkau di antara mereka, walaupun fisik mereka saling berdekatan. Jantung Elliot berdetak lebih cepat, merasakan ketegangan yang tak dapat dijelaskan. Dirinya ingin lebih, lebih dari hanya sekedar menggenggam tangan gadis cantik di depannya itu.
Selene melangkah sedikit mundur, melepas genggaman tangan Elliot. Mukanya sekarang sudah memerah malu. Melihat respon Selene, Elliot tetap mendekatinya dan kembali menggenggam tangannya. Kini saking dekatnya, mereka bisa merasakan deru napas masing-masing.
Elliot menarik napas dalam-dalam dan mendekatkan wajahnya ke wajah Selene. Wajah gadis itu semakin memerah dan nampak bingung dan takut. Namun ada secercah harapan di matanya yang berbinar, harapan yang membuat pemuda itu melangkah lebih jauh.
Selene menutup mata, tubuhnya bergetar, tetapi tak mampu menghindar. Ketika bibir mereka akhirnya bertemu, ada kilatan energi yang luar biasa, seperti petir yang menyambar di kedalaman lautan. Ciuman itu, meskipun penuh keraguan, penuh hasrat, dan juga cinta yang telah lama terkubur, mengguncang dunia mereka berdua.
Semua perasaan yang terpendam, semua keraguan yang ada, seakan sirna seiring ciuman itu. Waktu berhenti, dunia tidak lagi penting. Yang ada hanya mereka—dua hati yang tak bisa lagi dipisahkan oleh apapun, meskipun takdir berusaha memisahkan mereka.
Ketika mereka terpisah, Selene menarik napas panjang, menatap Elliot dengan mata penuh air mata yang tak dapat ia tahan.
Tanpa mereka sadari, seseorang tengah berdiri tak jauh dari posisi mereka. Bersembunyi di balik pohon dengan kedua tangan yang terkepal penuh dengan perasaan yang campur aduk.
Posisi Elina kini terduduk di atas pasir dengan posisi kedua kakinya yang terbuka lebar. Walaupun ia belum pernah melahirkan, namun instingnya mengatakan ia harus mengatur nafas dan mengejan untuk melahirkan bayinya. Hingga akhirnya sebuah kepala disusul dengan badan yang lengkap menyembul keluar dari bawah sana. Dengan cepat Elina meraih dan memeluk bayi kecilnya yang masih berlumuran darah. Rasa lelah setelahnya membuat kesadaran gadis itu mulai menurun, hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. - Elina yang tak sadarkan diri kini tengah berbaring di sebuah ranjang di suatu ruangan kecil. Suara burung berkicau di pagi hari mulai mengusik gadis itu. Perlahan ia tersadar dan teringat akan kejadian malam itu, malam dimana ia melahirkan bayinya. Lantas ia langsung terbangun dan mencari-cari keberadaan bayinya. Matanya melirik ke sana ke mari, namun sosok yang ia cari tak nampak keberadaannya. Bahkan ia sempat berpikir apakah tadi malam ia sedang bermimpi? Namun karena rasa sakit di
Elina yang mendengar suara pelan Aegon, bukannya pergi tapi langsung berlari ke arah duyung itu. Sambil menangis ia menyentuh pipi Aegon yang dingin dan sudah dipenuhi luka."Aegon... Maafkan aku...", isaknya sambil menunduk."Sepertinya sekarang aku tahu cara agar memuatnya menangis dan mengeluarkan mutiara", ucap pria di belakang Elina."Iya benar, dari tadi kita sudah menyiksanya hingga membuat dia berteriak kesakitan tapi tak satu tetes pun air mata dia keluarkan", timpal temannya yang membawa pisau.Mendengar hal itu, Elina langsung membalikkan badannya. Menatap marah akan perbuatan kedua orang itu terhadap Aegon, namun ada secercah ketakutan juga dari matanya karena kedua pria itu kini perlahan melangkah mendekatinya.Sembari melangkah dan memainkan pisau di tangannya, pria itu berkata, "Tak ada salahnya mengorbankan satu nyawa demi kesejahteraan banyak orang bukan?"Pria satu lagi menarik Elina dan mengarahkan pisau yang ia keluarkan dari balik celananya ke arah leher gadis itu
Suara teriakan disertai ketukan keras terdengar dari suatu ruangan di kediaman keluarga Baker.lina, gadis yang sengaja dikurung oleh ayahnya di kamarnya itu, sesekali memohon kepada ayahnya agar tak menyakiti pria yang ia cintai. "Ayah, kumohon buka pintunya... jangan sakiti Aegon"Suaranya yang parau menandakan ia sudah menangis begitu lama, bahkan tenaganya pun mulai terkuras habis. Ketukannya semakin melemah dan ia pun terduduk di balik pintu.Sang ibu terdengar ikut menangis dari luar, tak tega melihat kondisi anaknya. "Ayah, apa harus seperti ini? Aku takut Elina melakukan sesuatu yang buruk"Sang ayah yang tengah duduk di kursi meja makan menggebrak meja dengan keras, "Tak ada yang lebih buruk dari mencintai kaum duyung terkutuk!"Sementara itu di tempat lain, di suatu ruangan gelap, dimana hanya cahaya dari rembulan yang bisa masuk melalui celah-celah jendela, sesosok duyung tengah tergantung di tembok. Tangan kanan dan kirinya di ikat di tembok, dan ekornya dibiarkan menjun
"Ba- bagaimana bisa?"Elina membelalak, kaget karena tiba-tiba jarinya yang terluka sudah tidak terasa sakit, bahkan ketika ia lihat dengan seksama luka goresannya pun sama sekali tak terlihat. Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Aegon dan kembali memastikan jarinya dari jarak yang lebih dekat."Darah duyung bisa jadi obat untuk makhluk hidup lain", ujar Aegon sembari mengelap darahnya yang masih menetes dari bibirnya yang penuh dan terdefinisi.Elina menatap kagum duyung di depannya itu, lalu ia kembali teringat akan perkataan ayahnya mengenai air mata duyung dan bencana di lautan. "Aegon, bolehkah aku bertanya?"Aegon mengangkat kedua alisnya sambil menganggukkan kepalanya. "Tentu""Apakah benar bencana di lautan disebabkan oleh kaum duyung?", tanya ElinaAegon menempelkan tangannya di dagu dan berpikir sejenak, "Bisa iya, bisa juga tidak"Gadis keluarga Baker itu mengerutkan kedua alisnya, tak puas dengan jawaban Aegon. "Mak
Seorang pria baruh baya nampak berlari mendekati seorang gadis yang kini tengah berdiri di ujung dermaga. Gadis berkepang dua itu berdiri mematung menghadap lautan, kedua matanya menatap dengan kagum lautan biru di hadapannya dengan kedua pipi yang dihiasi semburat merah.Pria paruh baya itu nampak kelelahan mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi. Dengan napas tersengal-sengal, akhirnya ia sampai di belakang gadis yang merupakan putri semata wayangnya itu."Dimana dia? Dia berhasil kabur?", tanyanya setelah melihat jaring ikan di kapalnya kosong dan sudah terpotong sana sini."Aegon...", Elina menggumamkan nama duyung tadi dengan sangat pelan dan tak terdengar oleh ayahnya yang tengah panik karena tangkapannya berhasil kabur.-"Ayah, kenapa manusia memburu duyung?"Di tengah-tengah makan malam tiga orang manusia di meja makan itu, seorang Elina Baker melontarkan pertanyaan yang tidak biasa. Ayahnya yang tadinya tengah memotong daging
Frederick mengulurkan tangan. “Selamat untuk kalian berdua. Perkenalkan, aku Frederick”Entah kenapa Elliot merasa amat tidak suka dengan Frederick. Apalagi Frederick yang terlihat begitu dekat dengan Selene, rasanya membuat hatinya panas."Apa hubunganmu dengan Selene?" tanpa membalas ucapan dari Frederick, Elliot langsung menanyakan hubungan antara Frederick dan Selene.Selene yang hendak menjawab pertanyaan dari Elliot terhenti karena tangan besar Frederick yang tiba-tiba menarik tubuh kecilnya untuk lebih mendekat padanya. Frederick melontarkan seringaian yang seakan-akan mengejek pria yang sudah berstatus sebagai suami Isabella itu."Menurutmu?"Mendengarnya membuat Elliot benar-benar kesal hingga mengepalkan erat tangannya dan menonjolkan urat-urat di tangannya.Melihat reaksi suaminya, Isabella mengalungkan tangannya ke lengan Elliot dan berkata dengan senyuman yang agak dipaksakan, "Terima kasih atas ucapannya, silahkan nikmati pestanya"Frederick dan Selene pergi meninggalkan