"Oh, dia gadis dari pantai itu, ya? Gadis bisu?"
Selene merasa hatinya mencelos, tetapi ia tetap berdiri tegak. Isabella terlihat sempurna, sementara ia merasa begitu kecil dan asing di dunia ini. "Selene bukan hanya 'gadis bisu,'" kata Elliot, nadanya sedikit tajam. "Dia sedang belajar banyak hal. Bahkan berani pergi ke pasar sendirian tadi." Isabella mengangkat alisnya. "Oh, begitu? Kau sungguh murah hati, Elliot." Nada suaranya terdengar manis, tetapi Selene merasa ada sesuatu yang menusuk dalam kata-katanya. Isabella lalu kembali memandang Elliot dengan penuh perhatian. "Kau tidak lupa, kan? Kita punya janji makan malam bersama keluargaku malam ini. Ayahku sangat ingin berbicara denganmu." Elliot mengangguk pelan. "Aku ingat. Aku akan ke sana setelah mengantar Selene pulang." Isabella menghela napas, lalu mendekati Elliot dan menyentuh lengannya dengan lembut. "Jangan terlambat, oke?" katanya, sebelum memberikan ciuman cepat di pipi Elliot. Selene mematung. Ia tidak memahami sepenuhnya apa arti hubungan mereka, tetapi sesuatu dalam hatinya terasa perih. Isabella melambaikan tangan sebelum berjalan menjauh, meninggalkan mereka dalam keheningan.-
Setelah kejadian tadi, Selene memberanikan diri untuk bertanya kepada Bibi Elina. Dia sudah bisa menulis walaupun belum banyak kosa kata yang ia kuasai, jadi Selene bertanya dengan menulis pertanyaannya pada secarik kertas dari buku catatan kecil yang dihadiahi oleh sang Bibi.
"Siapa Isabella?"
Begitulah pertanyaannya, singkat dan langsung to the point karena memang Selene belum tahu bagaimana kosa kata yang lebih baik.
Bibi Elina yang sedang memasak menggunakan bahan masakan yang tadi dibeli Selene di pasar pun menjawab, "Oh tadi kau bertemu Isabella? Dia cantik bukan?", wanita itu malah bertanya balik kepada Selene.
Selene mengangguk, masih menunggu jawaban Bibi yang selanjutnya.
"Dia adalah teman kecil Elliot, mungkin cinta pertama Elli juga"
Deg!
Seketika rasa sesak langsung Selene rasakan, tangannya refeks bergerak mencengkram bajunya bagian dada.
"Oh iya, aku juga harus mencarikanmu gaun yang bagus untuk menghadiri pernikahan mereka bulan depan"
Dunia Selene seolah berhenti berputar. Jantungnya berdegup kencang, hampir tak mampu menahan kesedihan yang mendera. Elliot... menikah dengan Isabella? Ia mencoba untuk berbicara, untuk mengeluarkan kata-kata yang telah lama terpendam, namun hanya ada keheningan. Suaranya tidak ada lagi. Semua yang bisa ia lakukan hanyalah menatap Bibi Elina dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Bibi Elina masih membahas tentang warna dan jenis gaun yang akan dipakai oleh Selene nanti, namun duyung cantik itu tak bisa mendengarnya dengan seksama lebih tepatnya tidak mau mendengar. Dia pun pergi meninggalkan wanita itu.
Bibi Elina memanggil Selene, namun Selene tetap melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan rumah. Ia tak tahu akan pergi kemana, tapi yang pasti dia tak mau mendengar apapun yang berkaitan dengan pernikahan Elliot.
-
Selene menatap laut yang luas, seolah mencari jawaban dalam debur ombak yang menghantam pantai. Tanpa suara, tanpa kemampuan untuk menyuarakan perasaannya, ia merasa seolah dunia menjadi terlalu besar dan sunyi untuk dihadapi seorang diri. Namun, entah mengapa, ada secercah harapan yang tetap bertahan dalam hatinya. Mungkin, meskipun ia tak bisa berbicara, hidup ini masih memberi kesempatan untuk menemukan arti dari kebahagiaan yang baru—bahkan tanpa suara.
Tiba-tiba, sebuah suara memecah keheningan yang menyelimuti pantai itu.
“Selene?”
Selene terkejut, mengangkat wajahnya yang basah karena air mata. Di hadapannya berdiri Elliot, wajahnya tampak cemas, matanya penuh penyesalan. Dia berdiri di sana, seperti sosok yang tiba-tiba muncul dari kegelapan senja, dengan angin yang berhembus kencang, memainkan rambutnya.
“Elliot,” Selene menulis di pasir dengan jari-jarinya, matanya masih dipenuhi kesedihan. Ia ingin berbicara, ingin menjelaskan semuanya, tetapi tak ada suara yang keluar dari bibirnya.
Elliot memperhatikan tangan Selene yang menulis di pasir, kemudian melihat wajahnya yang memucat dan air mata yang masih mengalir. Dia merasakan hatinya mencelos, merasa bersalah. Tanpa berpikir panjang, dia melangkah lebih dekat, meraih tangan Selene yang tengah menggenggam pasir basah, dan dengan lembut mengusapnya.
“Aku… aku ingin minta maaf,” kata Elliot, suaranya serak. “Isabella… dia tidak seharusnya berkata begitu padamu di pasar tadi. Aku tahu dia… dia sering bicara tanpa berpikir. Aku benar-benar minta maaf.”
Selene menatapnya dengan mata yang penuh perasaan, berusaha mencari arti dari setiap kata yang diucapkan Elliot. Tidak ada yang perlu dijelaskan lebih jauh; semua sudah cukup jelas. Namun, di balik perasaan sakit itu, ada kehangatan yang muncul ketika melihat ke tulusnya mata Elliot yang berusaha meminta maaf.
Elliot menunduk, merasa canggung. “Aku tahu kamu tidak bisa bicara… dan aku merasa sangat bodoh sekarang. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menghiburmu.” Dia menyeringai kecil, seolah mencoba mencairkan suasana. “Mungkin aku bisa membuatmu tertawa dengan mencoba membuatmu merasa lebih baik… Tapi aku benar-benar tidak tahu caranya.”
Selene menatap Elliot, matanya masih basah, tetapi kali ini, senyum kecil mulai mengembang di bibirnya. Tanpa suara, dia mengangkat tangannya, mengusap wajah Elliot yang tampaknya masih merasa canggung dan bersalah. Dia menulis cepat di pasir dengan ujung jarinya, kata-kata yang tak bisa dia ucapkan.
"Tidak apa-apa. Aku tidak butuh kata-kata."
Elliot terdiam, membaca tulisan itu dengan penuh perhatian. Perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya, meski ia masih merasa gugup. Namun, tak bisa ia pungkiri, ada perasaan yang tumbuh dalam hatinya—perasaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tetapi dengan kehadiran dan sentuhan yang lembut.
Selene menatapnya dengan mata yang penuh makna, dan tanpa bisa mengendalikan perasaannya, dia meraih tangan Elliot dengan kedua tangannya. Perlahan, dia memeluknya, memberi kehangatan yang lebih besar daripada kata-kata yang tak bisa mereka ucapkan.
Elliot terkejut, tak tahu harus bagaimana. Tangan Selene terasa lembut dan penuh kehangatan meskipun dia tahu betapa besar pengorbanannya. Dia merasa gugup, salah tingkah, namun entah mengapa, pelukan itu terasa sangat alami. Dia bisa merasakan betapa tulusnya perasaan Selene, meskipun tak ada kata-kata yang keluar.
Setelah beberapa detik, Elliot menarik sedikit tubuh Selene, namun tidak melepaskan pelukannya. Matanya menatap Selene dengan serius, dan kali ini, ada kehangatan yang lebih dalam daripada sebelumnya. “Selene, aku… aku ingin kamu tahu bahwa meskipun kamu tidak bisa berbicara, kamu selalu bisa membuatku merasa lebih baik. Dan aku…” Elliot terdiam, seakan tak tahu bagaimana melanjutkan kalimatnya. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kita, tetapi aku tidak ingin melihatmu terluka lagi.”
Selene hanya mengangguk pelan, matanya menyiratkan perasaan yang lebih dari cukup. Meskipun kata-kata tidak bisa terucap, pelukan ini, dan kehadiran Elliot yang kini berdiri di sampingnya, sudah cukup menyampaikan semuanya.
Elliot merasa salting, tidak tahu harus bagaimana menghadapi perasaan yang tiba-tiba tumbuh begitu dalam. Ia bisa merasakan bahwa sesuatu lebih dari sekadar keinginan untuk menolong Selene. Entah mengapa, dia merasa sangat dekat dengan perempuan ini, meski tak tahu harus berbicara apa.
Akhirnya, dia tertawa kecil, canggung. "Aku... aku rasa aku semakin bingung, Selene," katanya dengan senyum yang malu-malu. "Tapi entah kenapa, aku senang ada di sini bersamamu."
Selene tersenyum lebar, dan meskipun tidak ada suara yang keluar dari bibirnya, matanya yang bersinar terang berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang bisa diucapkan.
Posisi Elina kini terduduk di atas pasir dengan posisi kedua kakinya yang terbuka lebar. Walaupun ia belum pernah melahirkan, namun instingnya mengatakan ia harus mengatur nafas dan mengejan untuk melahirkan bayinya. Hingga akhirnya sebuah kepala disusul dengan badan yang lengkap menyembul keluar dari bawah sana. Dengan cepat Elina meraih dan memeluk bayi kecilnya yang masih berlumuran darah. Rasa lelah setelahnya membuat kesadaran gadis itu mulai menurun, hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. - Elina yang tak sadarkan diri kini tengah berbaring di sebuah ranjang di suatu ruangan kecil. Suara burung berkicau di pagi hari mulai mengusik gadis itu. Perlahan ia tersadar dan teringat akan kejadian malam itu, malam dimana ia melahirkan bayinya. Lantas ia langsung terbangun dan mencari-cari keberadaan bayinya. Matanya melirik ke sana ke mari, namun sosok yang ia cari tak nampak keberadaannya. Bahkan ia sempat berpikir apakah tadi malam ia sedang bermimpi? Namun karena rasa sakit di
Elina yang mendengar suara pelan Aegon, bukannya pergi tapi langsung berlari ke arah duyung itu. Sambil menangis ia menyentuh pipi Aegon yang dingin dan sudah dipenuhi luka."Aegon... Maafkan aku...", isaknya sambil menunduk."Sepertinya sekarang aku tahu cara agar memuatnya menangis dan mengeluarkan mutiara", ucap pria di belakang Elina."Iya benar, dari tadi kita sudah menyiksanya hingga membuat dia berteriak kesakitan tapi tak satu tetes pun air mata dia keluarkan", timpal temannya yang membawa pisau.Mendengar hal itu, Elina langsung membalikkan badannya. Menatap marah akan perbuatan kedua orang itu terhadap Aegon, namun ada secercah ketakutan juga dari matanya karena kedua pria itu kini perlahan melangkah mendekatinya.Sembari melangkah dan memainkan pisau di tangannya, pria itu berkata, "Tak ada salahnya mengorbankan satu nyawa demi kesejahteraan banyak orang bukan?"Pria satu lagi menarik Elina dan mengarahkan pisau yang ia keluarkan dari balik celananya ke arah leher gadis itu
Suara teriakan disertai ketukan keras terdengar dari suatu ruangan di kediaman keluarga Baker.lina, gadis yang sengaja dikurung oleh ayahnya di kamarnya itu, sesekali memohon kepada ayahnya agar tak menyakiti pria yang ia cintai. "Ayah, kumohon buka pintunya... jangan sakiti Aegon"Suaranya yang parau menandakan ia sudah menangis begitu lama, bahkan tenaganya pun mulai terkuras habis. Ketukannya semakin melemah dan ia pun terduduk di balik pintu.Sang ibu terdengar ikut menangis dari luar, tak tega melihat kondisi anaknya. "Ayah, apa harus seperti ini? Aku takut Elina melakukan sesuatu yang buruk"Sang ayah yang tengah duduk di kursi meja makan menggebrak meja dengan keras, "Tak ada yang lebih buruk dari mencintai kaum duyung terkutuk!"Sementara itu di tempat lain, di suatu ruangan gelap, dimana hanya cahaya dari rembulan yang bisa masuk melalui celah-celah jendela, sesosok duyung tengah tergantung di tembok. Tangan kanan dan kirinya di ikat di tembok, dan ekornya dibiarkan menjun
"Ba- bagaimana bisa?"Elina membelalak, kaget karena tiba-tiba jarinya yang terluka sudah tidak terasa sakit, bahkan ketika ia lihat dengan seksama luka goresannya pun sama sekali tak terlihat. Gadis itu menarik tangannya dari genggaman Aegon dan kembali memastikan jarinya dari jarak yang lebih dekat."Darah duyung bisa jadi obat untuk makhluk hidup lain", ujar Aegon sembari mengelap darahnya yang masih menetes dari bibirnya yang penuh dan terdefinisi.Elina menatap kagum duyung di depannya itu, lalu ia kembali teringat akan perkataan ayahnya mengenai air mata duyung dan bencana di lautan. "Aegon, bolehkah aku bertanya?"Aegon mengangkat kedua alisnya sambil menganggukkan kepalanya. "Tentu""Apakah benar bencana di lautan disebabkan oleh kaum duyung?", tanya ElinaAegon menempelkan tangannya di dagu dan berpikir sejenak, "Bisa iya, bisa juga tidak"Gadis keluarga Baker itu mengerutkan kedua alisnya, tak puas dengan jawaban Aegon. "Mak
Seorang pria baruh baya nampak berlari mendekati seorang gadis yang kini tengah berdiri di ujung dermaga. Gadis berkepang dua itu berdiri mematung menghadap lautan, kedua matanya menatap dengan kagum lautan biru di hadapannya dengan kedua pipi yang dihiasi semburat merah.Pria paruh baya itu nampak kelelahan mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi. Dengan napas tersengal-sengal, akhirnya ia sampai di belakang gadis yang merupakan putri semata wayangnya itu."Dimana dia? Dia berhasil kabur?", tanyanya setelah melihat jaring ikan di kapalnya kosong dan sudah terpotong sana sini."Aegon...", Elina menggumamkan nama duyung tadi dengan sangat pelan dan tak terdengar oleh ayahnya yang tengah panik karena tangkapannya berhasil kabur.-"Ayah, kenapa manusia memburu duyung?"Di tengah-tengah makan malam tiga orang manusia di meja makan itu, seorang Elina Baker melontarkan pertanyaan yang tidak biasa. Ayahnya yang tadinya tengah memotong daging
Frederick mengulurkan tangan. “Selamat untuk kalian berdua. Perkenalkan, aku Frederick”Entah kenapa Elliot merasa amat tidak suka dengan Frederick. Apalagi Frederick yang terlihat begitu dekat dengan Selene, rasanya membuat hatinya panas."Apa hubunganmu dengan Selene?" tanpa membalas ucapan dari Frederick, Elliot langsung menanyakan hubungan antara Frederick dan Selene.Selene yang hendak menjawab pertanyaan dari Elliot terhenti karena tangan besar Frederick yang tiba-tiba menarik tubuh kecilnya untuk lebih mendekat padanya. Frederick melontarkan seringaian yang seakan-akan mengejek pria yang sudah berstatus sebagai suami Isabella itu."Menurutmu?"Mendengarnya membuat Elliot benar-benar kesal hingga mengepalkan erat tangannya dan menonjolkan urat-urat di tangannya.Melihat reaksi suaminya, Isabella mengalungkan tangannya ke lengan Elliot dan berkata dengan senyuman yang agak dipaksakan, "Terima kasih atas ucapannya, silahkan nikmati pestanya"Frederick dan Selene pergi meninggalkan