“Pagi, Mas Sabda,” sapa Indah lebih dulu, ketika melihat pria itu sudah duduk di mejanya di pagi hari seperti sekarang. Padahal, Indah sudah berangkat sangat pagi sekali ke kantor, agar bisa bebas melakukan beberapa hal. Namun, pria itu ternyata sudah lebih dulu berada di mejanya.
“Yang semalam.” Sabda sedikit memundurkan kursi berodanya, lalu bersandar dan bersedekap, menatap Indah. Hari memang masih terlalu pagi, karena itulah mayoritas meja tim dan kubikel di ruang redaksi masih tampak lengang. “Jangan pernah diulangi lagi. Mempertaruhkan pekerjaanmu di sana, itu termasuk langkah yang bodoh.”
“Baik, Mas.” Indah melepas ranselnya lalu meletakkan di lantai. Duduk di kursinya, lalu menyalakan perangkat komputer miliknya. Tidak akan membantah, agar tidak ada perdebatan di luar ranah profesionalisme.
Sabda mendesis kecil, karena Indah ternyata agak susah ditebak. Tadinya, ia sempat mengira Indah akan memberi argumen terkait perbuatannya tadi malam. Namun, gadis itu justru menuruti ucapannya.
“Sudah sarapan?” tanya Sabda.
“Sudah, Mas.”
“Kalau gitu temani aku sarapan di bawah.” Sabda beranjak dari tempatnya. Meninggalkan Indah lebih dulu, tanpa menunggu jawaban dari gadis itu.
Indah menarik napas panjang. Mau tidak mau, ia harus meninggalkan mejanya dan menyusul Sabda.
“Apa tujuanmu, In?” tanya Sabda ketika gadis itu sudah berada di sampingnya.
“Tujuan saya?” Indah mulai memasang sinyal waspada. Sabda pasti sedang membahas perihal tadi malam.
“Masuk ke area indoor dan main dengan Wahyu.” Sabda berbelok menuju tangga dan tidak menggunakan lift. “Aku yakin, undangan pernikahan itu cuma alasan.”
Indah berhenti sebelum kakinya menuruni anak tangga dan tidak berniat menyusul Sabda. Jika pria itu sudah curiga dengan Indah, lantas bagaimana dengan Wahyu?
Indah harus memutar haluan dan harus menjaga jaraknya dengan Sabda jika seperti ini. Menjaga hubungan mereka tetap berada di ranah profesinalisme dan menghindari semua pembicaraan di luar itu.
“Maaf, tapi sebaiknya Mas Sabda sarapan sendiri.” Indah belum berbalik pergi, karena masih menunggu pria itu berhenti menuruni tangga dan berbalik menatapnya. Ketika hal itu sudah terjadi, barulah Indah melanjutkan ucapannya. “Dan saya minta maaf kalau semalam sudah lancang dan merepotkan. Permisi, Mas. Saya balik dulu, karena ada liputan yang harus saya review ulang.”
“Kamu masih terhitung magang di sini.” Sabda baru menyadari, Indah ternyata tidak sepolos penampilannya. Kendati tidak terlihat menonjol, tetapi gadis itu memiliki keberanian yang tidak terduga. “Kamu nggak khawatir dengan penilaian di akhir masa magangmu nanti?”
Indah memperbaiki posisi kacamata yang tidak bergeser ke mana pun. “Saya percaya, Mas Sabda pasti bisa memilah antara urusan pribadi dan profesional. Kalau memang kinerja saya selama tiga bulan ke depan dinilai tidak baik, silakan buat penilaian dan akhiri kontrak kerja saya. Permisi.”
~~~~~~~~~~~~
Sejak saat itu, Indah benar-benar menjaga jarak dengan Sabda. Namun, Indah tetap menjaga profesionalismenya dalam bekerja dan menjalankan semua tanggung jawabnya dengan baik. Terlebih lagi, ketika Indah tahu Sabda adalah anak dari direktur Warta, Budiman.
Andai pada akhirnya Sabda memberi penilaian buruk padanya, maka Indah tidak akan melontarkan protes sama sekali. Ia sudah memiliki rencana cadangan, agar bisa tetap berada di Jakarta untuk menyelidiki kejanggalan terkait perusahaan yang dulu pernah dijalankan oleh papanya.
“Sudah terima undangan?”
Indah mengerjap pelan. Menoleh pada sosok pria yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya. Ia mendongak, lalu mengangguk perlahan dan kembali melihat layar komputernya. Beruntung, Indah sedang tidak sedang membuka website yang bisa membuat pria itu curiga, jadi ia tidak perlu membuat alasan apa pun.
“Sudah, dari lima hari yang lalu,” jawab Indah pada akhirnya tidak bisa menghindari Sabda. Ia mengira, Sabda tidak berada di kantor karena sejak pagi hingga malam menjelang, pria itu tidak menampakkan batang hidungnya. Namun, Sabda mendadak muncul ketika hampir seluruh karyawan sudah pulang untuk beristirahat.
Indah sepertinya lupa dan tidak memperhatikan jadwal kerja Sabda. Mungkin pria itu baru masuk kerja di sore hari, sehingga Indah tidak melihat Sabda seharian ini.
“Ada teman pergi ke sana?”
“Apa boleh bawa teman?” Indah meraih ponsel di samping monitor komputernya, lalu membuka pesan yang dikirimkan oleh pihak Wedding Organizer pihak Sadhana. “Satu barcode, apa bisa dua orang?” Indah menggumam sendiri dan membaca lagi undangan yang diterimanya.
Andaipun bisa untuk dua orang, tetapi Indah tidak berniat mengajak siapa pun pergi ke sana.
“Aku jemput besok sore,” ujar Sabda mengabaikan pertanyaan Indah. Gadis itu benar-benar menghindarinya sejak pembicaraan di tangga kala itu. “Share loc tempatmu tinggal.”
“Ohh ...” Indah mengambil ransel yang berada di lantai, lalu memasukkan ponselnya ke dalam sana. “Saya bisa berangkat sendiri. Jadi, nggak perlu di jemput.”
Indah memangku ranselnya, lalu mematikan perangkat komputer karena tidak ingin lagi berlama-lama di kantor. Jadwal kerjanya sudah selesai, jadi waktunya untuk segera pulang. “Saya nggak mau bikin gosip.”
“Gosip seperti apa?” balas Sabda bergeser ke hadapan Indah yang baru saja berdiri dan memutar tubuh untuk pergi.
Indah menggeser kursi kerjanya, agar bisa segera menghindar dari Sabda. “Intinya, saya cuma mau pergi sendiri. Itu aja. Jadi, saya mau pulang dulu. Semua kerjaan sudah beres. Permi—”
“Kamu menghindari aku.” Sabda bergeming dan tidak lagi menghalau gadis itu.
“Betul!” jawab Indah tanpa ragu dan harus menunjukkan ketegasannya dari awal. “Tapi untuk urusan pekerjaan, saya tetap profesional.”
“Bukan ...” Sabda menggeleng. “Apa karena masalah obrolan di tangga waktu itu?”
“Bisa saya pulang sekarang?” Indah mengabaikan pertanyaan pria itu, karena merasa tidak perlu memberi penjelasan apa-apa.
Sabda yang geregetan dan mulai kesal dengan Indah, segera menghabiskan jarak. Membuat gadis itu memundurkan langkahnya, tetapi terhalang dengan meja kerja di belakang.
Yang membuat Sabda semakin penasaran ialah, tidak ada sedikit pun rasa takut yang terpancar dari wajah polos itu. Indah hanya membenarkan letak kacamatanya yang tidak bergeser, tetapi tatapannya tetap tertaut tegas pada Sabda.
Sampai akhirnya, Sabda menyerah di antara keterdiaman Indah. Melangkah mundur tanpa melepas tatapannya, lalu berujar, “jangan ambil dokumentasi apa pun di resepsi besok dan tutup mulut dengan semua yang ada di dalam sana. Sekarang, pergilah.”
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W