Share

BR ~ 5

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2024-07-18 11:55:35

Indah menarik napas panjang setelah keluar dari taksi. Segera menaiki pelataran hotel agar tidak mengganggu kedatangan tamu lainnya. Kemudian, ia berdiam lebih dulu untuk mengontrol lonjakan emosi yang tidak bisa dimengerti. Debaran jantungnya mendadak bertalu, membuat Indah harus berpikir ulang mengenai banyak hal.

Haruskan ia masuk ke dalam dan bertemu dengan keluarganya? Memperkenalkan diri sebagai Anggun Kalingga dan meminta semua hak yang sudah dirampas darinya selama ini?

Atau, tetap bersembunyi dengan identitas barunya dan membalas semuanya dalam diam.

Di saat-saat seperti ini, mengapa perasaan Indah menjadi goyah?

Tidak ... Indah tidak boleh berubah haluan.

Ia menggeleng cepat, untuk menyadarkan diri. Mengingat kembali akan kesakitan hidup yang dideritanya selama ini. Terusir dari rumah dengan semua privilege yang dimilikinya dan menjalani hidup pas-pasan, bahkan kekurangan.  

Untuk itulah, Indah lantas melangkah maju. Mengangkat dagu dan berjalan dengan dengan elegan menuju ruangan tempat resepsi sepupunya dilaksanakan.

Sesampainya di ruangan dengan dekorasi bernuansa ungu dan putih, tatapan Indah menyusuri setiap tamu undangan dengan seksama. Melihat tidak ada pelaminan yang berada di satu sisi ruang, Indah menebak resepsi pernikahan tersebut berkonsep mingle. Karena itulah, Indah dengan teliti melihat semua orang yang ada di ruangan tersebut, guna mencari keberadaan Regan dan istrinya, Elsa.

Akan tetapi, tatapan Indah justru berhenti pada sosok wanita yang menjadi ratu sehari malam ini.

Aprilia Kalingga. Tentu saja Indah mengetahui wajah dewasa sepupunya, karena sering melihat wanita itu di dunia maya. Dalam artian, Indah memang sudah memantau dan mencari tahu semua hal terkait keluarga Kalingga.

Wanita itu tampak cantik dan terlihat bahagia, dengan balutan gaun pengantin putih yang sangat mewah. Sambil terus menatap April, Indah melangkah dengan pasti menghampiri wanita itu.

“Aprilia ... Kalingga.” Indah menyapa tanpa ragu, ketika berhenti di samping wanita itu. Selama 15 tahun tidak bertemu, Indah yakin sepupunya itu tidak mengenalnya sama sekali.

April yang tengah berbicara dengan salah satu tamunya, lantas menoleh. Mengerutkan dahi, lalu menoleh pada Wahyu yang berdiri di sebelahnya. Menatap tanya, karena tidak mengenal wanita yang menyapanya.

Bukankah, acara resepsi mereka hanya dihadiri orang terdekat? Namun, mengapa April tidak pernah mengetahui atau mengenal wanita tersebut?

“Dia?” April menyentak tinggi kedua alis dan bicara pelan sembari tetap memasang senyumnya. “Siapa?”

Wahyu menatap tajam, alisnya sedikit terangkat. Diam sejenak memperhatikan wanita yang penampilannya begitu berbeda. Kebaya hitam elegan dan rok batik pink sebatas lutut, tatanan rambut yang disanggul rapi dengan beberapa anak rambut dibiarkan menjuntai, serta riasan wajah yang sempurna membuat gadis itu nyaris tak dikenali. Jika bukan karena mendengar suaranya lebih dulu, Wahyu mungkin tidak akan menyangka bahwa wanita ini adalah gadis yang sama, yang bermain catur dengannya malam itu.

“Indah Kurnia.” Indah hanya fokus menatap April dan tidak memedulikan Wahyu sama sekali. “Aku reporter magang di Warta dan belum ada satu bulan tinggal di Jakarta.”

Kecurigaan Wahyu semakin bertambah. Setelah mendapat semua informasi mengenai Indah, ia semakin yakin gadis itu memiliki tujuan tertentu dengan hadir di pesta resepsinya. Apalagi, Indah tidak bersikap formal sama sekali dan cenderung santai ketika bicara dengan April.

“Dan kenapa kamu bisa ada di resepsi ini?” April mengangguk ramah pada lawan bicara sebelumnya. Memohon maaf karena hendak bicara dengan gadis yang membuatnya penasaran. “Bisa-bisanya ada tamu ilegal yang datang—”

“Tanya ke suamimu.” Indah tetap tidak menatap Wahyu, karena ingin melihat semua ekspresi wajah yang ditampilkan oleh April. “Kalau begitu, aku permisi.”

Tanpa senyum dan anggukan sopan, Indah berbalik pergi meninggalkan kedua mempelai tersebut. Setitik riak sudah ia taburkan di air yang tenang dan kini waktunya mencari sang tokoh utama, yakni Regan Kalingga.

“Kamu ada main gila dengan perempuan tadi?” tanya April harus tetap tenang, meskipun hatinya panas tidak karuan.

“Jaga bicaramu, Pril,” balas Wahyu tidak melepas tatapannya pada Indah, meskipun gadis itu sudah pergi menjauh. “Aku nggak akan seceroboh ini kalau mau main gila dengan perempuan itu.”

April berdecak. Mood-nya mendadak berantakan karena kedatangan seorang wanita yang membuatnya curiga, sekaligus penasaran. Bahkan, untuk pertemuan pertama sekaligus tamu di acara pernikahannya, Indah sangat bersikap tidak sopan. Belum lagi dengan tatapan Wahyu yang kini beralih pada gadis itu.

“Mungkin belum, tapi sepertinya kamu bakal main gila dengan dia,” cerocos April. “Sampai-sampai kamu ngasih undangan pernikahan kita ke dia.”

Wahyu menarik napas, saat melihat langkah Indah tertuju pada Regan. “Jangan asal bicara, kalau kamu nggak tahu apa-apa. Jadi, diamlah.”

~~~~~~~~~~

Indah duduk pada kursi kosong yang berada di meja bundar, di samping meja milik Regan. Tadinya, tekadnya sudah bulat untuk menghampiri pria itu dan menyapanya. Namun, ketika langkahnya semakin dekat, banyak pikiran buruk yang mendadak hinggap di kepala.

Bagaimana jika Regan melenyapkannya?

Indah tidak memiliki siapa pun di Jakarta dan tindakan yang sudah direncanakannya itu benar-benar gegabah. Masih ada beberapa informasi yang harus Indah dalami lagi, sehingga semua yang dilakukannya selama ini tidak berakhir sia-sia.

“Indah.”

Tiba-tiba saja, sesosok tubuh tegap menghalangi pandangannya ke arah Regan. Indah mendongak dan mendapati Sabda menatap selidik padanya.

“Malam, Mas,” sapa Indah formal dan tidak memberi senyum sama sekali.

“Aku sempat lihat kamu beberapa kali, tapi aku nggak tahu kamu itu Indah kalau bukan Wahyu yang ngasih tahu.”

Wahyu benar. Indah bukanlah sosok gadis polos yang ditemuinya di kantor setiap hari. Malam hari ini, Indah benar-benar terlihat berbeda dan luar biasa. Terlebih ketika gadis itu tidak memakai kacamatanya seperti sekarang.

Cantik. Sangat cantik. 

“Itu terlalu berlebihan,” balas Indah kemudian berdiri sambil memegang tas pestanya dengan kedua tangan. “Saya duluan, per—”

“Ada yang janggal.” Sabda menghabiskan jarak. Menatap intens pada wajah cantik yang membuat sesuatu di dalam dirinya bergejolak. “Indah Kurnia ... nama itu cuma tercatat selama 15 tahun terakhir. Ikut kejar paket A di usia 13 dengan nilai yang memuaskan dan setelah itu bersekolah di SMP dan SMA Negeri di Surabaya Timur. Ke mana identitasmu sebelum itu, In?”

“Apa itu penting?” Indah berusaha mempertahankan ekspresi datarnya, walaupun debaran jantungnya kini mulai bertalu. Menyimpan dalam-dalam kegugupan yang ada, karena tatapan dan perkataan Sabda barusan.

Siapa yang menduga, pria itu sampai mencari tahu tentang jati diri Indah hingga sebanyak itu. Namun, untuk apa?”

“Semua urusan pribadi saya, nggak ada sangkut pautnya dengan mas Sabda.” Indah menatap pria itu tanpa gentar. “Begitu, kan?”

“Kamu bawahanku, jadi aku berhak tahu semuanya.”

“Oh ya?” Satu sudut bibir Indah tertarik samar. “Setelah tahu semuanya ... apa yang mau kamu lakukan, Mas?”

“Justru aku yang harusnya bertanya.”

Indah menoleh ke arah suara. Fokusnya yang tadi terpusat pada Sabda membuatnya tidak menyadari kehadiran Wahyu di sampingnya. Jangan-jangan, pria itu juga sudah mengetahui apa yang Sabda ketahui.

“Apa tujuanmu datang ke sini?” Wahyu menepuk pelan perut Sabda. Memberi kode agar pria itu menjauh dari Indah, karena posisi mereka begitu dekat. Entah mengapa, Wahyu tidak suka melihatnya. “Merusak kebahagiaan orang lain?”

Indah mengerjap pelan. Memandang dua pria yang berada di depannya secara bergantian. Sebenarnya, fokus Indah hanya pada keluarga Kalingga, tetapi mengapa kedua pria tersebut sampai bersikap seperti ini padanya.

“Jadi ... kamu bahagia?” Indah menatap tegas dan tajam. “Kam—”

“Wahyu, ke mana April? Kenapa kamu sendirian?”

Indah menoleh. Kakinya mendadak limbung ketika melihat sosok Regan yang begitu dekat. Saat tubuhnya hampir jatuh, satu tangan Sabda mengalung erat di pinggang Indah sehingga ia bisa tetap berdiri tegak.

“Kamu, siapa?” Regan menatap selidik pada Indah. Ia mengenal seluruh tamu undangan pada malam ini, tetapi tidak dengan gadis yang berada di samping Sabda.

Akan tetapi, gadis itu tampak familiar sehingga Regan tidak lepas melihatnya.

Indah menelan ludah melihat tatapan tajam Regan padanya. Namun, ia tidak boleh gentar karena ada banyak hal yang harus Indah perjelas terkait kejadian 15 tahun lalu.

“Ini Indah, Om." Sabda membawa tubuh Indah merapat padanya. "Dia ... pacarku."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
ngaku2 loh sabda
goodnovel comment avatar
Fitriani naurah
gmn bisa lanjut ?
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
Bakalan seru bab2 selanjutnya...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 175 (FIN)

    “Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 174

    “Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 173

    “Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 172

    Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 171

    Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 170

    “Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status