Share

BR ~ 3

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2024-07-11 09:09:45

“Done. 10 langkah!” Indah mempertahankan wajah polosnya dan tidak menampilkan senyum sedikitpun. Tetap terlihat canggung dan pura-pura bodoh di depan ketiga pria yang sedang menatapnya. “Jadi ... saya menang, kan?”

Wahyu menarik napas dalam-dalam. Meletakkan kedua siku di lengan kursi dan menyatukan kesepuluh jemarinya di depan dada. Menelisik ekspresi Indah yang tidak terbaca, dengan seksama.

Jarang-jarang ada gadis di zaman sekarang, yang bisa bermain catur seperti Indah. Beberapa mungkin hanya bisa bermain, tetapi Indah sungguh-sungguh memasang strateginya. Gadis itu tidak berjalan semaunya, tetapi memikirkan setiap langkah ketika memainkan bidak caturnya.

“Kamu sering main catur?” tanya Budiman mulai tertarik dengan penampilan Indah yang tidak mencolok.

Indah menggeleng. Sejurus itu, ia mengangguk dan sengaja membuat bingung pria yang menanti jawabannya. “Waktu kecil, sering. Tapi, makin ke sini, sudah jarang.”

“Waktu kecil?” tanya Sabda akhirnya bisa bernapas lega dan cukup terkejut dengan kemampuan Indah.

“Almarhum papa.” Indah menunduk. Menyembunyikan kesedihan sejenak, lalu kembali mengangkat wajah.

“Maaf,” ucap Sabda tidak mengetahui jika Indah sudah tidak memiliki seorang ayah.

“Jadi, apa yang kamu mau?” tanya Wahyu enggan mendengar kisah sedih seseorang untuk menarik simpati. Semua sandiwara seperti itu, sudah sering kali Wahyu dengar sepanjang karirnya sebagai pengacara.

“Boleh ... saya datang ke resepsi pernikahan pak Wahyu?”

Satu alis Wahyu terangkat tipis. Tidak menduga Indah akan meminta hal seperti itu.

“Nggak mau minta yang lain?” Budiman semakin penasaran. “Wahyu bilang, dia akan ngasih apa pun! Kamu bisa minta motor, mobil, rumah, apartemen?”

Indah menggigit bibir atasnya seraya menggeleng. “Saya cuma mau datang ke undangan pak Wahyu.”

“Kenapa?” tanya Wahyu masih bertahan dengan posisinya. “Kamu mau bawa “sesuatu” ke sana?”

Indah akhirnya terkekeh pelan dan formal. “Saya cuma penasaran sama pernikahan orang-orang kaya, karena belum pernah kebagian jatah ngeliput langsung. Tapi, kalau pak Wahyu keberatan, saya nggak masalah.”

“Ingatkan Sabda untuk hubungi aku, seminggu sebelum tanggal pernikahan,” ujar Wahyu belum bisa percaya sepenuhnya dengan ucapan gadis itu. “Kasih nama lengkap dan no hapemu ke dia, nanti pihak WO akan kirim barcodenya.”

“Terima kasih, Pak.” Indah memundurkan kursinya dan tidak ingin berlama-lama, karena satu tujuannya akhirnya tercapai. Tanpa hambatan. “Kalau gitu, saya pergi dulu. Permi—”

“Permainannya belum selesai,” putus Wahyu menatap datar. “Sekarang giliranku.”

“Maaf, Pak.” Indah berdiri dan memberi senyum formal. “Sesuai perjanjian awal, kita cuma sampai 10 langkah. Karena ini sudah malam, saya mohon undur—”

“Aku antar kamu pulang, kalau kamu bisa kalahkan aku.” Wahyu kembali menyela, memancing Indah. Memangnya, wanita mana yang tidak ingin diantar pulang oleh Wahyu? Mungkin saja, justru hal tersebut yang menjadi incaran Indah.

“Maaf, saya nggak bisa. Saya mau pulang.” Indah menunduk sopan dan bersiap pergi. “Permisi.”

“Tetap duduk di tempatmu, Sab,” titah Wahyu sambil menatap punggung Indah yang menjauh pergi. Dugaan Wahyu salah. Gadis itu tidak serta merta menunjukkan ketertarikannya pada Wahyu. Indah sepertinya mengulur waktu, agar tidak terlihat mencolok karena dia masih karyawan baru di Warta. “Sudah berapa lama dia Warta?”

“Seminggu,” jawab Sabda tidak jadi menyusul Indah. “Dia dari Surabaya. Tribun Kota.”

“Nama lengkapnya?” tanya Wahyu lagi.

“Indah Kurnia.”

Budiman merespons jawaban Sabda dengan kekehan. “Sejak kapan kamu hafal dengan nama lengkap karyawan di sini, Sab? Mau Papa lamarkan langsung ke ibunya? Lumayan, kan, Papa bisa punya teman main catur kalau lagi di rumah.”

“Andaipun aku nikah, aku sama istriku pasti tinggal di rumah sendiri,” terang Sabda. “Aku nggak mau istriku—”

“Aku pergi dulu.” Wahyu bangkit lalu menunjuk Sabda. “Ingatkan bawahanmu tadi. Jangan ambil gambar apa pun di resepsiku dengan April. Dan pastikan, dia tutup mulut.”

~~~~~~~~~~~~~

Sita dan Bahar.

Indah harus mencari tahu kabar dan keberadaan kedua orang tersebut. Sudah seminggu berada di Jakarta, tetapi Indah tidak bisa melacak dan menemukan jejak keduanya.

Di mana Sita dan Bahar tinggal saat ini? Dan apa yang mereka lakukan selama 15 tahun terakhir, setelah “melepas” Indah di terminal bus kala itu.

Entah dari mana Indah harus mulai mencari, karena belum memiliki akses liputan dengan pihak Kalingga. Ia ditempatkan di desk hukum dan politik, sehingga belum bisa langsung mencari tahu perihal keluarga Kalingga dengan leluasa.

Namun, Indah akan sabar menunggu resepsi pernikahan Wahyu dan April dilaksanakan, agar bisa masuk dan melihat wajah-wajah yang sudah membohonginya selama ini. Ternyata, perusahaan Kalingga baik-baik saja dan tidak pernah diterpa isu bangkrut sama sekali.

Sebuah suara klakson mobil, membuat lamunan Indah yang sedang berjalan keluar area gedung terkesiap. Indah menoleh pada mobil yang berhenti di sebelahnya, lalu menunduk ketika kaca jendela penumpang bagian depan sudah terbuka sempurna.

“Masuk.”

Indah mengerjap. Masih menatap pria di belakang kemudi dengan menahan letupan emosinya, ketika memikirkan keluarga Kalingga.

“Untuk?” tanya Indah menatap Wahyu tanpa memberi senyum. Hanya ada ekspresi polos, sambil membenarkan posisi kacamata yang tidak berpindah ke mana pun.

“Masuk,” titah Wahyu sekali lagi. “Dan kamu nggak perlu lagi sandiwara.”

Akhirnya Indah mengerti. Wahyu hampir bisa membaca pikirannya dan ingin memperjelas semuanya dengan bicara langsung. Dengan begini, Indah tidak boleh gegabah karena rencananya bisa berantakan.

Indah mendekat, tetapi tidak berniat masuk. Memberi ekspresi datar pada Wahyu, karena tidak perlu berpura-pura polos lagi di depan pria itu.

“Maaf, tapi nggak ada yang perlu kita bicarakan kecuali masalah janji pak Wahyu untuk mengundang saya,” ujar Indah tegas. “Selamat malam pak Wahyu, selamat beristirahat.”

Wahyu terdiam menatap datar. Menahan rasa kesal sekaligus penasaran, karena gadis tersebut dengan mudah menolak perintahnya. Indah benar-benar menolak dan memberi sebuah tatapan tegas tanpa ragu. Bukan sebuah kepura-puraan, seperti yang dilakukannya selama mereka bermain catur.

Ada hal yang gadis itu sembunyikan, tetapi Wahyu belum bisa berasumsi apa pun. Tadinya, Wahyu mengira Indah sengaja berada di area indoor rooftop, untuk mencuri perhatiannya seperti wanita kebanyakan. Namun, setelah melihat bagaimana Indah menatap dan bicara padanya barusan, gadis itu tidak memiliki “ketertarikan” seperti itu pada Wahyu.

“Oke, selamat malam juga dan selamat beristirahat,” ucap Wahyu kembali meluruskan pandangan ke depan sembari menutup kaca jendelanya. Pergi dari hadapan Indah dan melajukan roda empatnya pulang ke rumah untuk beristirahat. Namun, Wahyu segera menghubungi seseorang sambil terus berkonsentrasi dengan kemudinya. Ketika panggilannya diterima, ia segera memberi perintah tanpa basa-basi. "Ken! Cari tahu tentang Indah Kurnia! Karyawan baru Warta, pindahan dari Tribun Kota, Surabaya! Jangan sampai ada yang terlewat!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Siti Zakia
mungkin si Wahyu sudah dijodohkan dengan anak keturunan kalingga. tapi anggun di gantikan April
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
hayo....Wahyu mulai penasaran
goodnovel comment avatar
Adita Yani
aq sangat suka alur ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 175 (FIN)

    “Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 174

    “Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 173

    “Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 172

    Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 171

    Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 170

    “Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status