Share

BR ~ 6

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-26 12:58:29

“Saya ... Indah.”

Tidak bisa berkelit, akhirnya Indah mengikuti sandiwara yang dilakukan Sabda. Dengan terpaksa dan tanpa persiapan, Indah mau tidak mau mengulurkan tangannya lebih dulu pada Regan untuk memperkenalkan diri. Berusaha keras menutupi kegugupannya, walaupun tangannya kini terasa beku tidak terkira. Mungkin, Regan bisa merasakan hal itu ketika menjabat tangan Indah.

“Panggil saya Om Regan kalau begitu.” Kendati sempat terkejut dan curiga, Regan akhirnya menyambut uluran tangan Indah dengan hangat setelah tahu gadis itu adalah kekasih Sabda. “Akhirnya, bawa pacar juga kamu, Sab!”

“Iya, Om!” Sabda semakin merapatkan tubuh Indah, ketika melihat tatapan datar Wahyu padanya. “Akhirnya.”

“Buruan nyusul Wahyu!” Regan tersenyum ramah dan memberi anggukan kecil. Setelahnya, ia kembali beralih pada Wahyu dan bertanya mengenai putrinya. “Ke mana April, Yu?”

Wahyu menarik panjang napasnya sambil menatap papa mertuanya. “Sama MUA-nya. Ada yang lepas di rambutnya, jadi ke belakang sebentar. Aku nggak ngerti.”

“Oh, oke!” Regan mengusap kedua telapak tangannya sebentar, sambil memandang Indah dan Sabda bergantian. “Enjoy the party. Om tinggal dulu.”

Wahyu mengangguk singkat pada Regan, kemudian kembali melihat Sabda. “Sandiwaranya sudah selesai,” ujarnya sembari menunjuk tangan Sabda yang masih mengalung erat di pinggang Indah. “Lepas.”

Sebelum Sabda melonggarkan jemarinya, Indah lebih dulu menyingkirkan tangan pria itu. Menjaga jarak, untuk mencari ketenangan yang sempat hilang dari dirinya.

“Harusnya, yang tadi itu nggak perlu terjadi,” ucap Indah lalu menarik napas panjang dengan perlahan. Ada sedikit rasa lega, walaupun setelah ini ia harus lebih waspada. “Tapi, terima kasih banyak.”

“Cuma terima kasih?” tanya Sabda tidak bisa melepas tatapannya dari sosok Indah.

“Memangnya apa yang kamu harapkan?” sahut Wahyu bersedekap. “Indah nggak minta pertolongan kamu.” 

“Lebih baik kamu urus istrimu.” Sabda menunjuk ke arah April yang sepertinya baru kembali. “Karena Indah, bukan urusanmu.”

“Dan bukan urusanmu juga,” balas Wahyu cepat.

“Aku pergi dan sekali lagi, terima kasih.” Indah juga menyela cepat, karena tidak ingin berada di dalam gedung tersebut terlalu lama. Ada hal yang harus Indah pikir ulang, terkait rencananya yang tidak berjalan mulus.

Wahyu menghalangi tubuh Indah yang baru saja berputar dan hendak melangkah. “Aku belum tahu apa niatmu, tapi, berhenti sampai di sini.”

Indah menatap tegas, walaupun kekhawatiran itu sejak tadi selalu menyelimuti tekadnya. “Memangnya, apa yang harus aku hentikan?”

“Urus, urusanmu sendiri, Yu!” Sabda meraih pergelangan tangan Indah, lalu menariknya menjauh dari Wahyu yang baru membuka mulut. “Wahyu betul. Apa pun yang kamu rencanakan, berhenti di sini.”

Indah berhenti melangkah dan menarik cepat tangannya dari genggaman Sabda, setelah menjauh dari Wahyu. “Dan kita, berhenti sampai di sini.”

“Kamu yang harusnya berhen—”

“Sabdaaa ...”

Sabda mendesis detik itu juga, saat mendengar suara mamanya memanggil. Memasang senyum dan menoleh ke arah asal suara yang sosoknya ternyata sudah di depan mata. Wanita itu memandang Indah dengan sorot penasaran, juga bahagia.

“Kata om Regan, kamu bawa pacar ke sini?”

Sabda mengangguk, seraya menarik pelan lengan Indah. Ia tidak akan mengelak, karena sudah memulai semuanya. “Mama, ini Indah,” ujarnya memperkenalkan gadis yang mendadak terlihat bingung pada sang mama, Syifa. “Indah, ini mamaku.”

“Kenapa nggak dari tadi dikenalin.” Syifa melirik kesal pada Sabda, kemudian tersenyum pada Indah. Lebih dulu meraih tangan kanan Indah, lalu menggenggam dan menepuk pelan. “Besok, main ke rumah. Biar Tante suruh Sabda jemput kamu sebelum makan siang, oke, ya!”

“Maaf, Tante.” Kenapa banyak sekali kejutan yang didapat Indah malam ini. Semua rencana yang disusunnya buyar, berganti dengan hal-hal yang berada di luar bayangannya. “Besok saya kerja, jadi nggak bisa datang ke rumah.”

“Besok ... minggu, kan?” Syifa menatap sebentar pada putranya, lalu kembali pada Indah. “Kamu kerja ... di?”

“Warta.”

“Ahh ... sebagai?”

“Reporter,” jawab Indah belum bisa menarik tangannya dari genggaman Syifa. “Reporter magang, Tan. Saya karyawan baru.”

“Anak baru.” Syifa mengangguk-angguk dan mulai sedikit paham. Jika status Indah masih karyawan baru, itu artinya Sabda baru saja menjalin hubungan dengan gadis tersebut. Setelah ini, Syifa akan bicara dengan suaminya lebih dulu. “Kapan libur?”

“Saaab ... tu, depan.”

“Kalau gitu sabtu depan ke rumah Tante, oke!” Syifa menepuk pelan punggung tangan Indah sebelum melepaskannya. Sebenarnya, Syifa ingin berbicara lebih banyak agar bisa mengenal Indah lebih dekat. Namun, momen pertemuan mereka saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu. “Selamat bersenang-senang! Tante pergi dulu.”

“Makasih, Tante.” Indah tersenyum dan mengangguk untuk melepas kepergian Syifa. Setelah itu, tatapannya sempat bersirobok dengan Wahyu yang kembali menggandeng April. Namun, Indah segera membuang wajah untuk melihat Sabda, karena tatapan Wahyu sungguh membuatnya tidak nyaman. Indah merasakan sesuatu yang aneh, tetapi ia tidak bisa menjelaskan hal tersebut. “Bilang ke mamamu, aku nggak bisa datang sabtu nanti. Dan tolong, jangan lagi bikin sandiwara seperti tadi, karena aku nggak suka. Aku pulang dulu, dan terima kasih buat semuanya.”

~~~~~~~~~~~~~

Indah tidak tahu bagaimana harus menggambarkan perasaannya setelah bertemu April dan Regan di dalam sana. Banyak hal yang tidak terucap dan semua itu membuat hatinya semakin kacau. Rasa sakit yang dirasakannya semakin mendalam karena kehidupan keluarga Kalingga ternyata baik-baik saja. Seharusnya, dialah yang berada di dalam sana. Atau, jika semuanya berjalan dengan baik, mungkin Indahlah yang saat ini mengenakan gaun pengantin mewah dan menjalani pernikahan impiannya.

Namun, kenyataan tidak seperti yang dia bayangkan. Saat ini, dia menjalani hidup dalam kesendirian dan harus berjuang keras di luar sana untuk bertahan hidup.

“Halo.” Lamunan Indah terpecah ketika ponsel yang ia genggam bergetar dan segera menerima panggilan tersebut. “Oh, iya, iya. Sudah lihat.”

Indah mengakhiri panggilan tersebut, saat melihat taksi yang dipesannya berjalan pelan menuju area drop-off lobby. Sembari berjalan menghampiri, ia memasukkan ponsel ke dalam tas pesta. Membuka pintu mobil penumpang bagian belakang, lalu masuk dan duduk dengan helaan lega.

Saat Indah baru saja membuka mulut untuk menyapa sopir, pintu mobil di kiri dan kanannya mendadak terbuka. Dalam sekejap, dua orang sudah duduk di sampingnya, mengapit rapat.

“Si-siapa kalian ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (9)
goodnovel comment avatar
Julia Bianca
salah sendiri masak melamun di taksi
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
Wahyu sama sabda bakalan bersaing. hadddeehhh siapa lagi ini
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
astaga... Indah diculik? padahal baru saja diperingati loh kok udah sat set aja nih..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 175 (FIN)

    “Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 174

    “Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 173

    “Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 172

    Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 171

    Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 170

    “Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status