Share

BR ~ 7

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2024-07-27 13:10:36

"Si-siapa kalian ..." suara Indah bergetar, matanya melirik panik pada kedua pria yang kini mengapitnya. Terlebih lagi, ketika pria yang berada di samping kanannya mengeluarkan pisau lipat dengan cepat, lalu menodong sopir di depannya.

“Jalan dan diam!”

“I-iya, Bang!” Sopir tidak mampu berkutik, karena sisi pisau sudah berada di lehernya. Meskipun mereka berada di tempat umum, tetapi ia tidak boleh gegabah. Salah sedikit, mungkin saja nyawanya yang menjadi taruhan. 

“Ka-kalian mau apa?” Indah mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.

“Jauhi Wahyu Sadhana,” titah pria di sisi kiri Indah sambil mengeluarkan pisau lipat kecil. Ia menjalankan pisau itu perlahan di sepanjang sisi wajah Indah, membuatnya gemetar.

Indah menahan napas, merasakan dinginnya logam di kulitnya. “Wa-Wahyu Sadhana ... Si-siapa yang—”

“Diam!” desis pria yang sama seraya menekan ujung pisaunya di pipi Indah, hingga goresan kecil muncul dan darah tipis mulai merembes. “Ini peringatan pertama.”

Indah menarik napas tajam, desisan kecil keluar dari mulutnya. Memejam mata sejenak, berusaha menahan perih yang menjalar dari luka di pipinya. Sebenarnya, siapa orang-orang ini?

Wahyu Sadhana.

Mereka meminta Indah menghindari pria itu. Jika demikian, kemungkinan besar perintah tersebut berasal dari April. Bukan yang lain.

April pasti tidak ingin Indah mendekati pria yang sudah sah menjadi suaminya.

“Jadi, mulai sekarang jangan pernah lagi dekat dengan Wahyu! Dengar itu!” hardik pria tersebut semakin menekan sisi pisau di wajah Indah yang merintih nyeri.

“De-dengar.” Indah menjawab dengan suara bergetar. Sebagai seorang perempuan, tentu saja Indah ketakutan dengan ancaman seperti ini.

“Bagus!” ucap pria itu. Masih memegang pisau lipatnya, pria itu mengusap pelan puncak kepala Indah, lalu turun dan meraba leher jenjangnya dengan punggung tangan.

“To-tolong, jangan,” mohon Indah saat tangan kasar tersebut mulai turun ke tulang selangkanya.

Pria itu tertawa dan disambut oleh rekan yang masih menodongkan pisau di leher sang sopir. Menunjukkan betapa ia berkuasa atas Indah yang tidak bisa berbuat apa-apa “Jangan sampai kita ketemu lagi,” ucapnya meremehkan. “Karena ... aku pasti akan melakukan yang lebih dari ini. Mengerti!”

Indah mengangguk ketakutan, menahan nyeri. Tidak lagi berani mengucapkan satu patah kata pun.

Pria di sisi kanan Indah akhirnya mengangguk pada rekannya. Ia menarik kembali pisau lipatnya dan menyimpan di saku jaket.

“Berhenti di depan!” titah pria yang duduk di belakang kemudi. Masih menodongkan pisaunya, sampai sopir tersebut menghentikan mobilnya. “Tutup mulut kalau masih mau selamat!” ancamnya pada sang sopir.

“Kami pasti mengawasimu!” ujar pria yang melukai pipi Indah sembari membuka pintu, lalu keluar bersamaan dengan rekannya.

“Pak! Buruan pergi, Pak!” pinta Indah terburu dan tubuhnya sudah terasa lemas.

“Mbak nggak papa?” tanya sopir segera melajukan mobilnya pergi menjauh. “Mau lapor polisi?”

“Nggak papa.” Indah mengatur napas. Dengan tangan yang tremor, ia mengambil tisu yang menggantung di langit-langit mobil dan menutup lukanya. Jantungnya masih saja berdebar hebat dan belum bisa berpikir sama sekali.

Saat ini, Indah hanya ingin sampai di kosan lalu menenangkan diri.

“Kita ... langsung pergi ke alamat tadi aja, Pak,” pinta Indah. “Dan maaf, karena sudah ngelibatin Bapak.”

“Tapi, Mbak—”

“Nggak papa, Pak, Nggak papa,” ujar Indah sambil bersandar dan memejam menahan perih. “Saya cuma mau pulang dulu dan tolong rahasiakan semua ini, karena ... mereka nggak main-main.”

~~~~~~~~~~~~~~

Indah menggeram tertahan. Menahan nyeri sambil melihat wajahnya dari pantulan cermin di kamar. Satu goresan sepanjang tiga senti kini menghiasi sisi kanan wajahnya. Meninggalkan jejak, yang tidak akan Indah lupakan seumur hidupnya.

Tatapannya tertuju pada luka yang belum mengering itu. Berpikir, apa yang akan dilakukannya setelah ini.

Pantas saja Sabda dan Wahyu memintanya berhenti, karena konsekuensi yang didapat ternyata seperti ini.

Namun, di saat otaknya sudah mengalami kebuntuan, tiba-tiba setitik harapan muncul di benaknya.

Gambling!

Indah akan kembali mencoba peruntungannya malam ini. Meskipun sudah larut, tidak ada salahnya ia mencoba melakukan hal tersebut.

Indah mengambil ponsel. Membuka kamera depan, lalu menekan lukanya sembari menahan nyeri yang luar biasa. Saat terlihat darah segar yang kembali merembes dari garis luka tersebut, barulah Indah mengambil beberapa foto wajahnya untuk dokumentasi.

Setelah selesai, Indah mencari nomor Wahyu yang pernah dimintanya dari rekan reporter lain. Ia mengirimkan semua foto-foto tersebut pada pria tersebut dan tinggal menunggu Wahyu membuka dan melihatnya.

Mungkin, pria itu akan membuka pesan yang masuk keesokan paginya, karena malam ini Wahyu pasti sedang melakukan ritual malam pertamanya dengan April.

Jadi ... tunggu saja.

~~~~~~~~~~~~~

April menghela lega setelah memasuki kamar pengantinnya. Hal yang pertama ia lakukan adalah, melepas kedua heel yang sangat membuat kakinya penat di sepanjang acara.

“Mandi?” tawar April sambil melangkah mendekati Wahyu yang baru saja melempar dasi kupu-kupunya asal-asalan. Dengan gerakan lembut dan penuh gairah, ia merengkuh leher Wahyu dan menyatukan bibir mereka.

"Apa itu mandi?" gumam Wahyu setelah puas mencumbu bibir April. Napasnya hangat dan tergesa, sementara ciumannya mulai turun perlahan menuju leher sang istri.

April memejamkan, menikmati sentuhan hangat yang terus dilakukan Wahyu. Namun, kegiatan mereka terhenti tiba-tiba oleh suara pesan ponsel yang masuk berturut-turut. Suara notifikasi itu membanjiri keheningan ruangan, memaksanya untuk menjeda kegiatan tersebut.

April mengerang kesal, terpaksa membuka mata. "Kenapa nggak di silent?" keluhnya, masih merasakan sisa kehangatan dari ciuman Wahyu. 

Wahyu berdecak, sembari merogoh saku jas bagian dalam. “Lupa,” jawabnya enteng lalu memicing saat melihat salah satu notifikasi yang masuk dari nomor tidak dikenal.

Sebenarnya, Wahyu sudah terbiasa menerima pesan dari nomor asing. Namun, kali ini ada yang berbeda. Dari ikon kecil berbentuk lingkaran yang terpampang di layar, tertulis nama “Indah” menghiasi foto profilnya.

Merasa janggal, Wahyu dengan cepat membuka pesan tersebut dan menahan napas. Menggeser satu per satu foto yang masuk, lalu membaca satu-satunya kalimat yang berada pada kotak pesan paling bawah.

“Terima kasih atas kenang-kenangannya.” Wahyu menarik napas panjang setelah membaca pesan tersebut. Tanpa berpikir lagi, Wahyu langsung menghubungi nomor tersebut di depan April yang menatap protes.

“Apa nggak bisa besok!” seru April hendak meraih ponsel yang sudah menempel di telinga Wahyu, tetapi pria itu menghindarinya dengan cepat. “Ini malam pertama kita dan—”

“Mau cari perhatianku?” Wahyu menyela dan berbalik pergi meninggalkan April. Beranjak menuju balkon dan segera membuka pintunya.

Indah terkekeh, lalu mendecih dengan keras. "Apa sepadan mengutus dua laki-laki bersenjata tajam hanya untuk mengancam aku?"

Wahyu menutup pintu balkon dan melihat April yang kesal dari luar. “Kalau aku yang mengutus dua laki-laki itu, kamu pasti sudah nggak ada di dunia ini.”

“Kamu tahu apa yang lebih kejam dari mati?” Indah kembali terkekeh. “Di-le-ceh-kan!”

Wahyu bergeming. Masih memandang sang istri yang kini bersedekap tajam melihatnya. “Bukan aku.”

“Aku tahu,” jawab Indah. “Tapi aku yakin, kamu pasti tahu siapa yang nyuruh orang-orang itu.”

“Kalau—”

“Suruh orangmu lihat CCTV di depan hotel, kalau kamu butuh bukti,” putus Indah. “Kamu juga bisa cari sopir taksi yang menjemputku kalau kamu butuh info. Tapi, aku yakin kamu nggak akan peduli.”

“Aku sudah bilang—”

“Selamat malam.”

Wahyu mengumpat keras, saat Indah mengakhiri pembicaraan secara sepihak. Saat mencoba kembali menghubungi gadis itu, nomor yang Wahyu tuju ternyata sudah tidak aktif.

Lantas, Wahyu membuka pintu balkon lalu menghampiri April. “Kamu ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (14)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
tetep hati2 in, sepupu mu lebih jahat dr om regan.
goodnovel comment avatar
Fitriani naurah
Pengen tau lanjutannya. pasti seru nih
goodnovel comment avatar
Ismawarni Batanglolo
gadis pemberani semangat indah buka tabir kebenaran maju terus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 175 (FIN)

    “Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 174

    “Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 173

    “Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 172

    Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 171

    Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn

  • Bittersweet Revenge   BR ~ 170

    “Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status