Beberapa bulan kemudian, Slavidion sepertinya berhasil keluar dari keterpurukan. Ketenangan kembali tanpa media dan polisi yang berkeliaran di halaman itu. Bukti-bukti tak cukup untuk mengatakan kematian Max, Diana dan France adalah kasus pembunuhan. Polisi hanya berkesimpulan yang terjadi pada ketiga orang itu sejenis penyakit baru dari sebab yang tidak diketahui. Karena korban hanya tiga orang, juga tidak ada indikasi penularan, polisi tidak bisa memasukkannya dalam kasus wabah berbahaya yang memungkinkan proses belajar mengajar dihentikan dan seluruh penghuninya dievakuasi. Slavidion tetap berjalan seperti biasa.
Hampir pukul tiga siang ketika teriakan anak-anak menggema dari kejauhan. Ketakutan anak baru yang ada dalam bayangan Isabel, seperti roti keju lembut yang masuk ke mulutnya diiringi aroma latte yang memanjakan hidungnya, dinikmati saat matahari ada di seperempat langit di sebelah barat. Benar-benar akan membuatnya merasa tak ada beban, walau dilakukan di atas penderitaan orang lain. Itu adalah bentuk kepuasan bagi seorang senior. Arti sebuah status yang tinggi dan kekuasaan. Dan tidak sebatas itu saja, banyak yang bilang rasa sakit yang junior rasakan menjadi kenangan yang tak pernah mereka lupakan kelak. Seperti yang dirasakan Isabel sekarang, perjuangan menyenangkan di hari itu, sedikit keinginan untuk balas dendam pada saat ini, tapi lebih menghargai kebersamaan. Saat ke
Keesokan paginya, Isabel duduk di bangku taman. Diran belum terlihat di permulaan terang saat itu. Isabel menikmati embun pagi yang mendinginkan paru-parunya, dengan sejauh telinganya membuka, hanya terdengar sayup hembusan angin. Isabel bisa membayangkan apa yang terjadi pada Max dan dua temannya di Slavidion. Tapi, ia pikir hal itu belum pernah terjadi sebelumnya di Slavidion. Catatan sejarah yang bilang begitu. Apakah itu tentang sepuluh tahun lalu, seratus, atau tiga ratus tahun lalu. Tidak ada catatan ten
Tiga kali ketukan yang terdengar oleh Isabel di pintu kamarnya, tidak membuatnya terkejut. Ada suara hentakan kaki menyentuh telinga dari mulut tangga koridor lantai tiga hingga hampir ke kamar. Isabel kenal bagaimana Rin berjalan, langkah kakinya yang cepat dan menghentak. Gadis enerjik. Suka bicara, tapi otaknya tak kosong. Dia masuk dalam kategori jenius. Jarang yang melihatnya belajar, dia lebih banyak menghabiskan waktunya berada di tengah banyak orang. Di kelas teater, dia bisa mengekspresikan dirinya begitu lepas, berteriak sesuka hati dan bergerak ke sana kemari. Tidak banyak yang tahu, “buku” adalah satu-satunya benda yang bisa menenangkan batinnya saat tidak ada siapa-siapa di dekatnya.
Malam itu, Isabel memberanikan dirinya berdiri di balkon kamar. Sesuatu yang tak lagi dilakukannya hampir dua bulan ini. Angin dingin segera membalut tubuhnya, dengan kejam meremas tulangnya hingga terasa ngilu. Tapi, ia tetap ingin berada di sana. Hanya malam yang mampu membuatnya melihat jelas tentang apa yang terjadi. Malam pula yang bisa mengantarnya pada seseorang yang mulai dirindukannya sejak pertama kali bertemu. Tapi, dari sana yang bisa dilihatnya hanyalah kabut tebal yang menyelimuti
Asrama laki-laki Slavidion, pukul empat siang. Isabel harus memastikan tidak ada satu pun yang melihatnya masuk ke asrama laki-laki. Aroma agak berbeda segera tercium di sana, diam di antara lorong-lorong yang tak terjamah wanita. Sudah diperhitungkan kalau sore itu tidak banyak yang ada di asrama. Senior sibuk mengurusi para junior yang akan melaksanakan ujian penentuan apakah mereka lulus orientasi atau tidak. Jika tidak lulus, mereka harus mengulang tahun depan dan tentu saja kehilangan kesempatan jadi senior selama tahun itu. Slavidion telah dibagi menjadi beberapa pos. Masing-masing dijaga oleh para senior. Junior wajib melewati itu semua jika ingin lulus, yang berarti mereka harus mengelilingi sel
'Apa yang kamu dengar, aku tak perlu mendengarnya dan apa yang terucap dari mulutmu, aku juga tak perlu tahu itu. Tapi, apa yang kamu lihat. Aku juga ingin melihatnya. Tahu semua yang mempengaruhi pikiranmu. Matamu telah bicara segalanya. Begitulah caraku bisa memahamimu.'&nb
Cinta, mengubah seseorang menjadi setia. Tapi, Isabel tak mengerti kesetiaannya untuk siapa. Ingatannya terbelah antara kenyataan dan fantasi malamnya. Ada perasaan gugup yang mendera setiap kali bangun pagi, setelah bermimpi tentang orang yang berdiri di tengah lapangan Slavidion menghadap menara. Kali ini, perasaan gugup itu semakin menekan batinnya. Membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur pagi itu.
Rin, sejak setengah jam lalu ketenangan hilang. “Bagaimana mungkin aku bisa lupa soal Isabel?” gumamnya sambil gigit jari. Sudah berkali-kali Rin mengatakan pada Isabel camp malam yang menjadi tradisi Slavidion, akan dilakukan di Istana Houston. Tapi, Isabel tak terlihat di antara kerumunan yang hadir. Dia berlari ke sana kemari, bertanya sana sini dan tak ada seorang pun tahu perihal Isabel. “Kupernya itu sungguh keterlaluan,”desah Rin lagi.&n