เข้าสู่ระบบDean mengemas barang-barang yang di perlukan, dan membawa beberapa barang berharga untuk di jual.
Di pandangnya Raven sambil mengemasi barang-barang, sosok tinggi tegap dengan janggut tipis itu begitu tergesa-gesa membantu Dean. “Kenapa Paman terburu-buru?” tanya Dean. “Cepatlah! Sebelum kawanan Vampir lain mengendusmu! Ketika satu vampir mati itu sama saja memberikan sinyal bagi kawanan Vampir lainnya!” Raven mengobrak-abrik lemari orang tua Dean, ia menemukan perhiasan perak di sana, dan tersenyum lega seolah menemukan harapan. Sebuah kalung liontin perak kesayangan ibu Dean, anak itu menatap kalung itu nanar. “Pakailah perhiasan perak ini, Vampir melemah bila terkena perak.” Raven mengalungkan liontin itu pada Dean lalu mereka bergegas pergi dari rumah orang tua Dean. Rumah yang penuh kenangan bersama orangtuanya, rumah di tepi hutan yang indah, kebun di belakang rumah yang menjadi tempat favoritnya untuk mencari cacing, kini hanya tinggal kenangan. Ia ingat saat bersenda gurau bersama ayahnya kala mencari cacing untuk umpan ikan, memancing bersama ayahnya, lalu ibunya datang menghampiri dengan nampan berisi coklat panas, juga kue buatan ibunya. Hidup Dean begitu sempurna, tapi seketika lenyap dalam semalam. Dean hanya menitikan air mata sambil menikmati perjalan melarikan diri di atas kuda bersama orang asing yang telah menyelamatkan hidupnya. Bocah kecil berumur 10 tahun itu kini hanya mengikuti nalurinya bertahan hidup meski harus mengikuti orang yang baru ia temui. Setidaknya Raven bukan orang jahat, jadi Dean merasa nyaman bersama Raven. Sampailah Dean di sebuah rumah di tengah hutan …, sebenarnya bukan rumah, itu adalah gua yang di modifikasi sedemikian rupa seperti rumah. Raven membuat sendiri pagar, serta pintu masuk dari kayu. Dean turun dari kuda di bantu Raven, ia melihat takjub tempat tinggal Raven. “Paman tinggal di sini?” “Ya, masuklah tapi jangan sentuh apa pun!” Dean mengangguk, ia pun memasuki rumah Raven, di dalamnya banyak sekali senjata yang di pajang di dinding gua, serta pedang yang berkilau di atas nakas. Semuanya jelas sekali terbuat dari perak. Raven menyalakan *rush light karena minim cahaya yang masuk ke gua, hanya jendela buatan di depan pintu masuk itulah satu-satunya penerangan dari cahaya luar. (*Lampu Rush light adalah jenis lampu yang digunakan pada masa abad Pertengahan di Eropa. Mereka terbuat dari sehelai jerami yang dicelupkan ke dalam lemak hewan atau minyak dan dinyalakan. Lampu ini adalah salah satu bentuk penerangan yang sederhana dan umum digunakan pada masa itu sebelum lampu minyak atau lilin yang lebih maju ditemukan. Lampu rush light umumnya digunakan di rumah-rumah biasa sebagai sumber cahaya pada malam hari.) Ketika rush light dinyalakan hampir menyinari seluruh ruangan, bersamaan itu juga terdengar teriakan nyaring yang parau seperti kucing besar di sudut ruangan. Sontak saja itu membuat Dean melompat mundur karena terkejut. Netra abunya menangkap sosok mengerikan di ujung ruangan yang di jeruji besi berkilau perak. Makhluk itu duduk dengan lemah menyeringai menatap Raven. “Kau lapar? Aku menangkap makanan untukmu,” ujar Raven berbicara pada makhluk yang di kurung itu, lalu matanya beralih menatap Dean yang masih jatuh terduduk. Dean kini menatap takut pada Raven, ia perlahan mundur berusaha untuk berdiri namun sayangnya kaki Dean terasa kaku tak bisa bergerak karena saking takutnya. “Tidak Paman! Jangan aku!” Teriak Dean. Tapi Raven mendekat pada Dean, kini ia mengeluarkan belatinya lagi. “Ssst, jangan berisik! Kau akan menggagalkannya!” Dean semakin takut hingga tubuhnya gemetaran, ia tambah menangis ketika Raven mengayunkan belati itu ke atas, dan … “Aarrgghhh!!” Dean memekik. CROT! Darah bercucuran hingga terciprat ke wajah Raven. Dean menoleh kesampingnya, menoleh pada apa yang Raven tusuk. Ternyata darah itu bukan dari bagian tubuhnya, tapi dari tikus besar yang berada di sampingnya. Dean terkulai lemas di lantai tanah, ia menghela nafas lega, “ku pikir….” “Apa? Kau pikir aku akan membunuhmu untuk santapan makhluk di jeruji itu? Ahahaha dasar bodoh!” Raven tertawa sembari mengambil tikus yang bercucuran darah itu, lalu melemparnya ke dalam kurungan di mana makhluk itu berada. Dengan rakus, ia menyantap tikus itu tak peduli ada orang lain yang melihatnya jijik. Dean menatapnya terkesima, “Kenapa paman memelihara Vampir itu di rumah Paman?” Seketika pertanyaan itu membuat raut wajah Raven murung, ia duduk di kursi sambil menatap makhluk itu. “Dia istriku …, itulah alasan mengapa aku menjadi pemburu Vampir. Sama sepertimu, aku pun ingin balas dendam dan membasmi semua Vampir yang ada. Tapi aku tak pernah bisa membunuh istriku, mungkin kau yang harus melakukannya.” Raven kemudian menatap Dean. “Aku? Kenapa?” Dean terheran menatap Raven. “Di usiamu yang masih kecil ini, kau berani membunuh sosok ibumu tanpa ragu, itulah mengapa aku mau menjadikan kau muridku. Seharusnya aku yang belajar darimu …, mengikhlaskan orang yang kita cintai …,” rintih Raven, sorot matanya begitu nanar, tak seperti pertama kali Dean lihat, yang sorot matanya penuh semangat dan harapan. Bocah itu terdiam, teringat kejadian beberapa jam lalu di mana ia menusuk ibunya …, tapi itu bukan Ibu, pikirnya. “Paman sendiri yang bilang, mereka bukan orang tuaku lagi, dan memang aku sudah tak merasakan kehadiran mereka lagi, jadi paman harus bisa melakukannya pada istri paman juga …, maksudku …pada makhluk itu!” Raven menarik nafas panjang, ia genggam belatinya erat, ia masih duduk dan menatap makhluk itu dari kursinya. Sosok Raven yang kuat dan keren di mata Dean ini ternyata menunjukkan sisi lainnya sekarang. Manik biru Raven kini memerah karena genangan air yang telah penuh di pelupuk mata. Ia begitu rapuh di hadapkan pada makhluk yang dulu adalah istrinya. “Paman, jika tadi yang membunuh kedua orang tuaku adalah paman yang lakukan semua, maka aku akan menyesal …, aku akan melihat kedua kalinya orang tuaku di bunuh orang lain …, tapi ketika aku mengacungkan pedang pada ibuku, aku jadi sadar, bahwa ibuku sudah tidak ada, dia bahkan menyeringai di hadapanku yang bahkan ibuku tak akan mungkin melakukannya padaku …,” tutur Dean dengan tatapan yang menerawang mengingat kejadian tadi. Raven menitikan air mata sambil berdiri dari duduknya dan membuang nafas berat, lalu ia mengalihkan pandangannya pada makhluk di dalam kurungan itu. Raven mendekati jeruji itu, bersamaan dengan itu, sang makhluk menyeringai dengan sisa-sisa darah tikus yang tadi ia makan. Di tatapnya makhluk itu beberapa lama, “Ya, kau benar Dean. Dia terlihat menjijikkan. Tak seperti istriku yang selalu bersih dan wangi!” Dengan Cepat Raven membuka jeruji itu, makhluk yang tadinya terlihat lemah karena jeruji peraknya, kini menggeram berdiri menatap Raven di depannya seperti kelaparan. Dean menutup kupingnya karena geraman itu menyakiti telinganya. Ketika makhluk itu mendekat dan melompat ke atas Raven, Dean menutup matanya. “Paman …,” rintihnya.Langit di atas Dawnshire kelabu, seolah matahari enggan menampakkan sinarnya. Kabut tipis merayap di antara rumah-rumah tua yang sebagian besar telah ditinggalkan manusia. Aroma tanah basah bercampur dengan bau samar darah yang masih melekat di jalanan berbatu. Di beranda sebuah rumah besar yang dindingnya mulai ditelan lumut, seorang pria tinggi berdiri tegak. Dracula, pemimpin para vampir, mengenakan mantel panjang berwarna hitam yang ujungnya hampir menyentuh tanah. Matanya bersinar merah redup di bawah langit mendung saat ia mengangkat tangannya dan berseru lantang, "Wahai kaumku, berkumpullah di Eldoria Sanctum, keadaan kita sedang genting." Suara beratnya menggema di seantero desa, bergema melalui angin yang berdesir. Para vampir yang bersembunyi di bayang-bayang mulai bermunculan. Sebagian menjawab panggilannya dengan erangan kecil, lalu membungkuk hormat sebelum menghilang dalam kabut hitam pekat. Ada yang m
Pertanyaan Raven juga justru mengganggu pikiran Dean. Pekikkan suara kuda yang begitu nyaring, hentakkan sepatu kuda, semua bercampur dengan desiran suara angin. Pergerakan orang-orang di sekitarnya begitu jelas terbaca walau hanya dari suara yang di timbulkan.Bahkan suara nafas Raven di sampingnya terdengar begitu jelas. Perubahan dalam dirinya begitu drastis tak ia mengerti.Raven menepuk bahunya, menyadarkannya dari hal yang membingungkan. Raven mengajaknya pulang menunggangi satu kuda.Hari sudah pagi, banyak orang semakin padat berlalu lalang. Tempat pasar malam kini telah bersih berganti dengan hiruk pikuk kendaraan kereta kuda.Dean sangat ingin duduk di kereta kuda sekarang, karena satu kuda ini di tunggangi dirinya dan Raven serasa sempit, mau tak mau Dean jadi harus menempel pada punggung Raven. Namun apa daya, Raven hanya mampu membeli satu kuda saat iniDilihatnya keranjang belanjaan yang tampak penuh di genggamannya, ia duduk di belakang kemudi Raven dengan tak nyaman, k
Wanita yang mematung terhipnotis perlahan kesadarannya kembali, sorot matanya kembali hidup, namun sayang ketika ia sadar malah di hadapkan pada pemandangan yang membingungkan.Seorang pria tengah berguling-guling di tanah berteriak kepanasan sementara pria paruh baya di depannya berusaha melakukan sesuatu namun tak berdaya.Raven menoleh pada wanita itu, “Nona anda sudah sadar?”“Apa yang terjadi?” tanya wanita itu kebingungan.“Akan kujelaskan nanti, bisakah kau menolongku untuk membawa pria yang menolongmu ini ke tabib?”Sang wanita mengerutkan dahi makin tak mengerti, namun ia mendekati Dean, dan mengecek suhu tubuhnya.“Kebetulan aku adalah seorang perawat, lebih baik kita bawa dia ke rumahku,” ujar wanita itu sambil membantu Dean duduk.Sementara wanita itu mengurus Dean, Raven masih sempat memulung belanjaannya yang berantakkan tadi, “Ya kebetulan yang menguntungkan, aku tak mengerti apa yang terjadi dengannya, dia tiba-tiba kepanasan seperti itu setelah ….”Raven tak meneruska
Suara nyaring seperti hewan yang kesakitan begitu sulit di jelaskan menggema di dalam gua yang dijadikan rumah ini. Dean menutup kupingnya karena suara itu menyakiti gendang telinganya.Perlahan ia membuka mata untuk melihat apa yang terjadi. Di sana Raven menusuk jantung makhluk itu bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipi tirusnya.Seperti ibu dan ayah Dean yang terbakar saat di tusuk, makhluk itu pun perlahan berubah jadi abu. Raven terkulai di tanah setelah berhasil menusuk makhluk itu. Tangisnya pecah.Dean mendekat pada Raven, “Paman, laki-laki tidak boleh cengeng.”Dean berdiri di depan jeruji perak itu menggenggam batang jeruji dengan kedua tangannya sambil memandangi Raven yang masih menangis.Raven menghapus air matanya dan tertawa melihat Dean, “Kau meledekku sekarang?”Dean tersenyum lalu terkekeh, “Paman juga bilang begitu padaku.”Raven bangkit dan tersenyum tipis menatap Dean, “Ayo kita mulai berlatih memburu Vampir!”Binar mata Dean begitu terpancar mendengar it
Dean mengemas barang-barang yang di perlukan, dan membawa beberapa barang berharga untuk di jual.Di pandangnya Raven sambil mengemasi barang-barang, sosok tinggi tegap dengan janggut tipis itu begitu tergesa-gesa membantu Dean.“Kenapa Paman terburu-buru?” tanya Dean.“Cepatlah! Sebelum kawanan Vampir lain mengendusmu! Ketika satu vampir mati itu sama saja memberikan sinyal bagi kawanan Vampir lainnya!”Raven mengobrak-abrik lemari orang tua Dean, ia menemukan perhiasan perak di sana, dan tersenyum lega seolah menemukan harapan.Sebuah kalung liontin perak kesayangan ibu Dean, anak itu menatap kalung itu nanar.“Pakailah perhiasan perak ini, Vampir melemah bila terkena perak.” Raven mengalungkan liontin itu pada Dean lalu mereka bergegas pergi dari rumah orang tua Dean.Rumah yang penuh kenangan bersama orangtuanya, rumah di tepi hutan yang indah, kebun di belakang rumah yang menjadi tempat favoritnya untuk mencari cacing, kini hanya tinggal kenangan.Ia ingat saat bersenda gurau ber
Seribu tahun lalu, di suatu negara bernama Auroria, tepatnya di desa Dawnshire yang makmur dan tenang, seorang nenek penyihir tua sedang bereksperimen dengan ramuan dan muridnya yang berbaring di depan sebuah kuali.Sang penyihir menambahkan beberapa jeroan binatang purba serta tumbuhan aneh lainnya. Terakhir ia teteskan darah dari sayatan telapak tangannya sambil melafalkan mantra, berharap ramuan ini dapat menjadikannya makhluk yang abadi.Satu sendok pertama ramuan itu dia berikan pada murid laki-lakinya yang sudah paruh baya. Tiga detik kemudian tubuh sang murid bereaksi, wajahnya perlahan tampak segar dan muda, namun ia bergumam “haus”.Ia lihat tetesan darah dari telapak tangan sang penyihir masih tampak segar dan basah. Ia mencengkram penyihir yang telah menjadi gurunya beberapa belas tahun itu.Sang penyihir yang sudah tua renta tak dapat mengelak dari cengkraman muridnya sendiri, telapak tangannya di gigit dan darahnya di hisap hingga habis.Sang penyihir tewas, namun 5 menit







