Home / Fantasi / Blue Flame / 3. Di Luar Dugaan

Share

3. Di Luar Dugaan

Author: Vya Kim
last update Last Updated: 2025-12-04 17:41:43

Suara nyaring seperti hewan yang kesakitan begitu sulit di jelaskan menggema di dalam gua yang dijadikan rumah ini. Dean menutup kupingnya karena suara itu menyakiti gendang telinganya.

Perlahan ia membuka mata untuk melihat apa yang terjadi. Di sana Raven menusuk jantung makhluk itu bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipi tirusnya.

Seperti ibu dan ayah Dean yang terbakar saat di tusuk, makhluk itu pun perlahan berubah jadi abu. Raven terkulai di tanah setelah berhasil menusuk makhluk itu. Tangisnya pecah.

Dean mendekat pada Raven, “Paman, laki-laki tidak boleh cengeng.”

Dean berdiri di depan jeruji perak itu menggenggam batang jeruji dengan kedua tangannya sambil memandangi Raven yang masih menangis.

Raven menghapus air matanya dan tertawa melihat Dean, “Kau meledekku sekarang?”

Dean tersenyum lalu terkekeh, “Paman juga bilang begitu padaku.”

Raven bangkit dan tersenyum tipis menatap Dean, “Ayo kita mulai berlatih memburu Vampir!”

Binar mata Dean begitu terpancar mendengar itu, “Ayo Paman!”

Ia mengepalkan kedua tangannya di dada dan mengatup kedua bibirnya seakan gemas.

Hari demi hari Raven mengajarinya keterampilan pedang juga bela diri tanpa senjata, berbagai alat pemburu Vampir dari bahan perak pun Dean coba.

“Paman apa aku sudah boleh memburu Vampir?” tanya Dean saat sebulan sudah ia berlatih dengan keras.

Raven tertawa meremehkan, “Kau belum bisa apa-apa, aku pun butuh waktu bertahun-tahun melatih diriku.”

“Hah? Lantas kapan aku bisa ikut berburu dengan Paman?” Dean melepaskan begitu saja pedang kecil dari genggamannya, merengek seperti anak kecil ingin meminta sesuatu.

“Sabar, jika sudah waktunya, akan aku ajak. Lagi pula kau masih bocah, tunggu sampai kau remaja.” Raven menghampiri Dean, dan mengambil kembali senjata yang Dean jatuhkan, lalu memberikannya lagi pada genggaman Dean.

Dean terus berlatih, meski ia terlihat kesulitan di umurnya yang masih bocah, tapi tekadnya sangat kuat. Raven begitu kagum dengan semangat Dean.

Saat latihan serasa cukup, Raven selalu memberikan sup untuk mengisi energi mereka. Raven telah membuat dirinya menjadi sosok pengganti bagi orang tua Dean.

Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat, kini Dean telah remaja berusia lima belas tahun, kini tingginya sudah setara dengan Raven.

Ia mampu mengalahkan Raven dalam latihan duel kali ini, Raven tersungkur ke tanah dan pedang Dean telah berada di depan dada Raven. Namun keduanya tersenyum dan terkekeh bersama.

Dean mengulurkan tangan kekarnya pada Raven, membantu pamannya berdiri.

“Kau sudah cukup kuat, mari berburu bersamaku!” ucap Raven sambil menepuk bahu Dean yang lebar.

Dean tersenyum lebar mendengarnya, ia mengangguk mantap dan tak sabar berburu Vampir malam ini.

Kedatangan Raven ke pusat kota dan desa selalu di nanti para warga yang kerap kali hampir di mangsa para Vampir. Sosok Raven begitu di hormati dan di juluki pahlawan malam oleh warga-warga setempat.

Kini ia datang berdua dengan Dean, sambil mengunjungi pasar malam, Raven berbelanja kebutuhan dapur. Pakaian yang mereka kenakan tampak biasa saja tanpa mencolok perhatian.

“Paman, memangnya mereka ada di tengah keramaian?” bisik Dean sambil menenteng bahan makanan di keranjang.

“Mereka bahkan ikut berbaur dengan manusia, tapi jika kau lihat lebih detail, mereka memiliki kulit pucat dan mata yang yang hitam pekat. Penyamaran mereka masih belum sempurna untuk menipuku.”

Dean menganggukkan kepala, ini pertama kalinya ia terjun memburu Vampir, dalam benaknya ia merasa gugup tapi ia juga bersemangat. Ia merasa harus tetap waspada memperhatikan sekitarnya, tak boleh lengah.

Tiba-tiba Raven menghentikan langkahnya ia menoleh pada Dean, “Lihatlah ke arah jam dua kita, kau simpan dulu keranjang kita, itu untuk sarapan! Cari tempat yang aman, itu lebih berharga dari vampir sialan ini.”

“Ba-baik Paman!” Dean menyisir pandangannya ke sekitar, terdapat gang di sebelah kirinya, ia lalu menyimpan keranjangnya di sana sambil memperhatikan seseorang yang Raven tunjuk tadi.

Seorang pria yang Raven curigai sekilas nampak seperti manusia biasa, pakaiannya pun terbilang cukup mewah, biasanya Vampir pria memang mencolok perhatian untuk menarik hati wanita yang akan menjadi mangsanya. Dia tampak memperhatikan salah satu wanita yang sedang sibuk berbelanja.

Di belakangnya telah berdiri Raven yang mengamati sambil berpura-pura membeli sesuatu. Sementara Dean berdiri di samping wanita itu berpura-pura memilih barang.

Sang wanita nampak kesusahan membawa belanjaannya,”Sepertinya anda sedang kesulitan Nona. Bolehkah saya membantu?” tawar Vampir itu dengan senyum ramah memikat sang wanita, matanya tampak menyala menghipnotis sang wanita.

Netra Dean membulat menyaksikan itu, tangannya telah diam-diam menggenggam gagang belati di balik kain jubahnya. Tapi Raven menggeleng memberi isyarat bahwa ia harus bersabar.

Sang wanita tadi nampaknya telah terhipnotis, ia mengikuti kemana Vampir itu pergi. Ternyata mereka berbelok ke gang di mana Dean tadi menyimpan keranjang belanjaannya.

“Wah gang itu nampak sepi dan gelap, dasar Vampir mesum!” gumam Dean. Diliriknya Raven yang mengangguk memberi isyarat untuk mengikuti Vampir itu.

Dan benar saja, ketika Dean dan Raven tiba di gang, Vampir itu sedang mendekatkan bibirnya pada leher sang wanita.

“Wah-wah ada yang sedang makan malam rupanya!” Dean mengeluarkan belati peraknya.

Sang Vampir menyeringai, kini ia memperlihatkan taringnya, sementara Raven mengeluarkan cambuk berlapis cairan peraknya membuat sang Vampir sedikit mundur perlahan membiarkan mangsa wanitanya tadi mematung masih dalam pengaruh hipnotis.

“Mau kemana kau?” Raven mencambuk ke arah depan bermaksud mengenai tubuh sang Vampir, namun gagal. Vampir itu melompat ke arah depan hendak keluar gang tapi ia menyenggol keranjang belanjaan yang Dean taruh di sisi gang hingga sang Vampir terjatuh.

“Sialan! Belanjaan kita jadi rusak paman!” Dean melompat ke atas sang Vampir yang meronta menghindar dari tusukan Dean, mereka bergulat di tanah, berguling-guling hingga membuat belanjaan yang berserakan tertindih mereka.

“Sudah aku bilang itu sarapan kita! Lebih berharga dari Vampir sialan ini!” Teriak Raven yang kemudian mengayunkan pecutnya dan melilit kaki sang Vampir.

“Bukan aku yang melakukannya Paman! Tapi Vampir mesum ini! ujar Dean yang terpelanting ke dinding gang karena pukulan Vampir mengenai dadanya.

Vampir itu memekik, kakinya berasap. Tak sampai situ, Raven menyeret Vampir itu dengan pecutnya, melemparkannya ke udara dan menabrakkannya ke dinding gang.

Dean mengambil kesempatan itu meski ia rasakan sakit seluruh tubuhnya, ia menerkam sang Vampir dan mengayunkan belatinya.

“Hiyaaaa!!!” Teriak Dean begitu bersemangat membuka mulutnya.

CROT!!

Dada Vampir tertusuk begitu dalam memuncratkan darahnya ke wajah serta mulut Dean.

Dean tersenyum senang melihat sang Vampir perlahan terbakar. Tapi bersamaan dengan itu ia tak sengaja menelan sisa darah Vampir di mulutnya.

Tenggorokannya terasa panas, tubuh Vampir juga perlahan terbakar semuanya, Dean pun terkulai meronta di tanah memegang tenggorokannya.

“Dean!! Kau kenapa?”

“Panas!!” Teriak Dean meski suaranya kini telah parau.

Ia berbaring tak bisa diam di tanah mengusap-usap seluruh tubuhnya sambil berkata kepanasan tapi Raven memeriksa suhu tubuh Dean begitu dingin. Raven mengerutkan dahi memperhatikan apa yang terjadi pada Dean.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Blue Flame   7. The Blue Flame

    Suasana di Eldoria Sanctum masih dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara. Cahaya redup dari lilin-lilin hitam yang berjajar di sepanjang dinding batu berkelap-kelip, menciptakan bayangan yang menari di permukaan meja pertemuan. Di tengah ruangan, Philip berdiri dengan ekspresi gelisah. Pernyataan ibunya barusan mengguncang hatinya. Mata tajamnya memandang sang Ratu dengan penuh kegelisahan. "Ibu, aku tak mau jika itu membahayakanmu juga! Adakah cara lain?" Suaranya mengandung ketegangan, nyaris seperti desakan. Tangannya terkepal, menunjukkan betapa sulit menerima keputusan ini. Ratu Elenya, yang duduk di kursinya, hanya melirik putranya dengan tatapan datar. Ekspresinya tetap tak terbaca, namun ada sesuatu di balik senyum tipisnya, sebuah keteguhan yang tak bisa digoyahkan oleh siapa pun. "Aku tahu apa yang kulakukan, Nak," ujarnya dengan suara yang lembut tapi penuh ketegasan. "Ini yang terb

  • Blue Flame   6. Eldoria Sanctum

    Langit di atas Dawnshire kelabu, seolah matahari enggan menampakkan sinarnya. Kabut tipis merayap di antara rumah-rumah tua yang sebagian besar telah ditinggalkan manusia. Aroma tanah basah bercampur dengan bau samar darah yang masih melekat di jalanan berbatu. Di beranda sebuah rumah besar yang dindingnya mulai ditelan lumut, seorang pria tinggi berdiri tegak. Dracula, pemimpin para vampir, mengenakan mantel panjang berwarna hitam yang ujungnya hampir menyentuh tanah. Matanya bersinar merah redup di bawah langit mendung saat ia mengangkat tangannya dan berseru lantang, "Wahai kaumku, berkumpullah di Eldoria Sanctum, keadaan kita sedang genting." Suara beratnya menggema di seantero desa, bergema melalui angin yang berdesir. Para vampir yang bersembunyi di bayang-bayang mulai bermunculan. Sebagian menjawab panggilannya dengan erangan kecil, lalu membungkuk hormat sebelum menghilang dalam kabut hitam pekat. Ada yang m

  • Blue Flame   5. Kemampuan Baru

    Pertanyaan Raven juga justru mengganggu pikiran Dean. Pekikkan suara kuda yang begitu nyaring, hentakkan sepatu kuda, semua bercampur dengan desiran suara angin. Pergerakan orang-orang di sekitarnya begitu jelas terbaca walau hanya dari suara yang di timbulkan.Bahkan suara nafas Raven di sampingnya terdengar begitu jelas. Perubahan dalam dirinya begitu drastis tak ia mengerti.Raven menepuk bahunya, menyadarkannya dari hal yang membingungkan. Raven mengajaknya pulang menunggangi satu kuda.Hari sudah pagi, banyak orang semakin padat berlalu lalang. Tempat pasar malam kini telah bersih berganti dengan hiruk pikuk kendaraan kereta kuda.Dean sangat ingin duduk di kereta kuda sekarang, karena satu kuda ini di tunggangi dirinya dan Raven serasa sempit, mau tak mau Dean jadi harus menempel pada punggung Raven. Namun apa daya, Raven hanya mampu membeli satu kuda saat iniDilihatnya keranjang belanjaan yang tampak penuh di genggamannya, ia duduk di belakang kemudi Raven dengan tak nyaman, k

  • Blue Flame   4. Perubahan

    Wanita yang mematung terhipnotis perlahan kesadarannya kembali, sorot matanya kembali hidup, namun sayang ketika ia sadar malah di hadapkan pada pemandangan yang membingungkan.Seorang pria tengah berguling-guling di tanah berteriak kepanasan sementara pria paruh baya di depannya berusaha melakukan sesuatu namun tak berdaya.Raven menoleh pada wanita itu, “Nona anda sudah sadar?”“Apa yang terjadi?” tanya wanita itu kebingungan.“Akan kujelaskan nanti, bisakah kau menolongku untuk membawa pria yang menolongmu ini ke tabib?”Sang wanita mengerutkan dahi makin tak mengerti, namun ia mendekati Dean, dan mengecek suhu tubuhnya.“Kebetulan aku adalah seorang perawat, lebih baik kita bawa dia ke rumahku,” ujar wanita itu sambil membantu Dean duduk.Sementara wanita itu mengurus Dean, Raven masih sempat memulung belanjaannya yang berantakkan tadi, “Ya kebetulan yang menguntungkan, aku tak mengerti apa yang terjadi dengannya, dia tiba-tiba kepanasan seperti itu setelah ….”Raven tak meneruska

  • Blue Flame   3. Di Luar Dugaan

    Suara nyaring seperti hewan yang kesakitan begitu sulit di jelaskan menggema di dalam gua yang dijadikan rumah ini. Dean menutup kupingnya karena suara itu menyakiti gendang telinganya.Perlahan ia membuka mata untuk melihat apa yang terjadi. Di sana Raven menusuk jantung makhluk itu bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipi tirusnya.Seperti ibu dan ayah Dean yang terbakar saat di tusuk, makhluk itu pun perlahan berubah jadi abu. Raven terkulai di tanah setelah berhasil menusuk makhluk itu. Tangisnya pecah.Dean mendekat pada Raven, “Paman, laki-laki tidak boleh cengeng.”Dean berdiri di depan jeruji perak itu menggenggam batang jeruji dengan kedua tangannya sambil memandangi Raven yang masih menangis.Raven menghapus air matanya dan tertawa melihat Dean, “Kau meledekku sekarang?”Dean tersenyum lalu terkekeh, “Paman juga bilang begitu padaku.”Raven bangkit dan tersenyum tipis menatap Dean, “Ayo kita mulai berlatih memburu Vampir!”Binar mata Dean begitu terpancar mendengar it

  • Blue Flame   2. Tentang Ikhlas

    Dean mengemas barang-barang yang di perlukan, dan membawa beberapa barang berharga untuk di jual.Di pandangnya Raven sambil mengemasi barang-barang, sosok tinggi tegap dengan janggut tipis itu begitu tergesa-gesa membantu Dean.“Kenapa Paman terburu-buru?” tanya Dean.“Cepatlah! Sebelum kawanan Vampir lain mengendusmu! Ketika satu vampir mati itu sama saja memberikan sinyal bagi kawanan Vampir lainnya!”Raven mengobrak-abrik lemari orang tua Dean, ia menemukan perhiasan perak di sana, dan tersenyum lega seolah menemukan harapan.Sebuah kalung liontin perak kesayangan ibu Dean, anak itu menatap kalung itu nanar.“Pakailah perhiasan perak ini, Vampir melemah bila terkena perak.” Raven mengalungkan liontin itu pada Dean lalu mereka bergegas pergi dari rumah orang tua Dean.Rumah yang penuh kenangan bersama orangtuanya, rumah di tepi hutan yang indah, kebun di belakang rumah yang menjadi tempat favoritnya untuk mencari cacing, kini hanya tinggal kenangan.Ia ingat saat bersenda gurau ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status