Boa Groups mempunyai banyak lini produksi dari berbagai bidang, seperti elektronik, fashion, perhiasan, makanan. ekspor impor bahkan perusahan keamanan pun ada.Proyek terbaru Stefanie berkaitan dengan produk makanan yang baru dikeluarkan oleh perusahaan, yaitu buah kalengan siap makan.Respon pasar cukup bagus. Makanya perusahaan memutuskan membangun pabrik di pinggiran kota dekat dengan perkebunan.Tujuannya tentu saja agar buah yang baru dipanen bisa langsung diproses di pabrik agar tetap segar."Bagaimana perkembangan proyek mu?" tanya Dario saat mereka makan siang bareng di atas atap. Seperti biasa, Stefanie sibuk dengan makanannya."Cukup bagus," jawab perempuan itu setelah menenggak setengah botol minuman. "Pembangunan jalan cukup lancar berkat bantuan mu kemarin itu.""Baguslah. Bagaimana dengan pabriknya?" tanya Dario lagi."Tingkat produksi sudah lumayan, tapi belum bisa memenuhi kuota yang diinginkan perusahaan. Rencananya perusahaan akan menambah pekerja lagi.""Kau bisa l
Image Dario di kantor adalah seorang kutu buku. Memakai kacamata hitam dengan bingkai besar, dia dianggap hanya karyawan titipan.Tidak banyak karyawan divisi Marketing yang mau dekat atau sekedar menjadi temannya.Stefanie yang sering ngobrol dengan Dario hanya di anggap sikap atasan kepada bawahan, tidak lebih.Minggu pertama, karena seringnya interaksi mereka, yang lain melihatnya mereka sudah tidak hanya atasan bawahan.Sering Stefanie kedapatan wajahnya merah dengan senyuman tersungging bila di dekat Dario. Tentu saja yang lain mengira mereka sudah pacaran.Hal itu menimbulkan kecemburuan di antara para pria. Karena Stefanie salah satu kembang di divisi marketing mereka.Ivan adalah yang paling benci dengan Dario. Tentu saja karena dia merasa lebih baik dari anak baru kutu buku itu.Dia sudah jatuh cinta pada Stefanie sejak hari pertama melihatnya. Tapi belum ada seminggu, Stefanie malah terlihat dekat dengan Dario.Dua orang preman melangkah masuk diikuti oleh seorang pemuda kli
Salah satu preman itu melihat Dario menuruni tangga. Segera yang lain berlari mengejar kearah Dario berada.Puluhan tongkat kayu dan pemukul besi melayang di arah kan ke tubuh Dario. Salah satu preman maju dan melayangkan tongkat yang ia pegang dengan ganas.Dari belakang juga ada yang ikut menyerang. Dario menghindari keduanya sekaligus. Diraihnya tangan pria pertama dan mengarahkan tongkat yang ia pegang ke preman kedua hingga mengenai kepalanya. Satu jatuh.Dia kemudian merampas tongkat yang sudah menjatuhkan pria kedua dan menendang terbang pria pertama.Melihat hal itu, preman yang lain mulai lebih hati-hati. Mereka tidak ingin kena balik pukul oleh tongkat yang mereka pegang."Serang bersamaan!" teriak salah satunya.Puluhan orang yang mengepung Dario menurut. Mereka langsung mengarahkan senjata yang mereka pegang.Bak! Buk! Bak! Buk!Dengan lincah, tongkat yang dipegang Dario mendarat mulus diberbagai bagian tubuh para preman itu.Mereka jatuh satu persatu sambil memegang bagia
Dario seakan merasakan Dejavu. Bagaimana tidak, baru Minggu lalu dia melihat langit-langit dengan warna serba putih.Kali ini pun sama. Yang pertama kali dia lihat adalah langit-langit itu. Bedanya di luar sudah gelap. Kemerlip lampu kota terlihat dari balik kaca jendela.Dibagian perutnya yang terluka, ada perban tebal yang menempel. Dia masih bisa merasakan nyeri saat dipukuli oleh Delano."Kau bisa kalah juga?"Suara seroang wanita terdengar sinis. Dario tahu pemilik suara ini tanpa perlu melihatnya."Yah, mau bagaimana lagi. Kalah ya kalah." Kata-kata Dario terkesan acuh tak acuh."Payah, baru satu kali kalah saja sudah seperti dunia mau runtuh. Kemana orang kampung optimis yang aku temui malam itu?""Sudahlah, bos. Aku sudah kalah. Kalau kau ingin membuangku, aku akan segera pergi dari hadapanmu."Lili tertawa pelan. Dia menatap Dario yang masih melihat keluar jendela."Aku terlalu berharap tinggi padamu."Lili bangun dari tempat duduknya dan melangkah keluar."Tunggu! Bagaimana
"Lagi ngapain?"Sebuah suara menyela saat Dario sedang mengganti perban di perut. Lukanya sedikit terbuka setelah siang yang 'panas' tadi.Dario menengok kebelakang. Stefanie sedang berjalan ke arahnya dengan memakai kemeja flanel miliknya yang nampak kebesaran.Jujur saja di mata Dario, wanitanya ini terlihat sangat seksi. Apalagi rambut panjangnya diikat cepol ke atas menampakan leher jenjangnya yang putih."Sudah bangun? Enak tidurnya?" tanya Dario sambil meneruskan membersihkan luka dengan alkohol.Muka Stefanie bersemu merah ditanya seperti itu. Badannya pegal-pegal setelah hampir satu jam lebih dikerjai oleh pria dihadapannya ini."Terbuka lagi, ya?" tanya Stefanie lagi melihat dengan sedikit ngeri setelah duduk di samping pemuda itu.Dario mengangguk. Dia ambil salep dari rumah sakit dan mengoleskannya pada luka diperutnya. Setelah itu dia membalutnya dengan kapas dan perban."Tidak balik ke kantor?" ganti Dario yang bertanya."Hhmm, lebih enak disini," jawab Stefanie sambil te
Fiona membawa Dario ke dapur. Dario melihat ada dua pria berpakaian koki menatapnya dengan pandangan berbeda.Yang pertama adalah pria paruh baya yang duduk sambil meringis memegangi kakinya. Ada ruam kebiruan disana. Pria itu nampaknya keseleo.Sedangkan yang satu lagi lebih muda, mungkin seusia Fiona. Dia menatap Dario dengan tidak suka, apalagi tangan Fiona masih memegang tangannya."Ayah, ini Dario yang aku bilang. Dia bisa memasak. Aku sudah minta tolong padanya.""Aku masih bisa Fiona. Tidak perlu merepotkan temanmu," ujar Ayah Fiona.Dia mencoba berdiri, tapi kemudian kembali duduk sambil meringis menahan sakit."Sudah kubilang, aku saja cukup, Fiona. Biarkan paman Haris istirahat."Pria muda itu kini ikut bicara. Dia masih memandang Dario dengan tatapan bermusuhan.Dario hanya mengabaikan pria itu. Dia memandang Haris yang sudah masih meringis."Biarkan aku membantu, paman. Aku tadi lihat menu restoran. Aku bisa beberapa," ujarnya.Anak muda yang jadi pelayan di depan, masuk d
"Ini enak. Rasanya berbeda dari yang aku biasa masak."Haris mulai bicara duluan, sedangkan Fiona dan Fino berlomba menghabiskan makanan di piring.Ian tidak percaya. Dia ambil sendok sendiri dan ikut makan masakan Dario. Matanya melotot setelah memakannya.Benar kata Haris, masakan Dario berbeda dengan yang biasa Haris dan dia masak. Rasa bumbunya lebih terasa. Dagingnya juga tidak lembek atau pun keras."Bagaimana kau bisa hasil masakan mu seenak ini? Kau pakai resep apa?" Ian berbalik menghadap Dario dan menghujaninya dengan pertanyaan."Aku hanya memasak lagi dagingnya dengan beberapa bumbu sampai setengah matang sebelum dicampurkan dengan yang lain," jawab Dario santai."Apakah memang ada seperti itu, paman?" tanya Ian penasaran. Fiona dan Fino pun sama."Iya, memang ada. Kenapa tidak terpikirkan oleh ku dari dulu ya."Keempatnya kemudian memandang Dario dengan tatapan yang sama, mereka kagum dengan hasil masakannya."Kenapa? Apa aku tampan?" tanya Dario iseng.Keempatnya kompak
"Dario, kalau kau bisa menyembuhkan ayah, kenapa tidak dari tadi saja?"Fiona memandang Dario heran."Lho, kalian tidak bertanya," ucap Dario dengan entengnya. "Lagi pula paman Haris kelihatan capek. Makanya aku biarkan dulu sekalian istirahat. Iya kan, paman?""Kau ini," Fiona hanya tersenyum sambil memukul bahu Dario pelan. Haris ikut tersenyum.Anak muda di depannya ini baru saja dikenalnya, tapi sudah membuatnya kagum berkali-kali.Orang tua itu memandangi keakraban Dario dan Fiona. Ah, andai saja."Guru, selain mengajar kan aku memasak, apakah kau bisa mengajarkan yang tadi juga?" Ian memandang penuh harap."Aku juga, kak. Aku juga ingin belajar dua-duanya," Fino ikut menimpali."Itu gampang. Tapi aku guru yang galak, lho. Apa kalian siap menerima siksaan seperti di neraka?" kata Dario dengan tampang serius menatap Ian dan Fino.Keduanya saling pandang dan meneguk Saliva mereka.Dario kembali terkekeh. "Aku hanya bercanda. Kenapa kalian seserius itu?""Sialan. Kami sudah percaya sa