"Kau terlihat seperti dia."
"Apa?"Nina mengerjap dan langsung mengubah ekspresinya. Elena bisa mendengar gumaman itu meskipun terdengar lirih. Dia? Dia siapa?"Ayo kita makan dulu. Kau pasti kelaparan. Aku juga," ajak gadis itu sambil menarik lengannya keluar dari salon kecantikan.Ia meringis menahan sakit di kedua kakinya ketika Nina berjalan dengan cepat. Tapi ia tidak akan protes. Entah kenapa ia tidak mau membuat gadis yang terus menggenggam tangannya itu marah.Mereka berhenti di food court dan langsung memesan makanan cepat saji. Nina bahkan memesan dua buah hamburger dan seloyang pizza."Kenapa kau makan sebanyak itu?" tanya Elena heran ketika pesanan mereka datang dan gadis di hadapannya langsung memakan burger itu dengan lahap.Ia hanya memesan satu burger dan air mineral. Itupun ia meminta sayurnya diperbanyak. Melihat bagaimana Nina melahap semua makanan itu tanpa berpengaruh pada berat badannya membuatnya iri.Sejak dulu ia menjaga pola makannya karena takut gemuk. Bukan karena takut terlihat tidak cantik, melainkan karena takut terkena penyakit yang sudah biasa menyerang penderita obesitas.Ia harus tetap prima agar otaknya bisa berkonsentrasi dengan mudah untuk mengerjakan pekerjaan yang menumpuk.Mengingat pekerjaan membuat selera makannya mendadak hilang. Lagi-lagi ia harus disadarkan dengan fakta bahwa ia sekarang adalah pengangguran. Ia bahkan hidup dengan belas kasihan Jack, bodyguardnya yang entah sekarang berada dimana."Coba ini. Kaum kita akan merasa lebih tenang jika melampiaskannya pada makanan," kata Nina sambil menyodorkan sepotong pizza ke arahnya.Selama sesaat ia hanya melihat makanan itu. Makanan yang belum pernah ia makan karena ia selalu memakan makanan yang sehat dan diolah sendiri oleh Mia, pelayan pribadinya."Makan sekali tidak akan membuatmu terkena penyakit. Ayolah, Nona Muda. Kau tidak sedang dalam posisi bisa memilih makanan sekarang."Perkataan Nina menyentil hatinya. Ia cukup tersinggung, tapi Nina memang benar. Masih untung ia bisa makan sekarang ketika tidak memiliki uang sepeserpun.Dengan ragu ia menggigit kecil pizza itu, mengantisipasi rasanya. Ia takut jika makanan ini terlalu berlemak dan menyebabkan kolesterol. Gigitan pertama, ia merasakan rasa yang berbeda. Matanya membelalak."Lihat, kan? Kau pasti juga menyukainya. Makanan yang disukai oleh semua kalangan," kata Nina dengan wajah bangga ketika melihat Elena menghabiskan sepotong pizza itu dengan lahap."Aku tidak menyangka rasanya bisa selezat ini. Pantas saja Mia sering memesan makanan ini," sahut Elena sambil mengambil potongan kedua.Nina hanya menggeleng sambil tersenyum melihat kelakuan nona muda di hadapannya. Tingkah laku Elena memang mencerminkan bagaimana gadis itu lahir dengan sendok emas di mulutnya.Bahkan ketika menikmati burger pun harus mengenakan pisau dan garpu, seolah-olah sedang makan di restoran mewah yang harus menerapkan etika ketika makan.Setelah mereka menghabiskan seluruh makanan itu, Nina kembali menyeret Elena ke berbagai toko baju. Beberapa kali gadis itu berdecak ketika Elena memilih pakaian yang formal dan terlihat tua."Nina, aku tidak nyaman memakai pakaian seperti ini," rengek Elena ketika gadis itu memilih beberapa gaun selutut yang terlihat santai."Elena lama sudah mati, saatnya Elena baru mendominasi. Kau harus berubah jika ingin balas dendam pada siapapun yang telah menjebakmu. Tunjukkan bahwa kau tidak selemah yang dulu."Elena langsung diam dan berhenti di tempatnya, tidak peduli dengan Nina yang masih sibuk memborong beberapa pakaian untuknya.Benarkah ia selemah itu? Dia pintar dan berani mengambil resiko dalam dunia bisnis, tapi lemah dan bodoh ketika berhadapan dengan Lucas. Ia bahkan begitu naif sehingga dengan mudahnya dikhianati oleh kekasihnya.Kenapa ia lemah jika berurusan dengan cinta? Apakah karena ia terlalu putus asa? Ia terlalu mencintai Lucas yang merupakan cinta pertamanya? Ataukah karena ia merasa takut tidak ada laki-laki yang mau dengannya selain Lucas?Dari dulu, Elena memang memiliki krisis kepercayaan diri. Ia merasa tidak begitu cantik dan tubuhnya kurus. Sama sekali tidak menarik menurutnya.Maka ketika Lucas datang menawarkan cinta, ia langsung menelannya mentah-mentah. Merasa akhirnya mendapatkan laki-laki yang mau menerimanya apa adanya."Permisi! Permisi, Nona."Elena mengerjap ketika sebuah tangan terayun-ayun di depannya. Ia melihat ke sekelilingnya dan terkejut ketika menyadari bahwa ia berada di depan toko baju yang tadi mereka masuki. Sejak kapan ia keluar dari sana?Beberapa pengunjung mall melihatnya, membuat jantungnya berdegup kencang. Apakah mereka mengenalinya karena foto-foto itu? Tidak, ia sudah berbeda sekarang.Ia tidak pernah memposting fotonya di media sosial, jadi tidak ada yang tahu wajah seorang Elena Pierce. Foto-foto vulgarnya yang beredar terlihat berbeda dengan wajahnya yang sekarang. Mungkin karena ekspresi wajahnya. Elena mengumpat dalam hati."Nona, bolehkah aku bertanya sesuatu? Apakah kau seorang model?"Elena menoleh ke arah seseorang yang sejak tadi mengamatinya. Seorang pria dengan cambang tipis bermata abu-abu. Mungkin seumuran Jack. Ia tidak perlu mendongak seperti ketika melihat Jack, karena tinggi pria itu hanya selisih sedikit dengannya."Bukan. Aku bukan model. Kenapa?""Oh, maaf. Aku kira kau adalah seorang model. Postur tubuhmu begitu proporsional dan cocok sekali untuk menjadi model baru kami. Apa kau tertarik?" Pria itu memberikan kartu namanya."Eh? Tapi aku..."Pria itu meletakkan kartu namanya secara paksa di telapak tangan Elena."Jangan takut. Aku dari agensi besar dan sudah terkenal. Wajahmu bisa menjadi icon baru di agensi kami. Terlihat segar dan elegan. Hubungi aku jika kau tertarik.""Tunggu! Aku tidak..."Tapi pria itu sudah berlalu dan menghilang di balik kerumunan pengunjung. Ia menghela nafas panjang. Apa yang baru saja terjadi? Ia membalikkan badannya dan terlonjak ketika melihat Nina yang tengah tersenyum miring sambil melihatnya."Sekarang aku tahu kenapa Jack memilihmu.""Kau yakin dengan keputusanmu?" Jacob bertanya untuk yang kesekian kalinya.Nathan mengangguk mantap. Tidak ada keraguan dalam hatinya. Ia sudah yakin dengan keputusannya, dan menurutnya itu adalah yang terbaik.Jacob menghela nafas panjang, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi."Apa karena kau masih mencintai menantuku?""Salah satunya. Tapi lebih karena aku tidak mau menghancurkan pernikahan anak anda. Meskipun aku sangat mencintai Elena, tapi aku tidak mau membuat dia menderita."Berita mengenai Elena yang kritis karena kehilangan banyak darah setelah bertengkar dengan Jack membuat Nathan sadar. Cinta memang tidak bisa dipaksakan. Apalagi wanita adalah makhluk yang sensitif. Selalu menggunakan perasaannya."Baiklah. Jika kau memang sudah tidak merasa nyaman terus berada di sini, aku tidak bisa menahanmu. Tapi kau bisa kembali ke sini sewaktu-waktu jika kau mau," kata Jacob akhirnya.Pria itu membubuhkan tandatangan pada surat mutasi untuk Nathan."Kenapa Korea Selatan?
Elena mengeratkan pegangan tangannya pada lengan Jack ketika melihat bayi itu semakin mendekat dalam gendongan seorang perawat."Bayi kita. Dia bayi kita," ucapnya antusias.Sebenarnya ia terkejut ketika melihat raut kaget dan terpana di wajah Jack. Seolah-olah pria itu juga baru pertama kalinya melihat wajah anak mereka. Tapi ia tidak mau merusak suasana. Mungkin memang benar suaminya sibuk menungguinya, sementara bayi mereka harus dirawat di inkubator.Tiba-tiba bayi itu menangis, membuat Elena bingung sekaligus penasaran. Dia belum pernah menghadapi seorang bayi sebelumnya."Tidak usah panik, Nyonya. Dekap dia dalam pelukan anda. Bayi memerlukan pelukan dari ibunya setelah lahir," kata perawat itu sambil tersenyum.Elena menerima bayinya dengan sedikit kikuk. Takut jika nanti tiba-tiba menjatuhkannya atau membuat tangisan bayi itu kian menjadi-jadi.Di luar dugaannya, bayi itu justru berhenti menangis setelah Elena mendekatkannya pada dadanya. Hatinya terasa begitu penuh. Senyumnya
"Siapa kau?" Elena menatap seorang wanita yang masih muda dan terlihat begitu cantik. Kecantikan khas wanita jaman dulu. Mengingatkannya pada wanita-wanita seperti Putri Diana atau Marilyn Monroe.Tunggu, ia seperti pernah melihat wanita ini sebelumnya. Tapi di mana?"Kau begitu cantik. Bahkan lebih cantik dari Amelia," kata wanita itu sambil tersenyum lembut.Tubuh wanita itu begitu tinggi semampai seperti layaknya model. Seperti tubuh Elena yang tinggi, sehingga orang-orang sering mengira bahwa dirinya adalah seorang model.Sebentar, ada yang aneh di sini. Elena memperhatikan wanita di hadapannya dengan seksama. Rambut pirang dan bibir agak tebal di bagian bawah. Kulit putih bersih dan mata sebiru langit di siang hari."Tidak mungkin," gumam Elena.Satu kesadaran membuatnya refleks melangkah mundur. Kepalanya menggeleng-geleng."Ini tidak benar. Seharusnya aku tidak bisa bertemu dan berbincang denganmu. Apakah aku sudah mati?" Dia mulai panik dan melihat ke sekitarnya.Hanya ada ham
Suara isak tangis yang menyayat hati memenuhi ruang ICU. Seorang pria menggenggam tangan seorang wanita yang sejak kemarin belum juga sadarkan diri. Padahal sudah berkantong-kantong darah habis, tapi sang wanita belum juga mau bangun."Jack, kau juga harus makan untuk memulihkan tenagamu. Jangan menyiksa diri sendiri." Julia mengusap pipinya yang basah melihat sang putra terus menangis dalam penyesalan."Semua ini karena kebodohanku. Seharusnya aku menjaga perasaannya. Seandainya aku tidak egois, dia tidak akan berbaring di sini," ucap Jack di sela-sela tangisnya.Ya, Jack benar-benar sangat menyesal. Dia melampiaskan kemarahan karena cemburu buta, tapi dia tidak pernah menyangka bahwa dampaknya jauh lebih besar lagi. Dia benar-benar bisa kehilangan Elena untuk selamanya.Sekarang dia tahu bagaimana rasanya menjadi Arsen. Ternyata rasanya tidak menyenangkan. Rasanya seperti bertaruh dengan waktu. Tidak ada yang tahu apakah Elena bisa sadar atau malah pergi untuk selamanya."Maafkan ak
Selama hidupnya, Jack tidak pernah lepas kendali. Dia selalu bisa menahan diri. Bahkan meskipun dia tahu bahwa Claire menikah dengan Arsen, dia hanya diam saja. Tapi semua berubah ketika ia bertemu dengan Elena.Sekarang emosinya sering tidak stabil. Sudah dua kali ini dia lepas kendali, dan semuanya karena Elena. Ia tidak bisa biasa saja atau tak acuh jika itu sudah menyangkut tentang Elena.Ada rasa aneh yang tidak bisa dijabarkan. Dia takut jika Elena pergi jauh darinya. Kembali meninggalkannya seperti dulu."Di mana Nathan?" tanyanya pada salah satu karyawan yang melintas di lobi perusahaan."Umm, kurang tahu, Tuan. Tapi tadi saya sempat melihat dia bersama Tuan Jacob," jawab karyawan itu dengan sopan.Jack berlalu dengan amarah masih menguasai diri. Kedua tangannya bahkan masih terkepal dengan erat dan jantungnya bertalu-talu. Siapapun yang berpapasan dengannya tidak berani menyapa. Kakinya melangkah memasuki lift dan menekan tombol lantai paling atas. Dia benar-benar sangat ma
"Jack belum pulang juga?" tanya Elena dengan hati gelisah.Kemarin malam setelah dinyatakan baik-baik saja oleh dokter dan diperbolehkan untuk pulang, Elena berkali-kali menelpon suaminya. Tapi karena tubuhnya entah kenapa masih terasa lelah, dia pun akhirnya tertidur begitu diantarkan ke kamar oleh Alan."Belum. Aku sudah menghubungi ponselnya, tapi tidak diangkat," jawab Nina. "Lebih baik sarapan dulu. Kau harus memulihkan energi setelah kemarin hampir saja keracunan."Elena menurut saja ketika Nina menuntunnya menuju ke ruang makan. Beruntung Nina mau langsung datang ke mansion untuk menemaninya. Entah kenapa suaminya tidak kunjung pulang."Makanlah yang banyak, Nona. Setelah ini jangan lagi keluar. Sebentar lagi Anda melahirkan, jadi lebih baik di rumah saja. Anda bisa meminta tolong pada pengawal yang biasanya menjaga anda jika menginginkan sesuatu," saran Bibi Mary sambil meletakkan berbagai menu makanan sehat untuk ibu hamil.Mendadak Elena teringat dengan Brad. Di mana laki-la