Dum … tak … Dum … tak
Suara musik klasik khas, mengantarkan para pasangan berdansa di atas marmer putih mengkilap. Gerakan mereka apik dan beraturan; seirama dengan nada musik.
"Aleta … lihat ke sini!" seru wanita muda bergaun silver tanpa lengan. Dalam genggaman tangannya ada sebuah kamera kecil yang ia gunakan untuk memotret setiap gerakan cantik Aleta.
"Ya Tuhan, tersenyum sedikit …!" teriaknya bernada memerintah.
Sembari menggerakkan kakinya ke kanan dan kiri, Aleta menarik sudut-sudut bibirnya hingga wajah gadis itu memamerkan senyum badut.
"Apa kau tidak bahagia, Aleta?" Giliran pria pasangan dansanya angkat bicara.
"Bahagia, sangat!" jawab Aleta tak melepas senyuman.
"Ya Tuhan, Aleta! Senyumanmu sangat mengerikan." Teman pembawa kameranya berseru lagi.
Aleta tak bisa menahan, pun mendorong tubuh pasangan dansanya, menarik jarum suntik yang ia selipkan di antara belahan dada lalu menyodorkan pada pria tersebut.
"Menyerah atau ku bunuh!" Ancam Aleta bermata bengis.
Melihat netra kehijauan milik Aleta melotot tajam seakan ingin keluar dari bingkainya, pria yang ke 1001 dijodohkan dengan Aleta pun beringsut ketakutan.
Pria berambut pirang itu berjalan mundur diikuti langkah Aleta senada dengannya. Sekejap ia memutar badan dan lari terbirit-birit.
Aleta melengking tawa. Sampai detik ini ia belum gagal mengusir para penjilat cinta seperti mereka.
Semua ini berkat kepiawaian Aleta dalam berwujud wanita cantik, tapi penuh kekejaman.
Gadis berumur 19 tahun, putri kedua dari pimpinan Mafia terbesar di Rusia tak segan-segan melukai orang disekitarnya tanpa memandang siapapun, terkecuali Ayah sendiri, Louison.
"Aleta!"
Buru-buru Aleta menyelipkan kembali jarum suntik di antara gundukan dada. Kemudian berbalik memasang senyuman simpul.
"Daady …" suara Aleta dibuat manja-manja menyebalkan.
"Kau berulah lagi?" Tatap Louison penuh kecurigaan.
"Oh, no Daddy," bantah Aleta seraya dadah-dadah, "ngomong-ngomong acara dansa ku sudah selesai, bolehkan aku duduk menyilangkan kaki di sudut sana, Daddy?"
Tempat yang dimaksud Aleta adalah bar mini. Segala botol minuman bisa didapatkan dengan mudah pada bar tersebut. Pantas saja sepasang kekasih yang Aleta lihat dari beberapa jam lalu betah bertahan.
"Hanya tiga kali tegukan! Setelah itu---"
Tanpa menunggu penjelasan Ayahnya selesai, Aleta sudah melebarkan langkah menghampiri tujuannya.
Gadis itu menduduki kursi bartender. Ia menunjuk salah-satu botol minuman beralkohol kemudian menuangkan isinya ke dalam gelas kaca berbentuk bulat, juga memiliki kaki.
Aleta melihat ke arah Louison, ia mengangkat satu jari pertanda baru satu kali tegukan.
"Uncle, kau mau selfie?" Tawar teman Aleta teramat polos.
"No! Thanks." Tolak Louison tak mengalihkan perhatian dari putrinya.
"Oh, oke …"
Wanita bergaun silver itu malah bersandar pada bahu Louison. Lantas, memotret dirinya sendiri.
"One … two … three …"
Cekrek … cekrek …
"Pose sempurna."
Aleta mengangkat dua jari, diikuti mengeluarkan sebatang rokok. Sayang, ia tak membawa korek.
"Hello, Boy," sapa Aleta pada pasangan kekasih pria di sampingnya.
Mereka berdua serempak melihat ke arah Aleta. Mereka memperhatikan penampilan wanita itu dari rambut hitam, pakaian, riasan sampai cara Aleta mengedipkan mata.
"Kau punya korek?"
"Ada."
"Bantu aku!" Pintanya sambil mencondongkan dagu, yang terselip rokok di celah bibir ranumnya.
Seorang kekasih pria di depannya mengeluarkan rokok, menyalakan lalu menyulat ujung rokok milik Aleta.
Fyuh …
Kepulan asap tipis dari mulut dan hidung Aleta sengaja ia hembuskan mengenai wajah mereka.
Sontak kekasih wanitanya merasa tak terima. Ia mendorong kasar pundak Aleta sambil berucap, "You are the bitch!"
Plakkk …
Aleta menampar pipi kanan wanita itu hingga membuat wanitanya meringis kesakitan.
Tak mau kalah, si wanita pun membalas tamparan Aleta lebih keras dari yang ia dapat.
Plakkk …
Mendadak ketenangan di wajah Aleta berubah cepat, pipinya memanas mengikuti kobaran api yang telah membakar hatinya.
Tarrr …
Aleta memecahkan botol minuman, secepat angin mendaratkan pecahan botol tersebut pada tangan wanita di depannya.
"Aaa … bitch!" pekik wanita itu.
"Bebi, oh my God. Tangan kamu berdarah," tambah kekasihnya kepanikan.
Dari lantai Louison berdiri, hanya memutar bola mata disertai helaan berat.
Tak tunggu lama sirine mobil Polisi menyeruak dalam gendang telinga. Menjadikan semua orang kalang-kabut. Mereka kira, jika para Polisi akan menyergap.
Setidaknya ada Empat Polisi sekaligus yang datang. Kemudian disusul Polisi-polisi lain.
"Aku sampai bosan menangkapmu berulang kali." Lontar seorang Polisi tengah memborgol kedua pergelangan tangan Aleta.
Louison sama sekali tak bertindak menyaksikan putrinya dibawa pergi para Polisi. Bahkan saat mereka melewati dirinya, ia acuh tak acuh seakan-akan tak saling kenal.
"Uncle, apakah Aleta hanya akan mampu menghitung sampai 20 untuk menunggumu atau …?"
"Kali ini dia akan menginap di Hotel Torpedo, biarkan ia merasakan bagaimana nikmatnya tidur semalaman di Neraka."
"Oh, ini mengejutkan!"
Satu-persatu mobil Polisi meninggalkan gedung megah berlantai tiga, tempat barusan mereka berhenti.
Diapit dua polisi berbadan dan berotot besar, Aleta tak merasakan takut. Ia sangat menikmati perjalanan ini, tak henti-hentinya ia berdecak kagum melihat cinderamata di luar kaca.
"Hei, Nona Aleta!" Panggil Polisi yang memborgol Aleta.
"Ada apa, Kakak?"
Saking seringnya mereka dipertemukan, Aleta sampai tak sungkan memberi sebutan 'kakak' untuk Polisi tersebut.
"Bisakah satu bulan saja kau tidak mengunjungi kantor kami bertugas?"
"Aku pun ingin, tapi kalian hobi sekali mengajakku ke sana."
Sang Polisi berdecak kesal, ia tak menggubris jawaban konyol Aleta. Dari cermin pengemudi, ia mengintip bayangan Aleta. Tanpa sadar ia tersenyum kala Aleta tersenyum, karena senang melihat gedung pencakar langit.
***
Cittt …
Mobil berhenti, begitu pula suara sirine-nya. Aleta dikawal masuk. Sebelum ia dibiarkan menunggu jemputan sang ayah, polisi lain lebih dulu mengintrogasi Aleta.
"Hish, kau lagi," dumel polisi yang bertugas mengintrogasi, "langsung saja jelaskan tanpa basa-basi!"
Aleta memasang raut melas tapi mulutnya mendesis lirih. "Dengarkan baik-baik! Ayah meminta ku meneguk tiga kali saja, jadi saat sudah melalui tegukan kedua aku menyelingi diri untuk merokok. Aku lupa tidak membawa korek. Kau tau itu berbahaya, 'kan?"
"Iya iya, lanjutkan dongengmu!"
"Seorang pria berambut pirang, ku minta bantuannya agar menyalakan rokokku. Pria itu mengikuti, Lalu, tak sengaja Aku mengepulkan asap rokokku kepada mereka. Dan kau tau?"
"Tidak! Selesaikan saja ceritamu."
"Pacar pria itu marah, ia mengataiku pelac**, hiks. Aku mana pernah open order. Aku jadi kesal, kutampar dia, eh, dia balik menamparku. Jadi ku lukai saja tangannya."
Sang Polisi bagian menginterogasi membuang kasar nafasnya. "Wanita ini sudah gila! Kenapa Ayahmu tidak--!"
"Pak …" Polisi lain menggelengkan kepala, pertanda larangan.
"Sudah sana, bawa wanita ini ke kamar favoritnya!"
Aleta digiring menuju ruangan terpisah yang letaknya sudah ia hafal di luar kepala. Oleh karenanya, ia begitu santai jalan lebih depan.
"Kutebak dalam hitungan menit Ayahnya akan datang."
Pukul 03:00 dini hari.Ruangan dingin serta dipenuhi keluarga nyamuk telah menjadi tempat persinggahan Aleta. Gadis itu meringkukan tubuh di pojokan dengan tatapan lekat ke besi-besi pembatas dirinya.Satu jam sudah berlalu semenjak ia memasuki neraka dunia, ia pun telah menghitung lebih dari 20 angka. Namun, sosok berkumis tebal yang ia tunggu tak kunjung tiba.
Langit mulai redup, sedang jarum pendek jam baru melalui setengah putaran. Pertanda hujan memberi aba-aba kedatangannya. Beberapa orang mulai berlarian, terkecuali Jhon. Selepas bermandikan keringat bersama tiga pelatih bela diri sekaligus. Jhon memutuskan keluar membeli sesuatu, tentu sebagai pengganjal kekosongan perutnya. Ia menyusuri setiap toko, berharap ada makanan yang bisa diterima lambung Indonesianya. Akan tetapi perjalanan hampir 15 menit, tak satupun isi toko memuaskan pencarian Jhon. Kedua bola matanya memutar kesal. "Apa Aku harus makan mie setiap hari," gerutunya, sambil berjalan. Tetiba Jhon berhenti. Ia yang sudah melewati tiga langkah dari satu toko ke toko lain. Pun berjalan mundur, kepala
Lantunan musik Ballerina bergema di setiap sudut kamar Aleta. Bermodal dress hitam kesukaannya, sepatu balet serta rambut tergerai. Gadis itu berjinjit, melompat dan memutar mengikuti nada irama.Gerakannya begitu luwes dan rapi, seakan-akan ia penari balet sungguhan."Pieter …" panggil Aleta di sela tarian.
Jarum jam masih berputar satu arah, pergerakannya pelan tapi pasti merubah detik menjadi menit dan menit menjadi jam.Semua berlalu begitu cepat hingga lima hari sudah Pieter bekerja dibawah keluarga Louison.Mulanya Pieter tak begitu menggubris segala keanehan tuannya, lantaran ia sudah sering mendengar tentang Aleta yang seringkali bolak-balik masuk Hotel Torpedo. Tapi berbeda dengan hari
Give me your rate and comments. Xie xie ni.__________Semburat jingga pemilik senja tak terlihat dipelupuk mata, langit biru nan cerah berubah gelap keabu-abuan. Tampak rembulan masih malu-malu menyapa dibalik awan. "Aleta …" sebut Jhon. Suaranya lirih seperti embusan nafas. "Aku me … rindukan … mu."
Mimpi buruk telah berakhir, menyisakan peta-peta kecil yang tergambar tipis pada sarung bantal merah maroon milik Aleta.Gadis itu mengerjapkan mata kala ketukan pintu memenuhi gendang telinganya.
Tidak sampai 10 menit, jemputan yang dimaksud Jhon tiba juga. Namun, tidak sesuai ekspektasi nyonya Kim.Sehingga, sedari wanita bergaya nyentrik itu menaiki mobil, wajahnya terus dilipat.
Hingga kelas berakhir. Aleta tetap terlelap. Tidak ada satupun teman kelasnya yang memiliki keberanian membangunkan gadis itu.Kadang-kadang, mereka sampai harus saling mendorong untuk sekedar menggoyangkan pundak gadis itu. Pun atas perintah dosen.