enjoy reading ...
"Aku nggak mau ke dokter dan nggak mau lapor polisi, Mbak." Ucapku dengan tetap memeluk pinggangnya. Kepalaku juga sangat nyaman berada di pangkuan dan menghadap perut Mbak Sasha. Justru aku ingin berlama-lama seperti ini dengannya. Kakak ipar yang sangat kucintai dan ingin kurebut dari genggaman Mas Kian, kakak kandungku. Perhatiannya adalah obat terbaik untukku yang memiliki gangguan kelekatan. Sebuah gangguan mental yang kuderita sejak kecil akibat ulah Papa bersikap kasar pada Mama yang dilakukan dihadapanku. "Do, apa yang udah mereka lakuin ke kamu ini termasuk tindak pidana. Mereka harus dilaporin!" "Ntar aja." Aku hanya tidak mau kesempatan berduaan dan bermanja-manja dengan Mbak Sasha di ruang tengah terganggu hanya karena masalah pelaporan. Bisa mendapatkan kehangatan dari dia itu jauh lebih utama dari sekedar rasa sakit di ragaku ini. "Tapi mereka bisa bikin ulah lagi kalau nggak dilaporin, Rado!" Ucapnya geram. Aku terkekeh pelan lalu melirik wajahnya yang nampa
Keringat dingin mulai membasahi kedua telapak tangan dan pelipisku. Sedang jantung berdegub lebih cepat dari biasanya. Kedua bola mataku berkedip cepat selayaknya ketahuan melakukan kesalahan berlipat. Siapa yang tidak merasa ketakutan ketika orang yang sangat dihindari dan ditakuti justru duduk menyejajari? Hal serupa juga aku rasakan, namun bedanya aku memiliki gangguan kecemasan yang bisa membuat rasa ketakutan ini lebih menonjol dan mudah diketahui oleh Mas Kian. Kami telah lama hidup bersama. Wajar jika ia merasa sikapku berubah bila sedang memiliki masalah yang tidak ingin kubagi dengan dirinya. Aku benar-benar tidak siap jika sekarang ia mengajakku memperinci kesalahan kemudian menjatuhkan hukuman. Mungkin Mas Kian tidak akan pernah memberiku ampunan. "Do, kamu kenapa?" Tanyanya sambil memegang sebelah pundakku. Tanganku bergerak pelan seperti akan melakukan peregangan otot, padahal ingin menyingkirkan tangan Mas Kian saja. Sungguh aku tidak nyaman bersisian dengannya.
"Ya mana gue tahu lo digebukin siapa." Ucap Risty dengan dandanan siap pergi ke kampus.Seperti biasa, dia selalu modis di setiap penampilannya. Bahkan tanpa cela."Yang sakit wajah lo doang kan?!" Tanyanya kembali."Ya.""Bagus lah. Seenggaknya lo masih bisa nganterin gue ngampus."Aku tergelak dengan permintaannya yang kelewat seenaknya sendiri saja."Gue nggak ngampus, Ris. Gue udah ijin sama dosen.""Terserah lo. Pokoknya anterin gue."Baru kali ini aku benar-benar bisa memberinya label sebagai gadis kaya yang tidak mau dibantah. Memerintah seenak hati tanpa tahu kondisi. "Dengan kondisi gue kayak gini?" Dia menyibak rambut panjangnya yang sedikit diberi warna coklat tua dengan ujung dikeriting setengah. "Masa bodoh. Lo bodyguard gue. Tugas lo melindungi gue. Dan gue udah bayar lo diawal. Masih kurang jelas?" "Tapi Ris, gue ---""Nggak ada komentar. Jemput gue atau urusan lo bakal panjang sama gue."Sejurus kemudian dia mematikan sambungan video call kami. Lagi, tanpa mau mende
Bukan tanpa sebab mengapa Risty memintaku mengantarnya menuju kampus. Sikap preman sewaan Ziany mirip paus dan bisa saja dengan mudah menghabisi Risty yang kurus. "Gue nggak ngarep ke lo, Ris. Gue cuma heran aja. Kalau lo nunjuk gue sebagai bodyguard, kenapa bukan lo sendiri yang nyerahin gue ke tempat itu buat digembleng." "Terserah gue lah." ucapnya seenak hati. "Bawain helm gue." titahnya sebelum menutup pintu apartemen. Sambil membawa helmnya yang masih terbungkus kain hitam tipis, kami menuju parkiran dimana motor sportku berada. Begitu aku memasukkan kunci motor sportku ke tempatnya, Risty sudah bersiap dengan helm berwarna putih. Sedikit corak elegan hitam di tepi sebagai pemanis dan sangat cocok dengan kasta seorang Risty. Sebuah helm yang memiliki standar keamanan tinggi buatan luar negeri. AGV Pista RR Futuro Carbon. Helm seharga motor matic yang terparkir di rumah. Hedon! Aku sedikit menghela nafas begitu tahu seberapa kaya seorang Risty. Untuk sebuah helm saja
"Mencintai itu nggak salah, Do. Yang salah itu kalau kamu menjatuhkan pilihan ke wanita yang salah. Sasha, kakak iparmu, bukan wanita tepat yang seharusnya menerima cintamu. Dia udah punya suami, kakak kandungmu, dan mereka udah punya Shakira. Kamu seenggaknya harus mikir, gimana nasib Shakira kalau Mamanya diceraikan Papanya. Dia masih balita. Apa kamu tega bikin dia hidup di keluarga yang broken!?" Tangannya terulur menepuk pundakku, "Kalau menurutku, jangan sampai pengalaman broken home yang kamu dan kakak kandungmu alami, itu kamu wariskan ke Shakira. Dia berhak bahagia di usianya yang masih kecil untuk bermanja-manja pada Mama Papanya." Bayanganku beralih ke kejadian saat Mas Kian membelikannya banyak mainan usai ditinggal bekerja di luar kota. Dia nampak bahagia dan menciumi pipi Mas Kian berkali-kali. Hal yang tidak pernah kualami ketika Papa menduakan Mama. "Juga, apa kamu nggak kasihan Sasha kembali bersedih? Dulu, waktu dia hamil sampai mau lahiran, Masmu nggak mau ngakui
"Gue mau lo nungguin gue disini sampai ---" "Risty!" Kami berdua menoleh ke asal suara yang memanggil namanya. Terlihat Richard berlari kecil dari halaman fakultas yang berumput hijau, lalu menghampiri kami. Rambut hitamnya yang lebat, dibiarkan menutupi jidat. Dengan memakai kaos berkerah warna merah yang kontras dengan kulit putihnya, jeans berwarna pudar yang membungkus kaki jenjangnya. Richard yang menenteng tas ransel kuliah terlihat sangat tampan dan berkelas. Cengkeraman tangan kanan Risty di ujung kerah hoodieku, terlepas. Kemudian kedua tangannya bersedekap di depan dada dengan gaya sombong seiring Richard yang makin mendekat. "Mau pulang? Aku anterin yuk?" tawarnya."Nggak usah, Rich. Gue bisa pulang sama body ... " Risty menggantung kalimatnya sesaat, "Sama Kaika, Livy, dan Greys."Hampir saja dia keceplosan menyebut kata 'bodyguard'. Seperti kesepakatan awal bahwa dia tidak mau mengakui aku sebagai bodyguardnya pada orang-orang selain ketiga sahabat baiknya. "Risty, a
Aku menghajar Richard seperti orang kesetanan! Bahkan di mataku, Richard justru terlihat seperti samsak! Samsak yang biasa kutinju sebebas-bebasnya saat berlatih bela diri di gelanggang. Dengan menaiki tubuhnya, aku bebas meninju wajahnya dengan membabi buta. Darah mulai mengucur di sudut bibirnya namun tiba-tiba dia menggunakan tangannya untuk menarik rambutku sekuat mungkin hingga berhasil meloloskan diri. "Rado! Richard! Stop!" Kaika menahan lenganku yang akan kembali melayangkan tinju ke wajah Richard. Kami sama-sama babak belur namun naluri balas dendamku masih ingin terus menghajarnya. "Stop, Rado! Kamu bisa bikin Richard mati!" Richard terlihat setengah sempoyongan saat berdiri. Tidak berbeda jauh denganku yang babak belur dua kali. Namun aku lebih jantan dibanding dirinya yang baru mendapat tinjuan dariku saja sudah hampir ambruk. "Banci! Payah!" cemoohku. "Tunggu pembalasan gue, an***g!" Richard mengacungkan jari tengah ke arahku lalu pergi terbirit-birit. Aku m
Saat aku begitu khidmat memeluk Mbak Sasha, dia justru menjauhkan tubuhnya dari pelukanku. Kemudian, aku menatapnya dengan sorot memelas penuh arti. Andai aku bisa berkata lantang agar dia memperlakukan aku lebih dari ini agar gersang di dalam hatiku segera terhujani oleh cinta dan kasih sayangnya. Lalu aku yakin, jika luka di fisik ini akan segera sembuh dengan sendirinya. "Ayo kamu mandi dulu, lalu aku obatin." Kepalaku menggeleng lalu meraih pinggangnya. Namun Mbak Sasha justru mencekal kedua tanganku. "Mandi, Rado!" "Mbak, jangan bilang Mas Kian kalau aku habis berantem." "Mas Kian pasti tahu walau kita nggak bilang." "Aku nggak mau dimasukin rumah konseling. Aku nggak nakal, Mbak. Aku nggak sakit. Kenapa aku harus dimasukin rumah konseling? Memangnya kalian mikir aku gila?" tanyaku dengan perasaan begitu mendalam. "Rado, hei! Siapa yang mau masukin kamu ke rumah konseling? Nggak ada," ucapnya menenangkan. Aku meraih kedua tangannya untuk membelai pipiku lembut, "Aku n