Share

Bolehkah Aku Menangis
Bolehkah Aku Menangis
Penulis: As Jaz

Berangkat

Penulis: As Jaz
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-15 19:56:04

"Aku titip Adik-adik, Nek." Jemariku menyalam lalu menyentuh punggung tangan nenek dengan wajah. Saat kutatap, tampak jelas raut nenek tak ikhlas melepaskanku pergi.

Nenek tak berkata apa-apa, aku tahu ia sedang menahan sesak. Sementara Paman dan Tante hanya duduk di sofa melihatku menenteng tas punggung. Kalau saja mereka tak menyuruhku pergi untuk mencari pekerjaan di kota, mungkin, aku masih di sini bersama mereka.

"Jangan nakal!" ucapku mengingatkan sembari mengecup kepala adik laki-laki dan perempuanku bergantian.

Arni, adik perempuanku terus menangis. Ia memeluk lebih erat. "Aku ikut, Kakak!" rengeknya sesenggukan.

 

Tanganku melepasnya dengan pelan. Lalu, mengusap pipi mungilnya yang basah. Dada terasa sangat nyeri beriringan dengan tenggorokangku. Tas punggung terpasang erat, aku berjalan keluar menuju mobil yang telah menunggu.

Sekali aku menoleh sebelum memasuki mobil. Arni dan Fahmi tampak berjalan mendekati. 

"Pak, jalan!" titahku pada Pak Supir agar tak melihat mereka lebih lama. Aku khawatir, semakin lama memandangi mereka, semakin berat aku pergi jauh untuk mereka.

 

 

Tubuhku bersandar menghela napas. Beginikah perasaan Ayah saat hendak berangkat meninggalkan kami? Sakit sekali!

Kupejamkan mata, wajah ayah terbayang jelas ketika ia menaruh tangannya di kepalaku sebelum berangkat. Hampir setahun kepergian ayah, pergi selamanya akibat kapal  menenggelamkannya bersama korban yang lain.

Di tengah perjalanan, aku melihat sesosok pria menggendong anak kecil. Rinduku pada ayah semakin menjadi-jadi.

Air mata menetes, aku buru-buru menyingkirkannya dengan ujung kain khimarku dan kembali menutup mata. Aku merasakan mobil berhenti, ada suara beberapa wanita yang masuk. Posisiku duduk di bagian paling belakang. Pura-pura tak mendengar karena aku malas bertatapan pada orang asing atau menyapa ramah. 

Suasana menjadi sedikit ramai akibat perbincangan beberapa wanita di depanku. Hingga beberapa jam berlalu dan kembali hening. Mereka tampak beristirahat memejamkan mata juga. Aku bebas mengamati luar jendela. 

Ponsel kukeluarkan, ada pesan dari seseorang yang akan menjadi majikanku.

[Sudah berangkat, Dik?] tanyanya.

[Sudah, Kakak. Saya sudah di perjalanan.] Balasan pesanku pun terkirim.

Setelah mengirim pesan, aku melihat potret ketiga adikku di ponsel. Ah, harusnya aku tak melihat mereka. Adik bungsuku tak sempat kukunjungi, dia bersama ibu di desa nenek. Kuharap, mereka baik-baik saja di sana.

 

***

Tiba di depan pagar orang yang aku tuju. Aku keluar mobil dan membayarnya. Suara pagar besi terdengar terbuka. Aku membalikkan tubuh, sementara mobil kembali melanjutkan perjalanannya.

Wanita muda berambut sepinggang melewati pagar dan tersenyum. "Kau ... Hana?" tanyanya memastikan menatapku.

"Iya, Kakak. Saya Hana," jawabku membalas senyumnya.

Dia tampak mengangguk kecil. "Masuklah, Dik!" katanya mempersilakan sembari berjalan dan kembali membalikkan tubuh.

Aku masuk, jemari lentiknya mendorong pagar dan menutup. Napasku mengembus lega. Majikanku tak memperlihatkan wajah sangar seperti yang kubayangkan. Sekilas aku mengamati halaman rumahnya penuh dedaunan kering yang ditumbuhi beberapa bunga indah, tetapi tak terawat baik. Mungkin, pemilik rumah benar-benar sangat sibuk. 

Aku hanya mengekori, dia membawaku ke sebuah kamar di lantai pertama dekat dapur. Mataku melebar sejenak, menengadah melihat rumah berlantai tiga dengan gaya klasik berwarna putih. 

"Ini kamarmu, Dik. Kau istirahat saja dulu. Besok mulai bekerja," ucapnya membuka pintu kamar. "Barang-barang di sini sengaja aku tutupi kain putih agar tak terkena debu," imbuhnya menjelaskan.

Aku baru menyadari barang di sana tertutupi kain putih. "Baiklah, Kakak, terima kasih banyak!" kepalaku menunduk usai tersenyum tipis. Aku merasakan ada bau aneh di sekitar. Namun, aku tak ingin terlihat mengendus. 

Telunjukku terus mengusap hidung. Majikan meninggalkanku di kamar sendirian. Dia menyuruhku beristirahat, tetapi kamar penuh debu hingga aku harus membersihkannya dulu.

Langkahku memburu setelah menaruh tas di lantai. Mencari alat pembersih. Majikan tak tampak lagi. Aku memandangi tangga menuju lantai dua, tetapi sungkan untuk menaikinya. Tak sopan rasanya jika belum ada izin.

Aku kembali ke kamar, mencari sehelai kain yang bisa digunakan mengusap debu. Kuteliti toilet di dalamnya. Lumayan ... ada toilet di dalam kamar hingga aku tak perlu repot keluar kamar di tengah malam nanti.

Ada kain lap bermotif kotak tergeletak di lantai depan toilet, aku meraih dan mencucinya. Kemudian, mengusap seluruh debu di atas meja, bingkai jendela usai membuka lebar jendela agar udara masuk menyegarkan.

Ketika semua telah bersih. Aku mengumpulkan kain-kain kotor dan merendamnya di wadah hitam. Kuluangkan waktu berbaring di ranjang dengan kasur cukup empuk. Apakah ini kamar pembantu sebelumnya? Rasanya terlalu nyaman. Majikanku pasti orang baik hingga memberi fasilitas layak pada pekerjanya.

Kantuk menyerang, udara mulai terasa dingin kala mentari akan terbenam. Aku beranjak menutup jendela. Terdengar ada suara tangisan samar-samar.

Pintu kamarku tak tertutup. Suasan hening, hanya suara tangisan kecil itu yang terdengar. Aku menyambar tas dan menaruhnya di atas ranjang. Kubuka ponsel dan melihat pesan dari majikan.

Aku hendak menanyakan perihal suara itu, tetapi tiba-tiba suara kaki melewati kamar. Mungkin, itu majikanku.

Tak lama, aku baru menyadari, saat mendengar suara kaki dan langsung melihat ke luar kamar tadi, tetapi tak ada bayangan sedikitpun.

 

 

[Kakak, ada dimana?] Aku mengirim pesan setengah ragu, takut menganggu majikan atau tak santun. 

Beberapa menit, aku menunggu balasan. Aku menatap ponsel saat bergetar oleh pemberitahuan pesan.

[Aku di luar rumah, Dik. Jika kau lapar, carilah di lemari es!] 

Lalu ... siapa yang lewat di depan kamar tadi? Aku memutarkan pandangan. Mungkin, itu adalah ibunya, sebelum menyetujui untuk menerima tawarannya melalui akun sosial media, dia sempat memberi tahuku bahwa dia tinggal berdua ibunya. Mengapa aku melupakan ini? Aku mengusap keringat sekilah.

Gerah membuatku tak nyaman. Aku megeluarkan pakaian dari tas dan memilih mandi agar tidurku nyaman.

Ketika aku berada di dalam toilet, terdengar suara barang jatuh. Aku terkejut dan buru-buru keluar memakai pakaianku tergesa-gesa. Entah mengapa, aku spontan melakukannya dan menutup pintu kamar rapat. Jantungku berdebar tak karuan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bolehkah Aku Menangis   Tentang Dia

    "Ada pria bernama Angga menanyakan keberadaanmu, Hana. Dia memintaku ceritakan semua tentangmu. Semua yang terjadi padamu sekarang, tetapi aku memilih memberi tahu kau dulu untuk meminta izin." Ucapan Chyci melalui ponsel terdengar jelas. Aku membayangkan wajah Angga. Beberapa bulan ini, kami tak pernah berbalas pesan. "Beri tahu keadaanku, jangan alamatku. Untuk saat ini, aku tak ingin diganggu siapa-siapa. Dia pria yang baik, tetapi kami saling menyukai. Kau tahu, aku ingin fokus pada adik-adik." "Baik, Han. Aku akan memberi tahunya. Kau istirahat saja!" Chyci menutup telepon. Sementara aku mengenang Angga. Terakhir komunikasi, aku sengaja melepas kartu ponsel agar tak ada yang menghubungi, terutama ibu. Entah, berapa lama hati bisa membohongi diri bahwa tak ada rindu pria yang sering menawarkan bantuan di sekolah. Rasa tertarik itu bisa membuat otakku tak berguna dengan baik. Cinta kadang mengubah segalanya semakin buruk. "Jika kita lul

  • Bolehkah Aku Menangis   Permintaan Fahmi

    Usai makan malam dan membersihkan wajah hingga bagian lain sebelum tidur, aku menyegarkan pikiran sejenak. "Kakak ...." Suara Fahmi membuka mataku yang hampir saja berlabuh ke mimpi. Menyalakan cahaya dari ponsel dan menoleh ke Fahmi. Tampak dia menghadap ke mukaku, sembari sesekali mencium kepala Fahri. "Ada apa? Tidurlah! Besok kau berangkat sekolah lebih pagi." "Aku tidak ingin sekolah dulu, Kak. Biarkan aku yang menjaga Fahri," ungkap Fahmi setengah berbisik. "Umurmu sudah 12 tahun. Kau ingin menunda berapa tahun? Jangan sia-siakan waktumu, Fahmi. Lagi pula, Kakak masih bisa mengasuh Fahri. Fokuslah dengan pelajaranmu!" Aku sedikit tegas walau dengan suara pelan. Jika Fahmi menunda sekolah hingga si Bungsu besar, aku akan kewalahan mengurusnya. Lebih baik, menyelohkan mereka sekaligus hingga lulus. "Sekali saja, Kak, ikuti permintaanku." Dia memohon, meraih lenganku dan menggoyahnya. "Tidak. Kau harus sekolah. Arni bi

  • Bolehkah Aku Menangis   Rumah Kuning

    "Kita langsung masuk saja, Kak, agar bisa beristirahat," ajak Fina memunggungi kami. Aku mengeratkan tangan di tubuh Fahri. Semntara Fahmi dan Arni membawa tas masing-masing. Punggung terasa berat karena mengaitkan tas berisi pakaianku hingga membuat kaki sedikit lambat. Melewati gerbang, tampak barisan rumah kecil dengan warna berbeda. Kupikir, itu membuat lebih mudah mengenali rumah yang akan kami tinggali walau bentuknya sama. "Ini perumahan pamanku, Kak," ungkap Fina menoleh ke arahku, tepat di belakangnya. Dia tampak berhenti menunggu. Menghela napas lebih dalam agar mendapat asupan. Entah mengapa, tubuhku cepat lelah. Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih banyak!" Tak ada kata-kata yang muncul di kepala selain itu. Mungkin, otakku terlalu tertekan. Fina mengernyit, tetapi mena

  • Bolehkah Aku Menangis   Menjemput Si Bungsu

    Di perjalanan menuju rumah Nenek, orangtua ibu, aku membayangkan raut ibu usai mendapatkan pengganti ayah. Tak tahu, apa yang akan terjadi saat meminta Fahri untuk kuasuh sepenuhnya. Tak ingin jika mereka menolak seperti bibi dan Nenek Asha. Lagi pula, ibu memiliki tiga anak tiri yang akan dirawat hingga hendak memberi si bungsu ke Nenek Asha. Chyci menghentikan sepeda motor di depan rumah nenekku. Rumah berbahan kayu, berdiri Fahri bersama saudara sepupu yang masih kecil, berusia lima tahun. Dia berjalan ke arahku dengan langkah kecilnya. Buru-buru kaki menghampiri agar dia tak terjatuh. Fahri, mengeluarkan suara dengan makna menyebut, "Kakak Hana." Berulang kali dan tertawa kecil. Tanganku mengangkat dan mendekapnya. Terasa wangi bedak bayi khusus di pipi. "Adik Sayang," ujarku sembari merapatkan dagunya di bahu. Chyci mendorong punggungku dengan pelan. "Minta izin dengan cara baik-baik, Han!" suruhnya menatapku lebih tajam, tetapi dia memanca

  • Bolehkah Aku Menangis   Desa atau Kota

    "Ada dua tempat tinggal yang didapat temanku, Han." Chycimembaca pesan di ponselnya sembari mendekatiku di pembaringan. Hampir dua hari, sakit di tubuhku baru saja membaik. "Dimana?" tanyaku melirik isi pesan di layar gawainya. "Ini, ada di kota Sinca dan di bagian desanya." Dia menatapku sembari memberi ponselnya agar aku membaca pesan dengan jelas. "Tempatnya cukup jauh dari kota ini, Chy. 2 jam perjalanan menempuhnya?" Pernah kudengar ada orang yang menceritakan kota Sinca itu. Chicy mengangguk. "Jika kau tinggal di perkotaan, kau bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, kata temanku. Tetapi, jika di desa, kau akan kesulitan, Han. Terlebih, di desanya terpencil, sekolah terbatas." Sejenak aku memutar mata. Membayangkan suasana kota dengan pergaulan bebas dan rawangnya kejahatan. Lalu, beralih ke pemandangan desa, tetapi pendidikan adik-adikku akan terbatas. "Jujur, aku lebih suka di pedesaan, Chy. Mungkin, makanan atau sayuran

  • Bolehkah Aku Menangis   Wajah Merah

    "Minum obat ini, Nak." Ibunya Chicy mengulurkan bungkusan abu-abu pipih. Chicy merobek ujung bungkusan itu dan meraih air dari tangan ibunya. "Obat untuk apa?" tanyaku penasaran sembari mengangkat kepala dan bersandar. Namun, tulang belakang terasa retak saat mengenai bahu pembaringan. Mata merapat kuat, jemariku mencengkram kain kasur. "Sakit sekali?" Chicy meletakkan tangan di atas kepalanku. Kulihat, dia menatap nanar. "Hana kesakitan. Berikan obat agar sakitnya mereda," terang ibu Chicy dengan netra berkaca-kaca. Dia membalikkan tubuh hendak keluar dari kamar, tetapi aku yakin dia sedang menangis saat mengusap wajah dengan kedua tangan. Usai meneguk obat, aku mencari Fahmi dan Arni. Hanya ada Chicy di ruangan itu. Samar-samar suara orang di teras sedang membicarakan sesuatu menggunakan bahasa daerah. Beberapa kali mereka menyebut namaku dan Paman. "Chy, Fahmi dan Arni dimana?" Netraku megarah ke luar pintu kamar yan

  • Bolehkah Aku Menangis   Jeritan

    Netraku mengarah ke rumah Nona Muda. Di seberang jalan, hanya beberapa meter jaraknya. Daun-daun kering dari pohon berjatuhan dengan lembut. Loteng putih, aku mengerling lama, di jendela itu seperti ada seseorang yang mengamati. Sontak, menggigit bibir bawah dan menoleh ke pintu, ada pemilik rumah berdiri di sana. Dia memandangiku dan mengangguk seolah-olah bertanya ada apa. Tangan kanannya menangkup ponsel abu-abu. "Supirnya masih lama, Dik?" Dia melabuhkan tubuh di kursi teras. Kami saling menatap. "Aku juga tak tahu, Bi. Padahal ini sudah jam 11," jawabku sembari melirik jam di ponsel. Dia menoleh ke segala arah dan sejenak termenung. Namun, mobil hitam berhenti di depan pagar, membuat kami sontak berdiri. "Itu mobilnya?" Telunjuk bibi pemilik rumah mengarah ke mobil dengan sedikit menekuk siku. Aku mengangguk. "Iya, Bi." Mengeratkan tas di genggaman. "Terima kasih banyak, Bi! Aku sudah merepotkan," ucapku mengulurkan tangan dan ditautnya.

  • Bolehkah Aku Menangis   Tawaran Maya

    Duduk di dekat jendela, melihat kilau senja mengundang senyap dalam dada. Suasana rumah di kampung, saat aku dan keluarga masih bersama. Tak pernah terbayang, hidupku semakin menderita karena kepergian ayah. Mungkin, ibuku telah bahagia bersama suami barunya. Pemilik rumah menutup tirai, membuyarkan lamunanku. Dia tersenyum saat aku sedikit menengadah ke wajahnya. Kupaksa menyungging senyum agar dia tak merasa diacuhkan. Lalu, dia duduk di sebelah sofa. Aku mengarahkan tubuh ke depan, memegang tangan. "Kau masih bingung untuk tawaran sahabat Maria?" tanyanya dengan suara pelan. Kepalaku terangguk. "Iya, Bi. Ingin rasanya membawa adik-adik bersamaku, tetapi takut mereka tak aman. Tinggal di kampung juga mereka tersiksa, tidak ada yang mengurusnya dengan baik." Mata mendadak perih saat mengungkapkan isi hati dan pikiran. "Umur adik-adikmu berapa tahun?" Raut wajah wanita berkepala tiga itu tampak serius. Ia menghujaniku dengan tatapan lebih dalam.

  • Bolehkah Aku Menangis   Membesuk Nona Muda

    Aku dan tetangga Nona Muda tiba di rumah sakit. Tak terasa sudah siang, wanita di sampingku tampak mengeluarkan gawai. "Kita tunggu sahabat Maria di sini," ucapnya menatap layar gawai. Lalu, menoleh ke sekeliling. Aku hanya mengangguk. Menunduk, takut melihat orang yang sakit terluka bisa tiba-tiba muncul. Darah, bisa membuatku lemas jika melihatnya dengan jelas di tubuh manusia. "Maaf, Bi, membuatmu menunggu lama." Suara Maya dari arah belakang, sontak kami menatapnya. "Tidak, Nak. Kami baru saja tiba." Tetangga Nona Muda tersenyum dan menggeleng. Maya pun melangkah menyusuri lorong rumah sakit, kami mengikutinya berjalan berdampingan. Namun, aku memilih mundur dan berada di belakang Maya. Tiba di ruang rawat Nona Muda, aku mengamati sembari mendekati tempat pembaringan. Ia tampak pucat dengan selang oksigen di hidung. Maya berdiri di dekat kepala Nona Muda. Sementara tetangganya duduk memegangi jemari Nona M

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status