Share

Bolehkah Aku Menangis
Bolehkah Aku Menangis
Author: As Jaz

Berangkat

"Aku titip Adik-adik, Nek." Jemariku menyalam lalu menyentuh punggung tangan nenek dengan wajah. Saat kutatap, tampak jelas raut nenek tak ikhlas melepaskanku pergi.

Nenek tak berkata apa-apa, aku tahu ia sedang menahan sesak. Sementara Paman dan Tante hanya duduk di sofa melihatku menenteng tas punggung. Kalau saja mereka tak menyuruhku pergi untuk mencari pekerjaan di kota, mungkin, aku masih di sini bersama mereka.

"Jangan nakal!" ucapku mengingatkan sembari mengecup kepala adik laki-laki dan perempuanku bergantian.

Arni, adik perempuanku terus menangis. Ia memeluk lebih erat. "Aku ikut, Kakak!" rengeknya sesenggukan.

 

Tanganku melepasnya dengan pelan. Lalu, mengusap pipi mungilnya yang basah. Dada terasa sangat nyeri beriringan dengan tenggorokangku. Tas punggung terpasang erat, aku berjalan keluar menuju mobil yang telah menunggu.

Sekali aku menoleh sebelum memasuki mobil. Arni dan Fahmi tampak berjalan mendekati. 

"Pak, jalan!" titahku pada Pak Supir agar tak melihat mereka lebih lama. Aku khawatir, semakin lama memandangi mereka, semakin berat aku pergi jauh untuk mereka.

 

 

Tubuhku bersandar menghela napas. Beginikah perasaan Ayah saat hendak berangkat meninggalkan kami? Sakit sekali!

Kupejamkan mata, wajah ayah terbayang jelas ketika ia menaruh tangannya di kepalaku sebelum berangkat. Hampir setahun kepergian ayah, pergi selamanya akibat kapal  menenggelamkannya bersama korban yang lain.

Di tengah perjalanan, aku melihat sesosok pria menggendong anak kecil. Rinduku pada ayah semakin menjadi-jadi.

Air mata menetes, aku buru-buru menyingkirkannya dengan ujung kain khimarku dan kembali menutup mata. Aku merasakan mobil berhenti, ada suara beberapa wanita yang masuk. Posisiku duduk di bagian paling belakang. Pura-pura tak mendengar karena aku malas bertatapan pada orang asing atau menyapa ramah. 

Suasana menjadi sedikit ramai akibat perbincangan beberapa wanita di depanku. Hingga beberapa jam berlalu dan kembali hening. Mereka tampak beristirahat memejamkan mata juga. Aku bebas mengamati luar jendela. 

Ponsel kukeluarkan, ada pesan dari seseorang yang akan menjadi majikanku.

[Sudah berangkat, Dik?] tanyanya.

[Sudah, Kakak. Saya sudah di perjalanan.] Balasan pesanku pun terkirim.

Setelah mengirim pesan, aku melihat potret ketiga adikku di ponsel. Ah, harusnya aku tak melihat mereka. Adik bungsuku tak sempat kukunjungi, dia bersama ibu di desa nenek. Kuharap, mereka baik-baik saja di sana.

 

***

Tiba di depan pagar orang yang aku tuju. Aku keluar mobil dan membayarnya. Suara pagar besi terdengar terbuka. Aku membalikkan tubuh, sementara mobil kembali melanjutkan perjalanannya.

Wanita muda berambut sepinggang melewati pagar dan tersenyum. "Kau ... Hana?" tanyanya memastikan menatapku.

"Iya, Kakak. Saya Hana," jawabku membalas senyumnya.

Dia tampak mengangguk kecil. "Masuklah, Dik!" katanya mempersilakan sembari berjalan dan kembali membalikkan tubuh.

Aku masuk, jemari lentiknya mendorong pagar dan menutup. Napasku mengembus lega. Majikanku tak memperlihatkan wajah sangar seperti yang kubayangkan. Sekilas aku mengamati halaman rumahnya penuh dedaunan kering yang ditumbuhi beberapa bunga indah, tetapi tak terawat baik. Mungkin, pemilik rumah benar-benar sangat sibuk. 

Aku hanya mengekori, dia membawaku ke sebuah kamar di lantai pertama dekat dapur. Mataku melebar sejenak, menengadah melihat rumah berlantai tiga dengan gaya klasik berwarna putih. 

"Ini kamarmu, Dik. Kau istirahat saja dulu. Besok mulai bekerja," ucapnya membuka pintu kamar. "Barang-barang di sini sengaja aku tutupi kain putih agar tak terkena debu," imbuhnya menjelaskan.

Aku baru menyadari barang di sana tertutupi kain putih. "Baiklah, Kakak, terima kasih banyak!" kepalaku menunduk usai tersenyum tipis. Aku merasakan ada bau aneh di sekitar. Namun, aku tak ingin terlihat mengendus. 

Telunjukku terus mengusap hidung. Majikan meninggalkanku di kamar sendirian. Dia menyuruhku beristirahat, tetapi kamar penuh debu hingga aku harus membersihkannya dulu.

Langkahku memburu setelah menaruh tas di lantai. Mencari alat pembersih. Majikan tak tampak lagi. Aku memandangi tangga menuju lantai dua, tetapi sungkan untuk menaikinya. Tak sopan rasanya jika belum ada izin.

Aku kembali ke kamar, mencari sehelai kain yang bisa digunakan mengusap debu. Kuteliti toilet di dalamnya. Lumayan ... ada toilet di dalam kamar hingga aku tak perlu repot keluar kamar di tengah malam nanti.

Ada kain lap bermotif kotak tergeletak di lantai depan toilet, aku meraih dan mencucinya. Kemudian, mengusap seluruh debu di atas meja, bingkai jendela usai membuka lebar jendela agar udara masuk menyegarkan.

Ketika semua telah bersih. Aku mengumpulkan kain-kain kotor dan merendamnya di wadah hitam. Kuluangkan waktu berbaring di ranjang dengan kasur cukup empuk. Apakah ini kamar pembantu sebelumnya? Rasanya terlalu nyaman. Majikanku pasti orang baik hingga memberi fasilitas layak pada pekerjanya.

Kantuk menyerang, udara mulai terasa dingin kala mentari akan terbenam. Aku beranjak menutup jendela. Terdengar ada suara tangisan samar-samar.

Pintu kamarku tak tertutup. Suasan hening, hanya suara tangisan kecil itu yang terdengar. Aku menyambar tas dan menaruhnya di atas ranjang. Kubuka ponsel dan melihat pesan dari majikan.

Aku hendak menanyakan perihal suara itu, tetapi tiba-tiba suara kaki melewati kamar. Mungkin, itu majikanku.

Tak lama, aku baru menyadari, saat mendengar suara kaki dan langsung melihat ke luar kamar tadi, tetapi tak ada bayangan sedikitpun.

 

 

[Kakak, ada dimana?] Aku mengirim pesan setengah ragu, takut menganggu majikan atau tak santun. 

Beberapa menit, aku menunggu balasan. Aku menatap ponsel saat bergetar oleh pemberitahuan pesan.

[Aku di luar rumah, Dik. Jika kau lapar, carilah di lemari es!] 

Lalu ... siapa yang lewat di depan kamar tadi? Aku memutarkan pandangan. Mungkin, itu adalah ibunya, sebelum menyetujui untuk menerima tawarannya melalui akun sosial media, dia sempat memberi tahuku bahwa dia tinggal berdua ibunya. Mengapa aku melupakan ini? Aku mengusap keringat sekilah.

Gerah membuatku tak nyaman. Aku megeluarkan pakaian dari tas dan memilih mandi agar tidurku nyaman.

Ketika aku berada di dalam toilet, terdengar suara barang jatuh. Aku terkejut dan buru-buru keluar memakai pakaianku tergesa-gesa. Entah mengapa, aku spontan melakukannya dan menutup pintu kamar rapat. Jantungku berdebar tak karuan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status