Share

Gelap

Perutku mulai berbunyi, tetapi aku tetap berdiam di dalam kamar. Rasanya aneh berada di rumah orang yang baru saja kutemui. Namun, demi adik-adik, secepatnya harus bisa menyesuaikan diri di tempat baru ini.

 

Daya ponselku tersisa beberapa persen, aku mengerling colokan di atas meja dekat tempat pembaringan. 

 

Ketika aku bersandar nyaman sembari memandangi pintu di sisi kiri kamar, lampu berkedip-kedip. Jantungku berdebar kencang. Aku tak sanggup bila berada di dalam kamar sendirian saat mati lampu. 

 

Segera kuraih ponsel dan mengirim pesan. 

 

[Kakak ... saya takut gelap.]

 

Terpaksa aku menganggu majikan dengan mengirim pesan beberapa kali. [Kak, saya takut. Kakak, dimana?] 

 

Lampu semakin berkedip dan daya ponselku tak kunjung penuh. Bahkan, hanya bertambah dua persen. Aku berbaring, menutupi tubuh dengan selimut yang kubawa sendiri.

 

Mengapa ia belum membalasnya? Aku sudah sangat ketakutan. Mataku menatap layar gawai di dalam selimut.

 

Saat kubuka sedikit sedikit ujung selimut yang menutupi wajah, tak ada apa-apa lagi yang tampak. Semua gelap. Suara gesekan di ruang tengah terdengar tak henti-hentinya memecah keheningan. Siapa yang melakukan itu? Apakah ibu Nona Muda?

 

Napasku tak beraturan. Aku bisa mati karena ketakutan begini. Tak dapat tenang, aku menghubungi nomor Nona Muda. Berharap ia mengangkatnya.

 

Telphone-ku dimatikan begitu saja. Apakah aku sudah sangat menganggu dan membuatnya marah? 

 

Gawaiku bergetar, ada pesan yang masuk.

 

[Aku sudah di jalan. Kau tunggu saja, Dik.]

 

Helaan napasku memantul dalam selimut. Kupejamkan mata dan menaruh tangan di telinga agar suara gesekan benda tak terdengar jelas.

 

Keringat di kening mulai terasa, sementara kakiku dingin. Aku mulai tak sanggup menghadapi ketakutan ini. Air mata menetes, membasahi bantal yang kualasi sarung.

 

"Hana!" Suara Nona Muda dan ketukan pintu terdengar. Aku melepas tangan dari telinga dan beranjak membuka pintu menggunakan cahaya dari gawai.

 

Jemariku sedikit kaku, mungkin akibat ketakutan. Aku menunduk sembari menarik pintu, tampak kaki Nona Muda dengan celana jeans menutupi betis.

 

"Ada apa?" tanya Nona Muda pelan. Aku mengangkat wajah. Lampu di ruang tengah menyala, begitu juga di dalam kamar.

 

"Mati lampu ..." jawabku lirih mengusap hidung sekilah.

 

"Kau harus terbiasa, Hana! Di sini memang sering seperti itu," papar Nona Muda membuatku menggeleng pelan. "Kalau kau tak bisa ... kau bisa pulang ke desamu. Aku akan mencari pekerja lain," imbuhnya setengah mengancam.

 

Aku menggeleng, memijit tangan bergantian menundukkan kepala. "Maafkan saya, Kak. Jangan usir saya ..." titahku memohon. Pekerjaan ini sangat kubutuhkan. Tak mungkin aku pulang hanya sehari, sementara biaya perjalanan ke sini cukup mahal bagiku. Tante dan paman bisa marah besar.

 

Nona Muda masuk, melewatiku begitu saja. "Kemarilah!" 

 

Aku membalikkan badan mendengar seruannya. Ia duduk di tepi pembaringan menepuk kasur pelan, tanda menyuruhku duduk di sana.

 

Aku melangkah mendekati dan duduk di sebelahnya. Kepalaku masih menunduk. 

 

"Besok, kau bersihkan seluruh rumah, kecuali kamar yang terkunci. Sebagian barang sudah dikeluarkan beberapa bulan lalu. Jadi, kau tak akan kesusahan menyusun barang-barang di sini. Kau hanya perlu membuka semua kain penutup dan mencucinya. Lalu, membersihkan debu, juga saran laba-laba," paparnya dengan nada ramah.

 

Aku menoleh dan memandangi wajahnya sekilas, ia tersenyum tipis. "Tiap menjelang malam, kau langsung masuk saja di kamar. Kau tak perlu memasak. Aku makan atau membeli makanan dari luar," katanya lagi membuatku lega.

 

Teringat pada gesekan barang di ruang tengah. Aku bertanya, "Kakak, siapa yang menggeser-geser barang di ruang tengah?"

 

Raut Nona Muda berkulit putih seketika berubah. Ia sejenak terdiam. 

 

"Apapun yang kau dengar, jangan hiraukan. Tiap malam tiba, kau masuk kamar, kunci dan tidur. Aku akan memberimu makan di pagi dan sore hari. Mengerti?" Tatapannya kian menajam. Aku tak sanggup berlama-lama mengamatinya. Kembali kutundukkan kepala. 

 

Ia memintaku mencari makanan di lemari es, tetapi kini ia berkata hanya akan membeli makanan saja. Suara perutku tak terhenti. Aku memeganginya.

 

"Kau lapar?" Nona Muda mendekat.

 

"Iya, Kak ..." jawabku malu.

 

Ia berdiri dan melangkah cepat keluar kamar. Aku hanya membiarkannya pergi dengan pintu tetap terbuka. 

 

Tak cukup lima menit, ia kembali membawa piring dan beberapa buah beserta sebotol air kecil kemasan. 

 

"Habiskan ini sebelum tidur. Aku juga ingin beristirahat." Nona Muda membalikkan tubuh, melangkah melewati bingkai pintu.

 

Aku menutup pintu dan mengunci. Segera kuraih buah pisang. Aku memegangi perut yang sangat lapar. 

 

Setelah semuanya habis, aku merebah dan menutupi tubuh kembali. Mengerling sekilas botol air yang tersisa untuk pagi esok. 

 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status