Share

Gelap

Author: As Jaz
last update Last Updated: 2021-07-15 19:57:21

Perutku mulai berbunyi, tetapi aku tetap berdiam di dalam kamar. Rasanya aneh berada di rumah orang yang baru saja kutemui. Namun, demi adik-adik, secepatnya harus bisa menyesuaikan diri di tempat baru ini.

 

Daya ponselku tersisa beberapa persen, aku mengerling colokan di atas meja dekat tempat pembaringan. 

 

Ketika aku bersandar nyaman sembari memandangi pintu di sisi kiri kamar, lampu berkedip-kedip. Jantungku berdebar kencang. Aku tak sanggup bila berada di dalam kamar sendirian saat mati lampu. 

 

Segera kuraih ponsel dan mengirim pesan. 

 

[Kakak ... saya takut gelap.]

 

Terpaksa aku menganggu majikan dengan mengirim pesan beberapa kali. [Kak, saya takut. Kakak, dimana?] 

 

Lampu semakin berkedip dan daya ponselku tak kunjung penuh. Bahkan, hanya bertambah dua persen. Aku berbaring, menutupi tubuh dengan selimut yang kubawa sendiri.

 

Mengapa ia belum membalasnya? Aku sudah sangat ketakutan. Mataku menatap layar gawai di dalam selimut.

 

Saat kubuka sedikit sedikit ujung selimut yang menutupi wajah, tak ada apa-apa lagi yang tampak. Semua gelap. Suara gesekan di ruang tengah terdengar tak henti-hentinya memecah keheningan. Siapa yang melakukan itu? Apakah ibu Nona Muda?

 

Napasku tak beraturan. Aku bisa mati karena ketakutan begini. Tak dapat tenang, aku menghubungi nomor Nona Muda. Berharap ia mengangkatnya.

 

Telphone-ku dimatikan begitu saja. Apakah aku sudah sangat menganggu dan membuatnya marah? 

 

Gawaiku bergetar, ada pesan yang masuk.

 

[Aku sudah di jalan. Kau tunggu saja, Dik.]

 

Helaan napasku memantul dalam selimut. Kupejamkan mata dan menaruh tangan di telinga agar suara gesekan benda tak terdengar jelas.

 

Keringat di kening mulai terasa, sementara kakiku dingin. Aku mulai tak sanggup menghadapi ketakutan ini. Air mata menetes, membasahi bantal yang kualasi sarung.

 

"Hana!" Suara Nona Muda dan ketukan pintu terdengar. Aku melepas tangan dari telinga dan beranjak membuka pintu menggunakan cahaya dari gawai.

 

Jemariku sedikit kaku, mungkin akibat ketakutan. Aku menunduk sembari menarik pintu, tampak kaki Nona Muda dengan celana jeans menutupi betis.

 

"Ada apa?" tanya Nona Muda pelan. Aku mengangkat wajah. Lampu di ruang tengah menyala, begitu juga di dalam kamar.

 

"Mati lampu ..." jawabku lirih mengusap hidung sekilah.

 

"Kau harus terbiasa, Hana! Di sini memang sering seperti itu," papar Nona Muda membuatku menggeleng pelan. "Kalau kau tak bisa ... kau bisa pulang ke desamu. Aku akan mencari pekerja lain," imbuhnya setengah mengancam.

 

Aku menggeleng, memijit tangan bergantian menundukkan kepala. "Maafkan saya, Kak. Jangan usir saya ..." titahku memohon. Pekerjaan ini sangat kubutuhkan. Tak mungkin aku pulang hanya sehari, sementara biaya perjalanan ke sini cukup mahal bagiku. Tante dan paman bisa marah besar.

 

Nona Muda masuk, melewatiku begitu saja. "Kemarilah!" 

 

Aku membalikkan badan mendengar seruannya. Ia duduk di tepi pembaringan menepuk kasur pelan, tanda menyuruhku duduk di sana.

 

Aku melangkah mendekati dan duduk di sebelahnya. Kepalaku masih menunduk. 

 

"Besok, kau bersihkan seluruh rumah, kecuali kamar yang terkunci. Sebagian barang sudah dikeluarkan beberapa bulan lalu. Jadi, kau tak akan kesusahan menyusun barang-barang di sini. Kau hanya perlu membuka semua kain penutup dan mencucinya. Lalu, membersihkan debu, juga saran laba-laba," paparnya dengan nada ramah.

 

Aku menoleh dan memandangi wajahnya sekilas, ia tersenyum tipis. "Tiap menjelang malam, kau langsung masuk saja di kamar. Kau tak perlu memasak. Aku makan atau membeli makanan dari luar," katanya lagi membuatku lega.

 

Teringat pada gesekan barang di ruang tengah. Aku bertanya, "Kakak, siapa yang menggeser-geser barang di ruang tengah?"

 

Raut Nona Muda berkulit putih seketika berubah. Ia sejenak terdiam. 

 

"Apapun yang kau dengar, jangan hiraukan. Tiap malam tiba, kau masuk kamar, kunci dan tidur. Aku akan memberimu makan di pagi dan sore hari. Mengerti?" Tatapannya kian menajam. Aku tak sanggup berlama-lama mengamatinya. Kembali kutundukkan kepala. 

 

Ia memintaku mencari makanan di lemari es, tetapi kini ia berkata hanya akan membeli makanan saja. Suara perutku tak terhenti. Aku memeganginya.

 

"Kau lapar?" Nona Muda mendekat.

 

"Iya, Kak ..." jawabku malu.

 

Ia berdiri dan melangkah cepat keluar kamar. Aku hanya membiarkannya pergi dengan pintu tetap terbuka. 

 

Tak cukup lima menit, ia kembali membawa piring dan beberapa buah beserta sebotol air kecil kemasan. 

 

"Habiskan ini sebelum tidur. Aku juga ingin beristirahat." Nona Muda membalikkan tubuh, melangkah melewati bingkai pintu.

 

Aku menutup pintu dan mengunci. Segera kuraih buah pisang. Aku memegangi perut yang sangat lapar. 

 

Setelah semuanya habis, aku merebah dan menutupi tubuh kembali. Mengerling sekilas botol air yang tersisa untuk pagi esok. 

 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bolehkah Aku Menangis   Tentang Dia

    "Ada pria bernama Angga menanyakan keberadaanmu, Hana. Dia memintaku ceritakan semua tentangmu. Semua yang terjadi padamu sekarang, tetapi aku memilih memberi tahu kau dulu untuk meminta izin." Ucapan Chyci melalui ponsel terdengar jelas. Aku membayangkan wajah Angga. Beberapa bulan ini, kami tak pernah berbalas pesan. "Beri tahu keadaanku, jangan alamatku. Untuk saat ini, aku tak ingin diganggu siapa-siapa. Dia pria yang baik, tetapi kami saling menyukai. Kau tahu, aku ingin fokus pada adik-adik." "Baik, Han. Aku akan memberi tahunya. Kau istirahat saja!" Chyci menutup telepon. Sementara aku mengenang Angga. Terakhir komunikasi, aku sengaja melepas kartu ponsel agar tak ada yang menghubungi, terutama ibu. Entah, berapa lama hati bisa membohongi diri bahwa tak ada rindu pria yang sering menawarkan bantuan di sekolah. Rasa tertarik itu bisa membuat otakku tak berguna dengan baik. Cinta kadang mengubah segalanya semakin buruk. "Jika kita lul

  • Bolehkah Aku Menangis   Permintaan Fahmi

    Usai makan malam dan membersihkan wajah hingga bagian lain sebelum tidur, aku menyegarkan pikiran sejenak. "Kakak ...." Suara Fahmi membuka mataku yang hampir saja berlabuh ke mimpi. Menyalakan cahaya dari ponsel dan menoleh ke Fahmi. Tampak dia menghadap ke mukaku, sembari sesekali mencium kepala Fahri. "Ada apa? Tidurlah! Besok kau berangkat sekolah lebih pagi." "Aku tidak ingin sekolah dulu, Kak. Biarkan aku yang menjaga Fahri," ungkap Fahmi setengah berbisik. "Umurmu sudah 12 tahun. Kau ingin menunda berapa tahun? Jangan sia-siakan waktumu, Fahmi. Lagi pula, Kakak masih bisa mengasuh Fahri. Fokuslah dengan pelajaranmu!" Aku sedikit tegas walau dengan suara pelan. Jika Fahmi menunda sekolah hingga si Bungsu besar, aku akan kewalahan mengurusnya. Lebih baik, menyelohkan mereka sekaligus hingga lulus. "Sekali saja, Kak, ikuti permintaanku." Dia memohon, meraih lenganku dan menggoyahnya. "Tidak. Kau harus sekolah. Arni bi

  • Bolehkah Aku Menangis   Rumah Kuning

    "Kita langsung masuk saja, Kak, agar bisa beristirahat," ajak Fina memunggungi kami. Aku mengeratkan tangan di tubuh Fahri. Semntara Fahmi dan Arni membawa tas masing-masing. Punggung terasa berat karena mengaitkan tas berisi pakaianku hingga membuat kaki sedikit lambat. Melewati gerbang, tampak barisan rumah kecil dengan warna berbeda. Kupikir, itu membuat lebih mudah mengenali rumah yang akan kami tinggali walau bentuknya sama. "Ini perumahan pamanku, Kak," ungkap Fina menoleh ke arahku, tepat di belakangnya. Dia tampak berhenti menunggu. Menghela napas lebih dalam agar mendapat asupan. Entah mengapa, tubuhku cepat lelah. Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih banyak!" Tak ada kata-kata yang muncul di kepala selain itu. Mungkin, otakku terlalu tertekan. Fina mengernyit, tetapi mena

  • Bolehkah Aku Menangis   Menjemput Si Bungsu

    Di perjalanan menuju rumah Nenek, orangtua ibu, aku membayangkan raut ibu usai mendapatkan pengganti ayah. Tak tahu, apa yang akan terjadi saat meminta Fahri untuk kuasuh sepenuhnya. Tak ingin jika mereka menolak seperti bibi dan Nenek Asha. Lagi pula, ibu memiliki tiga anak tiri yang akan dirawat hingga hendak memberi si bungsu ke Nenek Asha. Chyci menghentikan sepeda motor di depan rumah nenekku. Rumah berbahan kayu, berdiri Fahri bersama saudara sepupu yang masih kecil, berusia lima tahun. Dia berjalan ke arahku dengan langkah kecilnya. Buru-buru kaki menghampiri agar dia tak terjatuh. Fahri, mengeluarkan suara dengan makna menyebut, "Kakak Hana." Berulang kali dan tertawa kecil. Tanganku mengangkat dan mendekapnya. Terasa wangi bedak bayi khusus di pipi. "Adik Sayang," ujarku sembari merapatkan dagunya di bahu. Chyci mendorong punggungku dengan pelan. "Minta izin dengan cara baik-baik, Han!" suruhnya menatapku lebih tajam, tetapi dia memanca

  • Bolehkah Aku Menangis   Desa atau Kota

    "Ada dua tempat tinggal yang didapat temanku, Han." Chycimembaca pesan di ponselnya sembari mendekatiku di pembaringan. Hampir dua hari, sakit di tubuhku baru saja membaik. "Dimana?" tanyaku melirik isi pesan di layar gawainya. "Ini, ada di kota Sinca dan di bagian desanya." Dia menatapku sembari memberi ponselnya agar aku membaca pesan dengan jelas. "Tempatnya cukup jauh dari kota ini, Chy. 2 jam perjalanan menempuhnya?" Pernah kudengar ada orang yang menceritakan kota Sinca itu. Chicy mengangguk. "Jika kau tinggal di perkotaan, kau bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, kata temanku. Tetapi, jika di desa, kau akan kesulitan, Han. Terlebih, di desanya terpencil, sekolah terbatas." Sejenak aku memutar mata. Membayangkan suasana kota dengan pergaulan bebas dan rawangnya kejahatan. Lalu, beralih ke pemandangan desa, tetapi pendidikan adik-adikku akan terbatas. "Jujur, aku lebih suka di pedesaan, Chy. Mungkin, makanan atau sayuran

  • Bolehkah Aku Menangis   Wajah Merah

    "Minum obat ini, Nak." Ibunya Chicy mengulurkan bungkusan abu-abu pipih. Chicy merobek ujung bungkusan itu dan meraih air dari tangan ibunya. "Obat untuk apa?" tanyaku penasaran sembari mengangkat kepala dan bersandar. Namun, tulang belakang terasa retak saat mengenai bahu pembaringan. Mata merapat kuat, jemariku mencengkram kain kasur. "Sakit sekali?" Chicy meletakkan tangan di atas kepalanku. Kulihat, dia menatap nanar. "Hana kesakitan. Berikan obat agar sakitnya mereda," terang ibu Chicy dengan netra berkaca-kaca. Dia membalikkan tubuh hendak keluar dari kamar, tetapi aku yakin dia sedang menangis saat mengusap wajah dengan kedua tangan. Usai meneguk obat, aku mencari Fahmi dan Arni. Hanya ada Chicy di ruangan itu. Samar-samar suara orang di teras sedang membicarakan sesuatu menggunakan bahasa daerah. Beberapa kali mereka menyebut namaku dan Paman. "Chy, Fahmi dan Arni dimana?" Netraku megarah ke luar pintu kamar yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status