Share

Kepulan Asap

Author: As Jaz
last update Last Updated: 2021-07-15 19:59:17

"Dik ..." panggil Nona Muda di depan pintu. Terdengar jelas itu suaranya. Segera aku beranjak dari pembaringan, sementara ketukan di jendela tak terdengar lagi.

 

"Kakak, tadi ada yang mengetuk jendela," cetusku sembari memandangi Nona Muda yang menenteng kantung plastik hitam.

 

Nona Muda masuk ke kamar, melewatiku dengan tergesa-gesa. Ia menaruh kantung plastik tadi di meja dekat ranjang. Ia membuka jendela dan melihat sekeliling.

 

Aku duduk di tepi pembaringan menunggu Nona Muda berbicara. Tanganku tak sedingin tadi, tetapi bagaimana jika Nona Muda keluar lagi meninggalkanku? Ah, rasanya aku ingin menarik Nona Muda dan melarangnya pergi. Namun, diriku siapa?

 

"Tak ada siapa-siapa di luar." Nona Muda menutup kembali jendela. Lalu, membalikkan tubuh menatapku.

 

"Tapi, Kak. Tadi jendela itu terus berbunyi," sahutku ingin menangis.

 

"Mungkin, kau lapar hingga berhalusinasi. Maaf, aku telat memberimu makan, Dik!" Nona Muda menaruh kantung plastik di pangkuanku. "Makanlah! Lalu, kau beristirahat. Aku juga ingin tidur," imbuhnya menuju pintu.

 

"Kakak!" Aku berusaha mencegahnya, tetapi saat Nona Muda mengernyit mengerlingku, segera aku menggeleng. "Tidak, Kak. Terima kasih banyak!" 

 

Kubiarkan ia keluar dan menarik pintu. Aku membuka mengeluarkan bungkusan makan dan segera mengisi perut. Apakah aku benar-benar hanya berhalusinasi karena lapar? Separah inikah rasa lapar?

 

Usai menghabiskan makanan, aku ke toilet menggosok gigi dan sedikit menyegarkan bagian tubuh karena keringat akibat ketakutan tadi. Aku berusaha mengatur napas senyaman mungkin. Kemudian rebah  memegangi gawai. Sejak datang di rumah Nona Muda, belum pernah aku menghubungi Cici teman kecil di kampung, bertanya keadaan adik-adikku.

 

Kantuk menyerang, aku tak bisa menghubungi Cici karena takut bangun kesiangan. Tepat pukul sepuluh, tak terasa malam begitu cepat, begitu lama aku terperangkap oleh ketakutan halusinasi tadi. Jika memang itu halusinasi, aku bisa sedikit lega.

 

Alarm gawai berbunyi, pukul empat pagi. Lampu di kamar selalu tak kumatikan. Kutatap lamat-lamat, sekelilingku penuh kabut. Aku terbatuk kemudian. Rasanya sesak, semakin tebal. 

 

"Kakak ... Kak!" Aku mengetuk pintu keras. Tak dapat aku melihat dimana kunci kamar kutaruh.

 

Aku menangis tak kuat menahan nyeri di dada. Menutup mulut dan hidung menggunakan sarung.

 

"Tolong ..." teriakku. Tak mungkin juga Nona Muda dapat mendengar suaraku jika tertutup.

 

Aku tergesa-gesa meraih gawai di pembaringan. Menghubungi Nona Muda tanpa henti. 

 

Aku bisa mati! Berulang kali aku menjerit dalam hati, berharap Nona Muda mengangkat telphone.

 

"Angkat, Kak. Angkat!" gumamku menangis terisak. Aku menutup mata tak tahan perih asap itu. Semakin menebal, diambang keputusasaan. 

 

Wajah adik-adikku terus terbayang, nenek dan juga mama. Aku tak ingin mati di sini. Aku ingin pulang. Tubuhku rebah di lantai, berusaha terus menutup hidung dan mulut.  

 

Kucoba membuka mata, berusaha melihat layar gawai lagi. Nona Muda tak mengangkat telphoneku.

 

[Saya bisa mati di sini, Kak. Kamarku penuh kepulan asap, semakin tebal. Saya kesulitan bernapas dan melihat] 

 

Aku hanya bisa mengirim pesan. Jika Nona Muda tak kunjung datang, setidaknya jasadku ia bawa ke kampung halaman. Pikiranku semakin buruk karena kesulitan napas. Untuk bertahan hidup, tak banyak lagi bisa kuharapkan.

 

Entah beberapa menit, samar-samar terdengar suara menyeru. "Pergi dari sini jika kau masih ingin hidup."

 

Siapa suara wanita itu, bukan Nona Muda, aku yakin. Aku terus menutup mata, tak peduli pada teriakan tadi. Jika hanya halusinasi, untuk apa aku menghiraukannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bolehkah Aku Menangis   Tentang Dia

    "Ada pria bernama Angga menanyakan keberadaanmu, Hana. Dia memintaku ceritakan semua tentangmu. Semua yang terjadi padamu sekarang, tetapi aku memilih memberi tahu kau dulu untuk meminta izin." Ucapan Chyci melalui ponsel terdengar jelas. Aku membayangkan wajah Angga. Beberapa bulan ini, kami tak pernah berbalas pesan. "Beri tahu keadaanku, jangan alamatku. Untuk saat ini, aku tak ingin diganggu siapa-siapa. Dia pria yang baik, tetapi kami saling menyukai. Kau tahu, aku ingin fokus pada adik-adik." "Baik, Han. Aku akan memberi tahunya. Kau istirahat saja!" Chyci menutup telepon. Sementara aku mengenang Angga. Terakhir komunikasi, aku sengaja melepas kartu ponsel agar tak ada yang menghubungi, terutama ibu. Entah, berapa lama hati bisa membohongi diri bahwa tak ada rindu pria yang sering menawarkan bantuan di sekolah. Rasa tertarik itu bisa membuat otakku tak berguna dengan baik. Cinta kadang mengubah segalanya semakin buruk. "Jika kita lul

  • Bolehkah Aku Menangis   Permintaan Fahmi

    Usai makan malam dan membersihkan wajah hingga bagian lain sebelum tidur, aku menyegarkan pikiran sejenak. "Kakak ...." Suara Fahmi membuka mataku yang hampir saja berlabuh ke mimpi. Menyalakan cahaya dari ponsel dan menoleh ke Fahmi. Tampak dia menghadap ke mukaku, sembari sesekali mencium kepala Fahri. "Ada apa? Tidurlah! Besok kau berangkat sekolah lebih pagi." "Aku tidak ingin sekolah dulu, Kak. Biarkan aku yang menjaga Fahri," ungkap Fahmi setengah berbisik. "Umurmu sudah 12 tahun. Kau ingin menunda berapa tahun? Jangan sia-siakan waktumu, Fahmi. Lagi pula, Kakak masih bisa mengasuh Fahri. Fokuslah dengan pelajaranmu!" Aku sedikit tegas walau dengan suara pelan. Jika Fahmi menunda sekolah hingga si Bungsu besar, aku akan kewalahan mengurusnya. Lebih baik, menyelohkan mereka sekaligus hingga lulus. "Sekali saja, Kak, ikuti permintaanku." Dia memohon, meraih lenganku dan menggoyahnya. "Tidak. Kau harus sekolah. Arni bi

  • Bolehkah Aku Menangis   Rumah Kuning

    "Kita langsung masuk saja, Kak, agar bisa beristirahat," ajak Fina memunggungi kami. Aku mengeratkan tangan di tubuh Fahri. Semntara Fahmi dan Arni membawa tas masing-masing. Punggung terasa berat karena mengaitkan tas berisi pakaianku hingga membuat kaki sedikit lambat. Melewati gerbang, tampak barisan rumah kecil dengan warna berbeda. Kupikir, itu membuat lebih mudah mengenali rumah yang akan kami tinggali walau bentuknya sama. "Ini perumahan pamanku, Kak," ungkap Fina menoleh ke arahku, tepat di belakangnya. Dia tampak berhenti menunggu. Menghela napas lebih dalam agar mendapat asupan. Entah mengapa, tubuhku cepat lelah. Aku tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih banyak!" Tak ada kata-kata yang muncul di kepala selain itu. Mungkin, otakku terlalu tertekan. Fina mengernyit, tetapi mena

  • Bolehkah Aku Menangis   Menjemput Si Bungsu

    Di perjalanan menuju rumah Nenek, orangtua ibu, aku membayangkan raut ibu usai mendapatkan pengganti ayah. Tak tahu, apa yang akan terjadi saat meminta Fahri untuk kuasuh sepenuhnya. Tak ingin jika mereka menolak seperti bibi dan Nenek Asha. Lagi pula, ibu memiliki tiga anak tiri yang akan dirawat hingga hendak memberi si bungsu ke Nenek Asha. Chyci menghentikan sepeda motor di depan rumah nenekku. Rumah berbahan kayu, berdiri Fahri bersama saudara sepupu yang masih kecil, berusia lima tahun. Dia berjalan ke arahku dengan langkah kecilnya. Buru-buru kaki menghampiri agar dia tak terjatuh. Fahri, mengeluarkan suara dengan makna menyebut, "Kakak Hana." Berulang kali dan tertawa kecil. Tanganku mengangkat dan mendekapnya. Terasa wangi bedak bayi khusus di pipi. "Adik Sayang," ujarku sembari merapatkan dagunya di bahu. Chyci mendorong punggungku dengan pelan. "Minta izin dengan cara baik-baik, Han!" suruhnya menatapku lebih tajam, tetapi dia memanca

  • Bolehkah Aku Menangis   Desa atau Kota

    "Ada dua tempat tinggal yang didapat temanku, Han." Chycimembaca pesan di ponselnya sembari mendekatiku di pembaringan. Hampir dua hari, sakit di tubuhku baru saja membaik. "Dimana?" tanyaku melirik isi pesan di layar gawainya. "Ini, ada di kota Sinca dan di bagian desanya." Dia menatapku sembari memberi ponselnya agar aku membaca pesan dengan jelas. "Tempatnya cukup jauh dari kota ini, Chy. 2 jam perjalanan menempuhnya?" Pernah kudengar ada orang yang menceritakan kota Sinca itu. Chicy mengangguk. "Jika kau tinggal di perkotaan, kau bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, kata temanku. Tetapi, jika di desa, kau akan kesulitan, Han. Terlebih, di desanya terpencil, sekolah terbatas." Sejenak aku memutar mata. Membayangkan suasana kota dengan pergaulan bebas dan rawangnya kejahatan. Lalu, beralih ke pemandangan desa, tetapi pendidikan adik-adikku akan terbatas. "Jujur, aku lebih suka di pedesaan, Chy. Mungkin, makanan atau sayuran

  • Bolehkah Aku Menangis   Wajah Merah

    "Minum obat ini, Nak." Ibunya Chicy mengulurkan bungkusan abu-abu pipih. Chicy merobek ujung bungkusan itu dan meraih air dari tangan ibunya. "Obat untuk apa?" tanyaku penasaran sembari mengangkat kepala dan bersandar. Namun, tulang belakang terasa retak saat mengenai bahu pembaringan. Mata merapat kuat, jemariku mencengkram kain kasur. "Sakit sekali?" Chicy meletakkan tangan di atas kepalanku. Kulihat, dia menatap nanar. "Hana kesakitan. Berikan obat agar sakitnya mereda," terang ibu Chicy dengan netra berkaca-kaca. Dia membalikkan tubuh hendak keluar dari kamar, tetapi aku yakin dia sedang menangis saat mengusap wajah dengan kedua tangan. Usai meneguk obat, aku mencari Fahmi dan Arni. Hanya ada Chicy di ruangan itu. Samar-samar suara orang di teras sedang membicarakan sesuatu menggunakan bahasa daerah. Beberapa kali mereka menyebut namaku dan Paman. "Chy, Fahmi dan Arni dimana?" Netraku megarah ke luar pintu kamar yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status