Bab 23Jarak dan KetidakpastianPrewedding yang seharusnya menjadi momen membahagiakan justru berubah menjadi medan ketegangan antara Evan dan Chintya. Sejak awal, Evan merasa terjebak dalam semua rencana besar yang didikte oleh ibunya dan Chintya. Ia bukan tidak peduli, tetapi hatinya berada di tempat lain. Lebih tepatnya, pada seseorang—Anya. “Evan, kamu ini kenapa sih? Seharusnya kita menikmatinya, bukan malah marah-marah seperti ini,” ujar Chintya dengan nada frustrasi. Evan hanya menatap Chintya dengan dingin, tidak ingin terjebak dalam pembicaraan lebih jauh. Ia tahu, jika ia bicara lebih banyak, amarahnya akan meluap. Tanpa sepatah kata pun, ia memanggil Roy dan memintanya mengakhiri sesi foto. “Roy, bawa mobil. Kita pergi sekarang.” “Tapi, Evan, masih ada beberapa foto lagi—” Roy mencoba menengahi, tetapi tatapan tajam Evan sudah cukup menjelaskan bahwa dia tidak ingin dibantah. Roy segera menuruti perintah Evan dan melangkah ke mobil. Namun, ia tahu bahwa keputusan
Bab 24Baru saja Evan sampai rumah, ia langsung mendapat teguran dari mamanya. Saraswati. "Evan!" Evan yang dipanggil menoleh. "Iya Ma.""Chintya bilang kalau kamu berulah lagi Evan. Kamu meninggalkan Chintya saat sesi prewedding. Kenapa Evan? Apa karena wanita itu?""Ma, berhenti menyangkut pautkan ini dengan Anya. Karena tidak ada hubungannya dengan Anya, Ma!"Saraswati menatap Evan dengan marahnya, lagi-lagi dia tidak sejalan dengan Evan. Padahal Sarawati berpikir kalau Evan menikah dengan Chintya. Maka akan berdampak baik pada perusahaan Evan, tapi nyatanya Evan tidak peduli dengan semua itu. Yang ia inginkan kini adalah kebahagiaannya dengan Anya. Namun, bagaimana akan bahagia. Kalau Anya sendiri tidak mau kembali ke perusahaan Evan. "Evan tidak suka Ma, kalau Mama lagi-lagi menyalahkan Anya.""Sudahlah Evan, capek kalau bicara denganmu. Yang Mama inginkan sekarang. Belajarlah untuk menerima Chintya, karena dia kelak yang akan menjadi ibu dari anak-anakmu."Bukannya senang den
Bab 25."Kenapa gaya bicara mu. kurang sopan dengannya Anya? Bukankah seharusnya kamu menghormati nya sebagai seorang, bos?" Nathan sedikit penasaran dengan sikap Anya pada Evan. Apalagi saat melihat tatapan mata Anya, yang menyorot kan kebencian saat melihat kedatangan Evan. Jelas seperti Anya menaruh rasa dendam pada Evan. "Kamu tidak perlu tahu, Nathan. Tapi aku tidak suka kamu ikut campur dengan urusan pribadi mu. Sebab kamu tidak tahu siapa itu Evan dan siapa itu mamanya.""Kalau begitu ceritakan, Anya. Aku dengan senang hati akan mendengar mu."Anya menatap dingin ke Nathan, belum cerita saja hatinya sudah sakit, apalagi mengingat kejadian lima tahun lalu. Sungguh Anya tidak sanggup. Sehingga Anya mengalihkan pembicaraan dengan berkata, "Sudah malam, Nathan. Apa tidak sebaiknya kamu pulang?" yang parahnya lagi, sampai Anya pura-pura menguap. "Aku begitu ngantuk sekali, aku tidur Evan. Apa tidak sebaiknya kamu pulang?""Apa kamu mengusirku, Anya?" "Mmmmm, terserah kamu berpiki
Bab 26Anya melangkah keluar dari ruang kerja Evan dengan dada yang sesak. Kata-kata yang ingin ia lontarkan sebenarnya jauh lebih banyak dari apa yang ia tahan tadi. Evan tidak pantas mendapatkan penjelasan lebih dari apa yang sudah ia ucapkan dalam hati. Bukan hanya karena luka lama yang terus menganga, tetapi juga karena Anya tahu, berbicara lebih banyak hanya akan memperlihatkan bahwa ia masih peduli—sesuatu yang tak ingin Evan tahu."Kenapa aku harus kembali ke sini? Aku bodoh sekali!" Anya merutuki dirinya sambil berjalan menuju meja kerjanya. Roy sempat melirik Anya, lalu tersenyum kecil seolah ingin menunjukkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi Anya tidak butuh itu. Ia tidak butuh hiburan dari siapapun, terutama dari orang-orang yang dekat dengan Evan.Sementara itu, di ruangan lain, Evan merapikan berkas terakhir sebelum meninggalkan kantornya. Ia melirik jam di tangannya. "Kurang dari 20 menit. Kalau aku terlambat, Mama pasti akan membuat drama besar-besaran," gumamny
Bab 27"Selamat, Chintya. Kamu sekarang sudah resmi menjadi menantu Mama. Mama sangat senang," Saraswati memeluk Chintya erat, wajahnya dipenuhi senyum puas."Terima kasih, Tante. Maksud saya, Mama," jawab Chintya dengan senyum yang lebar. "Saya juga senang. Akhirnya, Evan telah sah menjadi suami saya." Namun, di antara percakapan mereka, hanya Evan yang tampak kaku. Wajahnya datar, tanpa emosi, dan matanya bahkan tidak menatap ke arah Chintya. Saat acara berakhir, tanpa sepatah kata, Evan langsung berjalan ke kamar, meninggalkan istrinya yang masih berbicara dengan Saraswati.Melihat hal itu, Saraswati mengarahkan pandangannya ke Chintya dan berkata, "Sana, ikuti suamimu. Dia sepertinya sudah tidak sabar menunggu malam ini."Chintya tersipu, lalu tersenyum. "Iya, Ma. Terima kasih," katanya penuh semangat sebelum mengikuti Evan ke kamar mereka.Saat Chintya masuk ke kamar, ia menemukan Evan berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan tatapan kosong. "Evan," panggil Chintya sa
Bab 28 Bulan Madu yang DipaksakanMatahari bersinar dengan indah, cahayanya menyelusup ke sela-sela tirai rumah keluarga Saraswati. Udara pagi yang segar seharusnya mampu menciptakan suasana hati yang ceria, tapi tidak demikian dengan Evan. Ekspresi wajahnya datar, menandakan hatinya yang berat. Pagi itu, Saraswati mengeluarkan sesuatu dari tas kulitnya yang elegan—sebuah tiket pesawat yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari. “Ini, Evan,” Saraswati menyodorkan tiket itu dengan senyum penuh arti. “Mama harap kamu bersenang-senang, Nak.” Evan mengambil tiket itu dengan dahi mengernyit. Matanya membaca cepat, lalu membulat penuh keheranan. “Apa ini, Ma?” “Itu tiket ke Paris,” Saraswati menjelaskan dengan lembut. “Mama sengaja belikan untuk kamu dan Chintya. Sebagai hadiah pernikahan kalian. Mama ingin kalian menikmati bulan madu yang indah, Nak.” Evan langsung meletakkan tiket itu di meja, seolah benda itu adalah barang tak berguna. “Ma, Evan nggak punya waktu untuk ini. Evan
Bab 29. "Apa yang kurang dari diriku? Kenapa Evan menolak untuk menyentuhku? Bukankah aku ini sekarang istrinya?"Chintya kesal, karena Evan begitu menjaga diri agar tidak sampai jatuh ke pelukan Chintya. "Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memancing nya? Sekuat apa dia menahan gairah nya, dan sial nya. Seharusnya dia yang melakukan ini padaku," lanjut Chintya yang bergumam sendiri di dalam hatinya, sesekali ia melirik ke arah Evan yang tidak justru sibuk dengan ponselnya, tanpa menghiraukan Chintya sebagai seorang istri. "Evan," panggil Chintya. "Mmmm." Evan memang menjawab, tapi tidak menoleh ke Chintya, sebisa mungkin Evan mengalihkan pandangannya dari Chintya. Chintya jenuh, ia memutuskan untuk lebih berusaha lagi agar mendapat perhatian Evan. Dengan cara ia berpura-pura terjatuh ke atas lantai. "Aduh," erangnya, sambil ia memijat pelipis kakinya. "Apa dia juga tidak peduli?" tanya Chintya di dalam hatinya, ia sesekali melirik ke arah Evan. Ingin melihat reaksi Evan. "
Bab 30: Rahasia di Balik Keputusan“Belum juga masuk sudah di suruh pulang, mau apa sih mereka? Minggu lalu aku dipecat tanpa alasan jelas, sekarang dipanggil masuk kerja lagi, lalu hari ini malah disuruh pulang. Mereka pikir aku mainan atau apa?” gerutunya. Nathan yang berdiri di sampingnya mencoba menenangkan. “Sabar, Anya. Mungkin ada alasan jelas kenapa mereka menyuruhmu pulang. Kita nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi.”Anya menoleh tajam ke arah Nathan, ekspresi wajahnya menunjukkan kejengkelan. “Alasan apa lagi, Nathan? Kalau mereka nggak suka sama aku, bilang saja langsung. Kenapa harus putar-putar begini? Rasanya aku seperti dipermainkan.”Nathan tertawa kecil mencoba mencairkan suasana. “Ya sudah, mendingan kita pulang aja. Atau, kalau kamu mau, kita bisa jalan-jalan dulu. Sekalian cari udara segar biar mood kamu membaik.”“Bukannya kamu harus kerja juga?” tanya Anya sambil menaikkan satu alis.“Tenang aja. Bosku nggak terlalu ketat. Kalau aku bilang ada urusan penting,
Bab 118Udara pagi yang redup membangunkan Anya dari mimpi buruk panjang. Sejak pemakaman ibunya beberapa minggu yang lalu, hari-harinya terasa berat dan hampa. Ia duduk di teras rumah kayu peninggalan keluarga, menggenggam secangkir kopi hangat tanpa rasa. Pandangannya menerawang ke halaman depan yang terlantar, seolah mencari jejak kehadiran ibunya dalam setiap helai daun yang gugur.Nathan menutup pintu pelan saat memasuki teras. Wajahnya menampakkan keprihatinan lembut, menawarkan senyuman tipis meski hatinya ikut terluka melihat sahabatnya bersedih. Dengan sabar, ia menyuguhkan secangkir teh melati wangi kepada Anya. “Masih hangat, No,” katanya lembut menggunakan nama panggilan sejak kecil. Tangannya menyentuh bahu Anya secara perlahan, memberikan kehangatan yang sulit diungkap kata-kata.Anya meneguk teh itu perlahan, menahan perasaan yang mulai teraduk dalam dadanya. Napasnya berat menandakan kesedihan yang masih membara. “Terima kasih, Than,” bisiknya pelan. Matanya sembab men
Bab 117Langit mendung menggantung berat di atas pemakaman sederhana itu. Aroma tanah basah bercampur dengan asap sisa kebakaran rumah Anya masih tertinggal di udara, menambah sesak di dada wanita itu.Anya berdiri diam di depan nisan yang baru saja dipasang. Tangannya gemetar saat meletakkan bunga di atas pusara sang ibu. Di sampingnya, Kenzo memeluk kakinya, diam dan bingung, seolah ikut merasakan kesedihan yang tak sepenuhnya ia mengerti.Air mata Anya jatuh satu per satu tanpa suara. Ia menggigit bibir, berusaha menahan isak, namun luka di hatinya terlalu dalam untuk disembunyikan."Mama... maaf kalau aku belum bisa bahagiakan Mama. Aku janji... aku akan jaga Kenzo. Aku akan kuat," bisiknya lirih di depan nisan.Di kejauhan, dari dalam sebuah mobil hitam yang terparkir agak tersembunyi di balik deretan pohon cemara, seorang pria menatap adegan itu dengan mata berkaca-kaca.Evan.Ia duduk di kursi belakang mobil, mengenakan pakaian serba hitam. Di tangannya, sebuah map kerja masih
Bab 116Hati Anya masih bergemuruh tak karuan saat ia dan Kenzo akhirnya tiba di lokasi bekas rumah mereka. Yang tersisa kini hanya puing-puing hangus, dinding-dinding roboh, dan aroma pahit bekas kebakaran yang masih tercium jelas. Kenzo menggenggam tangan Anya erat-erat, matanya besar menatap sisa kehancuran itu.“Mama... rumah kita kok hancur begini?” bisik Kenzo lirih.Anya berlutut, memeluk anaknya erat-erat. "Ini hanya rumah, sayang... Kita masih punya satu sama lain."Namun dalam hatinya, Anya ingin menangis. Rumah itu menyimpan terlalu banyak kenangan — tentang dirinya, tentang perjuangannya, tentang hidup yang ia bangun sendiri. Dan kini semuanya lenyap.Anya berdiri perlahan. Ia menggendong Kenzo, membawanya ke sisi lain halaman rumah yang agak lebih aman. Di sana, di bawah pohon yang hangus sebagian, Anya meletakkan bunga dan air mineral untuk mendiang mamanya. Ia menunduk, berdoa dalam hati, sementara Kenzo berdiri di sampingnya, ikut memejamkan mata kecilnya.Tak la
Bab 115Pagi itu, suasana di rumah Nathan masih terasa panas setelah keributan dengan mama Nathan. Anya memilih diam, menahan semua rasa sakit dan kehinaan yang terus dilemparkan padanya. Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan wanita yang dari awal tak pernah menerimanya dan Kenzo.Nathan sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, wajahnya masih terlihat lelah dan kusut setelah pertengkaran tadi. Namun begitu menatap Anya yang duduk memeluk Kenzo di sofa ruang tamu, Nathan menghampirinya.“Sayang…” Nathan memanggil lembut.Anya menoleh, memaksakan senyum tipis. "Iya?"Nathan jongkok di hadapan Anya, meraih tangannya. “Aku harus pergi kerja sekarang. Aku tinggal kamu dengan Kenzo di sini, apa tidak apa, sayang? Dan tolong... jangan tanggapi apapun yang Mama katakan. Aku nggak mau kamu makin terluka.”Anya mengangguk pelan. "Aku ngerti, Nathan..."Namun sebelum Nathan benar-benar berdiri, Anya mengeratkan genggaman tangannya. "Na
Bab 114 Malam mulai larut. Di kamar yang cukup luas namun terasa asing, Anya duduk di sisi ranjang dengan tubuh kaku. Kenzo sudah tertidur di kamar sebelah setelah Nathan menidurkannya dengan penuh kasih sayang. Nathan kembali ke kamar dan menutup pintu perlahan. Lampu kamar redup. Anya tahu, malam ini mereka resmi menjadi suami istri — setidaknya di mata hukum dan masyarakat. Tapi hatinya belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu. Nathan duduk di sebelah Anya, lalu memegang tangan istrinya yang dingin. “Kamu kelihatan tegang, Anya.” Anya menoleh pelan dan tersenyum tipis. “Maaf, aku cuma... belum terbiasa.” Nathan mengangguk mengerti. “Aku ngerti kok. Kamu nggak perlu memaksakan diri.” Anya menghela napas. “Aku tahu kamu suamiku sekarang, dan aku juga tahu aku harus jadi istri yang baik. Tapi... untuk yang satu itu, aku belum siap, Nathan. Bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi... hatiku belum sepenuhnya pulih.” Nathan memandang wajah Anya dengan tenang. Ia mengusap
Bab 113Evan pulang sebagai sosok yang kalah perang, sampai ia lesu dan tidak begitu bersemangat. sampai Chintya yang sedang bermain dengan ponselnya berdiri dan menghampiri Evan yang sedang membuka jas kerjanya. "Kamu kenapa, Evan? Apa terjadi sesuatu lagi pada mama?"Mata Evan langsung tidak suka dengan ucapan Chintya, yang seperti ingin terjadi sesuatu pada Saraswati, mamanya Evan. "Lah, kamu kok natap aku kayak gitu, Evan? Aku kan hanya sedang bertanya. Apa terjadi sesuatu lagi dengan mamamu, Evan?" Chintya mengulangi ucapannya, membuat Evan menepis badan Chintya dari hadapannya. Evan seperti malas melakukan perdebatan dengan Chintya, karena itu hanya akan menambah masalahnya saja. Alhasil Evan memutuskan untuk mengacuhkan Chintya. Sekalipun Evan tidak suka dengan ucapan Chintya. "Evan, Evan. Kamu kenapa sih?"Chintya mengejar Evan sampai ke dalam kamar. "Van, kamu kenapa?"Dengan bola mata melotot Evan berkata, "Bukan urusanmu!"Chintya jadi kesal, sebab Evan tidak menghargai
Bab 112Pagi itu, matahari seakan enggan bersinar. Langit mendung, seolah ikut merasakan beban di hati Evan. Dengan langkah berat, ia turun dari mobil yang diparkir di depan sebuah gedung megah — tempat pernikahan Anya dan Nathan digelar. Suasana di luar tampak meriah, karangan bunga berjejer, para tamu berdatangan dengan wajah bahagia. Tapi semua itu seperti kabut abu-abu bagi Evan.Roy yang berdiri di sampingnya melirik cemas. “Lo yakin mau masuk, Van?”Evan mengangguk pelan. “Gue harus lihat sendiri… harus pastiin kalau ini bukan kemauan dia.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung. Iringan musik pelaminan terdengar sendu di telinga Evan, seperti menertawakan luka di hatinya. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan di sanalah Anya.Berdiri di pelaminan, mengenakan kebaya putih yang indah… tapi wajahnya pucat, tatapannya kosong. Senyum yang seharusnya merekah di hari bahagia itu justru dipaksakan. Di sampingnya, Nathan tampak begitu perca
Bab 111 Angin malam yang berembus dari celah jendela rumah sakit membawa aroma antiseptik yang menyengat. Lampu-lampu redup di koridor membuat suasana semakin mencekam. Evan berdiri di depan ruangan ICU, menatap kosong ke arah ibunya yang terbaring lemah di balik kaca bening. Tubuh Saraswati dikelilingi alat medis, suara detak monitor jantung terdengar stabil, tapi wajah wanita itu tampak pucat, jauh dari sosok kuat dan angkuh yang selama ini ia kenal. Evan menghela napas berat. Setiap embusan napasnya terasa seperti beban, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Pikirannya kusut. Anya. Mamanya. Chintya. Reza. Nama-nama itu berputar dalam kepalanya bagai badai, memporak-porandakan ketenangannya yang tinggal serpihan. Roy duduk di kursi tunggu, memperhatikan Evan yang seperti kehilangan arah. "Van," panggilnya pelan, "kamu harus kuat, bro. Kita belum selesai di sini." Evan menoleh, mata merahnya menyiratkan kemarahan yang ditahan. "Gue gak habis pikir, Roy. Kenapa hidup gue kay
Bab 110"Saat-saat seperti ini kamu masih memikirkan wanita itu, Evan?'Saraswati yang mengalami stroke ringan menatap kasar ke Evan, dengan ucapannya yang juga terbata-bata dan tidak sejelas kemarin. "Ma, apa salah Anya? Kenapa kamu begitu membencinya, Ma."Saraswati ingin mengatakan kalau Anya tidak sepadan dengan keluarga mereka, tapi entah kenapa rasa sakit yang ia rasa semakin parah. Sampai ia merintih kesakitan, dan melihat hal itu Evan segera berlari untuk memanggil dokter. "Ma, Mama kenapa, Ma?" tanya Evan yang merasa kuatir, dilanjutkan dengan Evan yang berteriak memanggil sang dokter. "Dokter, tolong mama ku, Dok!"Seorang dokter berlari, disusul dengan kedatangan Roy yang tadi permisi keluar. "Ada apa ini, Evan? Apa yang terjadi pada Tante?""Aku dan mama tadi sempat selisih paham, Roy. Dan sekarang Mama kejang-kejang. Aku takut mama kenapa-kenapa, Roy.""Kenapa kamu lakukan itu, Evan? Kamu tahu kalau mamamu dalam keadaan kritis. Kamu malah membebani nya dengan pikiran E