“Kak, makan dulu! Kak Reynan juga harus kuat, harus sehat, kak Vivian pasti sedih kalau lihat kakak seperti ini.”Aku tersenyum getir. ‘Iyakah? Aku bahkan tak yakin kalau Vivian pernah memikirkan aku. Aku bahkan tak percaya dengan semua yang Vivian lakukan, gadis yang dulunya manja dan selalu seenaknya sendiri itu, memang benar-benar tak bisa berubah. Untuk apa ia kembali kepada Haikal? Karena dia lebih kaya dari aku kah?’“Kak Reynan makan dulu ya,” ucap Alisa yang kini memberikan piring yang telah berisi nasi dan lauknya. Aku hanya menatap, tanpa rasa ingin menjajalnya meskipun sedikit. Penolakan Vivian tempo lalu, benar-benar mengiris hatiku, apalagi saat aku bilang kalau ibunya meninggal. Wanita cantik berambut panjang itu sama sekali tak merespon. Lalu, kedatangannya saat ibu Diandra hendak dimakamkan? Dia menyadari kesalahannya? Terlambat, sangat terlambat. Andai ia tidak berbuat konyol dengan datang di rumah Haikal pasti mereka tak akan kehilangan ibunya. “Kak Reynan, dengar A
Aku menunggu mereka di parkiran, bahkan sengaja mobil kuletakkan di sebelah mobil Haikal, bagaimana reaksi Vivian setelah ia ketahuan mencuri jam kerja? Benar saja, tak berapa lama mereka datang, dan Vivian tampak terkejut ketika menatapku, kucari jalan agar Vivian ikut kembali, tapi sayang, semua tak seindah bayanganku. Vivian memilih pergi, melepaskan tanganku, meninggalkan aku yang tengah berdiri mematung menatapnya. Tak berhenti di situ, aku melayangkan sebuah panggilan kepada adiknya, memastikan ucapan Vivian kalau ia akan mengunjungi undangan di sekolah Alisa. “Iya, Kak Rey. Ada apa?”“Sa, apa hari ini ada pertemuan wali murid di sekolah?”Sesaat tak terdengar jawaban dari sebrang sana. “pertemuan apa, kak? Wali murid apa? Bahkan sekarang Alisa sudah di rumah, ini lagi bikin brownies sama bibi.”“Terima kasih, Sa.”Tak menunggu lama, aku bergegas memutar balikkan mobil, melajukan mobil ini begitu kencang, hingga sesaat kemudian terdengar teriakan. Aku menekan pedal rem begi
“Kak, Kak Reynan, Kak. Kak Reynan.”“Iya Reynan kenapa?”“Kak Reynan lagi kritis,”“Kritis, Sa?” “Iya. Kak Reynan lagi kritis. Tak sadarkan diri.”“Kamu tahu dari mana?”“Ceritanya panjang, kakak ke rumah sakit saja.”Aku mengambil tas yang kuletakkan di atas meja, meraih ponsel untuk memesan jasa ojek online, hingga aku hanya menunggu sebentar hingga kendaraan roda dua yang kutunggu tiba. Aku terus berjalan menapaki lantai rumah sakit, batinku terus merasa bersalah dengan semua yang terjadi. Apakah semua karena aku? Terus menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi, berhubungan dengan darah dan lebam di dahi ia saat itukah? Atau karena penyakit lambungnya kumat?‘Viv, kenapa kamu sekhawatir ini?’Aku sedikit berlari menuju kamar Reynan, hingga tak tersadar kaki ini terpeleset dan aku terjatuh, ada sedikit memar di lututku, karena berbenturan dengan lantai keramik rumah sakit ini. Sedikit perih, tapi tak mengurungkan niatku untuk secepatnya masuk ke dalam kamar, aku sudah tak sabar me
“Hapus air matamu. Jangan tampakkan kesedihan di depannya.” Aku mengangguk, tersenyum tipis dan berlalu.Kubuka pintu kamar, dan mendapati Reynan ada di dalamnya, ia tengah duduk di tengah ranjang, dengan tangan kiri di infus, di depannya, tampak meja kecil dan sepiring makanan rumah sakit Lelaki itu mengernyitkan dahinya, lali tersenyum tipis menatap kearahku. Duniaku mendadak meremang, aku yang selalu berusaha sok kuat di depan lelaki itu, nyatanya menanggung perih menghadapi kondisi saat ini. Aku akui aku masih cinta dengannya, masih cinta bahkan sangat cinta. Aku hanya tak ingin cinta ini dijadikan alasan untuk aku terus merepotkan dia. Aku ingin bisa hidup sepadan dengan dia dan baru menjalani hubungan yang serius dengannya. Tapi melihatnya saat ini? Air mata rasanya hendak luruh, jika aku tak cepat-cepat untuk menyekanya. “Kamu ke sini, Viv?”“Ya iyalah, di kantor gak ada bos arogan terasa kurang.”Lelaki itu tersenyum miring. “Kamu rindu keberadaanku.”“Tidak!”‘Aku rindu
Tiba-tiba terdengar ponselku yang berdering di dalam tas kecil yang kuletakkan di atas meja, aku mengambil benda tersebut dan mendapati nama Haikal ada di dalamnya. Sebuah pesan masuk. Haikal : “Viv, bisa menemaniku sekarang? Lesta mogok makan, katanya mau makan kalau ada kakak bidadari.”Pupil mataku membulat, aku harus jawab apa? “Viv, ada apa?” tanya Rey yang sepetinya menyadari kebimbanganku.“Gak ada. Sorry!”Aku mengambil tisu yang terletak tak jauh dari tas, dan mengelap bibir lelaki yang terlihat memniru itu, hingga sesaat kemudian petugas kebersihan datang, membersihkan muntahan di kamar Rey. “Maaf ya, merepotkan, Bu!” ucapkan pada salah seorang cleaning service yang masuk. “Tidak apa-apa “Hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja petugas tersebut menyelesaikan tugasnya, hingga kembali menyisakan aku dan Reynan dalam diam. “Viv!”“HM.”“Mikirin apa, Viv ? Dari tadi terlihat bengong.”“Iyakah? Maaf. Aku hanya kepikiran kantor. Aku lupa mengabari kepala cabang Bogor. Se
“Iya.”Kembali kulihat wajah Reynan yang tengah tertidur, mungkin sebentar lagi juga Indra akan datang. Dan aku bisa menjenguk Lesta meskipun sebentar, setidaknya sampai ia mau kembali makan.“Aku ke sana sekarang.”“Tidak usah, Viv. Nanti Lesta juga mau makan kembali.”“Tidak. Lesta gak akan mau makan. Lesta mogok makan sampai kakak bidadari datang. Kenapa kakak bidadari tidak mau kesini, Kak? Apa Lesta punya salah?.”Lagi-lagi aku tak kuasa mendengar pernyataan itu. “Aku ke sana sekarang.”“Tunggu. Aku jemput kamu!”“Baiklah.”Aku menyebutkan nama rumah sakit ini sebelum aku mematikan panggilan. Kembali kutatap wajah Rey yang masih terlelap, kututup tubuhnya mengenakan selimut hingga ke dadanya. Lagi-lagi aku kembali diperlihatkan dengan kenangan masa lalu. Reynan datang ke kamar menjengukku dengan wajah panik, ia terus mengompres kepalaku dan terus mengecek suhuku tiap 10 menit. Ibu yang saat itu datang dengan membawa nampan dengan 2 teh hangat dan cemilan tengah tersenyum menata
“Kakak nikahnya kapan? Lesta mau jadi bridesmaid nya? Satu Minggu lagi? Atau dua Minggu lagi?” tanyanya dengan mata yang berbinar. Deg. Kenapa aku tak pernah berpikir sejauh ini?“Eh, eh, kenapa wajahnya terlihat tegang semua ni? Lagi ngebahas apa?” tanya Haikal yang kini masuk ke kamar Lesta. “Gak apa-apa, Kak. Cuman tanya kapan kalian nikah.”Terlihat jakun Haikal yang bergerak ke atas dan ke bawah, menelan salivanya kasar. “Kok ngomongin itu, Dek?”“Iya, Kak. Kan Lesta pengen punya Kakak perempuan. Bosen sama kak Haikal terus yang gak pernah mandi.”“Kenapa lagi-lagi nurunin pasar kakak terus?” tanya lelaki itu sambil mencubit gemas hidung adiknya. “Kan kakak dah laku, ngapain mesti dipasarin lagi.” Lesta terkekeh, sedangkan aku dan Haikal hanya saling menatap, bingung dengan kedepannya akan sepeti apa. “Tadi kakak sudah hubungi dokter. Katanya kamu sudah boleh pulang, asal -,” “Asal apa, Kak?”“Kamu jangan sampai telat minum obat.”“Yeay, asyik! Lesta bisa kumpul dengan Kak
“Rey, dari mu? Eh, maaf, Pak Rey ini dari bapak?” tanyaku tergugu.Jika di rumah mungkin aku bisa memposisikan diri sebagai teman, sahabat. Tapi di lingkungan kantor. Aku dan Reynan adalah bos dan staf. Lelaki itu mengangguk. “Mungkin sekarang sudah tidak enak karena dingin.”Lelaki itu hendak mengambil wadah, hingga secepat kilat aku menahannya. “Aku lapar. Bolehkah aku memakannya?” “Kamu sudah makan, tidak perlu lakukan itu.”Aku kembali mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, ya, Pak Reynan menghubungiku via pesan dan memintaku untuk makan bersama, aku tak mengindahkan dan lebih memilih pergi sebelum Reynan keluar dari ruangan. Mengingat pesan dari Lesta yang saat ini menjadi salah satu prioritasku. “Aku belum makan,” ucapku sambil menarik wadah itu. Membukanya dan menatap makanan yang disajikan. Sebuah nasi beserta orek tempe, begitupun dengan ayam goreng dan beberapa macam sayur menjadi fokusku. Makanan yang begitu Kusuka, apalagi buatan dari Reynan. Lelaki yang berhasil