Mata Erik merah menyala, bahkan Reagan bisa melihat kobaran api di sana saat mendekatinya dan sang satpam yang terlalu naif ini. “T-Tuan Erik?” Napas menderu cepat, dan kedua tangan terkepal erat siap meninju wajah sang satpam. “Apa yang kamu lakukan?! Lepaskan tanganmu darinya!” perintah Erik tegas. Tangan sang satpam bergetar ketika dia lepas pegangannya di lingkar kaus Reagan. “M-Maaf, Tuan. Apa yang membuat Anda marah begini? Aku hanya melakukan prosedur keamanan yang sudah ditetapkan perusahaan,” kata satpam berusaha membela diri dan memberikan penjelasan.Tetapi Erik tidak menggubris. Dia memandangnya sinis sekilas kemudian beralih pada Reagan sambil membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat. “Maafkan kelalaian staf kami, Tuan Maverick!” ucap Erik. Sedetik kemudian, wajah tercengang terlukis di sebelah pria itu. Bola mata satpam hampir mencuat keluar, jika tidak segera menutup mulutnya yang terbuka lebar. “T-Tuan Maverick?!” Erik menegakkan kembali tubuhnya, “Dasar bo
Entah bagaimana kini Reagan bisa terkungkung di dalam kurungan kedua tangan wanita itu. Kilatan penuh gairah di matanya menunjukkan ada hasrat besar tersembunyi, dan hanya bisa dilampiaskan oleh Reagan. “Aku tertarik denganmu, kamu menarik,” kata wanita itu, berbisik lirih. Saat deru napasnya menerpa wajah dan leher Reagan, sensasi aneh muncul hingga membuat pundak Reagan bergidik. “Tunggu, Nona,” sahut Reagan berusaha santai, kemudian berdehem pelan. “Aku tidak punya waktu untuk bicara saat ini. Bisakah kita bicara lain kali?”“Lain kali?” Wanita itu mendengus. “Susah payah aku mengurungmu sekarang, kamu minta lain kali?” Sungguh, Reagan tidak ingin memicu keributan, tetapi wanita ini cukup menyebalkan sekaligus menggoda. Bibirnya terus mengoceh, bibir ranum itu terlihat menggoda untuk dipagut. Matanya, mengerling indah, seperti sinar bintang di malam hari, gemilang. Postur tubuh wanita ini cukup tinggi. Di saat mereka berhadapan seperti ini, tingginya mencapai hidung Reagan. “
Reagan memasuki sebuah kafe hits tak jauh dari kampus. Setelah menyelesaikan beberapa kelas hari ini, ia memiliki janji temu dengan sosok yang selalu memandangnya sebelah mata. Sejak kemarin, suasana hati Reagan sangat baik. Dia berharap pertemuan kali ini juga akan semakin mencerahkan moodnya. Apalagi dia akan berhubungan dengan sang mertua. Dia menemukan Tuan Delanney duduk di salah satu kursi yang ada di sudut ruangan sambil menyesap kopi hitam panasnya. Kerutan di dahi menunjukkan kalau pria itu terlihat sedikit tak nyaman dengan tempat pilihan Reagan. “Terima kasih sudah menungguku, Paman,” ucap Reagan. Dia duduk di salah satu kursi di depan Tuan Delanney. Pria itu tidak menjawab, hanya mengangguk pelan tak minat. “Bagaimana harimu hari ini, Paman?” “Tidak perlu berbasa-basi. Aku menuruti permintaanmu datang ke sini saja sudah untung. Kau tahu pria dewasa sepertiku tidak menyukai tempat-tempat bergaya anak muda seperti ini. Aku merasa salah tempat.” Tuan Delanney, dengan ker
Sejak kembali ke penthouse, hubungan Reagan dan Claire masih renggang. Claire bahkan terkesan menghindarinya dan memilih mengasingkan diri di kamar. Hal itu membuat Reagan sakit kepala. Semenjak hamil, dia melihat Claire tampak jauh lebih menggoda. Aura ibu hamil mulai terpancar meski usia kandungan Claire masih muda. Saat ini, Reagan duduk gelisah di sofa ruang tengah. Sejak semalam ia tidak bisa duduk tenang. Sesuatu miliknya di bawah sana terasa sesak. Celana jin yang ia kenakan justru semakin membuat miliknya itu memberontak. Claire sudah tinggal bersamanya lagi, tetapi Reagan tidak lantas diberikan kesempatan untuk melepas gairah yang tertahan. Di saat Reagan kelimpungan mengendalikan diri, sebuah pesan masuk di ponselnya.. Pesan dari Erik.[Apa kamu masih bersembunyi di balik selimut? Mau sampai kapan kamu menahannya? Hahaha.]Reagan mendengus. Semakin buruk saja suasana hatinya saat ini. Ia mengetikkan balasan pesan dengan makian. Gerakan jarinya di atas layar begitu cepa
“Claire, kamu sudah sadar?” Senyum Reagan merekah ketika dia masuk ke dalam kamar dan mendapati istrinya sudah terduduk di atas ranjang. Nyonya Delanney yang berada di sampingnya segera menyingkir, memberikan ruang bagi Reagan mengisi kekosongan di sisi putrinya. Reagan yang saat itu masih berdiri di ambang pintu, melangkah cepat menghampiri ranjang Claire. Kemudian duduk tepat di bibir tempat tidur. “Bagaimana keadaanmu? Apa ada yang sakit? Katakan padaku apa yang kamu rasakan saat ini,” tanya Reagan tak henti berceloteh. Raut wajahnya sekarang seperti lapisan topeng yang bisa berubah setiap detiknya. Ekspresi lega, khawatir, sekaligus bahagia tergambar bergantian di sana. Ini pertama kalinya Claire melihat Reagan yang begitu ekspresif. “Kenapa kamu masih di sini?” Claire bertanya balik. Senyum di wajah Reagan langsung lenyap. Suasana di ruangan itu mendadak canggung. “Karena aku mengkhawatirkan kamu dan anak kita,” jawab Reagan terus terang. Tidak ada yang dia tutupi saat ini.
Setelah dokter pribadi keluarga Delanney pergi, ketegangan menyelimuti wajah Tuan dan Nyonya Delanney seketika. Mereka masih berusaha mencerna apa yang dikatakan dokter tadi. Hamil. Adalah satu kata yang berhasil membuat dua orang itu mematung di tempatnya. Tuan Delanney, yang semula terlihat kokoh seperti batu karang di lautan, pijakannya mulai goyah. Tubuhnya hampir oleng jika saja Nyonya Delanney tidak menahan kesadaran sang suami. “Pa, tenangkan dirimu,” kata Nyonya Delanney. Dia tahu kenyataan ini tidak akan mudah diterima oleh suaminya meski mereka akan mendapatkan anggota keluarga baru, keturunan nama besar Delanney. Tetapi, yang menjadi masalah hanyalah, cucu pewaris darah keluarga Delanney adalah benih dari pria berandal dari kalangan bawah ini. Sedangkan Reagan, dia duduk di tepi ranjang. Menunggu Claire siuman dengan kesabaran setinggi langit. Tangan lemah Claire diusap pelan, sesekali Reagan mengedar pandang pada seluruh tubuh Claire yang terlihat lebih kurus dari terak
“Whoaah! Whoaah! Apakah kamu sudah benar-benar gila, Reagan? Kamu baru saja memberikan tawaran bernada ancaman pada petinggi Jordan? Whoah! Aku tidak mengerti lagi jalan pikiranmu.” Sepanjang jalan pulang setelah dari restoran itu, Erik tidak bisa berhenti berceloteh. Di balik kemudi dan fokusnya terhadap laju mobil, dia masih tidak menyangka dengan keputusan gila yang Reagan ambil. Sedangkan, sosok yang dikagumi Erik barusan, duduk santai di kursi penumpang sebelah Erik. Menatap lurus ke depan pada sibuknya jalanan di pusat kota New York. “Aku hanya mengambil keuntungan semaksimal mungkin,” katanya, tanpa beralih pada Erik. “Lagipula, apa yang aku katakan pada Theo, semuanya ada di kontrak kerja sama. Sedikit saja mereka berkhianat, mereka bisa masuk ke jurang menyeret semua hartanya.” Erik di sebelahnya duduk diam sambil mengernyitkan dahi. Dia berusaha mengingat sesuatu meski tidak yakin apa yang dia pikirkan saat ini benar adanya. “Jika aku tidak salah ingat, saat mengakses Cl
Paruh baya di depan Reagan kini berusaha terlihat sesantai mungkin, namun di mata Reagan hal itu seperti terlalu dipaksakan.“Ini sebuah kesempatan berharga untukku bisa bertemu dengan peretas handal sepertimu, Reagan,” ucap Theodore sebagai sambutan hangat. Dua orang lain di samping Reagan, satu menatap bangga pada interaksi mereka, satu orang lain, yakni Erik, memandang Reagan dan Theodore bergantian dengan sorot khawatir. Pria ini, terlihat memiliki kharisma yang sangat besar meliputi dirinya yang dibalut dengan pakaian mahal. Lihat itu, setelan jas coklat tua yang dipakai Theodore, Reagan sangat tahu itu adalah merek ternama hasil karya salah satu desainer ternama di Italia. Jangan lupakan dasi putih bercorak garis diagonal yang samar, adalah dasi keluaran terbatas yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang dari kalangan atas. “Senang juga bisa bertemu dengan Anda, Tuan Theo,” ucap Reagan disertai senyumannya yang memikat. Di kursi lain, diam-diam Pricilla mengulum bibir saat mema
Di ruang kelas Nayla duduk di kursi paling sudut dekat jendela. Kepalanya tertunduk lemas, belakangan, kondisi kesehatannya pun menurun. Kelas baru akan dimulai sepuluh menit lagi. Seorang wanita cantik tinggi semampai, tubuhnya sedikit berisi namun seksi, mendekati Nayla. “Aku akui kali ini kamu menang, Nayla,” ucap wanita itu. Nayla lantas mengangkat pandangannya ke arah sumber suara. Belva sudah berdiri di depan mejanya, dengan raut wajah ditekuk ratusan lipat. Menyadari apa yang sedang dibicarakan Belva, dia menyeringai. “Kamu sudah kalah telak. Aku berhasil membuat mereka berpisah!” Nayla membalas dengan sangat semangat. “Sudah aku katakan, Reagan akan berpihak padaku. Aku bisa tidur bersamanya sedangkan kamu.” Nayla sengaja menghentikan kalimatnya. Matanya naik turun dari atas ke bawah memindai penampilan Belva. “Hanya bisa mendapatkan asistennya!” Lemas di tubuh Nayla mendadak lenyap, berganti menjadi sebuah dorongan energi untuk menertawakan nasib lawan mainnya ini. Waja