“D-dia bukannya … Black Code?” Sekali lagi Erik bertanya di tengah kebingungannya. Pria bertopeng yang baru muncul terkekeh. “Sepertinya kamu tidak memberinya informasi yang cukup tentang kita,” katanya. Reagan tersenyum miring, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana sambil memandangi Erik. “Aku sengaja tidak memberitahu dia. Hitung-hitung sebagai kejutan mental.” “Kalian mengejekku, ya?” Erik menyahut, dia merasa menjadi orang paling bodoh saat ini. “Bagaimana mungkin hanya aku yang tidak mengetahui ini?” “Kamu tahu kode etik pekerjaan?” balas Reagan. “Terkadang, ada beberapa hal krusial di dalam pekerjaan yang tidak bisa disiarkan secara terbuka bahkan pada internal. Hal yang aku dan Black Code lakukan adalah salah satunya.” Meski dia marah, Erik tidak bisa menyimpan kemarahannya terlalu lama. Dia cukup sadar diri, dalam dunia peretas, dia pun masih pemula. “Baiklah, aku mencoba untuk mengerti. Sekarang, apa yang bisa aku lakukan?” Reagan menganggukkan kepalanya pe
Di dalam sebuah ruangan serba gelap, sepasang mata mengedar pandang. Terasa asing dan menyesakkan meski baru sepuluh menit duduk di sana. Suara derit pintu terbuka mengalihkan perhatian sosok pria yang mengenakan hoodie dan topeng hitam itu. Matanya menyorot kehadiran seorang paruh baya dengan segenap wibawa yang mengelilingi dirinya. “Apa kau Black Code?” tanya pria itu. Pria bertopeng itu mengangguk tanpa bersuara, setelahnya, si paruh baya terkekeh pelan. “Ternyata aku mengandalkan dua orang peretas kelas kakap dengan spesialisasi yang sama. Apa aku salah jika menganggap kalian bersaing?” “Aku tidak punya banyak waktu untuk bicara, katakan saja apa maumu?” tandas Black Code. “Apakah semua peretas memang bersikap seolah-olah mereka sepenting itu?” Theodore, si paruh baya itu, terkekeh mengejek. “Baiklah, kenalkan, aku Theodore. Kamu bisa memanggilku Tuan Theo seperti yang dilakukan mantan peretasku sebelumnya.” Ucapan Theodore sedikit mengusik ego Black Code. Pria di balik top
Mata Erik merah menyala, bahkan Reagan bisa melihat kobaran api di sana saat mendekatinya dan sang satpam yang terlalu naif ini. “T-Tuan Erik?” Napas menderu cepat, dan kedua tangan terkepal erat siap meninju wajah sang satpam. “Apa yang kamu lakukan?! Lepaskan tanganmu darinya!” perintah Erik tegas. Tangan sang satpam bergetar ketika dia lepas pegangannya di lingkar kaus Reagan. “M-Maaf, Tuan. Apa yang membuat Anda marah begini? Aku hanya melakukan prosedur keamanan yang sudah ditetapkan perusahaan,” kata satpam berusaha membela diri dan memberikan penjelasan.Tetapi Erik tidak menggubris. Dia memandangnya sinis sekilas kemudian beralih pada Reagan sambil membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat. “Maafkan kelalaian staf kami, Tuan Maverick!” ucap Erik. Sedetik kemudian, wajah tercengang terlukis di sebelah pria itu. Bola mata satpam hampir mencuat keluar, jika tidak segera menutup mulutnya yang terbuka lebar. “T-Tuan Maverick?!” Erik menegakkan kembali tubuhnya, “Dasar bo
Entah bagaimana kini Reagan bisa terkungkung di dalam kurungan kedua tangan wanita itu. Kilatan penuh gairah di matanya menunjukkan ada hasrat besar tersembunyi, dan hanya bisa dilampiaskan oleh Reagan. “Aku tertarik denganmu, kamu menarik,” kata wanita itu, berbisik lirih. Saat deru napasnya menerpa wajah dan leher Reagan, sensasi aneh muncul hingga membuat pundak Reagan bergidik. “Tunggu, Nona,” sahut Reagan berusaha santai, kemudian berdehem pelan. “Aku tidak punya waktu untuk bicara saat ini. Bisakah kita bicara lain kali?”“Lain kali?” Wanita itu mendengus. “Susah payah aku mengurungmu sekarang, kamu minta lain kali?” Sungguh, Reagan tidak ingin memicu keributan, tetapi wanita ini cukup menyebalkan sekaligus menggoda. Bibirnya terus mengoceh, bibir ranum itu terlihat menggoda untuk dipagut. Matanya, mengerling indah, seperti sinar bintang di malam hari, gemilang. Postur tubuh wanita ini cukup tinggi. Di saat mereka berhadapan seperti ini, tingginya mencapai hidung Reagan. “
Reagan memasuki sebuah kafe hits tak jauh dari kampus. Setelah menyelesaikan beberapa kelas hari ini, ia memiliki janji temu dengan sosok yang selalu memandangnya sebelah mata. Sejak kemarin, suasana hati Reagan sangat baik. Dia berharap pertemuan kali ini juga akan semakin mencerahkan moodnya. Apalagi dia akan berhubungan dengan sang mertua. Dia menemukan Tuan Delanney duduk di salah satu kursi yang ada di sudut ruangan sambil menyesap kopi hitam panasnya. Kerutan di dahi menunjukkan kalau pria itu terlihat sedikit tak nyaman dengan tempat pilihan Reagan. “Terima kasih sudah menungguku, Paman,” ucap Reagan. Dia duduk di salah satu kursi di depan Tuan Delanney. Pria itu tidak menjawab, hanya mengangguk pelan tak minat. “Bagaimana harimu hari ini, Paman?” “Tidak perlu berbasa-basi. Aku menuruti permintaanmu datang ke sini saja sudah untung. Kau tahu pria dewasa sepertiku tidak menyukai tempat-tempat bergaya anak muda seperti ini. Aku merasa salah tempat.” Tuan Delanney, dengan ker
Sejak kembali ke penthouse, hubungan Reagan dan Claire masih renggang. Claire bahkan terkesan menghindarinya dan memilih mengasingkan diri di kamar. Hal itu membuat Reagan sakit kepala. Semenjak hamil, dia melihat Claire tampak jauh lebih menggoda. Aura ibu hamil mulai terpancar meski usia kandungan Claire masih muda. Saat ini, Reagan duduk gelisah di sofa ruang tengah. Sejak semalam ia tidak bisa duduk tenang. Sesuatu miliknya di bawah sana terasa sesak. Celana jin yang ia kenakan justru semakin membuat miliknya itu memberontak. Claire sudah tinggal bersamanya lagi, tetapi Reagan tidak lantas diberikan kesempatan untuk melepas gairah yang tertahan. Di saat Reagan kelimpungan mengendalikan diri, sebuah pesan masuk di ponselnya.. Pesan dari Erik.[Apa kamu masih bersembunyi di balik selimut? Mau sampai kapan kamu menahannya? Hahaha.]Reagan mendengus. Semakin buruk saja suasana hatinya saat ini. Ia mengetikkan balasan pesan dengan makian. Gerakan jarinya di atas layar begitu cepa