Share

3. Bos Killer

Lila terpaksa makan di ruang kerja sambil menyiapkan dokumen-dokumen yang akan dipakai rapat oleh si bos siang ini. Yolanda pun ikut kena imbasnya. Sama-sama kehilangan jam istirahat gara-gara menunggui Lila membuat karamel machiato untuk Ezekiel, sampai bos mereka itu puas dengan rasanya. Namun, keduanya sudah sangat bestie, jadi Yolanda tidak kesal sama sekali. Justru prihatin dengan nasib Lila.

"Lila, aku barusan ditegur sama Pak Ezekiel." Bu Ana masuk ke dalam ruangan dengan wajah kesal.

Astaga, cobaan apa lagi ini. Lila sudah menduga wanita itu akan memberitahukan sebuah berita buruk. "Ada apa lagi, Bu?" cicitnya.

"Kamu lelet bikin kopinya. Mana nggak enak katanya. Itu bikin mood Pak Ezekiel hancur, Lila."

"Aduh, saya udah berusaha keras bikin karamel machiato, Bu. Mana Pak Ezekiel nggak mau yang sachetan. Tanya Yolanda deh, Bu." Yolanda di meja samping mengangguk-angguk.

"Ya, intinya Pak Ezekiel nggak mau tahu, itu sudah jadi tugas kamu, Lil."

"Duh, ribet bener sih tuh orang. Ini kan kantor, bukan cafe. Lagian bisa pesen di cafe bawah, ngapain suruh saya yang bikin, sih?" gerutu Lila, pelan tapi Bu Ana bisa mendengarnya.

"Hush! Jangan ngomong sembarangan, nanti Pak Ezekiel denger, kapok kamu," sela Bu Ana. "Dokumennya udah siap belum? Udah ditanyain sama Pak Ezekiel."

Lila hanya mengangguk seraya menata lembaran-lembaran kertas dan memasukkannya ke dalam stopmap. Kemudian dengan lemas menyerahkannya pada Bu Ana. Setelah wanita itu meninggalkan ruangan, Lila baru bisa bernapas lega.

"Gila, si bos baru bener-bener ngerjain aku, Yol."

Yolanda terkikik. Sambil cengar-cengir dia berkata, "Jangan-jangan Pak Ezekiel naksir kamu, Lil."

"Hah?!" Lila menggeleng keras. "Nggak, nggak, bukan itu masalahnya. Tapi ...."

Yolanda menutup mulut dengan telapak tangan saat mendengar cerita Lila tentang peristiwa pagi tadi yang dialami oleh sang sahabat. "Serius?"

Lila mengangguk lemah. "Kayaknya aku udah ditandai sama dia deh, Yol. Gimana nih nasib kerjaanku di sini."

"Kamu sih, Lil, main semprot aja. Liat-liat orangnya dulu dong, makanya."

"Dia yang nyolot duluan, Yol."

"Tau, ah."

"Ish! Gimana dong nasibku ini?"

"Mending kamu baik-baikkin Pak Ezekiel aja deh."

Lila memijit kening yang tiba-tiba pening. Nggak ada jalan lain apa selain yang Yolanda sebut barusan. Lama-lama Lila merasa ngeri juga kalau si bos baru bakalan dendam padanya dalam jangka waktu yang lama. Bagaimana nasibnya di kantor ini. Sumpah, mencari pekerjaan bagus sekarang susahnya minta ampun. Mana pengeluaran bulanan tidak bisa ditekan. Biaya kos, skin care, nongkrong, dan lain-lain.

"Lila!"

"Ya, Bu?" Lila terlonjak mendengar suara Bu Ana memanggilnya. Wanita itu berdiri di ambang pintu, dengan wajah masam tentunya.

"Kamu dipanggil Pak Ezekiel."

"Hah? Saya, Bu? A-ada apa, ya?"

"Ada yang nggak beres sama dokumen yang buat rapat nanti."

Lila mencoba mengingat-ingat apa dirinya melewatkan sesuatu tadi saat menyiapkan dokumen rapat. Mungkin saja, pikirannya tadi bercabang lima.

"Buruan! Malah bengong."

"Iya, iya, Bu." Lila menoleh ke arah Yolanda dengan ekspresi wajah memelas. Namun, tentu saja sang sahabat tidak bisa membantunya.

Ragu-ragu Lila mengetuk pintu ruangan Ezekiel. Suara dari dalam yang menyuruhnya masuk, memaksanya untuk menekan handle pintu, lalu mendorongnya pelan.

"Bapak panggil saya?" tanya Lila, berusaha bersikap setenang mungkin. Ezekiel memberi isyarat dengan tangan pada Lila untuk duduk di kursi kosong seberang mejanya.

Lila terkejut saat tiba-tiba Ezekiel melemparkan stopmap hijau ke hadapannya. "Kamu biasa bikin kesalahan kaya gitu? Heran, kenapa Bu Ana merekrut asisten seperti kamu. Ceroboh, tidak teliti."

Jantung Lila hampir saja berhenti mendengar ucapan tidak mengenakkan dari mulut sang bos. Dia membolak-balik kertas-kertas di dalam stopmap, mencoba mencari salahnya di mana.

"Ini bukan perusahaan ecek-ecek. Yang sekretarisnya nulis tanggal saja salah. Laporan pun saya baca tadi masih kurang relevan. Kamu sudah pelajari proyek ini belum?"

Ya, ampun. Lila hampir memaki-maki diri sendiri. Tapi, jika dipikir-pikir, gara-gara si bos juga pikirinnya jadi kalut. Siapa suruh ngerjain dia bikin karamel machiato a la cafe yang tidak manusiawi untuk manusia biasa seperti dirinya.

"Kamu perbaiki, saya kasih waktu lima belas menit. Kalau gagal, nanti saya kenakan sangsi sama kamu." Ezekiel menarik sudut bibirnya. Senang sekali melihat gadis itu pucat pasi.

"Iya, Pak." Lila berucap lemah. Dengan gontai dia melangkah keluar ruangan Ezekiel. Masuk ke ruangannya pun, dia harus menghadapi omelan Bu Ana.

"Kamu kok bisa-bisanya bikin kesalahan kecil kaya gitu? Nggak biasanya kamu kaya gini. Mikir apa sih kamu, Lil?"

"Maaf, Bu." Lila mengerucutkan bibir. Sungguh dia merasa begitu lelah hari ini. Ingin rasanya segera pulang dan memeluk bantal dan kasurnya. Tapi, kenyataan segera menamparnya. Dia hanya punya waktu lima belas menit untuk memperbaiki dokumen rapat. Dia tidak ingin mendapatkan sangsi si bos yang fix, kejam.

Untung saja, Ezekiel tidak menyuruhnya merevisi pekerjaannya lagi. Artinya, sudah tidak ada kesalahan lagi. Hari ini pekerjaannya pun selesai. Tidak sabar rasanya rebahan di atas kasur sambil nonton drakor, beserta camilan tentu saja.

Lila melangkah ke arah pintu lift tanpa memerhatikan sekeliling, karena sibuk merapikan isi tasnya. Dia terkejut saat menabrak sosok yang berdiri kokoh di depan pintu lift. Lila tidak percaya adegan pagi tadi terulang lagi. Si bos kampret itu lagi yang dia tabrak.

"M-maaf, Pak, silahkan duluan," ucapnya kikuk, sambil menekan tombol lift dan mempersilahkan Ezekiel masuk duluan. Pemuda tampan itu hanya tersenyum sinis, dan melangkah masuk ke dalam lift. Lila pun mengikuti masuk.

"Tadi nabrak saya, nggak mau marah-marah lagi?" Lila terkesiap mendengar Ezekiel tiba-tiba menyindirnya. Posisinya berada di belakang pemuda itu. Dan si bos tidak menolehnya saat berbicara. Tapi dari bayangan di dinding lift, dia sedang menatap Lila.

"Saya minta maaf, Pak. Saya nggak tahu kalau Bapak dirut baru," cicit Lila.

"Okay, saya terima maafnya. Tapi, saya sarankan, agak dikurangi sikap ceroboh kamu. Saya nggak mau semua itu ngaruh di kerjaan. Kantor ini punya standar tinggi sejak saya yang pegang. Kalau dengan dirut sebelumnya, kamu dan karyawan lain mungkin bisa santai, tapi dengan saya, jangan harap." Ezekiel berbicara panjang lebar, dan Lila hanya mengiyakan.

Beberapa petinggi perusahaan keluar masuk lift di setiap lantai yang disinggahi, dan semua membungkuk hormat pada Ezekiel. Lila akui, pemuda berpunggung kokoh itu cukup karismatik. Ah, tapi semua itu tertutup dengan mulutnya yang pedas mirip bon cabe level tiga puluh.

"Silahkan, Bapak, duluan," ucap Lila saat pintu lift terbuka dan lobi sudah terlihat.

"Saya sudah bilang, ya ... kalau rok kamu kependekan?"

Lila membulatkan mata mendengar ucapan Ezekiel yang tidak pernah ia sangka-sangka. Pasalnya, ada beberapa orang di dalam lift, yang seketika saling melempar pandang dan tersenyum-senyum. Malunya bukan main.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status