Keesokan harinya, hujan turun di pulau itu.Jeanet bangun agak siang, sehingga Farnley memutuskan untuk menggabungkan sarapan dan makan siang.Mereka menyiapkan hotpot dengan kaldu tulang, terutama karena Jeanet saat ini tidak bisa makan makanan pedas. Cuaca yang agak dingin membuat hidangan ini terasa sangat pas.Banyak bahan telah disiapkan, dan dasar supnya telah direbus secara khusus sejak sehari sebelumnya.Farnley bertugas memasak, sementara Jeanet hanya perlu makan. Hari itu, nafsu makannya cukup baik."Enak sekali, kenapa ya?" katanya."Mungkin karena aku yang memasaknya?""Itu pasti alasannya," Jeanet tersenyum dan mengambil sepotong daging dengan sumpitnya lalu meletakkannya di mangkuk Farnley. "Kamu juga makan.""Baik."Namun, Farnley tidak terlalu berselera makan. Setelah melihat Jeanet hampir selesai makan, ia meletakkan sumpitnya."Sudah kenyang?""Sudah." Jeanet meletakkan kedua tangannya di perutnya. "Lihat, apakah perutku membesar?"Farnley melirik sekilas ke perutnya
Hingga saat ini, barulah Farnley benar-benar sadar. Yang diinginkan Jeanet sebenarnya sangat sederhana, hanya seorang kekasih yang mencintainya sepenuh hati ...Menjelang sore, Jeanet perlahan terbangun.Farnley sedang membereskan barang-barang. Jeanet bangkit dan ingin membantunya. "Aku bisa membantu sesuatu ga?""Kamu duduk saja di sini."Farnley tersenyum, menepuk bantal duduk di sampingnya. "Tugasmu hanya melihatku. Dengan begitu, aku jadi lebih semangat bekerja.""Baiklah." Jeanet tersenyum manis, duduk patuh di bantal, menopang dagunya, lalu memandangnya dengan penuh perhatian.Sesekali ia berkata, "Semangat ya, kamu hebat sekali."Farnley meliriknya sekilas, lalu mendekat untuk menciumnya. "Isi ulang tenaga.""Sudah beres semua?""Mm." Farnley duduk di sampingnya. "Barang yang perlu dibawa tidak banyak, hanya dokumen-dokumen penting. Barang yang tidak bisa dibawa, biar ditinggal untuk para pelayan. Di Jakarta, semuanya sudah tersedia. Ibuku sudah menyiapkan semuanya untukmu.""I
Farnley tidak langsung menyetujui, ia melirik ke arah Audrey.Audrey dan Bobby saling berpandangan, lalu mengangguk bersamaan. Sebagai orang tua, tentu mereka lebih memihak anak mereka.Barulah Farnley mengangguk, "Tentu."Ia menggenggam erat tangan Jeanet. "Ayo pulang.""Mm, baik."Saat kembali ke rumah Keluarga Gaby, langit hampir terang.Setelah beres-beres sebentar, mereka pun beristirahat.Jeanet dan Farnley tinggal di kamar lama Jeanet. Farnley memeluknya erat. "Jangan takut, ini rumah tempat kamu lahir dan tumbuh besar. Kamu adalah putri kecil yang selalu dimanjakan oleh orang tua dan kakakmu. Perlahan-lahan, kamu akan mengingat semuanya.""Mm, aku percaya padamu."Di kamar sebelah, Audrey tidak bisa menahan diri untuk menghela napas."Membiarkan mereka tinggal bersama, apakah itu pantas?"Bobby menenangkannya, "Asalkan Jeanet bahagia, jangan terlalu dipikirkan. Melihat cara mereka bersikap, kamu pikir selama ini mereka tidur terpisah?""Ah." Audrey berpikir sejenak, lalu hanya
Dokter memeriksa Jeanet dan memberikan banyak tes.Farnley menemani sepanjang waktu, tetapi hasilnya baru akan keluar dalam dua hari. Saran dokter adalah agar Jeanet dirawat inap terlebih dahulu. Bagaimanapun juga, apa pun hasilnya, perawatan di rumah sakit pasti diperlukan.Farnley sibuk mengurus semua administrasi dan memastikan Jeanet mendapatkan tempat yang nyaman."Kamu duduk dulu, istirahat sebentar," kata Jeanet sambil mengambil tisu dan menyeka keringatnya. "Capek, ya?"Di cuaca yang dingin seperti ini, dia masih berkeringat."Tidak capek," Farnley tersenyum. Dia bukan kelelahan, melainkan gugup.Pada saat ini, dia benar-benar merasakan bahwa waktu sedang menghitung mundur ...Malam itu, Farnley menginap bersama Jeanet di rumah sakit.Di kamar VIP yang luas, Jeanet belum menjalani pengobatan apa pun, sehingga mereka ‘diam-diam’ berbaring bersama."Farnley.""Ya?""Kamu akan selalu menemani aku seperti ini?""Tentu saja.""Lalu kalau perawat datang mengecek kamar, bagaimana?"Pa
Kata-kata itu tidak sulit dipahami.Jeanet sepertinya mengerti, tapi juga seperti tidak mengerti. Matanya menatapnya tanpa berkedip. “Kamu mencukur apa?”“Bodoh.”Farnley mengangkat tangannya, membelai wajahnya. “Aku akan menemanimu mencukur rambut.”Kali ini, Jeanet benar-benar mengerti dan bereaksi. Ia memalingkan wajahnya, kelopaknya menunduk, lalu air matanya jatuh begitu saja.Tanpa peringatan, tanpa jeda.Ia kembali menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Cowok setampan ini, kenapa harus mencukur rambut?”Ia menggeleng, “Tidak perlu, kamu tidak perlu melakukannya demi aku.”“Aku mau menemanimu atau tidak, itu tergantung aku, bukan kamu.”Telapak tangan Farnley dengan lembut mengusap pipinya. “Aku ingin melakukan ini. Apa kamu akan melarangku dan membuatku sedih?”“Apa, sih.” Jeanet mengisap hidungnya, lalu tersenyum tipis. “Baiklah, aku setuju, walau dengan terpaksa.”“Terima kasih.”Keduanya saling tersenyum.Tak lama kemudian, Farnley dan Jeanet keluar dari salon dengan tangan sa
"Uwek ..."Farnley berdiri di sampingnya, memegang tempat sampah untuknya.Setelah Jeanet selesai muntah, dia memberinya air untuk berkumur, lalu menyeka wajahnya hingga bersih.Perawat memang sudah disiapkan, tapi saat ini mereka hanya menjadi penonton."Tuan Wint, biar saya saja.""Tidak perlu."Farnley melambaikan tangan. "Kamu cukup bersihkan ruangan ini, istriku biar aku sendiri yang merawatnya.""Baik, Tuan Wint.""Bagaimana?"Farnley menyentuh pipi Jeanet yang agak dingin. "Sangat tidak nyaman? Kalau merasa terlalu ga enak, aku panggil dokter, jangan dipaksakan.""Masih bisa ditahan." Jeanet tersenyum lemah, wajahnya tampak pucat. "Saat muntah memang tidak enak, tapi sekarang sudah lumayan.""Ayo, buka mulut.""Ah."Farnley memasukkan manisan ke mulutnya. Jeanet langsung mengulum sambil tersenyum. "Enak banget."Rasanya asam manis, lebih dominan asam, pas sekali dengan seleranya saat ini. Mengulum manisan ini setidaknya bisa mengurangi rasa mual akibat muntah.Tiba-tiba, terdeng
Pagi-pagi sekali, dokter datang untuk melakukan pemeriksaan.“Keadaannya cukup baik, lebih baik dari yang diperkirakan.”“Setelah siklus perawatan ini selesai, kita akan melakukan pemeriksaan untuk melihat hasilnya. Jika memungkinkan, baru kita tentukan apakah perlu operasi.”“Baik, terima kasih, Dokter.”Kemudian, saat Jeanet menjalani pengobatan, dokter memanggil Farnley secara pribadi ke kantor.“Ke depannya, kemungkinan Nyonya Wint akan mengalami beberapa gejala. Saya ingin memberi tahu Anda terlebih dahulu agar bisa bersiap secara mental ...”Farnley langsung menegang, mengangguk, “Baik, silakan.”Beberapa hari berturut-turut menjalani kemoterapi, Audrey berkata ingin menggantikan Farnley selama dua hari, tetapi ia tetap menolak.Audrey sedikit cemas, “Bukan aku melarangmu merawatnya, tapi kamu juga bukan manusia baja. Demi Jeanet, kamu juga harus menjaga tubuhmu sendiri.”“Ibu, aku mengerti.”Farnley tetap menolak, “Saat ini aku masih bisa bertahan, Ibu ... Aku hanya ingin lebih
"Ibu, ada apa dengan Jeanet?"Pandangan jatuh pada Jeanet, dan seketika ia mengerti!"Jeanet!"Dalam beberapa langkah, Farnley bergegas ke arahnya dan langsung memeluknya."Ibu, biarkan aku yang merawat Jeanet. Tolong ambilkan pakaian bersih untuknya!""Baik, baik!"Audrey akhirnya tersadar, mengangguk sambil terisak, lalu buru-buru pergi.Farnley menggendong Jeanet dan membawanya ke kamar mandi."Ada apa?" Jeanet masih belum paham apa yang terjadi."Jeanet ..." Farnley merasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya, sulit baginya untuk berbicara. Dia menempatkan Jeanet di kursi, lalu mulai membuka kancing bajunya."Mandi dulu.""Mandi pagi-pagi begini?"Jeanet melihat mata Farnley memerah. Apakah dia menangis? Apa yang bisa membuatnya menangis?Tak lama kemudian, Jeanet mengetahuinya.Dia menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhnya. Saat melihat ke bawah, celananya sudah basah ..."Aku ...?" Jeanet terkejut, menatap Farnley dengan bingung. "Apa yang terjadi denganku?"
Setelah keluar dari rumah sakit, sikap Zenith terhadap Kayshila jadi jauh lebih hati-hati.Awalnya hari ini dia berniat pergi ke kantor, tapi sekarang malah tidak ingin pergi sama sekali."Kayshila, hari ini kamu mau ngapain? Aku temani semuanya, boleh ya?""Boleh." Kayshila paham maksudnya dan tidak menolak.Keduanya berjalan melewati lobi poliklinik, menuju ke luar.Tiba-tiba, Kayshila berhenti melangkah, pandangannya terpaku pada satu arah."Kayshila?" Zenith mengira dia merasa tidak enak badan, "Kenapa?""Oh …" Kayshila melirik padanya, "Lihat seseorang yang aku kenal. Kamu juga kenal.""Oh ya?"Zenith mengikuti arah pandangannya. Di loket pendaftaran mandiri, yang paling akhir dalam antrean adalah seorang perempuan."Siapa?" Zenith menyipitkan mata, berusaha mengingat."Hmm?" Kayshila menatapnya sambil tertawa, "Nggak ingat? Aktingnya sih meyakinkan.""Bukan begitu … aku beneran nggak inget. Siapa sih?""Udah deh, cukup ya."Kayshila melotot manja, "Orang itu pernah ada hubungan s
Dua bulan kemudian.Pagi-pagi sekali, Zenith sudah bangun.Dengan langkah ringan dan hati-hati, ia turun ke bawah, masuk ke ruang makan, dan mulai menyiapkan sarapan untuk Kayshila.Sejak sebulan yang lalu, Kayshila mulai mengalami gejala mual karena kehamilan.Apa pun yang dimakan pasti dimuntahkan, bahkan kadang-kadang hanya minum air pun bisa membuatnya mual.Nafsu makannya menurun drastis. Setiap kali ditanya, jawabannya selalu, “nggak lapar”.Padahal di rumah ada chef masakan barat dan Indo, ditambah lagi ada Bibi Maya yang ahli masak.Kalau saja dia sedikit saja bilang ingin makan sesuatu, langsung bisa disajikan di depan matanya.Tapi mulutnya sangat pilih-pilih dan hanya mau makan masakan buatan Zenith.Jadinya, setiap kali ada waktu, Zenith pasti turun tangan sendiri.Apalagi soal sarapan, sudah pasti jadi tanggung jawab dia sepenuhnya.Di dapur, Bibi Maya melihat dia masuk, langsung menyapa sambil tersenyum, "Tuan Muda Zenith sudah bangun? Semua bahan sudah saya siapkan.""Ya
Perjalanan ke Toronto kali ini benar-benar penuh dengan kebahagiaan. …Delapan bulan kemudian, Jeanet melahirkan seorang bayi laki-laki di Rumah Sakit Santa.Bayi besar dengan berat 3,9 kg.Cucu pertama di Keluarga Gaby, dan cucu bungsu di Keluarga Wint. Sejak lahir, ia sudah bagaikan terlahir dengan sendok emas di mulutnya.Karena kondisi tubuhnya, Jeanet tidak memilih melahirkan secara normal, melainkan melalui operasi caesar.Farnley ikut masuk ke ruang operasi. Awalnya dia menunggu di ruang persiapan, lalu setelah bayinya lahir, barulah ia masuk ke ruang operasi.Ia mengganti pakaian isolasi, mengenakan sarung tangan, lalu menerima gunting dari dokter untuk memotong tali pusar yang menghubungkan anak dan ibunya.Setelah itu, ia menggendong bayinya dan menghampiri Jeanet, memeluk ibu dan anak sekaligus."Jeanet, kamu sudah sangat berjuang."Jeanet tersenyum, "Hmm."Begitu keluar dari ruang operasi, Jeanet dipindahkan ke kamar rawat. Farnley menjaganya sepanjang malam tanpa beranjak
"Apa maksudnya?" Jeanet sempat tertegun.Adriena cemas, "Aku tanya, kamu jawab saja!""Sepertinya ... bulan lalu?" Jeanet mencoba menghitung."Aduh!" Adriena tertawa sambil menangis, "Anak ini! Hubungan kalian begini, sudah sekian lama nggak haid, kamu nggak ada rasa curiga sedikit pun?""Aku ..." Jeanet menggeleng polos, "Sejak sembuh dari sakit, datang bulanku memang nggak teratur.""Tapi nggak sampai se-nggak teratur ini juga!"Adriena melirik Farnley, "Kamu percaya nggak, dia muntah-muntah kayak gitu gara-gara kamu!""Hah?" Jeanet kaget, "Masa sih?""Kenapa nggak?"Adriena tertawa geli, "Kalian anak muda memang kurang pengalaman! Kalau pasangan itu hubungannya dekat banget, ceweknya hamil, cowoknya bisa ikut-ikutan muntah!"Sambil mendorong mereka, dia berkata, "Masih bengong aja? Cepat ke rumah sakit, periksa dulu!""Oh ..."Begitu sampai rumah sakit dan hasilnya keluar, semua pun terdiam."Apa aku bilang?" Adriena membaca laporan medis sambil tersenyum lebar, "Benar kan, kamu ham
Azka yang bertubuh tinggi dengan mudah mengangkat Jannice di atas bahunya, ke mana pun pergi, Jannice tak perlu berjalan sedikit pun.Jannice pun girang dan berteriak, "Aku milik tempat ini! Tempat ini bagaikan surga!"Ucapan itu terdengar oleh para orang dewasa, membuat mereka tak bisa menahan tawa.Seiring berjalannya waktu, para tamu pun datang satu per satu.Pernikahan pun tiba sesuai jadwal.Di taman tua yang klasik, hamparan karpet merah digelar. Azka kembali menggendong Kayshila, mengantarnya menuju pernikahan.Ia menyerahkan sang kakak kepada Zenith, "Kakak ipar, kakakku kuserahkan padamu."Pemuda itu kini berbicara jauh lebih lancar daripada dulu."Tenang saja." Zenith menerima mempelainya, di belakangnya ada Jannice dan Kevin sebagai flower boy dan flower girl, menaburkan kelopak bunga ke udara.Saat sesi lempar bunga, dengan teriakan Kayshila, "Aku lempar ya! Satu, dua, tiga!"Dia melemparkan buket bunga ke belakang.Buket itu terbang di udara, dan di tengah riuh para tamu,
Awalnya, niat Kayshila adalah untuk tidak menggelar pernikahan lagi.Namun, saat urusan ini jatuh ke tangan Adriena, ditambah lagi dengan Ron, pasangan suami istri ini memang merasa sangat bersalah kepada putri mereka. Dengan adanya kesempatan seperti ini, bagaimana mungkin mereka tidak memanfaatkannya sebaik mungkin?Dan juga, Ron dan Calista telah resmi bercerai setengah tahun lalu, dan keesokan harinya, Ron langsung mendaftarkan pernikahan dengan Adriena, menjadikan mereka pasangan sah secara hukum.Pertikaian yang telah berlangsung selama lebih dari dua puluh tahun itu akhirnya mencapai sebuah akhir.Setidaknya, bagi mereka, ini adalah akhir yang baik.Pernikahan mereka digelar dengan sangat megah. Para tokoh kalangan elite dari seluruh Kanada yang bisa hadir, datang semua.Ron akhirnya bisa menegakkan kepala, menikahi perempuan yang telah dicintainya sejak muda, dan kini akhirnya ia bisa berdiri di sisinya secara sah.Dalam pernikahan itu, Kayshila dan Zenith mengambil cuti dan da
"Baik, aku mengerti."Setelah menutup telepon, Kayshila berdiri di hadapan Zenith. Mata Zenith sedikit memerah, suaranya tenang namun terdengar datar."Dia sudah pergi."Kayshila memejamkan mata sejenak, tak mengatakan apa pun. Dia hanya melangkah maju dan memeluknya.Dia bisa merasakan tubuh Zenith sedikit gemetar.Di saat seperti ini, hatinya pasti sangat terluka, ya?Kini, tampak jelas bahwa yang paling patut dibenci adalah Gordon dan Morica. Hidup Jeromi bisa dibilang penuh dengan ketidakberuntungan.Akhir hidupnya yang seperti itu seolah-olah membuat seluruh perjalanan hidupnya di dunia ini menjadi sia-sia.Kayshila menepuk-nepuk punggung Zenith dengan lembut. "Adakan pemakaman yang layak untuknya. Iringi dia ke peristirahatan terakhirnya dengan baik.""Mm." Zenith mengangguk dengan suara serak.Meski berniat menggelar pemakaman yang layak, pada kenyataannya tak banyak orang yang hadir.Selama beberapa tahun terakhir, Jeromi tinggal di Toronto dan tak memiliki banyak teman. Dia me
Jeromi perlahan membuka mulut, menatap langit-langit, "Aku ini hidupnya pendek. Tapi sejujurnya, aku sudah lama merasa cukup dengan hidup ini.""Bagiku, sejak meninggalkan Jakarta, meninggalkan kamu, ibu, dan kakek … setiap hari setelahnya terasa lebih menyiksa daripada mati."Suasana dalam ruangan sunyi senyap.Kayshila diam-diam menggenggam tangan Zenith.Orang bilang, ketika seseorang menjelang ajal, kata-katanya menjadi tulus.Kalau dulu Jeromi mengucapkan kalimat seperti ini, orang mungkin akan curiga, apakah dia hanya sedang berpura-pura.Tapi melihat kondisinya sekarang … apa gunanya berpura-pura lagi?Sudah terlihat jelas, dia benar-benar sedang sangat menderita.Jeromi melanjutkan, "Satu-satunya keinginanku dalam hidup ini adalah kembali ke Jakarta, kembali ke sisi Ibu …"Ia perlahan menoleh ke arah Zenith, "Zenith, kumohon padamu, bawalah aku pulang, bolehkah?"Bibir Zenith menegang, hatinya terasa perih dan sesak.Pria di hadapannya ini dulu adalah saudara kandungnya, tapi j
Mereka tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, bahkan untuk mengurus Jannice pun sudah tidak diperlukan lagi.Paman Kevin sangat menyayangi keponakan perempuannya, dan ia sering mengajaknya bermain keliling seluruh area perkebunan.Tahun itu, saat mereka datang, Toronto sedang berada dalam musim dingin. Namun kini, musim semi telah tiba, bunga-bunga bermekaran, taman terlihat sangat indah, sangat cocok untuk anak-anak bermain.Memasuki bulan April, Toronto akan berganti ke musim panas, yang akan berlangsung hingga Oktober. Pada saat itu, perkebunan akan terlihat secantik lukisan cat minyak.Adriena pun mengusulkan, "Kayshila, bagaimana kalau nanti acara reuni kalian diadakan di sini saja?"Semakin dipikir, ia merasa ide itu sangat masuk akal."Tempatnya luas, kalian juga hanya mengundang kerabat dan teman dekat saja, pasti cukup untuk menampung semua. Kota Azka juga dekat dari sini, jadi kalau mau menjemput orang juga mudah. Momen ini langka, kalian kakak-beradik bisa berkumpul kembali."