Share

Chapter 6

"Selamat siang, Tuan. Ini jas Tuan. Sudah saya cuci bersih seperti sedia kala."

Seruni menyerahkan bungkusan jas dengan sedikit membungkukkan tubuhnya. Sikap sopan ini memang wajib dilakukan. Setiap kali briefing, managernya tidak pernah lupa untuk mengingatkan. Air muka penuh senyum dan gestur tubuh sopan adalah hal wajib yang harus diutamakan.

Kata-kata Seruni hanya disambut dengusan oleh Antonio. Sejenak Seruni sempat bertatapan dengan Bian. Namun sikap Bian yang pertama kaget dan segera membuang pandangan, mengindikasikan satu hal. Bian tidak ingin dikenali. Walau memang sikap seperti ini juga yang ia harapkan, tak urung hatinya sakit juga. Hanya seperti ini sikap seorang laki-laki yang bulan lalu masih mengaku mencintainya melebihi apapun juga.

"Kalau tidak ada hal lainnya, saya permisi, Tuan." Seruni kembali membungkuk sopan. Bersiap-siap menghindar sejauh mungkin dari duo biang masalah di hadapannya.

"Tunggu dulu. Apakah manager kamu tidak mengajarkan soal step to customer saat briefing? Di mana tanggung jawab kamu sebagai seorang waitress karena meninggalkan tamu begitu saja tanpa menawarkan menu?"

Kalimat pedas Antonio menyurutkan langkah Seruni. Seruni menghitung angka satu sampai sepuluh dalam hati. Setelahnya ia  membalikkan tubuh dan memberi seulas senyum sopan pada Antonio dan dua orang antek-anteknya.

"Maaf, Tuan. Saya bukan bermaksud tidak sopan. Saya hanya takut kalau Tuan tidak puas akan pelayanan saya. Makanya saya berinisiatif untuk memanggil waitress yang lain."

Seruni menjawab sopan. Ia berusaha bersikap sesabar mungkin menghadapi Antonio. Istimewa ia mendapati Pak Sofyan, managernya, terus memandang tajam ke arahnya.

"Oh ya, kami ada dua menu baru yang cukup diminati tamu. Nama menunya chuleton tomahawk dan seafood paella. Chuleton tomahawk ini disajikan bersama spanish garlic parsley dressing, curly fries dan maldon sea salt. Sedangkan seafood paella--"

"Cukup." Antonio mengangkat tangannya. Isyarat agar Seruni berhenti berbicara.

"Kamu tidak perlu menjelaskan panjang lebar tentang dua menu itu. Miguel mendapatkan resep keduanya langsung dari ibu saya. Saya sudah muak dengan menu yang itu-itu saja."

Sabar, Seruni. Ingat apa yang selalu dikatakan oleh almarhum ayahmu. Kalau kamu ingin jadi orang besar, maka kamu harus sabar dan memiliki jiwa besar.

Seruni kembali tersenyum sabar. Ia ingin menjadi orang besar. Oleh karena itu ia bertekad akan bertahan menghadapi bagaimanapun menyebalkannya tingkah sang anak sultan. Insyaallah.

"Kalau menu grilled salmon with cream sauce, Tuan suka tidak? Salmonnya lembut. Well seasoned. Bawahnya ada potato wedges, baby corn brokoli dengan cream sauce. Porsinya juga kecil. Jadi Tuan bisa menyantap menu lain lagi tanpa merasa kekenyangan."

Waitrees cacat ini tangguh! Batin Antonio.

"Menurut kamu menu itu enak?" Pertanyaan Antonio membuat Seruni terdiam. Bagaimana ia tau menu itu enak atau tidak. Ia belum pernah sekalipun  mencobanya.

"Saya tidak tau, Tuan. Karena saya belum pernah mencobanya. Tetapi menu ini termasuk star--"

"Belum tau rasanya, tapi kamu sudah berani merekomendasikannya pada saya. Kamu ini--"

"Ton, come on. Jangan jadi iblis. Lo sebutin aja lo mau makan apa biar menunya cepet dateng."

Abizar Putra Mahameru tidak tega melihat waitress berwajah sendu ini mati-matian memanjangkan sabar. Teman sekaligus rekan kerjanya ini memang selalu menyebalkan di mana pun, kapan pun. Entah mengidam apa Tante Tari saat mengandung si Anton ini.

"Kalau saya pesan black rice paella dan fresh kiwi juice. Less ice dan gulanya dipisah ya?" ujar Abizar ramah.

"Baik, Tuan." Seruni dengan sigap mencatat pesanan teman Antonio. Saat harus bertanya pada Bian, Seruni merasa sedikit canggung. Bisa dikatakan ia tumbuh besar bersama dengan Bian di kampung. Aneh rasanya bersikap seperti tidak saling kenal padahal sebelumnya mereka berdua sedekat nadi.

"Kalau Tuan, ingin memesan apa?" tanya Seru kikuk.

"Terserah kamu saja. Eh terserah di antara dua menu yang kamu rekomendasikan tadi maksud saya." Ralat Bian tak kalah kikuk. Terbiasa mengikuti menu yang Seruni pesan setiap kali mereka makan bersama, membuat Bian nyaris salah bicara.

"Baik. Kalau begitu akan saya pesankan chuleton tomahawk saja, karena itu yang terlaris. Minumnya apa, Tuan?" Seruni berusaha bersikap profesional.

"Iced cappucino, saja."

"Baik," Seruni kembali mencatat. "Kalau Tuan Anton?" tanya Seruni hati-hati. Menghadapi Antonio itu serupa merawat bisul. Kalau tidak hati-hati, bisa pecah tiba-tiba dan rasa sakitnya sampai ke urat syaraf.

"Saya pesan classic ice tea saja. Saya masih kenyang."

Ya Tuhan, panjangkanlah sabarku.

Classic ice tea itu adalah air putih yang diberi bongkahan es batu. Setelah mengeritik sikapnya, menanyakan macam-macam menu sampai menudingnya sebagai waitress yang buruk, pesanan Antonio hanyalah segelas air es! Benar-benar niat sekali anak sultan ini mengerjainya bukan?

"Baik. Pesanan Tuan-Tuan semua akan segera saya order dan akan diantarkan secepatnya. Jika Tuan-Tuan ingin menambah menu atau hal lain yang ingin ditanyakan, silahkan menghubungi saya. Terima kasih."

Seruni menyilangkan tangan di dada dan membungkukkan sedikit tubuhnya. Akhirnya tugasnya usai juga. Demi menghindari kritik yang tidak perlu, Seruni berusaha mempercepat langkah. Walau sedikit tertatih-tatih, ia tetap harus bersikap profesional. Ia ingat apa yang dikatakan Mayang. Mencari kerja yang haram saja di ibukota ini susah, apalagi yang halal. Makanya ia berusaha mempertahankan pekerjaan halalnya ini semampunya.

Sementara itu, tiga eksekutif yang ditinggalkan menatap kepergiannya dengan berbagai macam dugaan. Antonio antara kagum bercampul kesal. Abizar yang kasihan dan Bian yang tidak bisa mendeskripsikan perasaannya sendiri. Ia rindu, kasihan, sesal, sekaligus juga ingin belajar melupakan. Bagaimanapun statusnya sekarang adalah suami orang. Segala kemanisan masa lalu harus ia lupakan. Begitulah harga mahal yang harus ia bayar. Keisengannya menanggapi kemesraan yang terus dilancarkan Nastiti, berbuah bencana. Nastiti hamil dan gadis itu meminta pertanggungjawabannya.

"Lo kok tega banget mempermainkan waitress nggak sempurna gitu, Ton? Gue yakin kalo dia nggak takut dipecat, udah dia lempar kali ini asbak ke muka songong lo. Salut gue dia masih bisa senyum ngadepin semburan racun sianida lo."

Abizar menggelengkan kepala. Antonio ini dari dulu tidak pernah berubah. Mulut racunnya konsisten menyembur siapa saja. Tadi pagi ia telah menyembur petinggi perusahaan ayahnya yang menggunakan uang perusahaan untuk pelesiran tanpa konfirmasi. Dilanjutkan dengan menyembur relasi yang melaga proposal mereka dengan perusahaan kompetitor demi mendrag harga. Dan kini seorang waitrees pun tidak luput dari racunnya. Abizar tidak bisa membayangkan, bagaimana kelak perlakuan si anak sultan ini apabila mempunyai pacar. Jangan-jangan pacarnya akan kurus kering karena makan hati setiap hari.

"Dugaan lo salah, Zar. Waitress cacat itu bukan takut dipecat. Dia cuma takut gue buka kedoknya," dengus Antonio sinis. Abizar bisa berkata seperti itu karena ia tidak tau saja apa profesi waitrees cacat ini yang sesungguhnya.

"Maksudnya?" Abizar menaikkan satu alisnya. Penasaran dengan kalimat bersayap Antonio. Dalam diam, Bian juga memasang telinganya baik-baik. Kedua atasannya ini tidak tau saja kalau sesungguhnya waitress yang mereka bicarakan adalah mantan pacar terindahnya.

"Menjadi waitress di sini itu hanya kamuflase. Dia itu sebenarnya Astro Girlsnya Xander. Tinggalnya saja di mess Astronomix Girls," decih Antonio sinis.

"Hah? Masa sih, Ton? Perasaan gue nggak pernah tuh ketemu dia di Astronomix. Lo salah liat kali." Abizar mengibaskan tangan. Meragukan cerita Antonio.

"Mata gue masih normal, Zar. Lagian lo kan udah lama nggak nginjek club. Ya lo nggak tau lah soal barang baru." Antonio memutar bola mata. Ia kesal karena ceritanya disangsikan. Sepertinya rekannya ia perlu diyakinkan.

"Lo semalam nyuruh gue ngejamu Alain dan teman-temannya di Astronomix 'kan?" Abizar mengangguk. Penasaran dengan sisa cerita Antonio.

"Nah, pas si Alain dan temennya pada high dengan Astro girls masing-masing, dia muncul ke VVIP room  ngebawain sekotak kondom buat temannya," terang Antonio. Abizar bersiul kaget dan Bian tercekat. Ia sama sekali tidak menyangka kalau perpisahannya dengan Seruni telah membuat Seruni salah langkah.

"Dan lo tau nggak apa yang bikin gue lebih kaget?" ucap Antonio lagi. "Waktu si Alain bermaksud ngajak si waitress have fun, si Xander ngamuk. Dia langsung bilang kalau waitress itu miliknya. Lo denger Zar, miliknya. Makanya si Alain sampai minta-minta maaf kemarin. Soalnya muka si Xander udah kayak mau makan orang." Antonio puas karena bisa membuktikan ucapannya.

"Wah, gue nggak tau kalau kejadiannya sampai sechaos itu. Setau gue Xander itu dingin sama perempuan, kecuali Nuri. But you knowlah si Nuri itu sukanya sama siapa." Abizar mengedikkan bahu.

"Tapi mungkin ini memang  jalannya Xander moved on dan belajar melupakan Nuri. Lagi pula waitress itu memang cantik 'kan? Wajahnya sendu-sendu seksi gimana gitu," lanjut Abizar lagi.

"Wah... wah... wah... jangan bilang kalo lo juga tertarik dengan si waitrees ya? Inget, bulan depan lo udah mau nikah sama si Rani. Jangan jadi iblis." Antonio membalas dengan membalikkan kata-kata Abizar karena mengatainya iblis tadi.

"Ck! Kagaklah. Gue bukan  laki-laki yang suka menduakan pasangan. Satu aja kagak habis-habis, ngapain serakah ngelaba yang lain? Toh semuanya sama saja. Sama-sama perempuan."

Kalimat Abizar terhenti saat sang waitress yang mereka ghibahi muncul membawa pesanan makanan. Cerita mengenai hubungan sang waitress dan Xander membuat Abizar memperhatikan sosok si waitress lebih seksama. Sungguh, sulit baginya untuk mempercayai cerita Antonio, kala ia menatap wajah lugu yang tengah menata makanan di depannya ini. Wajah polos tanpa riasan dan senyum tulus di bibirnya, tidak cocok dengan predikat call girl yang di sandangnya. Fixed. Benar-benar tidak cocok.

"Semua pesanannya sudah keluar ya, Tuan-Tuan? Selamat menikmati." Seruni membungkukkan tubuh dan berlalu dengan baki kosong. Banyaknya pekerjaan di dapur membuatnya berusaha bergegas. Jam makan siang adalah jam-jam paling sibuk di restaurant.

Tanpa Seruni sadari, Bian mengikuti langkahnya dalam diam. Kepada dua atasannya, Bian pamit ke toilet. Padahal tujuannya adalah mencari Seruni. Tepat ketika Seruni akan masuk ke dalam pantry, seseorang menarik pergelangan tangannya. Seruni yang kaget nyaris menjatuhkan baki. Biantara Sadewa! Untuk apa laki-laki penghianat ini mencarinya secara diam-diam begini?

"Maaf, Tuan. Jika Tuan memerlukan bantuan, silahkan tunggu di meja Tuan saja. Saya yang akan menemui Tuan di sana." Seruni melanjutkan permainan seperti yang Bian inginkan. Menjadi dua orang yang tidak saling mengenal.

"Sekarang sudah tidak orang Seruni. Mari kita bersikap biasa saja," bujuk Bian gelisah. Ia takut kalau-kalau kedua atasannya memergoki dirinya yang sedang berbicara dengan Seruni. Bisa panjang urusannya nanti.

"Oh jadi sekarang kita ganti peran lagi? Nggak capek apa main sandiwara terus? Maaf ya, Mas. Hidup Uni tidak sekurang kerjaan itu." Seruni menepis kasar tangan Bian. Ia jijik bersentuhan dengan suami orang.

"Tunggu, Uni. Dengarkan Mas sebentar." Bian menghadang langkah Seruni. Seruni menghembuskan napas kesal. Beginilah Bian kalau sudah punya mau. Ngeyelan.

"Minggir, Mas. Uni mau--"

"Apa benar kamu tinggal di mess Astronomix Girls?"

Si mulut mercon telah menghibahinya ternyata.

"Benar, Mas." Seruni menjawab apa adanya.

"Kenapa kamu bisa terjerumus ke dunia hitam seperti ini, Uni?" desis Bian putus asa. Belum sempat Seruni menjawab, Bian merogoh saku celananya. Mengeluarkan dompet dan menarik sebuah kartu nama serta semua lembaran berwarna merah yang ada di dalamnya.

"Ini, ambil kartu nama dan uang Mas ini untuk berjaga-jaga. Cari hotel di sekitar tempat ini, khusus untuk malam ini saja. Besok pagi-pagi sekali Mas akan menjemput kamu di hotel. Mas akan menemani kamu mencari kontrakan atau apapun, yang penting kamu tidak tinggal di tempat maksiat itu lagi. Mas ke depan dulu." Perintah Bian seraya menjejalkan lembaran uang ke tangan Seruni.

"Tapi, Mas--" Seruni yang terpaku melihat tingkah Bian, baru tersadar saat melihat Bian telah berlalu dari hadapannya. Kalau ia nekad mengejar sampai keluar sana, reputasinya sebagai seorang waitrees bisa hancur berantakan. Dan akibatnya ia bisa saja kehilangan pekerjaan yang sangat ia butuhkan saat ini. Sebaiknya ia meminta bantuan salah satu rekan kerjanya saja untuk mengembalikan uang ini kepada Bian. Dengan apa boleh buat Seruni memasukkan lembaran uang itu ke dalam saku dan bergegas kembali ke pantry.

Antonio yang sebenarnya tadi ingin ke toilet tersenyum sinis. Entah mengapa ia selalu menjadi saksi hidup atas segala kebejatan dari waitress cacat ini. Wanita memang mengerikan. Topeng mereka beraneka rupa bentuknya. Jika ia tidak berkali-kali menyaksikan sepak terjang bejat waitress ini, ia pasti akan tertipu dengan wajah innocentnya. Tapi nyatanya waitress ini poltak alias polos lugu namun tak berotak.

She’s such a shit-stirrer.

Sementara itu di pantry, Seruni diam-diam menghampiri Sahara. Salah seorang waitress baru yang cukup akrab dengannya karena sama-sama berasal dari luar daerah. Sahara tampak bersiap-siap mengantar pesanan pengunjung. Seruni lekas-lekas mendekati dan berbisik pelan di telinga Sahara.

"Sar, Mbak bisa minta tolong nggak?" Bisik Seruni pelan. Sahara yang sedianya akan mengangkat baki mengurungkan niatnya.

"Minta tolong apa, Mbak?"

"Kamu tau 'kan kenapa Mbak sampai minggat ke sini?" Sahara mengangguk. Seruni memang menceritakan semua kesialannya padanya.

"Nah, laki-laki berkemeja biru langit yang duduk di meja 16 lah, mantan pacar yang berhianat itu." Sahara membelakakan mata. Mulutnya membentuk huruf O saking terkejutnya.

"Nah masalahnya, ia memberikan kartu nama dan uang ini pada Mbak, padahal Mbak tidak pernah memintanya. Kamu bisa tidak menolong Mbak mengembalikannya tanpa sepengetahuan orang lain? Ya pandai-pandai kamu lah cara mengembalikannya. Mbak minta tolong banget. Kamu mau nggak, Sar?" bujuk Seruni harap-harap cemas.

"Tenang aja, Mbak. Biar saya saja yang mengurus masalah ini. Jangankan cuma mengembalikan. Kalau tidak takut dipecat, saya malah kepengen sekali menyumpalkan kartu nama dan uang ini ke mulut besarnya!" gerutu Sahara kesal.

Seruni menarik napas lega. Setidaknya satu masalahnya terurai sudah. Untuk selanjutnya ia akan menghindari pertemuan dengan Bian dengan segala cara. Niatnya kabur ke ibukota adalah ingin melupakan semua masa lalunya. Melupakan Bian dan penghianatannya adalah salah satunya.

Notes.

Step to customer artinya prosedur pelayanan kepada tamu sesuai dengan SOP (Standard Operational Prosedure).

She’s such a shit-stirrer. Artinya seseorang yang selalu suka mengambil keuntungan dari orang lain

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status