Bab 1
“Maaf, kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi Tuhan juga yang berkehendak. Bapak Edward dan Ibu Shinta tidak berhasil kami selamatkan.”Sekujur tubuh Angel melunglai. Sendi-sendi penyanggahnya seketika luruh saat telinganya menangkap berita buruk itu.Kedua orang tuanya mengalami kecelakaan. Mobil yang membawa mereka hancur. Keduanya pun tidak dapat diselamatkan meski tenaga medis sudah mengupayakan cara terbaik. Padahal satu minggu lagi pernikahan Angel dengan putra rekan bisnis papanya akan diselenggarakan. Sayang, kehendak Tuhan seringkali tidak sejalan dengan keinginan manusia. Sebelum berhasil menyaksikan putri tunggal mereka bersanding di pelaminan dengan menantu pilihan mereka, sepasang suami istri itu dipanggil yang kuasa dengan cara yang tidak terduga."Kami ikut berduka cita atas musibah ini. Yang sabar ya.”"Terima kasih, Dok," jawab Angel lirih membalas ucapan belasungkawa dari dokter yang menangani kedua orang tuanya. Pipinya basah oleh lelehan air mata.Hari itu juga kedua orang tua Angel dimakamkan. Berbagai papan bunga memenuhi ruas jalan. Sebagai pengusaha ternama orang tua Angel memiliki banyak kolega.Pemakaman dipenuhi oleh pelayat termasuk oleh keluarga calon mertua Angel. Hanya saja Angel tidak tahu kenapa calon suaminya tidak ada di sana. Namun, ia tidak ingin memikirkannya. Kesedihan yang merayapi hati menguasai seluruh atensi perempuan itu."Tante ikut sedih atas musibah yang menimpa orang tua kamu, Ngel. Tapi tamu tidak sendiri di dunia ini. Masih ada Tante, Om, dan Ben," ucap Natasya—calon mertuanya, menghibur Angel yang sedang berduka.Angel membalas ucapan belasungkawa itu sambil memandang Natasya dengan matanya yang sembab."Kamu jangan khawatir, Angel. Pernikahan kamu dan Ben akan tetap terselenggara. Pernikahan itu tidak akan dibatalkan." Natasya melanjutkan perkataannya.Untuk sesaat Angel termenung. Ia baru saja kehilangan kedua orang tuanya. Ia pikir lebih baik pernikahan tersebut diundur dulu jika tidak bisa dibatalkan.“Tante, apa nggak bisa ditunda dulu? Papa dan Mama baru saja meninggal.""Nggak bisa, Angel." Natasya menyahut dengan cepat. "Gedung sudah di-booking, undangan juga terlanjur disebar. Kita bisa malu kalau sampai pernikahan kamu tidak jadi diselenggarakan. Bukannya Tante tidak mengerti perasaan kamu. Tante sangat paham kalau saat ini kita sedang ada dalam masa berkabung. Tapi satu minggu lagi Tante pikir tidak terlalu cepat."Jawaban Natasya membuat Angel terdiam. Ia masih ingin membantah, tapi logikanya berkata pendapat calon mertuanya sepenuhnya benar.Angel akhirnya hanya bisa menyerah pada keinginan calon mertuanya. Ia tidak ingin mencoreng arang di muka siapapun.***Satu minggu kemudian ...Lagu Beautiful in White yang dibawakan oleh wedding singer mengalun dengan romantis ke setiap penjuru ballroom. Hari itu sedang terselenggara pernikahan Ben dan Angel. Keduanya bersanding di pelaminan dan tampak begitu serasi. Yang satu cantik jelita. Sedangkan yang satunya tampan dan menawan.Para undangan yang datang menghadiri acara tersebut ikut bahagia menyaksikan sepasang pengantin yang begitu sempurna.Angel berusaha keras untuk tersenyum walau jauh di relung hatinya ia masih merasakan kesedihan yang mendalam atas kematian orang tuanya yang begitu mendadak.Acara pernikahan tersebut berakhir pukul sebelas malam. Pasangan pengantin tersebut langsung memasuki kamar mereka yang terletak di hotel yang sama dengan acara tersebut diadakan.Angel membuka ball gown-nya. Namun ia agak kesulitan melakukannya karena sepertinya resleting bagian belakang gaun tersebut tersangkut. Ia butuh bantuan seseorang. Satu-satunya yang bisa ia minta pertolongan adalah Ben yang kini sudah resmi menjadi suaminya.Angel mencari sosok laki-laki itu. Lensa matanya menangkap keberadaan Ben di sudut kamar. Ben sedang melepas tuxedo."Ben!" Angel memanggil nama suaminya sambil melempar pandang ke arah laki-laki itu.Pria itu tidak merespon sehingga Angel kembali memanggil untuk kedua kali karena ia pikir Ben tidak mendengarnya."Ben, bisa bantu aku sebentar?" panggilnya dengan menaikkan intonasi suara.Lelaki itu memandang ke arah Angel. Namun sungguh reaksi yang diterimanya tidak pernah ada di dalam prediksi Angel."Aku nggak tuli. Nggak perlu bicara sekeras itu," jawabnya dingin."Aku nggak bermaksud begitu, Ben. Tadi aku pikir kamu nggak mendengar waktu aku memanggil," jawab Angel agar Ben tidak salah paham. Perempuan itu lantas menarik langkah mendekati suaminya. Begitu jarak mereka tidak kurang dari satu meter ia menyampaikan maksudnya."Ben, bisa bantu aku membuka resleting baju? Kayaknya ada yang nyangkut."Angel kemudian memutar tubuhnya membelakangi laki-laki itu. Dua detik setelahnya ia merasakan tangan Ben menyentuh punggungnya lalu bergerak perlahan ke arah bawah."Auu!" Pekikan tertahan terlontar dari mulut Angel karena Ben menurunkan resletingnya dengan sangat kasar. Ia sontak memutar tubuhnya mengarah pada laki-laki itu. “Ben, sakit, kamu terlalu kasar.”“Memangnya apa yang kamu harap dariku? Aku akan berlaku lemah lembut? Jangan mimpi, Angel. Pernikahan ini nggak berarti apa-apa buatku. Jangan pernah berharap lebih dari pernikahan sialan ini!” ucap lelaki itu ketus. Sorot matanya yang tajam membuat Angel memundurkan tubuhnya. Perempuan itu begitu terkejut atas perlakuan yang diterimanya.Dari awal Ben memang tidak banyak bicara. Tapi Angel tidak menyangka bahwa reaksi seperti inilah yang diterimanya dari laki-laki itu tepat di hari pertama mereka menikah.“Ben, maksud kamu apa mengatakan pernikahan ini dengan pernikahan sialan?” Angel ingin tahu apa alasan Ben.“Aku tidak menginginkan pernikahan ini! Aku terpaksa menikah denganmu.”Rentetan kalimat yang diucapkan Ben membuat sekujur tubuh Angel lunglai.Laki-laki itu lantas mendorong tubuh Angel hingga tersandar ke dinding sementara sepasang mata elangnya mengunci netra Angel hingga tidak bisa ke mana-mana selain menatap pada laki-laki itu.“Dengar aku baik-baik. Aku sama sekali tidak mencintai kamu. Aku sudah punya kekasih yang sangat kucintai. Jadi jangan pernah berharap apa pun dari pernikahan ini. Paham?!”Selesai mengucapkan kata-kata terakhirnya, Ben bergerak pergi dari kamar itu. Meninggalkan Angel sendiri dengan berbagai pertanyaan yang berkumpul di kepalanya serta kesedihan yang menyelimuti hatinya.Angel baru saja lulus kuliah di luar negeri sekitar satu bulan yang lalu. Ayahnya meminta untuk pulang ke Indonesia lalu bekerja di perusahaan keluarga. Karena Angel belum berpengalaman, orang tuanya meminta Angel menikah dengan Ben agar mereka bisa mengelola perusahaan bersama-sama. Ayahnya mengatakan bahwa Ben adalah pebisnis yang handal dan sudah berpengalaman.Walau baru mengenal Ben namun Angel tidak berusaha untuk menolak perjodohan tersebut. Di matanya Ben adalah pria yang menarik dengan kerupawanan fisik yang nyaris sempurna.Memangnya siapa yang tidak akan menyukai pria tampan, mapan dan rupawan seperti Ben? Banyak wanita tergila-gila padanya. Mereka mungkin juga berpikir bahwa Angel sangat beruntung terpilih menjadi istri lelaki itu. Sayangnya hanya Angel yang tahu bahwa dirinya tidaklah seberuntung seperti yang dipikirkan orang-orang.***Detik waktu seakan berhenti berputar ketika pria itu memutar tubuhnya hingga bertemu mata dengan Angel. Sekujur tubuh Angel seketika menggigil. Pria itu adalah satu-satunya manusia yang tidak ingin Angel temui di muka bumi ini. Kalau pun dirinya harus bertemu dengan pria tersebut maka dia adalah orang terakhir yang ingin Angel lihat."Angel ..." Bibir Ben gemetar saat melafalkan nama perempuan yang sudah bertahun-tahun menghilang dari kehidupannya.Angel membeku di tempat. Kakinya terasa selunak agar-agar hingga ia merasa tidak sanggup lagi menopang tubuhnya sendiri."Mama, Om itu lagi bicara sama Mama." Bobby menggoyang-goyangkan tangan Angel karena ibunya itu terpaku membisu.Angel masih belum sanggup melakukan apa-apa. Semua ini begitu mendadak dan sangat mengejutkannya.Sementara itu Ben masih belum berkedip memandang Angel. Adegan demi adegan yang terjadi di masa lalu kini berputar-putar di kepalanya seperti tayangan film yang diputar ulang. Namun yang paling berkesan adalah saat
Ben yang tadi berdiri tegak membungkukkan sedikit badannya agar sejajar dengan Bobby. Melihat cara anak itu memandangnya membuat Ben mengerti bahwa Bobby meragukannya."Bobby, jangan takut. Om bukan orang jahat atau penculik anak. Maksud Om sebenarnya baik. Om hanya kasihan dan nggak mau Bobby lama menunggu di sini.”Meski Ben sudah mencoba meyakinkannya namun Bobby masih merasa bimbang. Mamanya mengajarkan pada anak itu agar berhati-hati pada orang tidak dikenal."Dari mana Om tahu namaku?" tatap Bobby curiga.Ben menahan senyum melihat ekspresi Bobby yang menggemaskan. Tangannya lantas menyelinap ke balik jas. Dikeluarkannya sesuatu dari sana. Kertas gambar yang kemarin ditemukannya."Ini, Om tahu dari sini."Sepasang mata anak itu terbuka lebar menyaksikan kertas yang kemarin dicarinya ternyata ada bersama Ben."Ini dia yang aku cari. Om ketemu di mana?" kejarnya antusias."Om ketemu di sekolah ini. Kemarin kertasnya jatuh tapi Bobby sudah pulang. Ini ambillah." Ben memberikan kert
Ben menekuri dengan saksama kertas putih di tangannya. Di kertas itu berisi gambar. Bukan gambar biasa melainkan gambar pesawat. Dilihat sepintas lalu gambar tersebut digambar oleh orang dewasa atau seseorang yang begitu berbakat. Gambar tersebut begitu bagus dan rapi. Mulai dari goresannya yang begitu estetik hingga kombinasi warna yang digunakan. Tidak akan ada yang menyangka jika gambar tersebut adalah hasil goresan tangan dari seorang anak yang masih berusia lima tahun. Bahkan Ben sendiri.Kertas itu Ben dapat di sekolah Taman Kanak-Kanak tempatnya bertemu dengan anak yang begitu mirip dengannya. Saat anak itu pergi bersama lelaki yang Ben duga adalah ayahnya Ben baru menyadari anak tersebut meninggalkan sesuatu.Ben memungut kertas gambar tersebut dari tanah. Lalu akibat terlalu penasaran lelaki itu membawa kertas tersebut bersamanya.‘Bobby Fernanda.’ Ben mengeja di dalam hati dua potong kata yang merupakan nama anak tersebut.Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya yang
Enam tahun kemudian. "Papa!!!" Segaris senyum tipis terselip di bibir Refal di ketika melihat seorang anak laki-laki memanggil lalu berlari menghampirinya. Anak laki-laki itu berkulit putih dan memiliki paras yang rupawan. Tinggi badannya juga melebihi anak-anak seusianya. Refal tersenyum lantas menyambut tangan anak itu saat ingin bersalaman dengannya. "Gimana sekolahnya, By?" tanyanya pada Bobby, nama anak itu. "Menyenangkan, Pa. Aku suka sekolah di sini." Refal membelai kepala Bobby. Mereka melangkah bersisian menuju tempat mobil Refal diparkir. Tiba-tiba seorang lelaki yang berjalan terburu-buru dari arah berlawanan dengan mereka tidak sengaja menabrak Bobby hingga anak itu terjatuh. "Aduuuuh, Papaaa ...," rintihnya dengan ringisan di wajah. Sontak pria yang menabrak memandang ke arah Bobby. "Maaf, Om nggak senga—" Perkataan pria itu terputus. Wajah anak yang ditabraknya terasa tidak asing lagi dengannya. Matanya, hidungnya, bibirnya, serta bentuk dahinya bagai copy pa
Setelah meninggalkan kamar Angel dan menyuruh perempuan itu beristiraharat Refal muncul tak lama kemudian dengan membawa nampan berisi nasi dan dua buah gelas. Masing-masing gelas tersebut berisi air putih dan teh. Lelaki itu lantas meletakkan di atas nakas."Makanlah dulu," suruhnya pada Angel. Setelah berkata demikian lelaki itu keluar dari kamar.Menghela napasnya, Angel bangkit dari posisinya berbaring. Perempuan itu memijit-mijit pelipisnya. Sementara itu pikirannya mulai mengurai kejadian demi kejadian yang terjadi dalam hidupnya.Apa yang dilakukan Ben sekarang? Apa lelaki itu mencarinya? Apa lelaki itu tidak merasa penasaran karena Angel tidak pulang?Angel menepis pikiran demi pikiran itu dari kepalanya. Mana mungkin Ben mencarinya. Lelaki itu sudah mengusirnya dan terlihat begitu membenci Angel.Memejamkan mata, Angel mengusir pikiran tersebut jauh-jauh. Ia tidak boleh lagi memikirkan Ben apalagi berharap lebih dengan menginginkan lelaki itu mencarinya."Kenapa tidak dimakan
Sore itu Refal baru saja pulang dari tempat kerjanya. Hari ini pasiennya tidak terlalu banyak sehingga ia bisa meninggalkan rumah sakit lebih awal.Sejak pagi hujan turun tanpa henti. Titik-titik air masih terus membasahi hingga saat ini.Refal mengemudi dengan santai. Namun lama kelamaan ia mulai merasa ngantuk. Berkali-kali lelaki yang berprofesi sebagai dokter kandungan tersebut menutupi kuap dengan telapak tangan. Ia berencana setibanya nanti di rumah akan tidur sepuasnya. Bergelung di dalam selimut adalah hal yang sangat diinginkannya saat ini.Tiba-tiba sesuatu mengejutkannya. Lelaki muda itu sontak menekan pedal rem dengan mendadak ketika tiba-tiba melihat seorang perempuan berlari ke tengah jalan dan menabrakkan diri ke mobilnya. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga ketika orang tersebut ambruk ke aspal tepat di depan mobilnya.Refal buru-buru keluar dari mobil dan melihat sendiri perempuan itu. Kantuknya lenyap. Matanya yang tadi begitu berat mendadak terbuka leb