Grassiela merasa cemas saat ia duduk di meja makan bersama Violeta, pikirannya terganggu oleh rumor buruk yang masih beredar di antara para pelayan. Namun, dia mencoba untuk tetap tersenyum dan bersikap normal. Satu persatu berbagai kudapan lezat mulai dihidangkan di atas meja. Violeta tampak antusias untuk menikmati makanan di hadapannya, tetapi tidak dengan Grassiela. Perasaan yang tak tenang membuat dia sama sekali tidak berselera. Setelah para pelayan pergi, Violeta mendadak beranjak dari tempat duduknya, membuat Grassiela berkedip memandang wanita itu."Oh, aku melupakan multivitamin yang harus kuminum sebelum makan. Aku akan segera kembali," ujar Violeta sebelum cepat-cepat kembali ke kamar tamu untuk mengambil sesuatu yang dia lupakan.Grassiela menghela napas panjang dan menunduk di ruangan itu sendirian. Entah kenapa kepergian Violeta seakan memberinya ruang bebas untuk bernapas. Kali ini Grassiela memilih untuk menyimpan kegelisahannya send
Dalam kegelapan malam yang mencekam, Grassiela terbaring di atas tempat tidurnya bersama cahaya remang-remang lampu kecil di atas nakas. Kedua matanya yang menatap langit-langit kamar tanpa fokus menjadi cermin bagi kekosongan yang ia rasakan.Saat ini isi kepala Grassiela penuh dengan guncangan emosional yang mendalam. Untuk kesekian kalinya Grassiela merasa tersakiti oleh orang-orang di sekitarnya. Kata-kata tajam, cemoohan, dan pengkhianatan melintas di dalam pikirannya, menorehkan luka-luka yang tidak pernah sembuh.Hatinya berat dan tertekan, Grassiela merasa kehilangan dirinya sendiri dalam pusaran gelisah. Hingga frustasi datang memenuhi pikirannya. Dia merasa terjebak dalam cengkeraman takdir yang kejam, meratapi keputusan yang telah membawanya ke jalur yang salah. Hati Grassiela terpenuhi dengan penyesalan, terutama pada keputusannya untuk setuju menikahi James Draxler.Lantas wanita muda itu menutup wajahnya dengan tangan yang gemetar. Air mata hampir meluap, dan gelombang em
Pagi itu, Grassiela mengayunkan kakinya perlahan-lahan menuruni anak tangga, diikuti oleh seorang pelayan setia yang membawa sebuah koper berisi barang-barang pribadinya. Cahaya matahari pagi meresap lewat jendela besar, mencerahkan setiap sudut mansion yang sebelumnya diguncang oleh kekacauan penyerangan semalam.Grassiela merasa nyalinya terusik saat ia melihat para pelayan yang sibuk membersihkan pecahan kaca dan merapikan furnitur yang rusak. Meski terlihat lelah, mereka tetap berusaha mengembalikan mansion ini ke keadaan semula. Dengan langkah-langkahnya yang anggun, Grassiela berjalan melewati ruangan yang masih berantakan."Selamat pagi, Nyonya," sapa salah seorang pelayan.Grassiela mengangguk sebagai balasan, "Apa ada yang terluka akibat kejadian semalam?" "Tidak, Nyonya. Para pelayan hanya merasa lelah dan ketakutan."Grassiela mengingat kejadian mengerikan semalam. Dia merasa bahwa serangan tembakan brutal hanya tertuju ke kamarnya saja. Setidaknya, dia merasa lega karena t
"Namamu Fausto, bukan?""Ya. Kau memang sudah seharusnya mengingatku."Grassiela terdiam sejenak, menunduk dengan murung. Cahaya senja dari jendela mobil membelai wajahnya yang pucat, sementara tatapan matanya tampak kosong. Setelah beberapa saat kemudian dia kembali berkata, "Bolehkah aku meminta bantuan darimu?"Hampir setengah perjalanan telah mereka tempuh menuju ke Saint Petersburgh. Langit sore mulai berubah warna menjadi keungu-unguan dan dua buah mobil BMW berwarna hitam itu melambat hingga berhenti di tepi jalan yang sepi. Atas permintaan Grassiela, Fausto dengan tegas menahan perjalanan mereka. Dengan segala pertimbangannya, pria itu mengangguk setuju memberikan Grassiela kesempatan untuk berkomunikasi dengan orangtuanya yang jauh. Fausto bukan lah seorang yang kejam seperti bosnya. Dia iba melihat kesedihan di raut wajah Grassiela yang sendu. Penyerangan semalam pasti membuatnya merasa takut dan tertekan. Maka dengan besar hati Fausto rela menyerahkan ponselnya pada Grassi
Grassiela melangkah di belakang seorang pelayan melewati koridor-koridor marmer di dalam manor. Cahaya mentari dari jendela-jendela tinggi serta dinding yang dingin seakan-akan menceritakan adanya sejarah yang tertulis di sepanjang koridor besar tempat tinggal bergaya Rusia ini.Florence Shine, seorang pelayan wanita berusia di akhir 30 tahun yang menyertai Grassiela berkeliling, berjalan di depannya dengan langkah yang tenang. "Manor ini telah berdiri selama lebih dari seratus tahun, dengan sejarah yang kaya," ucapnya setelah mereka sampai di sebuah ruang duduk utama yang luas.Grassiela mengangguk dan berhenti sejenak untuk mengamati furnitur mewah dan lukisan-lukisan tua yang menghiasi ruangan itu. Meski tak ada ekspresi yang berarti di wajah cantiknya, namun diam-diam Grassiela terpesona oleh arsitektur elegan dengan lantai marmer, furnitur antik, dan dekorasi bergaya khas Rusia. "Ruang ini biasa digunakan untuk menyambut tamu dan acara-acara penting," jelas Florence. "Namun Tuan
Jika James Draxler memang seorang yang benar-benar tidak bermoral, dia tidak akan menjaga Grassiela dengan sebaik ini. Ruang kamar sendiri, pelayan pribadi dan pengawalan ketat. Apa itu tidak cukup?Pria itu bisa saja memperlakukan istrinya dengan buruk. Siapa yang akan tahu? Siapa yang akan peduli? Keluarga Stamford jelas-jelas sudah menyerahkan putri tunggal mereka. Lantas apa yang kurang dari kehidupan Grassiela? Apakah cinta yang belum tumbuh di dalam pernikahan mereka yang baru seumur jagung membebani pikirannya? Mengapa wajah jelita itu tampak murung? Mengapa kedua netra biru yang cantik itu terlihat kosong?Grassiela mengerjap ketika suara ketukan di pintu menyadarkannya dari lamunan. Dia beranjak dari bingkai jendela yang terbuka, tempatnya duduk sambil menatap kilauan danau di perbatasan taman yang memantulkan cahaya oranye matahari sore. Seseorang di balik pintu kamar terdengar tak sabaran. Ketukan terdengar lagi dengan cepat, mem
"Ceraikan aku. Ayo kita akhiri semua ini."Saat matahari hampir terbenam, sinar senja memeluk langit, menciptakan atmosfer menegang di pelataran manor yang sunyi. Grassiela dan James, terpisah oleh sudut pandang yang berbeda. Keduanya saling menatap dengan ekspresi yang mencerminkan gejolak perasaan serta ketidakpastian."Lanjutkan saja kesepakatanmu dengan ayahku," lanjut Grassiela bersama getir dalam tatapannya. "Ambil semua yang kau inginkan. Dan biarkan aku pergi."Dalam keheningan yang terbentang di antara mereka, Grassiela menahan berjuta kepedihan yang terpendam bersama asa yang tersisa bahwa James akan mau melepaskannya. Tetapi semua itu tentu tidak akan mudah.James yang masih menatap wanita yang menjadi istrinya tak menunjukkan ekspresi yang berarti. Dia mungkin sedikit terkejut, namun sebuah senyum samar justru terbentuk di sudut bibirnya. Rupanya wanita itu masih belum juga menyerah."Grassiela Draxler," suara James yang dalam bersama sorot matanya yang mendominasi seakan m
Malam itu, James tengah bergelut dengan tumpukan pekerjaan di ruang kerjanya. Membenamkan diri dalam data grafik yang mencerminkan kesehatan jaringan di berbagai bisnisnya. Meski berusaha fokus pada laporan yang dikirimkan oleh Benicio, sesungguhnya sejak lama bayangan Afro Maccini menyusupi pikiran. Sialan! James mengumpat dalam hati seiring berkas-berkas di atas meja yang ia sapu dengan kesal. Dia mengusap wajahnya dengan kasar. Bagaimana mungkin Alexsei masih belum bisa menemukan jejak bajingan itu? Apakah terlalu sulit menemukan sekelompok orang yang secara terang-terangan datang untuk menyerang mereka?Teka-teki ini membuat pikiran James terasa frustasi. Merenggangkan tubuhnya sejenak, ia memutuskan untuk meredakan penat dengan menatap keluar jendela.Pemandangan malam membuka lembaran baru. Langit dipenuhi bintang, dan cahaya bulan menerangi hamparan halaman dengan penuh misteri. Selama beberapa saat James hanyut dalam pikirannya sendiri. Tenggelam dalam bayang-bayang dendam ya