Bahkan Lucy sudah bersiap ini ketika tangan kekar itu akan kembali melayangkan sebuah pukulan. Bahkan bagi Lucy hal ini sudah biasa.
Pada akhirnya pipi Lucy memerah dan merasakan sebuah nyeri. Ia kali ini tersungkur akibat pukulan yang terlalu keras. Bahkan kamarnya pun terkunci dengan rapat. Kedua orang tuanya kali ini langsung saja pergi meninggalkan Lucy sendirian. “Sebenarnya kenapa aku jadi seperti ini? Kenapa mereka tidak menyayangiku? Apa aku ini bukan anaknya?" tanya Lucy dengan mengusap salah satu pipinya yang sangat kesakitan. Ingatannya kembali mengarah kepada temannya yang selama ini sangat sayang padanya dan selalu melindunginya, yaitu Aya. Setiap masalah yang Lucy terima selalu ingat Aya.'. Jika kamu sedih, ingatlah aku. Aku akan selalu melindungimu Lucy.' bayangan itu terngiang di fikiran Lucy ketika matanya terpejam untuk beberapa waktu.Tanpa terasa ketika ia melihat jam di dinding saat itu waktu sudah sore. Lucy langsung saja bergegas untuk mandi. Setelah itu ia segera merebahkan dirinya dan ingin menghubungi Aya. Jujur saja yang sangat merindukannya. Rasa lelahnya akan terobati ketika sudah mendapat kabar dari Aya.Merindukan seseorang yang memang tidak pantas untuk dirindukan. Seorang wanita. Dan dirinya juga seorang wanita, “ Biarlah cintaku berbuat dosa. Tetapi inilah aku, aku sangat mencintai Kak Aya," lirihnya menghapus air mata yang sejenak mengalir membasahi pipinya. Ia langsung saja menghubungi Aya.Namun luciana begitu kecewa ketika tak mendapati panggilannya diangkat sama sekali. Bahkan luciana sudah menghubunginya berkali-kali, tetapi sepertinya kali ini justru ponsel milik Aya tidak aktif. Akhirnya Lucy hanya meletakkan ponsel nya itu dengan asal. Kemudian kali ini tubuhnya ia tidur terlentang sembari memandang langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. “Apakah Kak Aya juga memiliki perasaan lebih padaku? Bukankah kami sama-sama. Seorang korban dalam keluarga." gadis itu berkata sendiri. Kali ini Aya menggelengkan kepalanya dengan cepat memikirkan ide gila itu “ Ah ... Sudahlah. Aku semakin pusing saja, seorang pria bernama Bian itu malah hanya mengusik hidupku saja." “Yang jelas aku tidak mau adanya laki-laki di dalam hidupku laki-laki itu beraninya hanya menyakiti. Mereka pasti sosok seperti Ayah. Sosok kasar, memaksa, tidak sayang, serta tukang menyakiti. Tidak seperti Kak Aya, dia sangat baik dan perhatian sekali padaku meski pun dirinya juga bermasalah," ucap Lucy yang berakhir dengan dirinya tertidur.***Pagi ini, Lucy sudah memakai seragamnya, tetapi nampaknya hal ini diketahui oleh kedua orang tuanya. Lucy akhirnya kembali memukuli Lucy. Bahkan kali ini pukulan yang diterima oleh Lucy sangat brutal. “Sebenarnya apa yang Aya berikan kepadamu hah? Kenapa kamu sangat menyukainya. Kamu suka seorang wanita! Sebenarnya otak kamu itu ada dimana?" tanya Rich ketika Lucy masih saja kekeuh dengan pendiriannya untuk menolak Bian.“Yang jelas aku tidak mau bersama dengan Bian. Biarkan saja aku mati," ucap gadis itu keras kepala. Tidak perdulikannya ketika tubuhnya sudah menerima sebuah cambukan. Bahkan tubuhnya sudah menggigil efek sakit.“Hanya lelah saja mengurusi bocah ini. Aku sepertinya duluan saja. Banyak urusan, urus aja bocah ini." Tery segera pergi terlebih dahulu tanpa memperdulikan putrinya yang kali ini disakiti sang Ayah. Bahkan tidak ada rasa sedikit pun iba pada wanita itu.“Arkh ..." Lucy mengerang kesakitan, tetapi ia terus dalam pendiriannya. “Lihatlah tubuhmu itu! Sangat buruk sekali. Bahkan mungkin Aya tidak akan mau padamu. Mendekati mu yang sangat jelek ini." secara langsung saja membawa cambuk nya dengan perasaan bosan. Ia keluar dari sana tanpa mengunci kamar Lucy, tetapi hanya menutup nya dengan suara yang teramat keras. Sampai Rich pun yang nampaknya sudah bersiap itu, menaruh cambuk nya dengan asal. Setelah itu ia turun dan akan segera pergi. Mobilnya sudah ia siapkan terlebih dahulu saat akan memberi pelajaran kepada Lucy.Rich kali ini mendadak semakin malas ketika memandang seorang gadis yang katanya disukai oleh putrinya itu. Yaitu Aya, orang tuanya merupakan teman satu perjudian. Ayahnya Aya dengan Rich sering bermain judi bersama dan nampaknya kali ini keduanya sama-sama mempunyai hutang yang menumpuk. Pria itu menyeringai sembari berkata di dalam hati, “Sepertinya gadis ini juga sama-sama. Dia akan segera menikahkan dengan seseorang akibat hutang." pria itu nampaknya tidak merasa bersalah sekali dengan perbuatan yang dilakukannya.Aya memarkirkan sepedanya dan memandang seorang pria yang keluar dari rumah.“Lusi ada?" tanya Aya.“Anak itu ..." desisnya dengan malas.“Dia ada di dalam," lanjutnya dengan enteng.Tanpa basa-basi kepada Aya, pria itu langsung saja membawa mobilnya pergi.Nampaknya Aya juga mengendikan bakunya tak perduli. Ia melangkahkan kakinya untuk menuju ke kamar Lusi.Rumah itu selalu sepi, seperti di rumahnya. Bahkan kedua orang Tuanya sering pergi. Kisahnya hampir mirip dengan Aya, tetapi bedanya jika Aya tidak pernah disakiti secara fisik. Teman-teman seperti inilah yang sebenarnya dekat dengan Aya. Salah satunya seorang perempuan yang bernama Lucy. Jika teman merokoknya rata-rata pria dan mempunyai masalah yang serupa, meski ada perbedaan.Aya mengetuk pintu kamar sembari memanggil Lusi. Namun tidak ada jawaban dari dalam.Tiba-tiba saja tak dengar suara isakan dari kamar Lucy. Tanpa seijin dari pemilik kamar tersebut, Aya langsung saja menerobos masuk.“Hiks ... Kak Aya," lirih Lucy terjerembab di pojokan kamar. Aya memandang nanar pada luka biru di tangan mungil Lucy.Ia nampak tengah memakai pakaian pendek sehingga bekas cambukan itu terlihat jelas.Dengan cepat Aya langsung saja menghampiri Lucy. Kemudian ia membantu Lucy untuk berdiri dan duduk di ranjang.“Apa Ayahmu memukulmu lagi?" tanya Aya tiba-tiba ia ikut mengeluarkan bulir bening dari matanya. Kemudian Aya menghapusnya dengan kasar.(Aya Sharma) "Semoga Suichi cepat sembuh," gumamnya mengingat bagaimana sahabatnya yang kecelakaan karena dirinya. Aksi kejaran bersama preman pemabuk itu nyatanya berujung maut. Gadis berseragam putih abu yang kini sudah kotor itu melambatkan langkah kakinya ketika melihat mobil mewah perparkir di depan rumah kedua orang Tuanya.“Pasti pacar ibu lagi." Aya berdecak dengan mata memutar malas.Dengan santai Aya menuju ke pintu yang terbuka dengan lebar.Suara cekikikan manja bisa ia dengar, "makasih ya mas ini bagus sekali. Seorang wanita cantik memegangi liontin kalung di lehernya.“Mas? Huwek ... aku ingin muntah," batin Aya menutup mulutnya dengan jijik ketika pria yang bersama dengan ibunya itu lebih muda.“Sama-sama sayang."Aya mendecih pelan membuat pandangan mereka mengarah kepada siapa yang datang. Dengan wajah datar tanpa menyapa, Aya berjalan melewati mereka. Aya pura-pura tidak melihat dan mengangg
Setelah mengaambil benda untuk meredakan panas yang diderita Aya saat ini, Mbok Sumi segera kembali ke kamar sang Nona untuk diobatinya. Tak lupa juga ia bawakan obat penurun panas.Namun langkahnya dicegah oleh matian, “Buat apa itu? Siapa yang sakit?" tanya wanita itu memandangi mangkuk kecil berisi kain dibawa oleh pembantunya.“Non Aya, Nyonya. Beliau badannya panas," jelas wanita itu dengan raut khawatir. Kekhawatirannya lebih mencerminkan jika Mbok Sumi yang merupakan seorang ibu disini.“Oh ... " Marian justru hanya ber oh ria saja. Ia lebih memperdulikan dengan bingkisan di tangannya dan mendahului langkah Mbok Sumi.Mbok Sumi membuka mulutnya. Ia fikir setelah mengatakan jika Aya sakit maka Marian akan khawatir juga, tetapi ia salah kaprah.Mbok Sumi hanya bisa berkata di dalam hati, "kasihan non Aya. Sakit saja Nyonya tidak khawatir. Apa karena non Aya bukan anak kandung Nyonya. Tapi setidaknya luangkan lah waktu untuk putrinya. Sedikit saja. Bukan hanya mel
Keesokan harinya, Aya nampaknya sudah merasa lebih baik. Mbok Sumi seperti biasa sudah membukakan gorden jendela kamarnya sehingga mentari pagi membuat Aya merasa kurang nyaman dalam mimpinya.Aya pun terpaksa membuka matanya.“Maaf non ... soalnya ini sudah siang. Meskipun non sedang sakit tetapi tidak baik kalau tidak terkena cahaya matahari pagi," terang wanita itu alakadarnya.Aya beringsut duduk, “Aku sudah merasa baikan kok, Mbok. Kayaknya udah nggak pusing lagi. Aku mau berangkat sekolah hari ini," terang Aya agak semangat.Bukan semangat belajar, Aya lebih suka nongkrong di belakang kantin sembari membuang banyak puntung rokok dengan beberapa teman pria.“Saya akan menyiapkan seragamnya, Non. Kemarin saya sudah ijinkan kalau non Aya tidak hadir," jelas wanita itu.“Makasih, Mbok. Nggak diijinin juga gak papa. Udah gak ada pelajaran lagi. Sekarang tinggal nunggu kelulusan saja," terang Aya.“Owh begitu to."“Ya sudah ... Aku mau mandi." Aya langs
Tanpa menjawab pertanyaan panik dari Aya, Lusi langsung saja memeluk Aya dengan eratnya. Luka pedihnya seketika hengkang ketika Aya datang.“Mereka jahat sekali padaku. Aku tidak diperbolehkan untuk sekolah lagi," jelas wanita itu dengan suara parau.Aya bisa merasakan jika bahu wanita itu bergetar dengan tangisannya yang luruh.Diusapnya rambut Lusi dengan lembut. Ia merasa trenyuh dengan keadaan wanita yang umurnya setahun lebih muda ketimbang dirinya.Setelah agak tenang, Aya berkata, "kalau begitu kamu turuti saja apa kemauan mereka. Daripada kamu dipukuli seperti ini," ucap sharna dengan lirih. Ia tidak tega Lusi dipukuli seperti ini. Sudah sejak dulu, tetapi Lusi tetap memaksakan diri untuk sekolah.Aya kini melepas pelukan dari Lusi.Hiks ... hiks ... hiks ...Tangisan Lusi semakin menjadi. Jujur saja Aya bingung dengan tangisan dari adik kelasnya itu. Ia segera mengusap air mata Lusi.“Kamu tenang dulu ya. Aku akan mengobati lukamu," ucap Aya se
Glek...“Jeruk makan jeruk dong," batin Aya dengan mata membola lebar karena terkejut.“Aku mencintai Kakak karena cuman Kak Aya yang selama ini perduli padaku. Tidak ada orang yang mau menyayangiku," lanjut gadis itu menundukkan kepalanya tidak berani menatap wanita yang selalu melindunginya.“Aku sayang sama kamu seperti adikku. Anggap saja kamu adalah adikku." Aya menjawab ujaran hati seorang Lusi.“Tidak Kak. Kakak salah, aku mencintai Kakak lebih. Seperti cinta seorang suami kepada istrinya begitu juga sebaliknya. Aku ingin selalu bersama dengan Kak Aya." Wanita itu masih mengungkapkan perasaannya.Aya bisa menangkap fikiran dari temannya itu. Teman wanita yang mencintai Aya.Aya menggelengkan kepalanya, “Jangan begitu. Kita harus ingat bentuk dan wujud kita," terang Aya mencoba untuk membuat wanita itu mengerti.Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan keras, “Jika Kak Aya tidak bisa membalas cintaku, lalu apa gunanya aku hidup. Ti
“Aku sudah dewasa. 17 tahun loh. Kalian harus ingat itu! Sebentar lagi aku ulang tahun," seloroh Aya. Ia mengerucutkan bibirnya ketika mendadak jadi malas. Ia pun kembali duduk dengan sedikit mengerti dengan apa yang dimaksud mereka. Tentu ia tidak bodoh dalam menerka tontonan apa yang sedang mereka pandang itu.Kini Aya tidak lagi penasaran. Ia lebih memilih bermain kartu dengan ketiga pria lainnya. Sampai tepat selesai bermain, suara orang datang membuat mereka menoleh.Sementara Aya justru sudah ada agak jauh dari para teman lelakinya sembari memejamkan mata dengan menikmati isapan demi isapan.“Eh … Suichi? Dimana dia? Biasanya dia selalu bareng kamu. Lengkat kaya perangko?” tanya Gerald ketika ingat dengan Suichi yang tidak menampakan batang hidungnya.“Haha … kali aja dia lagi di perpus. Dia sangat rajin sekali,” celetuk yang lain.Aya menghela nafas dengan panjang ketika mengingat keadaan temannya sekarang,
Dengan khawatir Lusi berbisik, "Kak Aya terluka."Lusi menunjuk luka itu sehingga sang empunya memandang bawah pundak yang berdarah. Bahkan darah itu menempel pada seragam putih yang ia kenakan.Melihat luka itu, Aya meringis. Ia menyadari rasa nyeri itu ketika Lusi memberitahukan lukanya.Lusi langsung saja menaikan roknya dan mengeluarkan benda tajam yang tadi ia bawa. Hal yang membuat Aya terkejut adalah ketika Lusi merobek rok seragam sekolahnya.“Lusi apa yang kamu lakukan?" tanya Aya langsung saja menghentikan tangan Lusi.Namun Lusi segera menepisnya, “Luka Kakak bisa infeksi.” Gadis itu menjawab sembari menyelesaikan sobekan pada seragamnya. Kemudian mengarahkannya ke luka Aya. Namun sebelumnya ia membersihkan cairan merah dengan tisu terlebih dahulu.Setelah selesai, pakaian Lusi saat ini sudah tidak utuh lagi seperti yang tadi. Aya yang melihatnya menjadi kurang enak. Ia langsung saja membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu
“Kamu mau apa Lucy?" tanya Aya wajahnya terlihat waspada.Lucy nampak menyeringai dengan lebar sembari memandang cutter itu. Kemudian ia memandang ke arah Aya yang wajahnya pucat pasi. Aya sangat ketakutan saat ini.“Tenang saja Kak Aya. aku tidak akan melukai Kakak. mana tega aku melukai orang yang aku cintai. jika Kakak menolak cintaku maka apa gunanya aku hidup. sebaiknya aku pergi saja. karena tidak akan ada orang yang menyayangiku selain Kak Aya. jika aku tidak bisa bersama dengan Kakak maka aku akan pergi dari dunia ini." nada yang diucapkan Lucy merupakan sebuah hal yang mengancam.Cutter yang ada di tangannya langsung saja ia letakkan di pergelangan tangannya.Aya berjalan mendekat berusaha untuk menenangkan guci.tetapi justru Lucy menjauh sembari menatap Aya dengan pandangan nyalang.“Aku sungguh-sungguh Kak, aku akan pergi. aku harap Kak Aya akan menerima kepergian ku. atau mungkin justru kaya malah Kakak akan suka jika aku pergi. karena Kakak bersama Bersam