“Kenapa aku bisa melupakanmu yah?" tanya gadis itu dengan mata kosong memandang ke arah depan.
“Itulah yang aku suka," terang pria itu tanpa berfikir dengan panjang.Lucy kembali mengerutkan kening, “Apa maksudmu?" tanya Lucy kali ini menoleh ke arah Bian. “Kamu tidak tahu? Sejak tabrakan itu aku selalu ... Em ... Mikirkan kamu ." Pria itu menjelaskan dengan penuh artian berupa pernyataan dalam dari pria itu. Tiba-tiba saja Lucy tertawa sumbang dan mengejek setelah mendengar pernyataan dari dian. “Apa ada yang salah dengan ungkapan ku?" tanya pria itu dengan wajah polos. Ia tak mengerti ketika ditertawakan. Tidak pernah rasanya Bian diperlakukan seperti ini. Bahkan mereka selalu berkata cinta tanpa mengungkapkannya terlebih dahulu, namun kali ini justru lain.Lucy menggelengkan kepalanya, “Itu wajar. Suka sama seseorang itu wajar, tetapi sepertinya aku tidak pantas untuk disukai."“Kenapa begitu?" tanya pria itu semakin penasaran terhadap Lucy. “Karena aku tidak suka padamu aku lebih suka dengan seseorang," sahut Lucy kemudian. Ia tidak memerdulikan perasaan Lucyn.“Yah ... Berarti aku kurang beruntung mendapatkan cinta dari kamu. Ya sudah kalau kamu menolak ku," ucap pria itu namun wajahnya sangat nampak sekali jika ia sedih.“Jadi kamu tidak keberatan?" tanya Lucy kali ini wajahnya mendadak menjadi cerah. “Entahlah, tetapi sepertinya aku akan berusaha memilikimu," jelas pria itu langsung saja beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Lucy yang kali ini dilanda oleh raut kebingungan. “Dasar pria tidak waras!" makinya sembari memandangi punggung kekar milik Bian, sosok pria yang baru saja dikenalnya.Sebenarnya mereka pernah bertemu, tapi waktu itu Lucy malah marah-marah dan pergi begitu saja. Bahkan ia tidak memperdulikan luka yang ada di lengannya. Padahal waktu itu Bian ingin segera mengobati Lucy.Lucy akhirnya memutuskan untuk pergi ke kamar sementara Bian kembali ke ruang tamu.“Aku akan mendapatkan. Aku yakin itu. Aku tidak akan semudah itu mendapatkan itu Lucy. Ikuti saja permainan ini!" gumamnya penuh dengan seringaian ketika ia kembali ke depan.“Mana Lucy nya?" tanya kedua orangtua Lucy.“Katanya dia sangat lelah. Jadi ia akan segera istirahat tapi kami sudah janji untuk saling memberi kabar satu sama lainnya," ucap pria itu sedikit berbohong. Ia kembali mengambil tempat duduknya. “Yang jelas kerjasama ini masih tetap berlanjut bukan?" tanya ibu Bian sudah menyukai Lucy dari sekali pandang saja.“Tentu saja, aku akan sangat gembira sekali jika nanti biar menjadi menantu kami," ucap Rich begitu bahagia sekali. “Yayaya ... Aku pikir anda memang akan setuju terlebih lagi ketika anda harus ingat sekali dengan hutang nya?" tanya Bian yang berkata namun wajahnya nampak tidak serius. Namun hal itu membuat kedua orang tua Lucy sedikit gelagapan dan salah tingkah.Rich dan Tery sejenak menutupi hal itu dengan tertawa sumbang ketika keduanya mengingat masih ada hutang yang sangat besar pada Bian serta orang tuanya. Tak lama setelah itu, aBian dan keluarganya pun pulang. Sementara Lucy kali ini tengah memandangi sebuah potret 2 orang wanita yang tengah mengenakan seragam putih abu-abu. Aya yang tengah berada di sampingnya nampak sangat cantik sehingga ketika Lucy memandang wanita yang merupakan kakak kelasnya itu tersenyum dengan manisnya.“Kak Aya, semoga kita selalu bersama. Aku tidak suka dengan pria itu. Aku sukanya kepada Kak Aya, aku cinta Kak Aya," gumam gadis itu sembari meletakkan potret nya di meja nakas dengan pandangan yang belum ia alihkan dari sana.Sampai suara ketukan pintu di luar membuat Aya mendengus kesal ketika yang memanggilnya adalah Tery.“Aya," panggil wanita itu terdengar garang. Tidak ada kelembutan sama sekali.Dengan Lucy pun membuka pintu , “Ada apa?" tanyanya dengan wajah datar.Wanita itu langsung saja masuk begitu saja dan duduk terlebih dahulu di pinggiran ranjang.“Kita perlu bicara," ucapnya benar-benar seperti sosok seorang bos bagi Lucy. Ia bahkan belum pernah yang namanya dapat kasih sayang dari kedua orangtua.Lucy pun akhirnya duduk dengan wajah tanpa ekspresi.“Ada apa?" tanya Lucy kali ini suaranya terdengar agak perlahan.Bulan depan kamu akan segera menikah dengan Bian," jelas wanita itu membuat indra pendengaran Lucy seolah mendadak hilang. Seketika mulutnya kelu untuk bertanya sesuatu kepada Tery yang kali ini beranjak dari tempat duduknya. Sekolah perkataannya itu sangat to the point sekali pun. Namun ucapan Lucy begitu berpengaruh dan menghentikan langkah Tery, “Apa maksudmu? Aku masih menempuh pendidikan saat ini." suara Lucy kedengaran protes. Wanita itu membalik arah tubuhnya dan memandang ke arah Lucy dengan tatapan tajam, “Aku tidak mau tahu! Kamu akan segera menikah! Seharusnya kamu lebih berguna untuk kami berdua." keputusan Tery seolah sudah final.Dengan marah Lucy langsung saja beranjak dari tempat duduknya. Ia pun menolak, "aku tidak mau!"Hanya dengan perkataan keras dari Lucy membuat Tery langsung saja naik pitan. Apapun keputusan yang dibuat Lucy tanpa persetujuan mereka membuat mereka selalu marah dan memberi kesakitan secara fisik.Ia berjalan ke arah Lucy dan menarik tangannya dengan kasar sehingga Lucy memekik kesakitan. “Hah! Anak tidak tahu diri! Sudah untung kamu tinggal di sini. Setidaknya kamu berbuat sesuatu untuk kami," tajamnya tanpa ampun.Seketika mimik wajah Lucy memerah, matanya pun berkaca-kaca.“Aku tidak mau. Aku tidak mau menikah!" tolak nya masih memberontak. Kali ini ia langsung saja menarik tangannya dari cengkraman sang ibu.“Tidak tahu di untung kamu ya!" teriak wanita itu ketika Lucy menjauh dari tempatnya. Seolah Lucy menghindarinya, bahkan Lucy kali ini melangkahkan kakinya untuk pergi meninggalkan kamarnya. Kali ini ia akan segera kabur. Namun ketika masih berada di ambang pintu kamar sama Ayah sudah datang dengan wajah yang lebih seram dari sang ibu. “Mau kabur kemana kamu, hah? Jangan berbuat macam-macam! Kamu akan tetap menikah dengan Bian apa pun yang terjadi. Jangan sampai aku berbuat kasar padamu!" ucap pria itu mengancam Lucy lebih dalam lagi.Lucy langsung saja menggelengkan kepalanya menolak keras.“Sampai kapan pun aku tidak mau!" ucap Lucy kali ini berani menatap Rich dengan tajam. “Berani kamunya! Berani sekali kamu menatapku seperti itu!" seru Rich yang langsung saja murka.“Memangnya kenapa, hah ...? Apakah selama ini kamu menyayangiku seperti orang tua kepada anaknya?" tanya Lucy tandas. Kedua manik Lucy membalas tatapan tajam dari sang Ayah, ia mulai berani mengutarakan hal ini ketika hal tersebut berkaitan dengan hatinya. Bahkan sikap mereka selama ini sudah semakin berada di ambang batas.“Ayah dan ibu boleh selama ini tidak perduli padaku tidak menyayangiku seperti umumnya orang tua. Tetapi biarkan aku meraih mimpiku sendiri!" tegas Lucy berontak. Namun ketika hati mereka seolah sudah menjadi batu, kali ini tangan Rich terangkat tinggi. Hal itu sudah menjadi aba-aba yang sering kali Lucy terima.Bahkan Lucy sudah bersiap ini ketika tangan kekar itu akan kembali melayangkan sebuah pukulan. Bahkan bagi Lucy hal ini sudah biasa.Pada akhirnya pipi Lucy memerah dan merasakan sebuah nyeri. Ia kali ini tersungkur akibat pukulan yang terlalu keras. Bahkan kamarnya pun terkunci dengan rapat.Kedua orang tuanya kali ini langsung saja pergi meninggalkan Lucy sendirian.“Sebenarnya kenapa aku jadi seperti ini? Kenapa mereka tidak menyayangiku? Apa aku ini bukan anaknya?" tanya Lucy dengan mengusap salah satu pipinya yang sangat kesakitan. Ingatannya kembali mengarah kepada temannya yang selama ini sangat sayang padanya dan selalu melindunginya, yaitu Aya. Setiap masalah yang Lucy terima selalu ingat Aya.'. Jika kamu sedih, ingatlah aku. Aku akan selalu melindungimu Lucy.' bayangan itu terngiang di fikiran Lucy ketika matanya terpejam untuk beberapa waktu.Tanpa terasa ketika ia melihat jam di dinding saat itu waktu sudah sore. Lucy langsun
(Aya Sharma) "Semoga Suichi cepat sembuh," gumamnya mengingat bagaimana sahabatnya yang kecelakaan karena dirinya. Aksi kejaran bersama preman pemabuk itu nyatanya berujung maut. Gadis berseragam putih abu yang kini sudah kotor itu melambatkan langkah kakinya ketika melihat mobil mewah perparkir di depan rumah kedua orang Tuanya.“Pasti pacar ibu lagi." Aya berdecak dengan mata memutar malas.Dengan santai Aya menuju ke pintu yang terbuka dengan lebar.Suara cekikikan manja bisa ia dengar, "makasih ya mas ini bagus sekali. Seorang wanita cantik memegangi liontin kalung di lehernya.“Mas? Huwek ... aku ingin muntah," batin Aya menutup mulutnya dengan jijik ketika pria yang bersama dengan ibunya itu lebih muda.“Sama-sama sayang."Aya mendecih pelan membuat pandangan mereka mengarah kepada siapa yang datang. Dengan wajah datar tanpa menyapa, Aya berjalan melewati mereka. Aya pura-pura tidak melihat dan mengangg
Setelah mengaambil benda untuk meredakan panas yang diderita Aya saat ini, Mbok Sumi segera kembali ke kamar sang Nona untuk diobatinya. Tak lupa juga ia bawakan obat penurun panas.Namun langkahnya dicegah oleh matian, “Buat apa itu? Siapa yang sakit?" tanya wanita itu memandangi mangkuk kecil berisi kain dibawa oleh pembantunya.“Non Aya, Nyonya. Beliau badannya panas," jelas wanita itu dengan raut khawatir. Kekhawatirannya lebih mencerminkan jika Mbok Sumi yang merupakan seorang ibu disini.“Oh ... " Marian justru hanya ber oh ria saja. Ia lebih memperdulikan dengan bingkisan di tangannya dan mendahului langkah Mbok Sumi.Mbok Sumi membuka mulutnya. Ia fikir setelah mengatakan jika Aya sakit maka Marian akan khawatir juga, tetapi ia salah kaprah.Mbok Sumi hanya bisa berkata di dalam hati, "kasihan non Aya. Sakit saja Nyonya tidak khawatir. Apa karena non Aya bukan anak kandung Nyonya. Tapi setidaknya luangkan lah waktu untuk putrinya. Sedikit saja. Bukan hanya mel
Keesokan harinya, Aya nampaknya sudah merasa lebih baik. Mbok Sumi seperti biasa sudah membukakan gorden jendela kamarnya sehingga mentari pagi membuat Aya merasa kurang nyaman dalam mimpinya.Aya pun terpaksa membuka matanya.“Maaf non ... soalnya ini sudah siang. Meskipun non sedang sakit tetapi tidak baik kalau tidak terkena cahaya matahari pagi," terang wanita itu alakadarnya.Aya beringsut duduk, “Aku sudah merasa baikan kok, Mbok. Kayaknya udah nggak pusing lagi. Aku mau berangkat sekolah hari ini," terang Aya agak semangat.Bukan semangat belajar, Aya lebih suka nongkrong di belakang kantin sembari membuang banyak puntung rokok dengan beberapa teman pria.“Saya akan menyiapkan seragamnya, Non. Kemarin saya sudah ijinkan kalau non Aya tidak hadir," jelas wanita itu.“Makasih, Mbok. Nggak diijinin juga gak papa. Udah gak ada pelajaran lagi. Sekarang tinggal nunggu kelulusan saja," terang Aya.“Owh begitu to."“Ya sudah ... Aku mau mandi." Aya langs
Tanpa menjawab pertanyaan panik dari Aya, Lusi langsung saja memeluk Aya dengan eratnya. Luka pedihnya seketika hengkang ketika Aya datang.“Mereka jahat sekali padaku. Aku tidak diperbolehkan untuk sekolah lagi," jelas wanita itu dengan suara parau.Aya bisa merasakan jika bahu wanita itu bergetar dengan tangisannya yang luruh.Diusapnya rambut Lusi dengan lembut. Ia merasa trenyuh dengan keadaan wanita yang umurnya setahun lebih muda ketimbang dirinya.Setelah agak tenang, Aya berkata, "kalau begitu kamu turuti saja apa kemauan mereka. Daripada kamu dipukuli seperti ini," ucap sharna dengan lirih. Ia tidak tega Lusi dipukuli seperti ini. Sudah sejak dulu, tetapi Lusi tetap memaksakan diri untuk sekolah.Aya kini melepas pelukan dari Lusi.Hiks ... hiks ... hiks ...Tangisan Lusi semakin menjadi. Jujur saja Aya bingung dengan tangisan dari adik kelasnya itu. Ia segera mengusap air mata Lusi.“Kamu tenang dulu ya. Aku akan mengobati lukamu," ucap Aya se
Glek...“Jeruk makan jeruk dong," batin Aya dengan mata membola lebar karena terkejut.“Aku mencintai Kakak karena cuman Kak Aya yang selama ini perduli padaku. Tidak ada orang yang mau menyayangiku," lanjut gadis itu menundukkan kepalanya tidak berani menatap wanita yang selalu melindunginya.“Aku sayang sama kamu seperti adikku. Anggap saja kamu adalah adikku." Aya menjawab ujaran hati seorang Lusi.“Tidak Kak. Kakak salah, aku mencintai Kakak lebih. Seperti cinta seorang suami kepada istrinya begitu juga sebaliknya. Aku ingin selalu bersama dengan Kak Aya." Wanita itu masih mengungkapkan perasaannya.Aya bisa menangkap fikiran dari temannya itu. Teman wanita yang mencintai Aya.Aya menggelengkan kepalanya, “Jangan begitu. Kita harus ingat bentuk dan wujud kita," terang Aya mencoba untuk membuat wanita itu mengerti.Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan keras, “Jika Kak Aya tidak bisa membalas cintaku, lalu apa gunanya aku hidup. Ti
“Aku sudah dewasa. 17 tahun loh. Kalian harus ingat itu! Sebentar lagi aku ulang tahun," seloroh Aya. Ia mengerucutkan bibirnya ketika mendadak jadi malas. Ia pun kembali duduk dengan sedikit mengerti dengan apa yang dimaksud mereka. Tentu ia tidak bodoh dalam menerka tontonan apa yang sedang mereka pandang itu.Kini Aya tidak lagi penasaran. Ia lebih memilih bermain kartu dengan ketiga pria lainnya. Sampai tepat selesai bermain, suara orang datang membuat mereka menoleh.Sementara Aya justru sudah ada agak jauh dari para teman lelakinya sembari memejamkan mata dengan menikmati isapan demi isapan.“Eh … Suichi? Dimana dia? Biasanya dia selalu bareng kamu. Lengkat kaya perangko?” tanya Gerald ketika ingat dengan Suichi yang tidak menampakan batang hidungnya.“Haha … kali aja dia lagi di perpus. Dia sangat rajin sekali,” celetuk yang lain.Aya menghela nafas dengan panjang ketika mengingat keadaan temannya sekarang,
Dengan khawatir Lusi berbisik, "Kak Aya terluka."Lusi menunjuk luka itu sehingga sang empunya memandang bawah pundak yang berdarah. Bahkan darah itu menempel pada seragam putih yang ia kenakan.Melihat luka itu, Aya meringis. Ia menyadari rasa nyeri itu ketika Lusi memberitahukan lukanya.Lusi langsung saja menaikan roknya dan mengeluarkan benda tajam yang tadi ia bawa. Hal yang membuat Aya terkejut adalah ketika Lusi merobek rok seragam sekolahnya.“Lusi apa yang kamu lakukan?" tanya Aya langsung saja menghentikan tangan Lusi.Namun Lusi segera menepisnya, “Luka Kakak bisa infeksi.” Gadis itu menjawab sembari menyelesaikan sobekan pada seragamnya. Kemudian mengarahkannya ke luka Aya. Namun sebelumnya ia membersihkan cairan merah dengan tisu terlebih dahulu.Setelah selesai, pakaian Lusi saat ini sudah tidak utuh lagi seperti yang tadi. Aya yang melihatnya menjadi kurang enak. Ia langsung saja membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu