Share

2. Penolakan

“Kenapa aku bisa melupakanmu yah?" tanya gadis itu dengan mata kosong memandang ke arah depan.

“Itulah yang aku suka," terang pria itu tanpa berfikir dengan panjang.

Lucy kembali mengerutkan kening, “Apa maksudmu?" tanya Lucy kali ini menoleh ke arah Bian. 

“Kamu tidak tahu? Sejak tabrakan itu aku selalu ... Em ... Mikirkan kamu ." Pria itu menjelaskan dengan penuh artian berupa pernyataan dalam dari pria itu. 

Tiba-tiba saja Lucy tertawa sumbang dan mengejek setelah mendengar pernyataan dari dian. 

“Apa ada yang salah dengan ungkapan ku?" tanya pria itu dengan wajah polos. Ia tak mengerti ketika ditertawakan. Tidak pernah rasanya Bian diperlakukan seperti ini. Bahkan mereka selalu berkata cinta tanpa mengungkapkannya terlebih dahulu, namun kali ini justru lain.

Lucy menggelengkan kepalanya, “Itu wajar. Suka sama seseorang itu wajar, tetapi sepertinya aku tidak pantas untuk disukai."

“Kenapa begitu?" tanya pria itu semakin penasaran terhadap Lucy. 

“Karena aku tidak suka padamu aku lebih suka dengan seseorang," sahut Lucy kemudian. Ia tidak memerdulikan perasaan Lucyn.

“Yah ... Berarti aku kurang beruntung mendapatkan cinta dari kamu. Ya sudah kalau kamu menolak ku," ucap pria itu namun wajahnya sangat nampak sekali jika ia sedih.

“Jadi kamu tidak keberatan?" tanya Lucy kali ini wajahnya mendadak menjadi cerah. 

“Entahlah, tetapi sepertinya aku akan berusaha memilikimu," jelas pria itu langsung saja beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan Lucy yang kali ini dilanda oleh raut kebingungan. 

“Dasar pria tidak waras!" makinya sembari memandangi punggung kekar milik Bian, sosok pria yang baru saja dikenalnya.

Sebenarnya mereka pernah bertemu, tapi waktu itu Lucy malah marah-marah dan pergi begitu saja. Bahkan ia tidak memperdulikan luka yang ada di lengannya. Padahal waktu itu Bian ingin segera mengobati Lucy.

Lucy akhirnya memutuskan untuk pergi ke kamar sementara Bian kembali ke ruang tamu.

“Aku akan mendapatkan. Aku yakin itu. Aku tidak akan semudah itu mendapatkan itu Lucy. Ikuti saja permainan ini!" gumamnya penuh dengan seringaian ketika ia kembali ke depan.

“Mana Lucy nya?" tanya kedua orangtua Lucy.

“Katanya dia sangat lelah. Jadi ia akan segera istirahat  tapi kami sudah janji untuk saling memberi kabar satu sama lainnya," ucap pria itu sedikit berbohong. Ia kembali mengambil tempat duduknya. 

“Yang jelas kerjasama ini masih tetap berlanjut bukan?" tanya ibu Bian sudah menyukai Lucy dari sekali pandang saja.

“Tentu saja, aku akan sangat gembira sekali jika nanti biar menjadi menantu kami," ucap Rich begitu bahagia sekali. 

“Yayaya ... Aku pikir anda memang akan setuju terlebih lagi ketika anda harus ingat sekali dengan hutang nya?" tanya Bian  yang berkata namun wajahnya nampak tidak serius. Namun hal itu membuat kedua orang tua Lucy sedikit gelagapan dan salah tingkah.

Rich dan Tery sejenak menutupi hal itu dengan tertawa sumbang ketika keduanya mengingat masih ada hutang yang sangat besar pada Bian serta orang tuanya. 

Tak lama setelah itu, aBian dan keluarganya pun pulang. 

Sementara Lucy kali ini tengah memandangi sebuah potret 2 orang wanita yang tengah mengenakan seragam putih abu-abu.  Aya yang tengah berada di sampingnya nampak sangat cantik sehingga ketika Lucy memandang wanita yang merupakan kakak kelasnya itu tersenyum dengan manisnya.

“Kak Aya, semoga kita selalu bersama. Aku tidak suka dengan pria itu. Aku sukanya kepada Kak Aya, aku cinta Kak Aya," gumam gadis itu sembari meletakkan potret nya di meja nakas  dengan pandangan yang belum ia alihkan dari sana.

Sampai suara ketukan pintu di luar membuat Aya mendengus kesal ketika yang memanggilnya adalah Tery.

“Aya," panggil wanita itu terdengar garang. Tidak ada kelembutan sama sekali.

Dengan Lucy pun membuka pintu , “Ada apa?" tanyanya dengan wajah datar.

Wanita itu langsung saja masuk begitu saja dan duduk terlebih dahulu di pinggiran ranjang.

“Kita perlu bicara," ucapnya benar-benar seperti sosok seorang bos bagi Lucy. Ia bahkan belum pernah yang namanya dapat kasih sayang dari kedua orangtua.

Lucy pun akhirnya duduk dengan wajah tanpa ekspresi.

“Ada apa?" tanya Lucy kali ini  suaranya terdengar agak perlahan.

Bulan depan kamu akan segera menikah dengan Bian," jelas wanita itu membuat indra pendengaran Lucy seolah mendadak hilang. 

Seketika mulutnya kelu untuk bertanya sesuatu kepada Tery yang kali ini beranjak dari tempat duduknya. Sekolah perkataannya itu sangat to the point sekali pun. 

Namun ucapan Lucy begitu berpengaruh dan menghentikan langkah Tery, “Apa maksudmu?  Aku masih menempuh pendidikan saat ini." suara Lucy kedengaran protes. 

Wanita itu membalik arah tubuhnya dan memandang ke arah Lucy dengan tatapan tajam, “Aku tidak mau tahu! Kamu akan segera menikah! Seharusnya kamu lebih berguna untuk kami berdua." keputusan Tery seolah sudah final.

Dengan marah Lucy langsung saja beranjak dari tempat duduknya. Ia pun menolak, "aku tidak mau!"

Hanya dengan perkataan keras dari Lucy membuat Tery langsung saja naik pitan. Apapun keputusan yang dibuat Lucy tanpa persetujuan mereka membuat mereka selalu marah dan memberi kesakitan secara fisik.

Ia berjalan ke arah Lucy dan menarik tangannya dengan kasar sehingga Lucy memekik kesakitan. 

“Hah! Anak tidak tahu diri! Sudah untung kamu tinggal di sini. Setidaknya kamu berbuat sesuatu untuk kami," tajamnya tanpa ampun.

Seketika mimik wajah Lucy memerah, matanya pun berkaca-kaca.

“Aku tidak mau. Aku tidak mau menikah!" tolak nya masih memberontak. Kali ini ia langsung saja menarik tangannya dari cengkraman  sang ibu.

“Tidak tahu di untung kamu ya!" teriak wanita itu ketika Lucy menjauh dari tempatnya.  Seolah Lucy menghindarinya, bahkan Lucy kali ini melangkahkan kakinya untuk pergi meninggalkan kamarnya. Kali ini ia akan segera kabur. Namun ketika masih berada di ambang pintu kamar sama Ayah sudah datang  dengan wajah yang lebih seram dari sang ibu. 

“Mau kabur kemana kamu, hah? Jangan berbuat macam-macam! Kamu akan tetap menikah dengan Bian apa pun yang terjadi. Jangan sampai aku berbuat kasar padamu!" ucap pria itu mengancam Lucy lebih dalam lagi.

Lucy langsung saja menggelengkan kepalanya menolak keras.

“Sampai kapan pun aku tidak mau!" ucap Lucy kali ini berani menatap Rich dengan tajam. 

“Berani kamunya! Berani sekali kamu menatapku seperti itu!" seru Rich yang langsung saja murka.

“Memangnya kenapa, hah ...? Apakah selama ini kamu menyayangiku seperti orang tua kepada anaknya?" tanya Lucy tandas. 

Kedua manik Lucy membalas tatapan tajam dari sang Ayah, ia mulai berani mengutarakan hal ini ketika hal tersebut berkaitan dengan hatinya. Bahkan sikap mereka selama ini sudah semakin berada di ambang batas.

“Ayah dan ibu boleh selama ini tidak perduli padaku tidak menyayangiku seperti umumnya orang tua. Tetapi biarkan aku meraih mimpiku sendiri!" tegas Lucy berontak. 

Namun ketika hati mereka seolah sudah menjadi batu, kali ini tangan Rich terangkat tinggi. Hal itu sudah menjadi aba-aba yang sering kali Lucy terima.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status