Share

4. Pacar Ibu

(Aya Sharma) 

"Semoga Suichi cepat sembuh," gumamnya mengingat bagaimana sahabatnya yang kecelakaan karena dirinya. 

Aksi kejaran bersama preman pemabuk itu nyatanya berujung maut. 

Gadis berseragam putih abu yang kini sudah kotor itu melambatkan langkah kakinya ketika melihat mobil mewah perparkir di depan rumah kedua orang Tuanya.

“Pasti pacar ibu lagi." Aya berdecak dengan mata memutar malas.

Dengan santai Aya menuju ke pintu yang terbuka dengan lebar.

Suara cekikikan manja bisa ia dengar, "makasih ya mas ini bagus sekali. Seorang wanita cantik memegangi liontin kalung di lehernya.

“Mas? Huwek ... aku ingin muntah," batin Aya menutup mulutnya dengan jijik ketika pria yang bersama dengan ibunya itu lebih muda.

“Sama-sama sayang."

Aya mendecih pelan membuat pandangan mereka mengarah kepada siapa yang datang. Dengan wajah datar tanpa menyapa, Aya berjalan melewati mereka. Aya pura-pura tidak melihat dan menganggap mereka berdua itu patung.

Pria itu bertanya kepada Marian, "siapa dia?"

“Adikku." Marian berucap dengan bohong. Kali ini ia lebih memilih untuk memandangi barang branded yang baru dibelikan oleh pacarnya.

Sementara pria itu memandangi punggung Aya yang naik ke atas dengan seringatan misterius.

“Adik? Bilang saja dia malu kalau sudah punya anak sebesar ini. Tante girang ..." desis Aya mendaki anak tangga dengan cepat.

Aya masih kembali dengan wajah datarnya untuk segera ke kamar. Namun langkahnya terhenti ketika seorang pria pemabuk memanggilnya, "hei ay ... tumben pagi kamu baru pulang, "ucap En dengan parau tanpa tenaga.

Aya tersenyum masam “Jangan perdulikan itu. Hidup atau mati bukan urusan ayah," jawab Aya tandas.

Pria itu terkekeh, “Ambilkan botol ku disitu! Ucap pria itu menunjuk sebuah lemari tepat di samping Aya berada.

Dengan malas Aya beringsut membukanya. Diraihnya sebuah botol anggur dengan cepat. Tanpa mendekat ke arah En, Aya langsung melemparnya. Tangkapan En tepat.

“Lemparan yang bagus," puji pria itu sebelum Aya pergi.

Aya meletakan tas kotornya dengan asal. Tanpa aktivitas lain lagi, ia menuju ke kamar mandi. Aya melepas pakaian apek tersebut dan melemparnya sembarang.

Secara sembarang kini tersisa kaos pendek bergambar tengkorak dan celana levis pendek sepaha.

Sebelum mengguyur tubuhnya, Aya memandang pantulan samar yang terlihat dari beningnya air. Kesedihan muncul mengingat kondisi keluarganya. Bulir bening seketika turun melewati pipi yang putih nan bersih. Wajah cantiknya itu menjadi pembalut luka di hatinya.

Tanpa sadar bulir itu menetes berpadu dengan air di bak mandi.

Sesaat berlalu dalam pikirannya. Aya memilih untuk mandi di pancuran shower tanpa melepas pakaiannya. Nampaknya pandangannya masih kosong memandang ke arah teMbok putih bersih kamar mandi itu. 

15 menit berlalu.  Aya belum juga melepas pakaian yang ikut basah dengan air.

***

Bayangannya teringat pada masa lalu, “Dia ini anakmu. Jadi urus saja dia sendiri! Itu tugas wanita," seru En berteriak keras tepat di hadapan putri semata wayangnya.

“Apa? Aku tidak mau ... " Marian bersedekap di depan dada dengan melirik putri kecilnya itu sinis. 

Ia tidak mengabaikan Aya yang saat itu sedang menangis. Air matanya berlinangan meminta kasih sayang dari orangTuanya yang mana mereka jarang ada waktu untuknya. Bahkan di seumur hidup Aya.

“Kalau bukan gara-gara kamu, hidupku tidak akan kacau seperti ini!" teriakan dengan tegasnya begitu nyaring hingga suara itu terdengar berulang-lang di bariton.

Marian tak ingin kalah, “Aku? ... salahkan saja orang tuamu. Perjodohan sialan ini hanya akan membuat kehancuran bagi kita!" 

Tok ... tok ... tok ... 

Suara ketukan pintu membuat bayangan Aya buyar seketika.

“Non Aya," panggil asisten rumah tangga yang sedari tadi merapikan kamar berantakan anak majikannya. Tetapi sejak ia di situ, ia belum melihat Aya. Gadis yang masih berada di dalam kamar mandi sejak tadi belum juga keluar.

Mata Aya yang terpejam kini terbuka. Tubuhnya masih menikmati pancuran pada air itu. Seketika entah mengapa kepalanya berdenyut sakit. Namun ayah tetap menahannya.

“Ada apa, bik?" tanya Aya mematikan shower.

“Jangan lama-lama mandinya non Aya! Nanti bisa masuk angin. Cuaca di luar lagi mendung dan dingin," ucap wanita setengah baya itu dengan suara keras.

“Oke Mbok," sahut ayah singkat. 

Karena kepala Aya yang berdenyut, ia segera tergerak untuk membersihkan tubuhnya. Tak berapa lama kemudian ayah sudah keluar dengan balutan handuk.

Ia melihat Mbok Sumi yang tengah setia duduk di bibir ranjang menunggu Aya. Bahkan sampai Aya memakai pakaian nya pun Mbok Sumi sedang ada di situ. Terus mengawasi.

“Kenapa Mbok? Apa ada yang salah dengan badanku? Apa aku kurusan sekarang?" tanya Aya menoleh sekilas pada Mbok Sumi yang sambil berjalan untuk meraih sisir. 

“Tidak kok, Non. Cuma nggak biasanya non pulang pagi," terang wanita itu membuat Aya duduk di samping Mbok Sumi.

Aya sejak dulu lebih dekat dengan Mbok Sumi dan hanya wanita itu yang mengerti dengan segala keluh kesahnya. 

“Non, saya bawakan sarapan dulu ya?" tawar wanita itu ketika ayah meletakkan sisirnya kembali ke cermin tempat ia sering berhias. 

Sembari kembali duduk, Aya menatap Mbok Sumi dan menjawab, "aku sudah makan tadi, Mbok." 

Saat Aya memandang Mbok Sumi, Mbok Sumi bisa melihat Aya lebih jelas. Namun tiba-tiba saja ia terkejut. 

“Bibirnya non kenapa? Kok ada lukanya? Apa non bertengkar lagi?" tanya Mbok Sumi mendadak khawatir. Luka seperti itu sudah sering ia lihat dinareal wajah Aya. Belum lagi bibirnya pucat sekali hari ini. 

“Hanya ada masalah kecil sedikit kemarin. Tapi sudah selesai kok," sahut Aya tidak mempermasalahkan  sudut bibirnya terdapat luka biru.

“Tapi non pucat sekali. Apa merasa ada yang sakit?" wanita itu menelusuri tubuh Aya nemastikan jika Aya baik-baik saja.

Dengan polosnya Aya menggelengkan kepalanya, “Enggak tuh ... " 

Disaat yang sama ketika Aya menggelengkan kepalanya, ia tiba-tiba memijat pelipisnya yang berdenyut sakit. 

Dengan antusias Mbok Sumi menyentuh leher Aya, kemudian menuju ke keningnya.

“Panas sekali Non." Mbok Sumi menjauhkan tangannya yang merasa panas seperti habis terkena bara api.

Aya hanya memandang Mbok Sumi beranjak dengan wajah bodohnya.

Melihat wajah lemas itu, Mbok Sumi langsung saja meraih tangan Aya dan memapahnya untuk segera beristirahat.

“Biar saya siapkan kompres untuk Nona ya," ucap Mbok Sumi keluar dari kamar dan turun.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status