Share

Dari Dekat

Kini bus telah mencapai rute terakhir. Hanya Yandi dan seorang siswi bersama sopir yang berada dalam bus itu. “Kamu di sini, kan?” tanya sopir pada Yandi.

“Iya pak. Ini emang tujuan terakhir busnya,” jawab Yandi sambil berjalan ke arah pintu.

“Kalau gitu tolong bangunin temannya, ya.” 

Yandi memandang dengan penuh kesal pada gadis itu. Dengan terpaksa, ia pun membangunkan gadis itu. “Woi! Bangun! Ini udah tujuan terakhir.” Gadis itu benar-benar tertidur lelap, hingga ia sama sekali tak mendengar suara Yandi.

“Pelan-pelan banguninnya. Jangan kayak gitu ama cewek,” ujar pria bertopi fedora.

“Gak bakalan bangun kalau pelan-pelan, pak. Diteriakin aja gak bangun, gimana kalau pelan-pelan? Yang ada tambah tidur dia.”

“Udah, udah, udah. Biar bapak yang bangunin.” Begitu sopir bus itu mengambil alih, Yandi segera turun dari bus.

“Dek, udah sampai.”  itu membangunkan gadis itu sambil memukul pelan pundaknya.

“Ini... di mana ya, pak?” tanya gadis itu kebingungan karena melihat bus yang sudah kosong.

“Ini tujuan terakhir, dek.” Mata siswi itu langsung terbuka lebar. Lagi-lagi dirinya melewatkan tempat tujuannya.

“Em... ah...aduh... gimana dong? Ini benaran tujuan terakhir, pak?” tanya siswi itu panik.

“Iya dek.” 

“Eh... ya... ya udah. Makasih, pak.” Siswi itu segera berlari menuruni bus. 

Di tengah kepanikannya, gadis itu melihat seorang siswa yang berasal dari sekolahnya, berada tak jauh darinya. Gadis itu segera menghampiri siwa itu, dengan niat meminta bantuannya. Ia berlari sekencangnya untuk menyamai jarak mereka.

“Eh... maaf. Boleh minta tolong?” tanya siswi itu tanpa melihat wajah pria itu.

Yandi melepas sebelah earphone (alat pendengar) miliknya, agar ia bisa mendengar ucapan siswi itu. “Lo cewek yang ketiduran tadi, kan?”

“Ah... ia.” Jantung gadis itu kini berdetak sangat kencang. Ia tak menyangka bahwa siswa itu adalah Yandi. Wajah gadis itu perlahan memerah. Ia semakin gugup saat mata mereka tak sengaja bertemu beberapa detik.

“Mau apa?” tanya Yandi singkat dan segera mengarahkan pandangannya ke arah yang tak jelas.

“Eh... ini. Kamu tahu alamat ini, gak?” ujar siswi itu sambil menunjukkan alamat rumahnya yang berada di ponselnya.

Keduanya kini berdiri berdekatan, membuat detak jantung gadis itu semakin tak karuan. Siswi itu kini merasa sangat gugup, hingga membuat kedua tangannya bergetar. Ia tak menyangka jika dirinya bisa berdiri begitu dekat dengan pria yang selalu diperhatikannya dari jauh. Bahkan, kini ia bisa berbicara sambil melihat wajah tampan pria itu.

“Gak,” jawab Yandi singkat dan segera meninggalkan siswi itu. Yandi merasa bahwa siswi itu sengaja mendekainya, karena menginginkan sesuatu dari keluarganya.

“Aku boleh minta tolong lagi?” teriak gadis itu.

Yandi menghentikan langkah kakinya dan berbalik menatap tajam gadis itu. “Apaan? Gue udah bilang, gue gak tahu di mana tuh alamat. Mendingan lo cari ojek aja, biar dia antarin sampai rumah lo.” Yandi kembali melangkahkan kakinya menjauhi gadis itu, hingga ia tak terlihat lagi olehnya.

“Aduh... Reina... bisa-bisanya lo ketiduran!” Gadis itu memukul-mukul kepalanya. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri.

“Kayaknya Yandi gak suka lihat gue. Pasti dia langsung ilfeel ama gue, pas lihat gue tidur.”

“Aduh... kalau kayak gini hancur sudah harapan gue buat jadi temannya dia.”

“Tapi gue gak mungkin juga jadi temannya dia. Dia tuh anak orang kaya Reina, harusnya lo sadar. Lo itu cuma anak asisten rumah tangga. Gak mungkinlah dia mau jadi teman lo.” 

Gadis itu merasa bahwa tanggapan Yandi saat ia menanyakan alamat rumahnya, menandakan bahwa ia tak ingin berteman dengan seseorang seperti dirinya. Ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang biasa, yang tak pantas berharap lebih untuk menjadi temannya.

“Reina, lo harus berhenti mikir kayak gitu. Sekarang lo itu lagi nyasar, jangan mikirin itu dulu!”

“Entar aja lo pikirinnya. Sekarang lo harus pikir, gimana caranya supaya lo bisa pulang.” Gadis itu berpikir keras mencari cara, agar dirinya bisa kembali ke rumahnya.

“Yandi benar, sih. Pasti kalau gue pakai ojek, gue bakalan bisa sampai rumah. Tapi... mana ada uang gue.” Saran Yandi memang ada benarnya. Namun, Reina tak memiliki cukup uang untuk menggunakan ojek. 

Jarak rumah Reina dari tempatnya saat ini memang cukup jauh. Pasalnya ia harus turun ditempat pemberhentian keempat. Namun ia kini berada di tempat pemberhentian kedelapan.

“Gue harus jalan ke mana sekarang? Apa gue jalan ikutin arah Yandi aja?”

“Tapi... entar gue bakalan sampai di rumahnya dia, dong.”

“Ah...” teriak Reina.

“Mana gue gak punya kuota lagi!” Reina ingin mencoba menggunakan aplikasi di ponselnya, untuk membantunya menemukan jalan menuju rumahnya.  Namun, gadis itu tak memiliki kuota internet untuk membuka aplikasi tersebut.

Gadis itu nekat mengambil arah yang berbeda dari Yandi. Ia berpikir mungkin dirinya dapat sampai ke tujuan jika ia melewati jalan itu. 

Kini gadis itu semakin kebingungan. Ia tak tahu kini dirinya berada di mana. Ia mencoba menanyakan alamatnya pada beberapa orang yang berada di sekitarnya. Namun, mereka tak mengetahui alamat tersebut.

“Uh... permisi bu. Maaf bu, saya boleh tanya?”

“Iya, ada apa?”

“Ibu tahu alamat ini gak?” tanya Reina sambil menunjukkan alamat di ponselnya.

“Maaf, dek. Ibu gak tahu. Tapi ibu pernah dengar nama tempatnya. Kayaknya jauh dari sini,” ujar seorang wanita sedang menggendong gadis kecil yang masih berusia balita.

“Oh... gitu ya, bu. Makasih banyak ya, bu.” Reina melanjutkan perjalanannya untuk menemukan jalan pulang. Ia terus berusaha meminta bantuan dari orang-orang yang berada di sekitar jalanan itu. Namun, setiap orang yang ia jumpai tak mengetahui alamat rumahnya.

Gadis itu tak menyerah. Ia berjalan ke arah pangkalan ojek, mencoba menanyakan alamat rumahnya. “Permisi pak. Pak, saya mau nanya. Bapak tahu gak alamat ini?” tanya Reina sambil menunjukkan ponselnya pada seorang pria berbaju kaus oblong hitam polos.

“Tahu. Mau diantar ke sana?” 

“Eh... kira-kira berapa, kalau sampai tempat ini?” tanya Reina ragu-ragu.

“Tiga puluh lima ribu, dek.”

“Ah... gak bisa kurang gitu, pak?” 

“Kalau kurang, paling tiga puluh ribu, dek. Soalnya jauh banget, gak bisa lebih dari itu.” Pria itu seperti mengetahui pikiran Reina yang ingin menawar lebih rendah lagi.

“Oh... gitu ya, pak.” Setelah mengetahui ngkos yang harus dibayarnya, gadis itu segera mengganti pertanyaannya. Ia meminta pria itu menunjukkan jalan yang harus ia lewati, agar dirinya tiba di rumahnya.

“Kalau gitu saya permisi, pak. Terima kasih banyak, pak.” Reina segera berlalu menjauhi pangkalan ojek. 

“Tiga pulu ribu? Jangankan tiga puluh ribu, lima ribu aja gue gak punya. Lagian lo gaya banget nanya kayak gitu.” Di tangan gadis itu, ia hanya memegang uang sebanyak dua ribu rupiah. Tak mungkin baginya, untuk menggunakan ojek. 

Kini gadis itu harus berjalan kaki dengan menempuh jarak yang cukup jauh. Dengan uang dua ribu rupiah yang dimilikinya. Ia membeli empat gelas air mineral, untuk menemaninya menempuh dalam perjalanan menuju rumahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status