Share

Kenapa Begitu Baik Kepada Aji?

"Aku heran, kenapa om Wisnu bisa baik sama Aji? Padahal mereka, kan baru pertama kali ketemu." Radhia langsung menelepon Raffi, melaporkan  Aji yang mendapatkan hadiah ponsel mahal dari ayah kekasihnya itu.

Di tempat lain, Raffi yang memang temperamental meremas ponsel yang masih menempel di telinganya kuat-kuat.

Hatinya terbakar emosi mendengar kemurahan hati ayahnya. 

Kemarin pria tua yang seorang pengusaha nomor satu itu membantu Aji dengan langsung mengirim Bella. Hari ini Wisnu Hutama mengirimkan Aji yang seorang anak kampung ponsel mahal.

Raffi tidak terima. Wisnu begitu keras kepadanya tetapi kenapa sangat baik kepada pemuda asing.

Raffi menutup telepon  Radhia. Ia yang masih di rumah bergegas mengenakan pakaian rapi lalu turun ke meja makan.

Ia yakin orang tuanya sedang berada di ruang makan menikmati sarapan.

Wisnu sedang mengolesi rotinya dengan selai melirik ketika sekilas melihat Raffi masuk ke ruang makan.

Ia kemudian menoleh melihat jam dinding. Keningnya berkerut heran apalagi saat Raffi menarik kursi dan duduk di meja makan.

"Apa kau salah minum semalam? Tidak biasa kau bangun sepagi ini dan ikut sarapan," ujar Wisnu sarkas tidak peduli jika ucapannya menyinggung Raffi.

Raffi duduk dengan kasar. Mengambil roti dengan wajah ditekuk sebal sambil menatap menantang Wisnu. 

Ia baru mengalihkan pandangannya setelah sang ibu menyenggol tangan Raffi.

"Ada apa? Apa kau ingin mengatakan sesuatu?" tanya Wisnu dengan suara dingin seperti biasa.

"Kenapa papa begitu baik dengan anak kampung itu?" Kekesalan yang Raffi tahan sejak tadi akhirnya meledak.

Ia tidak lagi mengindahkan sopan santun. Tidak peduli jika Wisnu akan murka karena ketidaksopanannya.

"Aku baik dengan siapa, itu bukan urusanmu." Wisnu menyesap kopi hitamnya pelan. Meletakkan cangkir mahal itu kembali ke meja.

"Satu lagi, anak kampung itu punya nama. Namanya Aji!" seru Wisnu penuh penekanan sambil melirik Raffi dari balik kacamata.

"Papa ini, sama orang lain baik, tapi sama anak sendiri malah kejam!"

BRAGH!

Wisnu memukul meja makan dengan keras sampai pirang dan gelas yang ada di atasnya bergetar.

Ia menatap sang istri yang duduk di sebelah Raffi dengan tajam.

"Kau lihat anakmu? Tidak punya sopan santun! Bibit buruk, hasilnya pun buruk!" Wisnu beralih menatap Raffi. Tatapan tajam penuh kebencian.

"Kenapa? Kenapa papa selalu mengatakan seolah aku ini akan yang tidak berguna? Aku juga keturunan Hutama." Kali ini Raffi membalas ucapan Wisnu.

Ia tidak lagi mengingat pesan Irene - ibunya agar jangan pernah membalas ucapan Hutama dan berdebat dengan pria tua itu.

"Kau harus tanyakan itu pada ibumu. Mungkin sudah waktunya anakmu ini tahu yang sebenarnya." Wisnu beralih pada Irene. 

Kepala Irene tetap tegak, menatap ke depan walau panjangan wanita itu begitu jauh.

Ia mengepalkan tangan, menahan air mata agar tidak jatuh di depan Wisnu.

Wisnu berdiri dari duduknya, menghampiri Bella yang sejak tadi berdiri agak jauh dari ruang makan.

Ia mengajak wanita itu masuk ke ruang kerjanya.

Sementara di ruang makan, amarah Raffi sudah sampai pada titik teratas. 

Tidak dianggap oleh orang yang ia kagumi membuatnya sakit hati.

"Ada apa, Ma? Apa yang harus Raffi tahu?" Mata merah Raffi menatap ibunya dengan tajam, menuntut penjelasan

"Tidak ada, Nak! Papa mu sedang emosi jadi dia bicara sembarangan." Irene menghindari kontak mata dengan Raffi justru membuat Raffi semakin curiga.

Ia tidak melepaskan pandangannya dari Irene yang sedang merapikan piring kotor.

"Lain kali, jangan buat papa mu marah. Kamu tahu sendiri ucapannya sangat tajam dan menyakitkan." Irene berdiri dari duduk setelah merapikan piring kotor.

Wanita paruh baya itu segera bangkit dan meninggalkan ruang tamu sebelum Raffi bertanya lebih banyak.

Melihat ruang kerja suaminya yang sedikit berbuka, Irene jadi penasaran apa yang Wisnu dan Bella sedang bicarakan. 

Tidak biasanya asisten suaminya itu datang sepagi ini.

Karena ingin tahu hal penting apa yang mereka bicarakan di ruang kerja, Irene berjalan dengan pelan agar langkahnya tidak tertangkap pendengaran Wisnu.

Ia berdiri di balik pintu sambil menajamkan telinga. Mencoba mencuri dengar pembicaraan suaminya.

"Kapan tesnya akan siap?" Wisnu mendorong beberapa berkas elektronik yang baru saja ia tanda tangani ke Bella.

"Satu atau dua hari ini, Tuan Besar." Bella mengambil tablet dan mengirim semua dokumen ke divisi masing-masing.

"Pastikan tidak ada orang yang tahu sampai aku mengumumkan kalau anak kandungku sudah kembali." Wisnu bersandar ke kursi.

Pria itu membuang nafas panjang sambil memegagi dadanya. Untuk beberapa saat itu berusaha untuk menenangkan ritme jantung yang mendadak cepat karena terlalu bahagia.

Bella mendekat hendak melihat keadaan Wisnu, namun pria paruh baya itu mengangkat tangan menolak bantuan sang asisten.

Di luar sana, Irene sedang fokus mendengarkan sambil menebak apa yang terjadi di dalam sana.

Ia dikejutkan dengan kedatangan tiba-tiba Raffi. 

"Apa yang sedang mama lakuk -" Raffi berhenti bicara ketika melihat jari telunjuk menempel di bibir sang ibu.

Dengan gestur tubuhnya, Irene mengajak putranya untuk pergi dari sana. Ia takut Wisnu akan mengkap basah mereka.

Namun, putranya menolak. Raffi jutru memasang telinga, ingin mencuri dengar pembicaraan papanya.

"Apa ada hal lain yang tuan inginkan?" tanya Bella setelah semua urusan pekerjaan selesai.

"Awasi saja Aji!" Tuan besar memberikan perintah yang dijawab anggukan oleh Bella.

"Lalu bagaimana dengan tuan muda Raffi?"

Satu helaan nafas panjang keluar dari bibir Wisnu. "Anak itu terus saja membuat masalah. Entah kapan dia akan belajar untuk menjadi dewasa."

Tidak ingin putranya mendengar lebih banyak, Irene menarik tangan Raffi yang sedang geram menjauh dari ruang kerja.

Ia mengajak Raffi kembali ke kamarnya.

Raffi menghempaskan tangan ibunya dengan kasar. Ia memukul udara untuk melepaskan kemarahannya.

"Kenapa papa begitu sama anak kampung itu, Ma?" ujarnya geram. 

Raffi mengisi gelas yang ada di nakas dengan minuman coklat bening. Belum sempat Raffi membasahi tenggorokannya, Irene sudah merebut gelas itu darinya.

"Apa yang kamu lakukan, hah?!" Irene meletakkan gelas kembali ke meja dengan keras.

"Apa kamu tidak dengar apa yang tadi papa katakan? Jangan sampai kamu kalah dari anak itu. Siapa tadi namanya?" Irene yang juga kesal memilih duduk di ranjang sambil memijat pelipisnya sambil menerka hubungan suaminya dengan orang yang tadi menjadi topik pembicaraan.

"Anak kampung itu...." Raffi menggeram, tangannya saling meremas seolah sedang meremas Aji seperti kertas.

"Baru sehari muncul ia sudah membuat masalah! Ini tidak bisa dibiarkan, Ma!" Raffi mengambil jaket dan kunci mobilnya.

"Aku akan memberinya pelajaran!"  Naik pitam, Raffi keluar kamar lalu pergi dari rumah mencari orang untuk melampiaskan kemarahannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status