Share

Makan Malam Mewah

Ha-ha-ha

“Gimana rasanya dimarahin satu divisi, hah?” Jamil tertawa mengejek saat Aji masuk ke pantry.

“Sini, 50 ribu!” Jamil menadahkan tangan ke teman-temannya meminta uang taruhan. Ia yakin Aji tidak sanggup membelikan makan siang untuk satu divisi dan ia memenangkan taruhan mereka.

Dilihat dari tampangnya saja, Jamil sudah bisa menebak isi dompet Aji yang tidak seberapa.

sambil menggerutu, tiga orang OB yang lain menyerahkan selembar uang berwarna biru kepada Jamil . Pria itu kemudian mengipas-ngipas hasil taruhan ke wajah sambil menepuk pundak Aji.

“Makasi, ya! Kamu sudah bikin aku menang banyak.” Ia nyengir, memperlihatkan deretan giginya yang agak kuning karena merokok.

“Saya beli makanan buat marketing, kok Mas. Tuh, mereka lagi pada makan siang.” Aji melewati Jamil. Ia mengambil air putih dari dispenser lalu menenggaknya hingga habis.

Jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika Bella memesan begitu banyak makanan. Ia tidak tahu harus bagaimana membayar semua pesanan itu.

Ternyata, Bella membayar semua pesanan itu menggunakan black card yang tadi ia tolak.

“Anda bawa saja, Tuan Muda. Saya yakin anda pasti akan membutuhkannya. Dengan ini, anda juga bisa ambil uang cash. Nanti saya ajarkan caranya.”

Jamil yang mendengar perkataan Aji, segera berlari ke lantai ke lantai enam untuk membuktikan ucapan Aji.

Lima menit kemudian, Jamil kembali. Ia membuka pintu dengan kasar sampai menabrak dinding. Bunyinya membuat OB lain yang sedang beristirahat terkejut.

“Kamu dapat uang dari mana buat beli semua makanan itu, hah?!” Jamil berteriak di depan wajah Aji. Mata pria itu melotot seperti akan melompat keluar.

“Ya, uang saya dong, Mas!” Aji tersenyum lebar menutupi kesal kepada Jamil yang menjadikannya sebagai bahan taruhan.

“Gak mungkin!” Tngan Jamil melambai, tidak percaya dengan ucapan Aji.

“Mana mungkin kamu punya uang sebanyak itu! Kamu cerita sendiri kalau baru kemarin datang ke kota.” Jamil menegakkan tubuhnya, melihat Aji dengan seksama.

Mata Aji melihat ke atas, ia sedang mencari alasan yang masuk akal. Jangan sampai ada. orang yang tahu kalau tuan Wisnu memberikan kartu kecil yang ternyata sangat berharga.

Aji sampai tersedak ketika Bella menjelaskan tentang black card dan berapa banyak uang yang bisa tunai yang bisa diambil.

“Saya bawa tabungan, Mas! Tabungan saya buat satu bulan habis buat bayarin makan satu divisi.” Aji memaksakan senyumnya agar Jakil percaya dengan alasan yang ia buat-buat.

Jamil sepertinya percaya dengan bualan Aji, karena wajah pria itu melunak. Bibirnya melengkung tipis.

“Selamat puasa!” Tawa Jamil mengisi ruang pantry. Sambil tertawa pria itu meninggalkan ruang istirahat. Puas karena berhasil membuat menderita anak baru yang masuk lewat jalur dalam.

Aji pulang terlambat karena Jamil memintanya membersihkan lantai lima sampai sepuluh sebelum pulang. Sebagai anak baru, mau tidak mau Aji mengerjakan perintah dari seniornya.

“Kamu lama sekali!” Radhia langsung mengomel begitu Aji masuk ke dalam mobil.

“Kerja jadi OB aja, pake lembur segala! Kamu lembur seumur hidup juga gak akan bikin kaya raya.” Radhia mencibir. Ia menggerutu kesal karena menunggu hampir dua jam. Dengan bibir terus mengoceh, Radhia melajukan mobilnya menuju ke rumah.

“Apa gak bisa ngabarin kalau pulang terlambat? WA kek, telepon kek! Jadi saya gak buang waktu buat nungguin kamu. Time is money!” Radhia masih menggerutu. Ia memarkirkan mobil di garasi dan menutup pintu dengan kencang setelah turun.

Wanita itu berjalan cepat masuk ke dalam rumah meninggalkan Aji yang baru turun dari mobil.

Aji menggaruk keningnya, memikirkan cara mengabulkan permintaan sang istri. Namun, melihat Radhia yang sudah menghilang di balik pintu utama, lamunan Aji buyar. Ia mempercepat langkahnya menyusul Radhia masuk ke kamar.

Radhia sedang sibuk memilih beberapa jas dan kemeja yang tergantung rapi di depan meja rias ketika Aji masuk kamar.

Istrinya melihat jas satu per satu kemudian melempar yang tidak sesuai dengan seleranya ke ranjang.

“Mandi lalu pakai ini!” Radhia meleparkan jas berwarna biru dongker dan kemeja dengan warna senada.

Dengan sigap Aji menatap dua pakaian mahal yang ada di tangannya. Mendengar jentikan jari Radhia, ia membawa jas dan kemeja itu ke kamar mandi.

15 menit kemudian, Aji keluar dengan pakaian rapi seperti yang Radhia inginkan. Ia berdiri di depan cermin besar yang ada di walk-in closet, menatap takjut bayangannya sendiri.

“Kemari!” Radhia muncul dengan dress berwarna biru dongker, sangat serasi dengan jas Aji.

Wanita itu membuka dua kancing teratas kemeja Aji. Mengolesi rambut ikal suaminya dengan jel rambut.

“Kita akan makan malam dengan pengacara papa. Kita harus tampil mesra dan bisa meyakinkan dia kalau kita suami istri betulan.” Radhia berpesan sambil merapikan rambut Aji.

Ia juga memakaikan ikat pinggang mahal sebagai pelengkap aksesoris Aji ditambah sepatu pantofel mengkilap membuat penampilan sangat berbeda dari sebelumnya.

“Gandeng tanganku!” Radhia memberi perintah setelah mereka turun dari mobil. “Kita harus terlihat mesra.”

Mereka tiba di sebuah restoran bintang lima yang menyajikan menu steak dari daging terbaik di dunia.

Seorang pria berpakaian rapi berdiri ketika melihat Radhia masuk ke dalam restoran. Pria itu mengulurkan tangan, memperkenalkan dirinya sebagai Tengku, pengacara ayah Radhia.

“Apa benar ini suamimu?” Pengacara itu memperhatikan Aji dari atas hingga ujung kaki.

Radhia memeluk lengan Aji untuk meyakinkan sang pengacara. Bibirnya melengkung lalu menjawab dengan wajah ceria.

“Apa dia gak terlalu muda untuk mu, Nona Radhia? Seharusnya kamu mencari pria mapan yang bisa mengatur hartamu.” Tengku menyindir. Ia menatap Aji sinis, tidak percaya dengan pilihan Radhia.

“Namanya juga saling cinta. Cinta tidak mengenal usia.” Radhia memaksakan tawanya. Ia kemudian duduk di depan sang pengacara.

Mata Aji melotot melihat harga pada daftar menu yang disodorkan. Ia tidak membaca nama makanannya, terlalu sulit bagi Aji untuk melafalkan bahasa asing.

Ia kemudian meminta Radhia yang memilih makanan untuknya. Tetapi Tengku lebih dulu memesankan makanan untuk ketiganya.

Pria itu memilih makanan dan minuman termahal untuk mereka bertiga.

Beruntung selama di rumah Radhia, pelayanan sering menyajikan makanan barat jadi Aji sudah tidak lagi kaku menggunakan garpu dan pisau.

“Jadi, kapan aku bisa memiliki harta warisan papa?” tanya Radhia disela menikmati coklat fondant-nya

“Segera setelah aku mendapatkan kabar kehamilan anda, Nona.” Pengacara itu tersenyum ramah. Ia kemudian mengangkat tangan, meminta pelayan untuk mengantarkan tagihan mereka.

Tengku kembali tersenyum ramah saat menerima tagihan dari pelayan. Ia menyerahkan papan hitam berisi lembar total uang mereka habiskan untuk makan malam mewah kali ini kepada Aji.

“Silahkan tuan Aji. Sebagai bukti, nona Radhia tidak salah memilih pasangan. Saya harap, anda bukan pemuda miskin yang akan menghamburkan uang nona Radhia.” Pengacara berkata dengan nada sarkas terang-terangan menghina Aji.

Wajah Radhia berubah pucat. Ia lupa menyerahkan kartu kreditnya kepada Aji. Ia mencoba mencari alasan namun tuan Tengku mengacuhkannya.

Pandangan Tengku masih tertuju pada Aji yang terkejut melihat angka yang tertulis di kertas itu.

Mereka menghabiskan 6 juta untuk makan malam.

“Bagaimana, tuan Aji? Anda punya, kan uang segitu? Itu sedikit untuk pengusaha seperti anda.” Tengku kembali menyindir.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status